Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MASA KEMUNDURAN FIQH


DISUSUN
O
L
E
H
IQHLASUL AMAL

Mata Kuliah:
Sejarah pensyariatan hukum islam
Dosen Pembimbing:
H Edi Darmawijaya, S.Ag., M.Ag.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PRODI ILMU HUKUM
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2023 M/ 1444 H
KATA PENGANTAR
Segala puji kita panjatkan kepada hadirat Allah SWT yang telah memberi
Rahmat besesrta kesehatan dan juga kekuatan sehingga dapat memberi saya
kekuatan beserta kemampuan hingga dapat Menyusun suatu karangan yang
barjudul “MASA KEMUNDURAN FIQH”.Selain itu tidak lupa selawat beserta
salam kita haturkan kepada baginda nabi Muhammad SAW. Kemudian terima
kasih saya juga untuk guru pembimbing saya yang telah membimbing kami
hingga dapat menyelesaikan karya yang sederhana ini.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui pengetahuan tentang
bagaimana masa kemunduran fiqh yang kami kutip dari berbagai buku, artikel,
dan lain-lain. Kami juga menyadari yang bahwa makalah ini pasti masih memiliki
kekurangan yang jauh dari kata sempurna, Oleh karena itu, kami minta kepada
dosen pembimbing kami untuk terus memberi arahan kepada kami agar menjadi
yang lebih menjadi baik kedepannya
Demikian dari kami, semoga makalah dapat memberi manfaat bagi kita
semua,atas perhatiannya kami haturkan terima kasih.

Banda Aceh,13 November 2023

TTD penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar belakang masalah..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan Makalah..............................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................2
2.1 Masa kemunduran fiqh...................................................................................2
2.2 Munculnya isu ketertutupan pintu ijtihad, Fanatisme dan sekterianisme fiqh
..............................................................................................................................2
a.Munculnya taklid...........................................................................................2
b.Alasan-alasan taqlid.......................................................................................4
c.Kompilasi Fiqh...............................................................................................6
d.Kaum Reformis..............................................................................................7
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................13
3.1 Rangkuman...................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui. Menurut Ibnu Qayim fiqh lebih
khusus dari faham ia adalah faham akan maksud pembicaraan”. Abdul wahab
khalaf diamping mengemukakan definisi fiqh sebagai ilmu juga mengemukakan
definisi fiqh sebagai materi ketentuan hukum yaitu kumpulan hukum – hukum
syara yang bersifat amali dari dalil – dalilnya yang tafsili.
Adapun ruang lingkup fiqh, seperti “fiqh ‘ibadah” untuk menamai kajian
atau pembahasan atau sekumpulan hukum Islam yang berkaitan dengan
peribadatan (hubungan manusia dengan Allah). Demikian juga, “fiqh jinayah”
untuk sebutan kajian atau sekumpulan hukum pidana, “fiqh munakahat” untuk
kajian atau sekumpulan hukum perkawinan, yang belakangan inii disebut “fiqh al-
ahwal alsyakhshiyyah” (hukum keluarga) atau “fiqh mu’amalah” untuk kajian
atau sekumpulan hukum Islam yang berhubungan dengan persoalan – persoalan
sosial kemasyarakatan.
Dibalik semua itu,fiqh juga memiliki masa atau Sejarah yang sangat indah
dan juga buruk, maka dalam hal ini kami akan membahas tentang masa
kemunduran fiqh yang meliputi tentang munculnya isu-isu tentang ketertutupan
pintu ijtihad, dan fanatisme dan sekretarisme fiqh,Oleh karena itu mari kita bahas
masalah tersebut secara seksama.
1.2 Rumusan Masalah
Menurut dari permasalahan di atas kami menyimpulkan yang bahwa dari
masalah di atas tersebut kami akan membahas beberapa pokok penting yaitu:
a. Pengertian kemunduran fiqh
b. Munculnya isu-isu ketertutupan pintu ijtihad
c. Fanatisme dan sekretarisme fiqh

1.3 Tujuan Makalah


Tujuan dari pembuatan makalah ini ialah agar kami dapat memberi
informasi yang luas tentang bagaimana Sejarah fiqh di dalam peradaban dunia ini,
Oleh karena itu mari kita bahas secara seksama.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Masa kemunduran fiqh
Tahap ini kurang-lebih berlangsung selama enam abad,yang bermula sejak
jatuhnya pemerintahan Baghdad pada tahun 1258 M dan eksekusi Khalifah
Abbasiyah yang terakhir, al-Mu’tashim dan berakhir sekitar pertengahan abad
sembilan belas masehi.Periode ini juga merepresentasikan munculnya kerajan
ottoman yang didirikan pada 1299 M oleh raja turki, Usman I, Hingga
kemundurannya akibat gempuran kolonialisme Eropa.
Karakteristik umum periode ini adalah tumbuhnya taklid(mengikuti
sebuah mazhab secara membuta)dan pengelompokan(faksionalisme).
Kemerosotan ini di akibatkan karena hilangnya semua bentuk ijtihad dan
berevolusinya mazhab menjadi sebuah entitas yang sepenuhnya tercerai berai
yang hampir menyerupai sekte-sekte. Kompilasi fiqh pada periode ini terbatas
hanya pada komentar atas karya-karya terdahulu dan cenderung untuk
mempromosikan masing-masing mazhab. Akibatnya, fiqh yang dinamis menjadi
hilang dan banyak dari hukum-hukumnya menjadi ketinggalan zaman dan tidak
lagi bisa di aplikasikan dalam bentuknya yang telah mapa. Guna mengisi
kekosongan hukum tersebut, kitab undang-undang bangsa Eropa secara perlahan-
lahan diperkenalkan, terutama di sejumlah tempat dimana hukum islam tak lagi
memadai. Pada akhirnya seiring dengan melebarnya kolonialisasi bangsa Eropa
dan jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam, hukum islam kemudian diganti dengan
hukum Eropa. Sejumlah kaum reformis terlihat berupaya mengubah kondisi yang
mengalami stagnasi dan kemunduran tersebut, dengan menyerukan agar kembali
ke sumber asli dari hukum islam. Namun demikian,
pengelompokan(faksionalisme) tetap berlanjut hingga hari ini, meskipun
pengajaran tentang Fiqh perbandingan secara kelembagaan mengalami
peningkatan.1

1
Prof. DR. Musthafa sa’id Al-khim SEJARAH USHUL FIQH,

2
2.2 Munculnya isu ketertutupan pintu ijtihad, Fanatisme dan sekterianisme fiqh
a.Munculnya taklid
Para ulama pada periode ini meniggalkan segala bentuk ijtihad dan sepakat
mngeluarkan sesuatu ketentuan hukum yang mengarah pada upaya penutupan
pintu ijtihad secara permanen. Mereka berdalih bahwa seluruh persoalan telah
dikaji dan dibahas,sehingga oleh karena nya, tidak lagi membutuhkan ijtihad.
Seiring dengan perjalan tersebut,tapi muncullah sebuah konsep baru tentang
mazhab,yaitu satu dari empat mazhab tersebut harus diikuti oleh seorang muslim
agar keislamannya absah.Pada giliran konsep ini tertanam kokoh di kalangan umat
Islam dan juga para Fuqaha,Akibatnya agam Islam sendiri menjadi terbatas dalam
kerangka Empat Mazhab,yakni Hanafi,Maliki,Syafi’i dan Hambali. Mzhab-
mazhab fiqh tersebut dianggap sebagai manifestasi kehendak Tuhan dalam agama
islam.Keempat mazhab tersebut dipandang benar sepenuhnya dan merupakan
pengejawantahan dari kebenaran Islam meskipun terdapat perbedaan yang tak
terhitung diantara mereka. Dalam realitasnya ada sejumlah ulama pada periode ini
yang menafsirkan sejumlah hadis sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa
Nabi Muhammad SAW pernah memprediksi munculnya para imam dan mazhab
mereka.Konsekuensinya, berbagain upaya yang dilakukan untuk melampaui
mazhab-mazhab resmi tersebut dianggap bid’ah dan siapa saja yang menolak
untuk mengikuti salah satu mazhab-mazhab tersebut dianggap murtad. Para ulama
yang hiper-konservatif pada fase ini bahkan bertindak lebih jauh dengan
menghukum siapa saja yang ketahuan berpindah dari satu mazhab mazhab lainnya
melalui keputusan hakim stempat. Sebuah aturan juga juga di buat dalam Mazhab
Hanafi yang menglarang pernikahan orang yang bermazhab Hanafi dengan orang
bermazhab Syafi’i. Bahkan rukun islam kedua, yakni shalat, juga tak lepas dari
efek fanatisme mazhab tersebut. Para pegikut dari berbagai mazhab tersebut tidak
bersedia atu menolak menjadi makmum dari imam yang berasal dari mazhab yang
berbeda dengannya. Akibatnya dalam satu masjid, yang didlamnya terdapat umat
Islam dari beraneka ragam mazhab, bisa muncul beberapa kelompok jama’ah
shalat. Masjid dengan model jamaah semacam ini dapat kita lihat di berbagai
wilayah di Syiria, dimana kaum Sunni ada yang bermazhab Hanafi dan ada yang

3
Syafi’i. Bahkan di masjid yang termulia sekalipun, yakni Masjidil Haram di
Makkah, yang mencermikan kesatuan umat muslim dan wilayah-wilayah islam
tak lepas dari kejadian serupa. Disekeliling Ka’bah terdapat beberapa jama’ah
shalat, setiap jama’ah dipimpin oleh seorang imam dari masing-masing mazhab.
Begitu waktu shalat tiba seorang imam dari mazhab tertentu akan memimpin
jama’ah yang berasal dari mazhabnya, kemudian imam yang lain memimpin
jama’ah dari mazhabnya sendiri, demikian seterusnya.Menarik untuk di catat
bahwa praktek mendirikan shalat jama’ah berdasarkan mazhab masing-masing
masih berlangsung hingga seperempat awal abad ke dua puluh, yaitu ketika Abdul
Aziz bin Sa’ud dan tentaranya menaklukkan Mekkah(oktober 1924 M) dab
berusaha untuk menyatukan para jama’ah haji dibelakang satu imam tanpa
memandang mazhab yang di anut atau mazhab para jama’ah tersebut.
b.Alasan-alasan taqlid
Taklid(ikut secara membuta) mesti dibedakan dari ittiba’(ikut secara
rasional). Prinsip mengikuti para pendahulu adalah sesuatu yang normal dan
alamiah. Dalam kenyataannya,dengan mengikuti penafsiran islam yang lebih dulu,
pesan-pesan islam bisa terbebas dari pengurangan.Sebab, penafsiran yang awal
tersebut dibangun atas dasar inspirasi Nabi Muhammad SAW yang bersifat
ilahiyyah dan cara hidup beliau yang dibimbing Tuhan Nabi sendiri mengatakan
bahwa generasi terbaik adalah generasinya, kemudian generasi setelahnya,
kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi berikutnya lagi dan seterusnya.
Namun, karena generasi pertama umat islam,kecuali Rasulullah SAW tidak
sempurna, maka penafsiran-penafsiran mereka tidak boleh diikuti secara membuta
tanpa mengacu pada prinsip dasar penalaran yang memungkinkan kita
membedakan antara yang benar dan salah.Dalam buku ini, istilah “taklid”
dimaksudkan untuk menunjuk pada tindakan-tindakan siapa saja yang secara
membuta mengikuti sebuah mazhab tanpa mempedulikan kesalahan ari mazhab
yang mereka ikuti. Karena masyarakat awam tidak memiliki cukup pengetahuan
untuk membuat keputusan sendiri dalam situasi penuh keraguan, mereka harus
mengikuti pengetahuan apapun yang tersedia, tetap harus berpikiran terbuka dan
sebisa mungkin bersandar pada ulama-ulama yang berpikiran terbuka.

4
Taklid disebabkan oleh sejumlah faktor, baik yang bersifat internal
maupun eksternal, yang mempengaruhi perkembangan fiqh dan perilaku (sikap)
para ulama. Tidak ada satupun faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab
utama dan tidak semua faktor dapat diidentifikasi. Berikut ini hanya sebagian
kecil faktor yang sedikit jelas yang muncul pada fase stagnasi:
1. Mazhab pemikiran fiqh telah sepenuhnya terbentuk dan berbagai
rinciannya telah di kaji. Ketetapan hukum dan mengenai apa yang telah
terjadi, seperti halnya mengenai apa yang mungkin terjadi telah
dirumuskan dan di catat sejalan dengan perkembangan fiqh spekulatif
yang semakin meningkat. Hal ini hanya menyisakan sedikit ruang bagi
ijtihad dan orisinalitas. Akibatnya, muncul ketergantungan terhadap
karya-karya dari para ulama mazhab terdahulu
2. Khalifah Abbasiyah yang berkeinginan mengembalikan hukum islam
ke tempatnya yang semula, kehilangan kekuasaannya di tangan para
menteri, banyak diantaranya adalah orang Syi’ah dan akhirnya negara
terpecah menjadi negara-negara kecil. Penguasa baru lebih cenderung
mementingkan urusan pribadinya sendiri daripada urusan keilmuan atau
pemerintahan religius yang sesuai dengan hukum islam.
3. Pecahnya dinasti Abbasiyah menjadi negara-negara kecil disertai pula
dengan kenyataan yang bahwa masing-masing negara kecil tersebut
mengikuti mazhab tertentu berdasarkan pilihannya masing-masing.
Misalnya, Mesir mengikuti mazhab Syafi’i, Spanyol mengikuti mazhab
Maliki, Turki dan India mengikuti mazhab Hanafi. Masing-masing
pemerintahan memilih gubernur, administrator dan hakim hanya dari
orang-orang yang mengikuti mazhab negaranya. Akibatnya, Para ulama
yang ingin menjadi qadi (hakim) di pengadilan harus mengikuti mazhab
resmi yang dianut pemerintah
4. Ada sebagian orang tidak kualifaid mulai berani mengklaim memiliki
hak untuk berjtihad sendiri untuk memahami agama sesuai yang
mereka inginkan. Akibatnya, banyak para ulama yang tidak kompeten
mulai membuat aturan yang membingunkan masyarakat dalam

5
menghadapi berbagai persoalan. Guna meredam situasi kebingungan
tersebut, sejumlah ulama yang memiliki reputasi saat itu mencoba
untuk menutup pintu ijtihad guna melindungi syariah dari tindakan
yang sembrono dan merusak.
c.Kompilasi Fiqh
Faktor yang sama yang mendorong pada sikap taklid juga menyebabkan
para ulama membatasi aktifitas kreatif mereka untuk sekedar mengedit dan
merevisi karya-karya terdahulu. Kitab-kitab fiqh hasil karya ulama terdahulu
diringkas dan di rampingkan. Berbagai upaya perampingan tersebut kemudian di
perpendek lagi agar mudah di hafalkan, dan banyak di antaranya yang kemudian
di susun dalam bentuk sajak. Proses perampingan ini terus berlanjut hingga
menjadi kesimpulan-kesimpulan yang memunculkan teka teki di kalagan pelajar
saat itu. Generasi ulama berikutnya mulai menulis penjelasan-penjelasan terhadap
iktisar dan sajak-sajak tersebut. Para ulama berikutnya membuat komentar-
komentar terhadap penjelasan-penjelasan di atas dan ulama-ulama yang lain
menambahkan catatan-catatan kaki atas komentar-komentar tersebut
Selama periode ini sejumlah buku tentang dasar-dasar fiqh (ushul fiqh)
ditulis. Dalam buku-buku tersebut, metode ijtihad yang benar diuraikan dengan
syarat-syarat penerapannya di definisikan secara jelas. Namun demikian, syarat-
syarat yang ditetapkan oleh para ulama tersebut sangat ketat sehingga banyak
melenyapkan keberadaan bukan hanya para ulama-ulama sebelumnya yang telah
melakukan ijtihad.
Ada juga beberapa kitab yang telah ditulis mengenai fiqh perbandingan
selama periode ini. Sebagaimana periode sebelumnya, pendapat-pendapat dari
ulama mazhab beserta dalil-dalilnya dikumpulkan dan kemudian dikritisi dalam
buku-buku tersebut. Para penulisnya kemudian berusaha menjelaskan bahwa
pendapat yang paling akurat adalah pandangan mazhab yang mereka anut.
Menjelang akhir periode ini, dilakukan sebuah usaha untuk
mengkodifikasi hukum islam di bawah bantuan para khalifah Ottoman. Sebuah
komisi yang terdiri dari tujuh ulama terkemuka di bentuk dan dipercaya untuk
melakukan tugas tersebut. Kerja pengkodifikasikan itu sendiri selesai pada 1876

6
M yang kemudian diterapkan oleh sultan sebagai hukum resmi di sepanjang
wilayah kerajaan Ottoman, dan diberi nama Majallah al-Ahkam al-‘Adilah (Kitab
Undang-Undang Keadilan). Bagaimanapun juga, usaha yang mulia inipun
tampaknya tak lepas dari pengaruh fanatisme mazhab. Seluruh ulama dan
komisinya berasal dari mazhab Hanafi. Karenanya, undang-undang yang
dihasilkan secara keseluruhan mengabaikan kontribusi mazhab-mahab lainnya
masuk dalam fiqh.
Setelah ekspedisi-ekspedisi Columbus dan Vasco da Gama,bangsa-bangsa
Eropa barat mulai merebut jalur-jalur dan sumber-sumber perdagangan
internasional. Berikutnya, negara-negara Muslim di Asia Timur mulai di caplok
oleh imperialisme Eropa, dimulai dari pulau jawa yang ditaklukkan oleh Belanda
pada tahun 1684 M. Kemudian Transylvania dan Hunggaria jatuh dari genggaman
kekuasaan Ottoman ke austria pada tahun 1699M,dan kekalahan Ottoman oleh
Rusia pada perang Turki-Rusia tahun 1768-1774 M. Kejadian-kejadian ini
mengakibatkan wilayah kekuasaan Ottoman di daratan eropa sedikit demi sedikit
mulai hilang. Proses ini berpuncak pada hancur leburnya kekaisaran Ottoman
ketika terjadi Perang Dunia I dan menyebabkan terpecah-pecah menjadi sejumlah
daerah koloni dan protektorat. Tak terelakkan lagi, kitab undang-undang Eropa
menggantikan hukum islam di seluruh dunia islam.
Meskipun kolonialisme Eropa secara resmi telah berakhir beberapa tahun
yang lalu, hukum islam tetap tidak di pakai di seluruh negeri Muslim kecuali
Saudi Arabia yang telah mengkodifikasikan hukum islam berdasarkan Mazhab
Hambali, Pakistan sebagian besar berdasarkan Mazhab Hanafi dan iran baru-baru
ini berdasarkan Mazhab Jaa\.fari.
d.Kaum Reformis
Meskipun terdapat sejumlah kebobrokan sebagaimana digambarkan di
atas, selama periode tersebut, ada sejumlah ulama terkemuka yang secara
konsisten terus berusaha menentang taklid serta berani menyerukan ijtihad. Para
reformis tersebut menyerukan umat islam agar kembali ke akar agama, kepada
sumber hukum islam yang sebenarnya, dan berpegang teguh pada dasar-dasar

7
yang telah disebutkan. Sejumlah refomis berikut kontribusi mereka akan
dijelaskan sebagai berikut.
Ahmad Ibnu Taimiyah (1263-1328) adalah reformis yang paling
terkemuka pada periode ini. Karena penentangannya terhadap status quo, banyak
ulama pada masanya yang menyebutnya sebagai seorang yang murtad dan para
penguasa memenjarakannya berulang kali. Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah
adalah salah seorang ulama terbesar pada masanya. Pada mulanya, ia belajar fiqh
menurut mazhab Hambali, namun tidak membatasi pemikirannya hanya pada satu
mazhab tersebut. Ibnu Taimiyah mempelajari sumber-sumber hukum islam secara
mendalam dan menguasai seluruh pengetahuan tentang keilmuan Islam yang
cukup di kenal pada masa itu. Lebih dari itu, ia juga berusaha mengkaji karya-
karya yang berasal dari berbagai kelompok (sekte) yang telah menyimpang dari
Islam mempelajari buku-buku Nasrani, Yahudi, berikut sekte-sekte yang ada
didalamnya dan kemudian membuat tulisan kritis tentang semuanya itu. Ibnu
Taimiyah merupakan ulama-ulama terkemuka pada masanya dan mendorong para
generasi muda agar membuka lebar-lebar pintu ijtihad dan kembali pada sumber-
sumber asli islam yang ia perjuangkan. Para pengikutnya yang terkemuka
diantaranya adalah Ibnu Qayyim, seorang ulama yang pakar di bidang fiqh dan
hadis, juga Az-Zahabi, seorang pakar dalam bidang kritik hadis serta Ibnu Katsir,
seorang pakar dalam bidang tafsir, sejarah dan hadist.
Muhammad Bin Ali Asy-Syaukani (1757-1835) lahir dekat kota Syaukan
di Yaman, juga termasuk salah satu diantara para reformis pada periode ini. Asy-
Syaukani mempelajari fiqh Mazhab Zaidi dan kemudian menjadi salah satu ulama
terkemuka mazhab tersebut. Berikutnya, Asy-Syaukani memperdalam ilmu hadis
dan kemudian menjadi salah seorang ulama yang sangat terkemuka dalam bidang
hadis pada masanya. Yang menarik di catat adalah,asy-Syaukani kemudian
membebaskan diri dari mazhab yang di anutnya dan berupaya melakukan ijtihad
secara mandiri. Ia menulis sejumlah karya dalam bidabg fiqh dan ushul fiqh.
Dalam buku-buku tersebut seluruh persoalan dari berbagai pendapat mazhab ia
simpulkan dan kemudian ia menawarkan solusi dengan didasarkan atas dalil-dalil
yang akurat serta argumen-argumen yang kokoh. Imam Asy-Syaukani

8
berpendapat bahwa taklid adalah haram dan menulis sejumlah buku yang
membahas tema tersebut, semisal “Al-Qaul Al-Mufid fi Hukm at-Taklid”. Berkat
karya tersebut, Imam As-Syaukani juga menuai sejumlah serangan dan kritik dari
banyak ulama pada masanya.
Reformis lainnya yang layak untuk dikemukakan adalah ulama besar
Ahmad bin Abdur Rahim atau lebih dikenal sebagai Syah Waliullah ad-Dihlawi
(1703-1762 M). Ia lahir di anak benua India dimana budaya taklid telah meraja
rela. Setelah menguasai berbagai bidang keilmuan islam, ia menyerukan untuk
membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya dan melakukan reunifikasi terhadap
mazhab-mazhab fiqh yang ada. Dalam upayanya mengkaji prinsip-prinsip islam
dan menjelaskan tentang otoritas yang seharusnya dijadikan sebagai dasar
ketetapan hukum oleh mazhab-mazhab fiqh, Syah Waliullah menekankan
pentingnya pentingnya kajian hadis. Meskipun tidak sampai menolak mazhab
fiqh, ad-Dihlawi berpendapat bahwa setiap orang punya hak untuk memilih
keputusan sendiri yang berbeda dari yang di tetapkan oleh mazhab yang di
anutnya, apabila ia yakin bahwa hal tersebut lebih baik di jelaskan oleh hadis
Namun demikian, kemunduran dan stagnasi yang telah meluas terus
berlanjut hingga saat ini, meskipun telah ada upaya dari pemikir modern semisal
Jamaluddin al-Afgani (1839-1897 M), yang melakukan perjalanan ke berbagai
negeri muslim untuk menyerukan pembaruan. Jamaluddin melakukan perjalanan
ke India, Mekkah, Konstatinopel dan akhirnya bermukim di mesir. Ia mengajak
pada kebebasanberpikir baik dalam politik, agama maupun keilmuan dan menolak
taklid dan pemerintahan yang korup. Jamaluddin mengemukakan gagasannya
tersebut di Universitas al-Azhar dan banyak memberikan pengaruh terhadap
murid-muridnya. Sayangnya, sejumlah gagasan Jamaluddin bersifat ekstrim.
Misalnya, ia memposisikan pikiran manusia dan dan kemampuan deduksi
logisnya setingkat dengan wahyu. Aktifitasnya juga kemudian di curigai terkait
dengan gerakan Masonik (gerakan kebatinan) yang saat itu telah mendirikan
cabang barunya di timur tengah.
Muhammad Abduh (1849-1905 M) adalah murid afghani yang paling
terkemuka. Dibawah pengaruh pemikiran Afghani dan Ibnu Taimiyah, bendera

9
ijtihad kembali di angkat tinggi-tinggi oleh Muhammad Abduh, dan taklid beserta
para penduungnya diserang secara sistematis. Namun, karena pijakan Muhammad
Abduh adalah modernis-ekstrim, pada akhirnya ia menyimpang dalam sejumlah
penafsiran dan pendapat-pendapat hukumnya. Misalnya, dalam penafsirannya
terhadap Al-Qur’an secara apologis ia menolak semua mukjizat yang di berikan
kepada para rasul atau yang secara langsung ditunjuk oleh Tuhan lewat kekuatan
alam. Menurutnya, serombongan burung yang kemudian melemparkan batu-batu
kecil pada pasukan Abrahah beserta gajahnya ketika mereka menerang Ka’bah
pada hakekatnya adalah kuman (bakteri) mematikan yang menyebar pada mereka.
Demikian juga, ia membuat fatwa yang membolekan umat islam melakukan
transaksi bisnis menggunakan bunga. Ia mendasarkan pendapatnya ini pada
kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “kedaruratan memperbolehkan hal-hal yang
dilarang”. Kekeliruan pendapatnya tersebut terletak pada kenyataan bahwa fiqh
secara khusus menjelaskan bahwa darurat adalah menyangkut persoalan hidup dan
mati atau kehilangan nyawa,dan kasus transaksi bisnis jelas tidak terkait dengan
prinsip tersebut. Murid utama Muhammad Abduh, yakni Muhammad Rasyid
Ridha (w. 1935 M) mengikuti jejak gurunya dalam menyerang taklid, namun
menolak sejumlah hal yang berlebihan dari gurunya. Namun demikian, murid-
murid Muhammad Abduh yang lain justru menjadi benih gerakan modernis-
ekstrim dan dalam banyak hal telah menyimpang melebihi gurunya. Sebagai
contoh, muridnya, Qosim Amin (w.1908) merupakan pelopor yang dengan tajam
menyerang praktik poligami, penyederhanaan dalam perceraian, serta penngunaan
cadar.
Ulama lainnya pada abad ke 20, semisal Hassan al-Banna (w.1949),
pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin, Abu A’la Maududi (1903-1979 M) pendiri
gerakan Jama’ah Islam, dan baru-baru ini seorang ulama hadis teremuka,
Nasiruddin Albani mengangkat bendera Kebangkitan Islam dan menyerukan
perlunya unifikasi mazhab-mazhab. Akan tetapi, hingga hari ini, mayoritas ulama
tetap berpegang teguh pada bingkai islam yang sektarian dengan menganut salah
satu dari empat mazhab. Dengan bertindak demikian, tanpa sadar mereka terus
mengakalkan perpecahan di tubuh bangsa-bangsa Muslim. Tampaknya, belum ada

10
harapan banyak bahwa proses ini akan segera berakhir, karena dengan sedikit
pengecualian dewasa ini lembaga-lembaga pendidikan Islam di sepanjang negeri
muslim secara aktif terus menyebarkan pandangan islam yang sekretarian.
Benar, bahwasannya fiqh perbandingan telah menjadi kurikulum tetap
dalam lembaga-lembaga pendidikan tersebut, dan pelajaran hadis menjadi lebih
populer dibandingkan bebarapa abad sebelumnya. Akan tetapi, dalam
kenyataannya dua mata pelajaran yang potensial bersifat dinamis dan regeneratif
tersebut telah dikacaukan oleh sistem penddikan Islam yang sekretarian. Setiap
universitas taat pada mazhab resmi negara dimana ia berada dan dengan demikian
pelajaran fiqh dalam kurikulum hukum islam (yang dikenal dengan syari’ah dan
ushuluddin) di ajarkan sesuai mazhab negara. Hal terseut dilakukan guna
memenuhi kebutuhan pemerintah lokal untuk para hakim yang mesti
menyesuaikan dengan mazhab yang digunakan dalam sistem hukum sipil negara
tersebut. Sebagai contoh, Universitas Al-Azhar di Mesir, sebuah lembaga
pendidikan terkemuka di dunia islam, merupakan satu-satunya Universitas dimana
seluruh mazhab besar diajarkan. Namun demikian, pada saat registrasi mereka
diminta untuk memberi tahukan mazhab yang di anutnya, dan mereka yang
bermazhab sama akan ditempatkan pada kelas yang sama. Dari awal masa studi
hingga kelulusan mereka, seluruh propesor yang mengajar mereka berasal dari
mazhab yang sama dengan mahasiswa. Dengan demikian,posisi mazhab lain yang
mereka pelajari hanyalah sebagai pelajaran tambahan dan kitab-kitab hadis
terkemuka di kaji lebih untuk mendapatkan berkah,bukannya untuk mencari
kebenaran. Kapan saja suatu pendapat yang berbeda di jumpai dalam kajian-kajian
tersebut, para dosen dalam sebuah lembaga yang sekretarian tersebut biasanya
membahasnya secara dangkal dan menolak pendapat tersebut berdasarkan
argumen yang dipaksakan guna mendukung posisi mazhab yang di anutnya. Oleh
karena itu, meskipun mahasiswa memiliki bukti-bukti yang sangat kuat, dosen
yang sekretarian tersebut tetap saja menolak pertimbangan yang dikemukakan
mahasiswa. Demikia juga, jika ada sebuah hadis yang valid (shahih) yang terlihat
bertentangan dengan posisi mazhab mereka manakala mereka mengkaji kitab-
kitab hadis, sang guru akan melakukan penafsiran ulang untuk mendukung

11
mazhabnya atau dengan cerdik ia akan mengabaikannya. Dan jika kedua cara
tersebut tidak memungkinkan maka sejumlah hadis-hadis yang lemah (dha’if) akn
dikutip guna mendukung posisi mazhabnya tanpa menyebutkan secara jujur
bahwa sejatinya hadis-hadis tersebut lemah adanya dengan cara tersebut, maka
akan terliha adanya sejumlah hadis yang mendukung posisi mazhab mereka, dan
para mahasiswa di yakinkan akan kebenaran mazhabnya.

12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Rangkuman
a. Tahap ini kurang-lebih berlangsung selama enam abad,yang bermula sejak
jatuhnya pemerintahan Baghdad pada tahun 1258 M dan eksekusi
Khalifah Abbasiyah yang terakhir, al-Mu’tashim
b. Ijtihad dalam segala bentuknya telah di kesampingkan,dan taklid kepada
salah satu dari mazhab yang empat diwajibkan bagi semua kaum muslim
c. Mazhab empat tidak bisa lagi didamaikan dan umat Islam benar-benar
terpecah kedalam empat sekte keagamaan
d. Aktivitas keulamaan terbatas pada penulisan komentar-komentar atas
karya-karya sebelumnya dan mempromosikan mazhab penulisnya
sebagaimana dalam periode konsolidasi
e. Terdapat sejumlah upaya yang patut di puji yang dilakukan oleh kaum
reformis tertentu untuk mengembalikan sifat fiqh yang asli dan dinamis,
akan tetapi upaya mereka terbukti tidak memadai untuk menghapus
fanatisme mazhab yang telah mengakar sangat dalam
f. Upaya-upaya kodifikasi hukum islam telah dilakukan,akan tetapi hasilnya
mengenaskan karena pandangan-pandangan yang sekretarian, dan seiring
dengan meningkatnya kolonialisme Eropa komplasi tersebut diganti
dengan undang-Undang Eropa
g. Kondisi stagnasi dan kemunduran fiqh serta keberadaan faksionalisme
mazhab masih berlanjut hingga kini

13
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ameenah bilal Philips, Ph.D. SEJARAH DAN EVOLUSI FIQH
ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Prof. DR. Musthafa sa’id Al-khim SEJARAH USHUL FIQH

14

Anda mungkin juga menyukai