Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

SEJARAH TASYRI’ PADA MASA ULAMA PEMBANGUN


MADZHAB
Di susun guna memenuhi tugas Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu : Dr. Tolkhah, MA.

Disusun Oleh :

Ahmad Dzaki Anshari (23020460084)


Dalliya Hadirotul Qudsiyyah (23020460073)

JURUSAN ILMU FALAK FAKULTAS


SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO 2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah melimpatkan Rahmat,
Hidayat, dan TaufikNya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah kami dengan judul
tema: Sejarah Tasyri’ pada Masa Ulama Pembangun Madzhab. Untaian shalawat dan salam
selalu tercurah kepada baginda Nabillah Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan
para pengikutnya.

Adapun penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas kami mata kuliah Tarikh
Tasyri’ yang telah di tugaskan kepada kami. Selain itu, bertujuan untuk menambah
pemahaman serta wawasan mengenai Sejarah Tasyri’ pada masa Ulama Pembangun
Madzhab. Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari banyak kekurangan dan
kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran agar kedepannya kami bisa
Menyusun makalah lebih dari baik.

Kami ucapkan terima kasih kepada kepada Bapak Dr. Tolkhah. MA. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Tarikh Tasyri’ yang telah memercayai untuk membuat makalah
dengan tema ini yang mana karya tulis kami masih jauh dari kata sempurna. Tak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk berbagai kalangan.

Semarang, 18 Maret 2024

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii


BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3
A. Dinamika tasyri’ pada masa ulama pembangun madzhab ......................................... 3
B. Faktor penyebab kemajuan fiqh islam awal abad kedua sampai pertengahan abad
keempat’ . .......................................................................................................................
4
C. Dinamika tasyri’ dalam empat madzhab fiqih ......................................................... 12
BAB III .............................................................................................................................. 32
KESIMPULAN ............................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan kronologi dalam konteks sejarah perkembangannya, syari’at Islam
telah banyak mengalami evolusi dan berbagai dinamika. Selama periode kenabian,
fondasi-fondasi hukum Islam barada dibawah ijtihad-ijtihad Rasulullah SAW dan para
sahabat-sahabatnya. Selama periode tersebut, wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah
ditetapkan sebagai satu-satunya sumber hukum Islam.
Dalam tahap berikutnya, pada masa Khulafaur Rasyidin, prinsip-prinsip ijma’
dalam fiqih mulai dikembangkan, dan ijtihad menjadi prinsip independen dari fiqih
yang bernama qiyas. Madzhab pada periode tersebut pada dasarnya merupakan
madzhab masing-masing khalifah, sebab keputusan akhir dalam permasalahan hukum
berada ditangan mereka.
Selanjutnya pada periode awal dari Dinasti Umayyah memperlihatkan adanya
pembagian ulama fiqih kedalam dua madzhab utama dalam hal kaitannya dengan
ijtihad yaitu; ahlul –ra’yu dan ahlul-hadits. Dua madzhab tersebut berkembang menjadi
sejumlah madzhab baru selama peralihan dari sistem ke-khalifahan menuju sistem
monarkhi, ketika khalifah tidak lagi menjadi sesepuh madzhab. 1
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendati pemerintahan Islam selanjutnya
dipegang oleh Dinasti Abbasyiah. Berbeda dengan periode sebelumnya yang ditandai
dengan perluasan wilayah, periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau zaman
keemasan. Adapun beberapa faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam pada
periode ini beberapa diantaranya; pendirian dan perkembangan madzhab fiqih,
pengaruh pembukuan hadits terhadap perkembangan hukum Islam, serta pengaruh
pembukuan fiqih dan pembukuan ushul fiqih terhadap perkembangan hukum Islam.2
Berikut kami akan menjelaskannya dalam pembahasan makalah kami yang berjudul

1
Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh, terj. M. Fauzi Arifin, cet. 1, (Bandung:
Nusamedia dan Nuansa, 2005), hal. 85-86
2
Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. 1, (Bandung: PT. Remaja Posdakarya, 2000),
hal. 67

1
“Dinamika tasyri’ pada masa Ulama’ pembangun mazhab serta berbagai factor social
yang melatarbelakangi terjadinya kemajuan tasyri’ yang sangat pesat”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana dinamika tasyri’ pada masa ulama pembangunan Madzhab?
2. Faktor apa saja yang menyebabkab kemajuan fiqh Islam awal abad kedua sampai
pertengahan abad keempat?
3. Bagaimana riwayat hidup madzhab-madzhab fiqih?
4. Faktor apa saja yang mendorong perkembangan hukum Islam pada masa Imam-
imam Mujtahid?

C. TUJUAN
1. Mengetahui dinamika tasyri’ pada masa ulama pembangunan Madzhab
2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkab kemajuan fiqh Islam awal abad kedua
sampai pertengahan abad keempat
3. Mengetahui riwayat hidup madzhab-madzhab fiqih
4. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam pada masa
Imam-imam Mujtahid.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinamika Tasyri’ pada Masa Ulama’ Pembangun Mazhab


1. Kondisi Hukum
Periode ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M) pada
awal abad ke-2 Hijriyyah dan berakhir pada pertengahan abad ke-4 Hijriyyah, sehingga
kurang lebih berkisar 250 tahun. Periode ini disebut sebagai periode pembukuan dan
imam imam mujtahidin, karena pada periode ini usaha penulisan dan pembukuan
terhadap hukum Islam mengalami perkembangan kemajuan yang pesat. Periode ini
adalah periode keemasan bagi perundang-undangan Islam. Hukum Islam berkembang
dan menjadi matang serta membuahkan perbendaharaan hukum. 3
Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqh
Islam, dimana ia sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan
terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri sebelumnya hanya sebatas fatwa dan
qadha’, selain muncul para ulama yang membahas setiap bab, memiliki mazhab ijtihad
sendiri yang kemudian yang diberi nama sesui dengan para imamnya. Kemajuan ilmu
pengetahuan pada zaman ini tidak hanya terjadi pada bidang fiqh, namun juga terjadi
pada bidang ilmu lain seperti tafsir, hadis, tauhid, bahasa dan adab. Sehingga periode
ini pantas disebut masa yang cerdas, yaitu kuat dan matang dalam pemikiran, kehidupan
ilmiah yang meluas pembahasan, ijtihad mutlak, kebebasan yang berani dalam nalar
dan istinbath.
Pada periode ini tradisi ilmiah tidak terbatas pada masalah Fiqh saja tapi
meliputi berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang tidak terbatas pada soal tertentu tapi
telah ditemukan berbagai cara dan sistem. Keadaan ini membuat kaum muslimin
mencapai puncak kejayaan hingga mereka terbagi ke berbagai kelompok ilmiah
sehingga lahirlah para pakar ilmu pengetahuan di berbagai ilmu pengetahuan. 4
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Fiqih

3
Prof. Abdul Wahab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, terj. H.A ‘Aziz Masyhuri, cet. 5, (Solo: CV.
Ramadhani, 1991), hal. 58
4
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj. Dr. Nadirsyah Hawari, M.A, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2011), hal.
102; Sapiuddin, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), (Jakarta: AMRI, 2005), hal. 48.

3
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang sempat membawa kejayaan
umat Islam pada masanya. Zaman keemasan Islam dicapai pada masa dinasti-dinasti ini
berkuasa. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu
pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan
bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju pesat.
Dinasti Abbasyiyah adalah pelanjut kekuasaan dinasti Bani Umayyah, namun
ada perbedaan orientasi diantara kedua dinasti ini, dinasti Bani Umayyah lebih banyak
menekankan pada kekuatan militer, 5 sedangkan Dinasti Abbasyiyah lebih
menekanakan pada pelayanan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, farmasi,
pada masa ini sudah terdapat 800 orang dokter, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Tingkat kemakmuran yang paling
tinggi terwujud pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya
al-Makmun (813-833 M).
Ketika masa khalifah Al-Mamun, di kenal sebagai seorang khalifah yang cinta
ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing di galakkan. Untuk
menerjemah buku-buku Yunani, Ia menggaji penerjemah golongan kristen dan
penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirian sekolah. salah satu karya
besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah yaitu pusat penerjemahan yang berguna
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Ma’mun inilah
Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa ini
lahirlah para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, diantara ilmu yang
sampai puncak keemasannya adalah Fiqh. Apresiasi khalifah, Kebebasan berfikir dan
berpendapat, maraknya diskusi-diskusi dan debat ilmiyah antara fuqaha’ telah
mendorong lahirnya fuqaha mazhab yang kompeten dalam bidangnya yang hasil karya
mereka masih digunakan sampai sekarang. 6
B. Faktor Penyebab Kemajuan Fiqh Islam Awal Abad Kedua sampai Pertengahan
Abad Keempat
1. Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyyah Terhadap Fiqh Dan Fuqaha’
Pemerintahan Islam pada periode ini sudah meluas daerah kekuasaannya dan
berjauhan batas ujungnya, dan kekuasaannya sudah meliputi bermacam-macam bangsa
yang beraneka warna jenisnya, adat-istiadatnya, arena hubungan kerjanya, dan

5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, cet. XVI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), hal.43.
6
Ibid., hal. 52-53.

4
kemaslahatannya. Oleh karena itu para ulama mencurahkan tenaganya untuk
mengembalikan persoalannya pada sumber-sumber hukum Islam, dan memegang teguh
nash-nash syari’ah. 7

Kebanyakan khalifah bani Abbasiyah menaruh perhartian yang besar terhadap


perkembangan Ilmu Fikih, antara lain pendekatan kepada ulama, memberi dorongan
dan bantuan materil kepada kebebasan mereka untuk memajukan Ilmu Fikih. Hal ini
dapat dilihat dalam beberapa aspek di bawah ini:
a. Semua undang-undang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, terutama yang
terkait dengan urusan pemerintahan.
b. Memberikan perhatian terhadap As-Sunnah dan mengumpulkan hadist, ditulis dan
dibukukan seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih Al-Bukahri dan yang lainnya.
c. Para Khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah
(bantuan) dan menyeru para pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan
dalam menentukan hukum. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur meminta izin kepada
Imam Malik untuk menjadikan kitab Al-Muwaththa’ sebagai undang-undang
negara dan demi memutus tali perbedaan pendapat. Akan tetapi sang Imam
menolak dan mengatakan, “ Jangan kamu berbuat demikian wahai Amirul
mukminin karena para sahabat Nabi telah tersebar ke seluruh negeri dan mereka
telah meriwayatkan hadis dari negara Hijaz yang aku jadikan sebagai rujukan, lalu
orang mempelajari hadis itu dan aku akan membiarkan mereka dengan apa yang
mereka yakini.” Sang khalifah setuju dengan alasannya seraya mengatakan,
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abi Abdillah.” Inilah yang
mendorong Harun Ar-Rasyid datang mengunjungi Imam Malik ketika ia
melaksanakan haji, dan menjadikan Imam Abu Yusuf murid Abu hanifah sebagai
kawan setia dan diangkat menjadi ketua hakim agung.
d. Perhatian para khalifah juga dapat dilihat ketika mereka meminta para fuqaha’
untuk meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam mengatur urusan
negara. Harun Ar-Rasyid meminta Abu Yusuf untuk menggali hukum tentang
peraturan keuangan negara dan sistem distribusinya. Kemudian Abu Yusuf menulis
kitab Al-Kharaj yang menjelaskan tentang sumber keuangan negara, alokasi dana
dan kewajiban negara serta mengingatkan sang khalifah dengan ucapannya,

7
Prof. Abdul Wahab Khollaf, Op.cit. hal. 59

5
“Dirikan kebenaran dalam apa yang telah diberikan Allah kepadamu, jangan
menyeleweng karena rakyat akan berpaling, jauhi hawa nafsu dan memutuskan
sesuatu sambil marah, jadilah orang yang selalu takut dengan Allah dan jadikan
semua orang sama dalam berurusan kepadamu baik orang dekat atau jauh,
sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawabanmu dan apa yang sudah
kamu kerjakan.”8
2. Banyaknya Peristiwa
Banyak persoalan yang timbul, hal ini makin meluasnya daerah Islam dan
perkembangan serta kemajuan zaman. Karena para fuqaha’ yang sudah menyebar ke
berbagai negeri kemudian menemukan banyak adat istiadat, aturan sosial, hukum dan
ekonomi yang sebelumnya tidak mereka temukan sehingga mereka harus memberikan
jawaban dan pendapat sesuai dengan syariat Islam. Jika ada adat istiadat yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam maka mereka mngakui legalitas dan mengamalkannya. Jika
adat istiadat tersebut ada yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam dan ruh syariat,
mereka akan menolak dan mencoba untuk menwarnainya dengan nilai-nilai Islam.
Karena adat istiadat ini berbeda dari satu negeri ke negeri lain sehingga menglahirkan
satu hukum yang baru pada satu tempat kejadian yang belum tentu ada di tempat lain.
Hikmah dari banyak permasalahan baru yang muncul pada zaman ini adalah lahirnya
hukum fiqh baru dari para fuqaha’ di tempat masing-masing. 9
Ketika wilayah Islam meluas pada masa Abbasiyah dan banyak umat yang
berbeda dalam kebiasaan peradaban dan agama. Kekuasaan Islam masuk dan berdiam
ditempat itu mengakibatkan berpencarnya para ulama kedaerah-daerah tersebut yang
sudah pasti memiliki tradisi dan adat yang berbeda.
Akibat perbedaan tradisi setiap daerah maka ulama perlu mengetahui keadaan
yang sebenarnya apa yang dihadapi ulama di masing-masing daerah. Untuk itu
dilakukan perjalanan ilmiah (study tour) oleh para ulama mujtahid. 10
3. Perhatian dan Semangat Tinggi Untuk Mendidik Para Penguasa dan
Keturunannya Dengan Pendidikan Islam
Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator dan contoh berikut:

8
Rasyad Hasan Khalil, Op.cit.hal. 102-103.
9
Asmuni, H. M. Yusran, op.cit, hal. 29; Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 108
10
Sapiuddin, Op.cit. hal.50-51.

6
a. Al-Mahdi mengirimkan anaknya Al-Hadi dan Ar-Rasyid kepada seorang alim
dan memintanya untuk mengajari mereka Al-Quran, sunnah dan menjelaskan
keagungan para ahli hikmah serta nasihat-nasihat mereka.
b. Khalifah Harun mengirimkan kedua anaknya Al-Amin dan Al-ma’mun untuk ikut
majelis ilmu Imam Malik di Madinah, ketika ia tidak mau datang ke istana
mengajarkan anaknya. Imam Malik menulis surat kepada sang khalifah, “Semoga
Allah memuliakan Amirul Mukminin, ilmu ini keluar dari kalian, jika kalian
memuliakannya maka ia akan mulia dan jika kalian menghinakannya maja ia akan
hina, ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi.” Ketika surat ini sampai kepada
khalifah ia berkata kepada anaknya, “Pergilah kalian ke masjid (Madinah dan
bergabunglah dengan orang lain.”
c. Ketika Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani menulis kitab As-siyar
(sejarah), Khalifah Ar-Rasyid menyuruh anak-anaknya menemui sang imam
mendengarkan pelajarannya. Tidak diragukan lagi bahwa perhatian para khalifah
terhadap fiqh dan fuqaha’ berpengaruh besar terhadap kemajuan ilmu pada zaman
ini. Oleh karena itu, fiqh Abbasiyyah, fiqh Islam menjadi rujukan dalam setiap
masalah yang muncul. 11
4. Iklim Kebebasan Pendapat
Pada periode ini para ulama diberi kebebasan mengeluarkan fatwa dalam Ilmu
Fikih sepanjang tidak menyinggung politik pemerintah. Walaupun kenyataan seperti
ini, akan tetapi kebebasan berpendapat dalam Islam tidak bisa dipecah-pecah dan juga
selain dari permasalahan pemerintah telah memberikan manfaat yang besar bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan kebangkitan fiqh Islam pada zaman itu.12
Ulama’ yang memangku tugas perundang-undangan dan memberi fatwa dalam
periode ini jalan perundang-undangan sudah terbentang dan kesulitan-kesulitan hukum
sudah bisa diatasi dengan mudah, sebab mereka sudah memperoleh sumber-sumber
perundang-undangan, dan merekapun sudah mengetahui peristiwa-peristiwa dan
kemuskilan yang sudah diatasi oleh ulama-ulama sebelum mereka. Al-Qur’an sudah
dibukukan dan sudah berkembang luas dikalangan umat Islam. 13
5. Tambahnya penghafal Al-Qur’an dan perhatian untuk menunaikannya.

11
Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 103-104.
12
Asmuni, H. M. Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Ed. 1.,
Cet.3, (Jakarta: PT RajaGranfindo Persada, 1998), hal.29.; Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 105.
13
Ibid, hal. 59

7
Pada periode ini para penghafal Al-Qur’an bertambah banyak dan tersebar di
seluruh daerah-daerah Islam , dan pada setiap daerah, kaum Muslimin mengenal para
qari’ yang terkenal namanya. Pada periode inilah mulai muncul qira’ah sab’ah yang
diperkenalkan oleh para qari’ yang terkenal, serta tiga qira’ah lainnya yang
tingkatannya berada dibawahnya. 14 Pada periode ini juga mulai muncul adanya usaha
perbaikan sistim/ bentuk penulisan Al-Qur’an dan pemberian harokat-harokat pada
hurufnya. Hal ini terjadi, sebab mushaf yang sudah dibukukan pada zaman Usman bin
‘Affan yang tanpa bertitik dan berharakat. Sedangkan standar dalam membacanya
adalah berdasarkan penerimaan dari para penghafal Al-Qur’an. Oleh karenanya usaha
perbaikan tersebut diperlukan. 15

6. Maraknya Diskusi dan Debat Ilmiah di Antara Para Fuqaha’


Pada zaman ini muncul mazhab dan perseteruan fiqh yang sangat tajam
sehingga perselisihan di antara mereka tidak hanya dalam hal-hal furu’iyah (cabang)
seperti yang terjadi pada zaman sahabat, namun terkadang menyentuh masalah sumber
dalil. Hal ini disebabkan beberapa faktor sebagai berikut.
a. Banyaknya para fuqaha’ sehingga masing-masing berijtihad secara bebas.
b. Upaya sebagai fuqaha’ untuk menyebarkan pendapat mereka kepada masyarakat
dengan cara memberi fatwa, menghapal fatwa dan menulisnya.
c. Imbauan kepada masyarakat agar menjadikan hukum ini sebagai aturan hidup
mereka.
1) Dinamika debat ilmiah pada masa Dinasti Abbasiyyah
Debat atau polemik pada masa ini berkisar pada masalah lafal dari segi bahasa,
yang mencakup beberapa hal, di antaranya:
a. Alquran dan sunnah serta hubungan di antara keduanya.
b. Pendapat para sahabat dan amalan penduduk Madinah serta tingkat ke hujjah-
annya.
c. Qiyas, istihsan, maslahat mursalah, dan yang lainnya yang dijadikan sebagai
rujukan fuqaha’ dalam meng-istinbat hukum.
Pendapat ini tidak hanya sebatas debat secara lisan di antara fuqaha’ di masjid-
masjid dan di depan orang banyak pada saat musim haji dengan cara menyampaikan

14
Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, terj. Drs. Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980),
hal. 335
15
Prof. Abdul Wahab Khollaf, Op.cit, hal. 66

8
pendapat pribadi secara langsung. Namun perdebatab juga terjadi dalam bentuk tulisan,
seperti dalam risalah yang ditulis oleh Al-Laits bin Sa’d yang dituliskannya dari Mesir
kepada Imam Malik tentang bolehnya ber-hujjah dengan amalan penduduk Madinah
dan beberapa masalah lain.
2) Pengaruh debat ilmiah bagi dinamika kemajuan fiqh
Perdebatan fiqh secara meluas di antara fuqaha’ pada zaman ini telah
melahirkan dua fenomena yaitu:
Pertama, kecenderungan pada fuqaha’ untuk menggunakan metode ketika
mereka menulis buku. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam kitab Al Umm yang ditulis
oleh Imam Asy-Syafa’i yang memuat banyak perdebatan antara beliau dengan fuqaha’
dan juga dalam kitab-kitab lain yang ditulis pada zaman itu.
Kedua. luas ruang lingkup kajian fiqh dan munculnya pendapat-pendapat fiqh
sehingga semakin menambah kemajuan fiqh itu sendiri. Semangat mempelajari fiqh
sangat tinggi, detail, mendalam dan mencakup banyak masalah dan bisa membantu para
pendahuluannya, dalil dan sudut pandangan mereka. Inilah jalan menuju kebangkitan
fiqh Islam pada zaman ini dan zaman-zaman ini akan datang.
3) Tujuan debat ilmiah
Debat ilmiah yang terjadi pada masa ini sebenarnya bertujuan agar bisa sampai
kepada kebenaran dan memahami hukum syara’ yang akan menjadi jawaban terhadap
masalah yang muncul.
Kondisi ini mulai menyimpang pada zaman ulama muta’akhirin sebagai
pengikut ulama mazhab, dimana mereka menjadikan debat ini sebagai wasilah (cara)
untuk menguatkan pendapat dan memenangkan imam yang diikuti dan tidak siap
menerima pandapat orang lain dan menjauhkan masyarakat dari pendapat lawan
walaupun ada kemungkinkan mazhab lawan adalah yang benar. Keadaan ini sudah
tentu sangat bertentangan dengan aturan debat ilmiah seperti yang dijelaskan dalam
buku panduan penelitian ilmiah.16
7. Akulturasi Budaya Dengan Bangsa-Bangsa Lain
Umat Islam terdiri dari beberapa ras, seperti Arab, Persia, Romawi dan pengikut
agama-agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi dan yang lain. Setiap ras memiliki
ilmu dan peradaban yang berbeda dari yang lain.

16
Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 105-107

9
Ketika Islam mengikat dan melunakan hati mereka dalam saru barisan politik
serta menghilangkan segala perbedaan yang ada mereka pun saling menukar adat
istiadat, ilmu dan pengalaman hidup. Oleh karena itu fiqh Islam terus berkembang,
menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin di setiap daerah pada zaman ini,
bahkan ke semua ngeri-negeri Islam yang sangat luas.17
8. Penulisan Ilmu Dan Pernerjemah Kitab
Penulisan Ilmu pada masa Dinasti Abbasiyyah merupakan zaman dibentuknya
mazhab-mazhab fiqh, penulisan ilmu pengetahuan lebih banyak lagi, selain atas karunia
Allah juga karena keadaan yang kondusif bagi lahirnya kebangkitan ilmu. Semua ini
tentu tidak lepas dari jasa orang-orang Islam dari luar Arab, karena peradaban mereka
lalu telah mengajarkan kepada mereka bagaimana cara menulis dan membuat hasil
karya. Menulis dan membukukan sebuah ilmu merupakan salah satu cara untuk
menjaganya agar tidak hilang dan dapat dimanfaatkan orang lain, terutama para fuqaha’
yang tidak dapat lepas dari kitab tafsir, hadis, dan ushul fiqh, semua ilmu saling
menompang satu sama lain. 18
a. Penulisan Fiqh Islam
1) Dinamika Penulisan Fiqh Islam
Pesatnya perkembangan fiqh Islam pada zaman ini telah memasuki fase baru
dan metodologi yang unik dalam penulisan tentang metodologi ilmiah yang dijalankan
oleh para fuqaha’ dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Seorang faqih (ahli fiqh) menulis sendiri pendapat dan fatwanya.
b) Kemudian ia membacakannya kepada para muridnya atau menyuruh salah seorang
muridnya untuk membacakan kepada yang lain, kemudian yang lain menulis di
depan gurunya seperti yang dilakukan Imam negeri hijrah Malik bin Anas.
c) Kemudian datanglah fase di mana para murid mulai menuliskan beberapa cacatan
terhadap apa yang mereka catat dari guru dengan maksud memperjelas sebagian
hukum, menganalisis dan memberikan contohnya (Rasyad Hasan Khalil ;111).
2) Metodologi Penulisan Fiqh Islam
Ada tiga manhaj (cara) yang digunakan oleh para fuqaha’ dalam menulisan fiqh
diantaranya yaitu:

17
Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 109
18
Ibid. hal. 109-110

10
a) Menulis bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sahabat). Sebagaimana metose
penulisan kitab Al-Muwaththa’ yang ditulis Imam Malik, di mana terdapat
pencampuran hadis, atsar dan fatwa para sahabat maupun tabi’in. Metode ini
banyak diikuti oleh ahli fuqaha’ Madinah. Seperti halnya kitab Al-jami’Al-kabir
karya Sufyan Ats-Tsaur dan kitab Iktilaf Al-Hadits karya Imam Asy-Syafi’i.
b) Metode penulisan fiqh yang lepas dari hadis dan atsar (ucapan sahabat) yaitu kitab
Al-Mudawwanah, sebuah komplikasi fiqh bermazhab Maliki yang memuat
berbagai permasalahan yang dimunculkan oleh Asad bin Al-Furt, kemudian
dijawab oleh Ibnu Al Qasim dari apa yang ia hafal dari fiqhnya Imam Malik
ditambah dengan ijtihadnya sendiri jika dalam masalah itu tidak ada pendapat
Imam Malik.
c) Dengan cara menulis hukum-hukum fiqh bersamaan dengan semua dalil yang ada
kemudian dikomparasikan dengan berbagai pendapat yang ada dalam fiqh mazhab
yang lain. Kitab-kitab seperti ini kemudian dinamakan fiqh muqaranah
(komparasi) karena sebuah pebanding semestinya menghimpun semua pendapat
yang berbeda, kemudian dilakukan pengujian terhadap kekuatannya bersasarkan
daliil Alquran, sunnah, ijma’, qiyas dan yang lainnya untuk kemudian
menghasilkan pendapat yang dianggap lebih kuat. Diantara kitab yang ditulis
mengikuti gaya ini adalah kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali,
Al-Mabsuth karya Imam As-Sarakhsi, Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i yang
didiktekan kepada para muridnya setelah beliau menetap di Mesir. Kitab-kitab
fiqih yang ditulis pada zaman ini memiliki karakteristik keindahan bahasa, mudah
dipahami, makna yang sangat jelas dan tidak menyulitkan pembaca mengistinbat
hukum. Kondisi ini tidak bertahan lama karena gerak laju penulisan mengalami
penyempitan uslub (gaya), sulit di pahami dan hanya terbatas kepada orang-orang
tertentu yang dapat memahami maksudnya.19
b. Penulisan Ilmu Ushul Fiqh
Untuk pembahasan tentang penulisan ilmu ushul fiqh pada zaman ini ini yang
ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i. Seperti yang kita pahami kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh
berputar sekitar penjelasan dalil-dalil yang jadikan rujukan oleh para fuqaha’ dalam
meng-istinbat hukum syar’i dan turuq istidlal (cara menggunakan dalil). Ilmu ushul
fiqh memberi panduan bagi para fuqaha’ tentang cara berdalil dan berijtihad serta

19
Ibid, hal. 111-112

11
merumuskan jalan bagi siapa yang ingin pendapatnya bermutu, bernilai fiqih dan
aplikatif agar ia konsisten dalam menggunakan aturan yang telah ditetapkan oleh
ulama ushul fiqh dan termasuk dalam ijtihadnya.
Faktor pendorong atau motivasi Imam Asy-Syafi’i untuk menulis kitab Ar-
Risalah sebagai kitab ushul fiqh pertama adalah keprihatinan beliau ketika melihat
para ulama berselisih pendapat dalam berijtihad, cara berijtihad dan metode istinbat.20
Oleh karenanya para ulama’ menyusun ilmu yang mereka namakan “Ushul Fiqh”,
yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam melakukan
istinbath hukum. 21
9. Pembukuan As-Sunah.
Periode ini adalah masa yang mulia bagi As-Sunah. Para perawi As-Sunah
memperhatikan atas wajibnya penyusunan dan pembukuan As-Sunah dengan
mengumpulkan As-Sunnah yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan
dengan sebagian yang lain. pemikiran ini timbul pada seluruh negara-negara Islam
dalam waktu yang berdekatan sehingga tidak diketahui orang yang memperoleh
keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu. Pada tahun 140 H pada
kitab-kitab hadits yang dibukukan masih bercampur dengan kata-kata sahabat dan
tabi’in. Pada tahap ke-dua yaitu pada permulaan tahun 200 H Hadits Rasulullah mulai
dipisahkan dari kata-kata orang lain. Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan
Musnad. Persoalan As-Sunnah berakhir pada pertengahan periode ini dan As-Sunnah
telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang
membahasnya, meskipun mereka tidak meneruskannya kedalam fiqih dan tidak
memiliki kekuatan untuk ber-istinbath.22
10. Umat Islam dan Para Penguasa memiliki kesadaran hukum yang kuat
Umat Islam pada periode ini sangat kuat dalam menjaga diri agar semua
amaliyah mereka dalam bidang ibadah mu’amalah , perikatan, dan transaksi-transaksi
sesuai dengan hukum Islam. Oleh karenanya, mereka senantiasa mengembalikan
persoalan-persoalan yang bersifat umum dan detail kepada orang yang ahli dalam
hukum Islam. Begitu pula para penguasa negara dan hakim-hakim pengadilan dalam
menghadapi persengketaan-persengketaan selalu kembali kepada mufti dan tokoh-
tokoh perundang-undangan. Oleh karena itu, mujtahid pada masa itu menjadi tempat

20
Ibid, hal. 113-114
21
Ibid, hal.395
22
Hudhari Bik , Op.cit, hal. 339-341

12
bertanya yang tiada hentinya, baik dari kalangan perseorangan, para penguasa, maupun
para hakin. Oleh karena itu kesungguhan mereka terus berkembang. 23

C. Dinamika Tasyri’ Dalam Empat Madzhab Fiqih


1. Madzhab Hanafi
a. Pendiri: Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 703-767 M)
Madzhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama’ pendirinya yaitu Abu Hanifah,
yang mana nama asli beliau adalah Nu’man bin Tsabit ibn Zuthi. An-Nu’man adalah
gelar yang diberikan kepada beliau yang berarti darah atau spirit, sedangkan Hanifah
adalah gelar yang berarti ahli ibadah. Secara politik Imam Abu Hanifah hidup dalam
dua generasi, beliau lahir pada tahun 80 H/ 702 M di Kufah, Iraq; artinya beliau lahir
pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa kekuasaan ‘Abd Al-Malik bin
Marwan, dan beliau meninggal di Baghdad pada tahun 150 H/ 767 M pada masa Dinasti
Abbasiyyah.
Ayahnya adalah pedagang sutera asli Persia, yang masuk Islam pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. selain terbiasa menjual pakaian, keluarganya juga
memiliki pemahaman yang baik terhadap agama sejak ayahnya, Tsabit bertemu dengan
Ali bin Abi Thalib dan mendoakan keberkahan kepada keluarganya. Imam Abu Hanifah
juga menghafalkan Al-Qur’an seperti halnya kebanyakan orang-orang yang taat
beragama pada zaman tersebut, dan setelah hafal Al-Qur’an beliau menghafal As-
Sunnah untuk memperbaiki agamanya.24
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman
Abbasiyyah. Akan tetapi, sikap politik beliau berpihak pada alul bait keluarga Ali yang
selalu dianiaya dan selalu ditindas oleh Bani Umayyah. Ketika Yazid bin ‘Umar bin
Hubairah (Zaman Dinasti Umayyah) menjadi gubernur Iraq, Abu Hanifah diminta
menjadi hakim di pengadilan, tetapi ia menolaknya. Akibatnya beliau ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun atas pertolongan ahli cambuk, ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Makkah. Ia tinggal disana selama 6 tahun
(130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kuffah dan
menyambut kekuasaan Abbasiyyah dengan rasa gembira.

23
Prof. Abdul Wahab Khollaf,Op.cit. hal. 60
24
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 172-173; Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Op.cit.hal. 87-88

13
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga
melakukan kekerasan kepada Alul bait. Abu Hanifah tampil mengkritik Bani
Abbasiyyah, serta para hakim dan mufti pemerintah. Ketika diminta oleh Al-Manshur
untuk menjadi hakim dipengadilan, Abu Hanifah menolaknya. Akhirnya beliau
dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaannya dalam
tahanan. 25
b. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Ketika beliau sudah mulai mengenal cara mengatur hidup dengan mulai
berdagang dan mencari nafkah untuk keluarga, beliau tidak punya banyak kesempatan
untuk menemui para ulama, kecuali ketika libur. Beliau biasa berdiskusi dengan orang
lain serta berkawan dengan para petani lebah, dengan pergaulan tersebut, mereka
berhasil memberi kemampuan orasi yang baik dan fitrah yang suci kepada Imam Abu
Hanifah. Pekerjaan sebagai pedagang berhasil menenamkan dua sifat baik bagi beliau,
yaitu jauh dari para penguasa dan tidak berminat dengan jabatan.
Keadaan ini terus berlangsung hingga Imam Abu Hanifah mampu menarik
simpati dan rasa kagum para ulama atas motivasi dalam belajar dan menambah
wawasan, sehingga para ulama’ tersebut menasihati beliau untuk fokus menuntut ilmu
dan meninggalkan pekerjaan dagangnya.
Imam Abu Hanifah sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, beliau
mengawali studinya di bidang filsafat dan dialektika atau yang dikenal dengan ilmu
kalam. Namun setelah menguasai beragam kedisiplinan ilmu tersebut, beliau beralih
dan mulai mendalami fiqih dan hadits.26
c. Guru-guru Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, mengenal
seluk beluk dan wawasan mereka, kemudian beliau berguru dengan beberapa ulama
yang terkemuka pada zamannya, diantaranya yaitu; Hammad bin Sulaiman yang
merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak memberikan
pengaruh dalam membangun madzhab fiqihnya. Hammad bin Sulaiman belajar fiqih
dari Ibrahim An-Nakha’i sedangkan Imam An-Nakha’i belajar dari Alqamah An-
Nakha’i yang pernah belajar dengan Abdullah bin Mas’ud, yang merupakan seorang
sahabat terkemuka yang dikenal memeliki ilmu fiqih dan logika yang mumpuni.

25
Dr. Jaih Mubarok, Op.cit. hal. 71-72
26
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj. Dr. Nadirsyah Hawari, M.A, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2011), hal.
172-173; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 87

14
Imam Abu Hanifah juga belajar hadits dari beberapa tabi’in seperti ‘Atha’ bin
Abi Rabah, dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar. Beliau juga meriwayatkan dari
beberapa orang seperti Zaid bin Ali bin Zainal Abidin, Ja’far Ash-Shadiq, dan Abdullah
bin Hasan. Disamping itu, beliau juga belajar fiqih selama dalam perjalanan haji dengan
beberapa ulama, terutama fuqaha’ Makkah, termasuk ketika beliau mukim disana
selama enam tahun setelah beliau hijrah ke Makkah pada tahun 130 H.27
d. Metodologi Pengajaran Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah mendasarkan metode pengajarannya pada prinsip syuro
(Musyawarah). Beliau menyodorkan beberapa persoalan hukum pada murid-muridnya
untuk dibahas dan didiskusikan. Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya,
terkadang mereka setuju dan terkadang mereka tidak dan sesekali mereka bersuara
keras. Apabila mereka telah mencapai kesepakatan pemahaman dalam suatu masalah,
barulah Imam Abu Hanifah mendiktekannya kepada para murid, atau ada murid yang
menuliskan untuk beliau. Melalui pendekatan yang interatif dalam membuat ketetapan
hukum ini, bisa dikatakan bahwa Madzhab Hanafi sebagian besar adalah hasil usaha
murid-muridnya dan hasil usahanya sendiri.
Terkadang pula terdapat perbedaan diantara mereka dan tidak menemukan kata
sepakat, lalu ditulislah semua pendapat yang ada, dengan cara inilah berdiri Madzhab
Imam Abu Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi. Dari sinilah
kemudian lahirlah murid-murid Imam Abu Hanifah yang memiliki kemampuan untuk
melakukan penelitian dan Ijtihad, meskipun mereka masih dalam tahap belajar dan
menuntut ilmu.28
Mereka juga sering mendiskusikan problem hipotesis dan mencarikan solusi-
solusinya, dengan mengandaikan sebuah persoalan sebelum persoalan-persoalan itu
benar-benar terjadi. Karena mengarah pada fiqih hipotesis, yang sering mengedepankan
sebuah persoalan lewat pertanyaan “Bagaimana seandainya hal demikian terjadi?”,
mereka akhirnya dikenal sebagai kaum “Bagaimana jika” atau Ahlul Ra’yu.29
Di masanya, dalam menetapkan hukum islam, beliau dipengaruhi kondisi sosial
di Kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu hadist, disamping itu, kufah sebagai
kota yang berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah mencapai
peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan

27
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Loc.cit. hal. 173
28
Ibid. Hal. 174; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 88
29
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 88

15
yang memerlukan penetapan hukum, serta banyaknya pemalsuan hadist, sehingga
menyulitkan Imam Abu Hanifah dalam penetapan hukum, karena hakl tersebut, beliau
dalam menetapkan hukum Islam banyak menggunakan ra’yi. 30
e. Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid, ada yang tinggal beberapa waktu
untuk belajar dan jika sudah selesai merekapun pulang dengan membawa bekal dari
gurunya berupa ilmu dan fiqih. Diantara murid-murid beliau yang ber-mulazamah
(nyantri) dengan sang guru, yang termasyhur adalah:
1) Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Anshori
Beliau adalah sebesar-besarnya murid Abu Hanifah dan penolongnya yang
paling utama. Ia juga adalah orang pertama yang menyusun buku-buku menurut
madzhab Imam Abu Hanifah dan mendiktekan masalah-masalah serta menyiarkan.
Maka akhirnya tersiarlah ilmu Abu Hanifah ke penjuru bumi.
2) Zufar bin Hudzai bin Qais Al-Kufi
Beliau termasuk ahli hadits, kemudian dikalahkan oleh ra’yu. Ia juga
merupakan orang yang paling banyak menggunakan qiyas diantara murid-murid
Abu Hanifah. Ia tidak mengindahkan kemewahan dunia dan hidupnya selalu
disibukkan dengan ilmu dan mengajar sampai meninggalnya pada tahun 157 H.
3) Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani.
Diwaktu anak-anak, beliau menuntut ilmu, meriwayatkan hadits, dan belajar
dari Abu Hanifah. Setelah Abu Hanifah meninggal, selanjutnya beliau
menyempurnakan pembelajaran pada Yusuf. Beliau mempunyai akal yang cerdas,
sehingga berkembang sangat pesat dan menjadi tempat kembali ahli ra’yu.
4) Hasan bin Ziyadi Al-Lu’lui Al-Kufi maula Anshar
Beliau termasuk murid Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Beliau
menulis buku-buku tentang Madzhab Hanafi, tetapi buku-buku dan pendapat-
pendapatnya tidak dapat dianggap seperti buku-buku dan pendapat Muhammad.
Menurut Ahli Hadits, derajatnya rendah.
Dari ke-empat murid Imam Hanafi, yang paling banyak jasanya dalam
meriwayatkan hadits adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.
Mereka berdualah yang pertama kali menulis fiqih Madzhab Imam Hanifah. 31

30
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 99
31
Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, terj. Drs. Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980),
hal. 412-414

16
Karena fiqih imam ini mempunyai kedudukan tersendiri dalam madzhab, maka
para ulama Hanafiyah ketika menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-
muridnya. Mereka memberi gelar ‘Syaikhani’ kepada Imam Abu Hanifah dan Abu
Yusuf jika keduanya sepakat, sementara Imam Muhammad Asy-Syaibani menentang.
Sedangkan jika yang sepakat adalah Abu Yusuf dan Muhammad, tanpa Abu Hanifah,
mereka menamakannya sebagai ‘pendapat dua sahabat’. Adapun jika hanya dari salah
satunya, maka pendapat tersebut dinisbahkan langsung pada namanya. Sedangkan
Zufar selalu disebut dengan namanya.
Para murid Imam Abu Hanifah ini juga mempunyai murid yang menukil
pendapat Hanafi dengan membuat penjelasan, komentar, dan meringkas kitab-kitab
generasi awal madzhab ini. bahkan diantara mereka yang berhasil menggali hukum-
hukum baru yang belum pernah dikemukakan oleh guru-guru mereka. 32
f. Dasar Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki cara tersendiri dalam men-istinbath hukum yang
tidak ada sebelumnya. Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika
tidak ada maka dari sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada pada keduanya, saya akan
mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain,
dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain,
dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Syatibi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan
Sa’ad bin Al-Musayyab, maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dasar Imam Abu Hanifah
dalam meng-istinbath hukum adalah:
1) Al-Qur’an
Merupakan sumber utama syari’at Islam, dan kepadanya dikembalikan semua
hukum, dan tidak ada satu sumber hukum pun, kecuali dikembalikan kepadanya.
2) Sunnah
Sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an, menjelaskan yang global dan alat
dakwah bagi Rasulullah dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Maka
barangsiapa tidak mengamalkan sunnah, sama artinya tidak mengakui risalah
Tuhannya.
3) Ijma’ Sahabat

32
Dr. Rasyad Hasan Khalil,Op.cit. hal. 174-175

17
Alasan penggunaannya; karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah,
lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan
merekalah yang membawa ilmu Rasulullah kepada umatnya.
4) Qiyas
Beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur’an, sunnah, atau
ucapan sahabat, beliau menggali illat permasalahan yang tidak terdapat dasar
hukumnya, untuk di sama kan dengan dengan permasalahan yang sudah ada dasar
hukumnya. Jika menemukannya, ia mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan
dan menjawab masalah yang terjadi dengan menerapkan illat yang
ditemukannya. 33
5) Al-Istihsan
Secara sederhana yaitu, suatu bukti yang lebih disukai daripada bukti lainnya,
karena ia tampak lebih sesuai dengan situasimya, walaupun bukti yang digunakan
ini bisa jadi secara teknis lebih lemah daripada bukti lain yang digunakan tersebut.
Ini bisa menyangkut preferensi atau pemilihan sebuah hadits yang lebih spesifik
diatas hadits yang bersifat umum. Atau bisa juga menyangkut preferensi hukum
yang lebih tepat diatas hukum yang dirumuskan dengan qiyas.
6) Ijma’
Beliau mengakui ijma’ para ulama disemua periode sebagai hal yang valid dan
mengikat umat Islam. 34
7) Al-‘Urf
yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum Muslim yang tidak ada
nash-nya baik didalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun lainnya. Akan tetapi kebiasaan
tersebut berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash sehingga
dapat dijadikan hujjah.35
g. Peta Penyebaran Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi dapat tersebar luas di Negeri Islam bagian Timur pada abad-
abad pertengahan berkat kekuasaan Imam Abu Yusuf sebagai hakim agung di Baghdad
dan sebagai akibat pengutamaan khalifah-khalifah Abbasiyyah terhadap madzhab

33
Ibid, hal. 176
34
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 90-91
35
Dr. Rasyad Hasan Khalil,Op.cit. hal. 177

18
Hanafiah dalam lapangan pengadilan. Untuk negeri-negeri Maghribi, madzhab tersebut
dipakai sampai hampir tahun 400 H, sehingga dapat menguasai kepulauan Sisilia. 36
Selanjutnya, Madzhab Hanafi tersebar dibanyak negeri, bahkan menjadi
Madzhab resmi di Negara Iraq, terutama disekitar Sungai Eufrat, walaupun tidak begitu
dominan dalam hal ibadah. Madzhab Hanafi mulai tersebar di Kufah, kemudian ke
Baghdad, Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India, Cina, Bukhara, Kaukasus,
Afghanistan, dan Turkistan.
Hingga saat ini sebagian besar Madzhab Hanafi tersebar didaerah India,
Afganistan, Pakistan, Iraq, Syiria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname, dan juga
sebagian diantaranya berada didaerah Mesir. Madzhab ini juga masih terus menjadi
referensi dalam mengeluarkan fatwa oleh negara-negara yang pernah tunduk dibawah
pemerintahan Turki Usmani hingga sekarang. 37
2. Madzhab Maliki
a. Pendiri: Imam Malik (93-179 H / 717-801 M)
Madzhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin ‘Amir Al-Ashbahi, lahir
di Madinah pada tahun 93 H/ 717 M dari kedua orang tua keturunan Arab. Ayahnya
berasal dari Kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan Ibunya bernama Aliyah binti
Syuraik dari Kabilah Azdi.
Kakek Imam Malik adalah seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan
hadits dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin
‘Ubaidllah, dan ‘Aisyah. Imam Malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah,
kecuali untuk menunaikan ibadah haji. Ia membatasi dirinyadengan hanya mendalami
pengetahuan yang terdapat di Madinah. 38
Tidak berbeda dengan Imam Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama dua
zaman. Ia lahir pada zaman Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Walid
bin ‘Abd Al-Malik, dan meninggal pada zaman Bani Abbasiyyah, tepatnya pada zaman
Harun Ar-Rasyid. Beliau sempat merasakan masa pemerintahan Bani Umayyah selama
40 tahun dan Bani Abbasiyyah selama 46 tahun.
Imam Malik menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman
pemerintah pada waktu itu. Beliau tidak memihak kepada pemberontak maupun
pemerintah. Tidak memihak kepada pemberontak karena menurut beliau, keadaan tidak

36
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1970), hal. 152
37
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Loc.cit. hal. 177
38
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 93; Dr. Rasyad Hasan Khalil, Loc.cit.hal. 178

19
dapat diperbaiki dengan pemberontakan, dan beliau tidak berpihak kepada pemerintah
karena beliau telah menyaksikan pemerintah sering melakukan penindasan terhadap
lawan politiknya, seperti terhadap keturunan ‘Ali bin Abi Thalib pada zaman Dinasti
Umayyah. 39
Pada tahun 764 M Imam Malik ditangkap dan dianiaya atas perintah Amir
Madinah, karena mengeluarkan ketetapan hukum bahwa perceraian yang dipaksa
adalah tidak sah. Ketetapan ini dianggap bertentangan dengan praktik para penguasa
Abbasiyyah. Imam Malik diikat dan dipukul sampai bahunya rusak, hingga beliau tidak
mampu berpegangan pada dadanya (bersedekap) ketika sholat.
Imam Malik melanjutkan mengajar haits di Madinah selama lebih dari 40
tahunsambil menyusun buku yang memuat hadits-hadits Nabi dan Atsar para sahabat
dan tabi’in yang beliau namai dengan Al-Muwatha’. Beliau mulai mengumpulkan
hadits-hadits tersebut atas perintah dari Khalifah Abbasiyyah, Abu Ja’far Al-Mansur
yang menginginkan sebuah kitab undang-undang hukum yang komprehensif yang
didasarkan pada Sunnah Nabi, yang bisa diterapkan secara seragam diseluruh wilayah
pemerintahannya. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, Imam Malik menolak
memaksakannya kepada umat, dengan alasan bahwasannya para sahabat telah
menyebar diberbagai wilayah pemerintahan dan memiliki sebagian Sunnah Nabi
lainnya yang juga dianggap sebagai hukum yang bisa berlaku diseluruh wilayah
kerajaan. Khalifah Harun Ar-Rasyid juga melakukan permintaan yang sama, akan tetapi
beliau juga menolaknya. Imam Malik meninggal dikota tempat dimana beliau
dilahirkan pada tahun 801 M/179 H dalam usia 83 tahun. 40
b. Pendidikan Imam Malik
Imam Malik sudah menghafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, berguru
pada Rabi’ah Ar-Ra’yi ketika beliau masih sangat muda. Beliau berpindah dari satu
ulama ke ulama yang lain untuk mencari ilmu, sampai beliau bertemu dan ber-
mizalamah dengan Abdurrahman bin Hurmuz.
Imam Malik sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu apapun, meskipun
beliau bukan termasuk orang yang kaya. Akan tetapi semua yang dimilikinya digunakan
untuk mencari ilmu, sampai beliau menjual atap rumahnya sebagai bekal untuk mencari

39
Dr. Jaih Mubarok, Op.cit, hal.79
40
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 94

20
ilmu. Beliau sangat penyabar terhadap sikap keras dari para urunya, mendatangi mereka
disaat teriknya matahari dan sejuknya udara.
Beliau mengawali pembelajarannya dengan menekuni ilmu riwayat hadits,
mempelajari fatwa para sahabat, dan dengan inilah beliau membangun
madzhabnya.tidak sebatas itu, beliau juga mengkaji setiap ilmu yang ada hubungannya
dengan ilmu syari’at.41
c. Guru-Guru Imam Maliki
Imam Malik mendapatkan ilm fiqih dan hadits dari para gurunya, diantara guru-
guru beliau yang masyhur adalah;
Abdurrahman bin Hurmuz, beliau adalah seorang tabi’in yang ahli dalam hal
qira’at dan ahli hadits, beliau meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-
Khudhri, dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Imam Malik tinggal bersama Abdurrahman
bin Hurmuz dalam waktu yang lama dan tidak bergaul dengan orang-orang lain.
Selain itu, beliau juga belajar hadits pada Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, Ibnu Syihab
Az-Zuhri, dan Abu Zanad bin Dzakwan. Adapun guru beliau dalam bidang fiqih adalah
Yahya bin Sa’id, darinya beliau belajar ilmu fiqih dan periwayatan, serta beliau juga
belajar kepada Abdullah bin Abdurrahman dalam bidang fiqih logika yang sangat
ternama, sehingga beliau dijuluki ‘Rabi’ah logika’.
Perlu kita ketahui, bahwa semua guru Imam Malik telah merepresentasikan
semua disiplin ilmu; fiqih logika, hadits, dan ucapan sahabat. Imam Malik berguru dari
mereka semua, sehingga ia menjadi ahli fiqih dan hadits, bisa berfatwa, dan melayani
semua permasalahan. 42
d. Metode Pengajaran Imam Maliki
Imam Maliki memiliki dua majelis taklim yaitu; majelis hadits dan majelis
fatwa. Beliau membuat jadwal khusus untuk fatwa dan hadits. Adapun metode
pengajaran yang dilakukan Imam Malik didasarkan pada ungkapan hadits dan
pembahasan atas makna-maknanya, kemudian dikaitkan dengan konteks permasalahan
yang ada pada saat itu.
Beliau juga meriwayatkan kepada murid-muridnya berbagai hadits dan atsar
atas dasar berbagai topik hukum Islam dan kemudian mendiskusikan implikasi-
implikasinya. Kadangkala beliau meneliti masalah-masalah yang sedang terjadi

41
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 179
42
Ibid, hal. 180; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 95

21
ditempat para murid-muridnya berasal, kemudian mencarikan hadits-hadits atau atsar-
atsar yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, beliau tidak mau
menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu jawabannya. Jika beliau tidak dapat
memastikan hukum suatu masalah, beliau akan mengatakan tidak tahu, agar terlepas
dari salah fatwa, tidak tergesa-gesa dalam menjawab, dan berkata kepada si penanya
“Pergilah nanti saya lihat dahuli !”. Dalam memberikan fatwa, beliau hanya akan
menjawab masalah yang sudah terjadi, dan tidak melayani masalah yang belum terjadi,
meskipun ada kemungkinan untuk terjadi. Imam Malik tidak pernah menganggap
remeh atau susah masalah yang ditanyakan kepada beliau, akan tetapi semua dianggap
berat, terlebih jika permaslahan tersebut menyangkut halal dan haram.
Setelah penyusunan Al-Muwattha’ selesai, Imam Malik menjelaskan kitab
tersebut kepada murid-muridnya sebagai madzhabnya, namun ia akan selalu
menambahkan didalamnya ketika ada informasi beru yang sampai kepadanya. Imam
Malik sangat menghindari spekulasi dan fiqih hipotesis, sehingga madzhabnya dan para
pengikutnya dikenal sebagai Ahlul Hadits.43
Tiga hal yang menyebabkan Madzhab Maliki berbeda dengan Madzhab Hanafi;
Pertama, banyak pendapat-pendapatnya oleh Imam Malik sendiri di Kota kelahirannya
dengan disertai alasan-alasannya dan dengan demikian maka kita bisa melihat dengan
jelas dasar-dasar madzhab beliau, sebagaimana dapat kita lihat dari kitabnya
muwattha’.
Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya, sumbangan dari
para muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar
yang ditetapkan Imam Malik, dan oleh karena itu, murid-murid Imam Malik termasuk
dalam tingkatan mujtahid madzhab. Lain halnya dengan Madzhab Hanafi yang
merupakan hasil penelitian bersama dan pendapat-pendapat berbagai fuqaha’ telah
telah ikut serta membina madzhab tersebut, oleh karenanya mereka termasuk dalam
tingkatan mujtahid mutlak.
Ketiga, Madzhab Maliki banyak sekali menerima ijma’ sahabat dan tabi’in
sebagai salah satu dasar dalam penetapan hukum, sedangkan Madzhab Hanafi tidak
terdapat hal demikian. 44

43
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Ibid, hal. 180-181; Abu Ameenah Bilal Philips, Ibid. hal. 95-96
44
Ahmad Hanafi, MA, Loc.cit, hal. 152-153

22
e. Murid-Murid Imam Malik
Lamanya beliau tinggal di Madinah dan ketokohannya dalam bidang fiqih telah
memberi andil besar bagi tersebarnya madzhab beliau dan banyaknya murid yang
datang untuk belajar dari segala penjuru negeri Islam, diantaranya dari; Syam, Iraq,
Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Dari merekalah madzhab beliau kemudian
menyebar keseluruh negeri Islam.
Diantara muridnya yang masyhur adalah; Abdullah bin Wahab yang berguru
kepada Imam Malik selama 20 tahun dan menyebarkan Madzhab Maliki di Mesir dan
Maroko. Imam Malik sangat menghormati dan mengagumi beliau dan sering menulis
surat kepadanya ke Mesir dan menjulikinya sebagai faqih Mesir, wafat pada tahun 197
Hijriyah.
Diantara muridnya yang lain adalah Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Mishry,
memiliki peranan penting dalam menulis Madzhab Imam Malik, berguru kepada Imam
Malik selama kurang lebih juga 20 tahun. Meriwayatkan kitab Al-Muwattaha’ dan
periwayatannya termasuk yang paling shohih. Wafat pada tahun 192 H.
Selain keduanya yang masyhur adalah; Asyhab bin ‘Abdul ‘AzizmAl-Qaisi,
rujukan kaum Muslimin di Mesir dan Tunisia dalam bidang fiqih. Wafat pada tahun
224 H. Selain itu ada juga Abu Hasan Al-Qurthubiy, belajar kitab Al-Muwattha’ secara
langsung kapada Imam Malik dan menyebarkannya di Andalusia. Selain murid-murid
yang disebutkan tersebut, masih banyak lagi murid-murid beliau yang berasal dari
berbagai penjuru negara. 45
f. Dasar Madzhab Imam Malik
Imam Malik tidak pernah menuliskan dasar dan kaidah madzhabnya dalam ber-
istinbath serta manhaj-nya dalam ber-ijtihad walaupun beliau pernah mengatakan atau
meng-isyaratkannya. Berdasarkan penjelasan dan isyarat Imam Malik serta hasil
istinbath para fuqaha’ madzhab dari berbagai masalah furu’iyyah yang dinukilkan dan
juga pendapat yang ada dalam kitab Al-Muwattha’ dapat kami simpulkan bahwa dasar
madzhab Imam Malik adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam yang lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan
persyaratan apapun dalam penerapannya.

45
Dr. Rasyad Hasan Khalil, op.cit, hal. 181-182

23
2) Sunnah
Imam Malik dalam meng-istinbatkan hukum dari sunnah adalah mengambil
hadits mutawattir, hadits masyhur di zaman tabi’in atau tabi’ tabi’in, sedangkan
mengenai hadits ahad, beliau lebih mengutamakan perbuatan penduduk Madinah
atas hadits adah jika terjadi perlawanan diantara keduanya.
3) Amalan Penduduk Madinah
Imam Malik berpandangan bahwa, karena sebagian besar Masyarakat Madinah
merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjafi tempat
Rasulullah SAW menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnnya, maka praktik yang
dilakukan semua Masyarakat Madinah pasti diperbolehkan, atau justru malah di
anjurkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya Imam Malik menganggap praktik
umum Masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik, yang
diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata, dengan demikian maka
perbuatan penduduk Madinah lebih kuat dari pada hadits ahad.
4) Ijma’ Sahabat
Seperti halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik memandang ijma’ sahabat, dan
juga ijma’ para ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga jika memang tidak
ada nash dalam suatu permasalahan.
5) Qiyas
Imam Malik sebagaimana Imam Hanafi, juga menggunakan qiyas dengan
makna istilah dalam menggali hukum, yaitu menggabungkan hukum satu
masalahyang tidak ada nash-nya dengan masalah yang sudah ada nash-nyakarena
ada persamaan dalam aspek illat-nya. Namun demikian, beliau sangat berhati-hati
dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti
itu.
6) Istihsan dan Al-Mashalih Al-Mursalah (Istislah)
Prinsip istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah juga diterapkan
oleh Imam Malik dan murid-muridnya. Hanya saja mereka menyebutnya istislah,
istislah, yang secara sederhana berarti mencari sesuatu yang lebih sesuai
(maslahat). Istihsanberkaitan dengan hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan
manusia, tetapi tidak disebutkan oleh syari’ah secara khusus.
Imam Malik juga menerapkan prinsip istislah untuk merumuskan hukum-
hukum, guna menyesuaikan dengan kebutuhan yang muncul dalam situasi aktual
daripada yang dirumuskan dengan qiyas.

24
7) Syadd Adz-Dzara’i
Dasar ini dapat dilihat dalam banyak masalah furu’iyyah yang dinukil dari Imam
Malik. Maksud dari saddu dzara’i adalah sesuatu yang mengakibatkan perbuatan
haram adalah haram, dan yang dapat membawa kepada yang halal maka hukumnya
halal sesuai dengan ukurannya. Dan setiap yang dapat membawa kerusakan maka
haram hukumnya.
8) Al-‘Urf
Seperti halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga memanfaatkan adat-
istiadatdan kebiasaan-kebuasaan sosial yang beragam dari masyarakat di berbagai
wilayah Islam sebagai sumber hukum skunder, sepanjang hal itu tidak berlawanan
dengan syari’ah.46
g. Peta Penyebaran Madzhab Maliki
Perkembangan Madzhab Maliki tidak dapat lepas dari jasa para murid yang
telah meriwayatkan dan menyebarkan madzhabnya setelah beliau wafat. Mereka
berhasil memperluas pembahasan, manhaj, dan perinciannya.
Madzhab Imam Maliki tersebar di negeri Hijaz, karena disitulah ia lahir dan
berkembang. Selain itu juga tersebar di Mesir ketika sang imam masih hidup, di
Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, Torablus dan Sudan, dan dominan di Bashrah dan
Baghdad dari waktu ke waktu.
Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir,
Sudan, Afrika Utara (Tunisia, Aljazair, dan Maroko), Afrika Barat (Mali, Nigeria,
Chad, dll), dan negara-negara Arab (Kuwait, Qatar, dan Bahrain).
Salah satu faktor utama bagi tersebarnya Madzhab Maliki di negara-negara
Islam adalah Kitab Al-Muwattha’. Hasil karya sang imam tersebut telah membuat
madzhabnya terkenal sejauh negeri Islam membentang, terlebih ia ditulis pada zaman
yang tidak mudah untu melakukan itu, mengingat sulitnya sarana pendukung ketika
itu.47

3. Mazhab Syafi’i
a. Pendiri : Imam Syafi’i (150 H/ 769 M – 204 H/ 820M)

46
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Ibid, hal. 182-183; Abu Ameenah Bilal Philips, Ibid. hal. 96-99
47
Ibid, Dr. Rasyad Hasan Khalil, hal 184; Abu Ameenah Bilal Philips, hal. 100-101

25
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Usman
bin Syafi’i Al-Hasimi Al-Muthalabi dari keturunan Bani Muthalib bin Abdul Manaf.
Beliau dan Rasulullah SAW bertemu pada kakeknya Abdul Manaf. Beliau dilahirkan
di kota Ghaza wilayah Negara Syiria pada tahun 150 Hijriah / 769 Masehi.48 Beliau
wafat di Mesir pada tahun 204 Hijriah pada masa pemerintahan Khalfah Al-Ma’mun
(berkuasa, 813-832 M).
b. Pendidikan Imam Syafi’i
Menginjak masa remaja ia kemudia berangkat ke Madinah untuk belajar Ilmu
Fiqh dan Hadis kepada Imam Malik. Imam Syafi’i sanggup menghapal keselurahan
isi karya Imam Malik, Al-Muwattha’, dan melisankannya lagi dengan sempurna.
Imam Syafi’i terus belajar dibawah bimbingan Imam Malik hingga gurunya tersebut
wafat pada tahun 801 Masehi. Kemudian ia berangkat ke Yaman dan mengajar disana.
Imam Syafi’i terus berdiam di Yaman sampai kemudian, pada tahun 805 Masehi, ia
dituduh condong kepada sekte Syiah dan dibawa kepada khalifah Abbasiyah, Harun
Al-Rasyid, (berkuasa pada tahun 786-809 M) di Iraq, sebagai seorang terpidana.
Untungnya ia mampu membuktikan kebenaran pendapat-pendapatnya sehingga ia
terbebas dari hukuman. Imam Syafi’i tetap tinggal di Iraq dan belajar sebentar kepada
Imam Muhammad bin Hasan, salah seorang murid terkemuka Imam Abu Hanifah.
Berikutnya Ima Syafi’i berangkat Mesir dengan tujuan hendak belajar kepada Imam
al-Laits, tetapi sebelum ia sampai di mesir, Imam al-Laits wafat. Meski demikian ia
tetap bisa mendalami Mazhab Laitsi lewat para muridnya. 49
c. Metodologi Pengajaran Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengkombinasikan Fiqh Hijaz (Mazhab Maliki) dengan Fiqh Iraq
(Mazhab Hanafi) dan menciptakan Mazhab baru yang ia diktekan kepada murid-
muridnya dalam bentuk buku yang dinamakan Al-Hujjah (bukti). Pendiktean ini
berlangsung di Iraq pada tahun 810 Masehi dan sejumlah murid-muridnya
menghafalkannya dan menyampaikannya pada orang lain. Buku dan keulamaan ini
disebut sebagai Mazhab Qadim untuk membedakannya dengan periode keulamaannya
yang kedua yang berlangsung setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir. Di Mesir ia
menyerap Fiqh dari Imam Al-Laits bin Sa’d dan mendiktekan Mazhab Jadid kepada
murid-muridnya dalam bukunya yang lain, Al-Umm. Karena penjelajahannya yang

48
Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fiqh Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur: 2003, hal.151.
49
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 109.

26
benar-benar atas serangkaian hadits dan dalil-dalil hukum, dalam Mazhab Jadid,
Imam Syafi’i banyak merivisi pendapat-pendapat hukumnya yang ia tetapkan saat
berada di Iraq. Imam Syafi’i memiliki perbedaan dengan periode keulamaannya yang
pertama dalam mensistematisasikan prinsip-prinsip dasar Fiqh yang ia tulis dalam
bukunya yang berjudul Ar-Risalah. 50
d. Murid-murid Imam Syafi’i
Murid-murid utama Imam Syafi’i yang meneruskan pemikiran-pemikirannya
adalah: Imam Muzani, Imam Rabi’ dan Imam Yusuf bin Yahya.
1) Imam Muzani (791-876 M)
Nama lengkap Imam Muzani adalah Ismail bin Yahya Al-Muzani. Ia merupakan
pengikut setia Imam Syafi’i selama beliau tinggal di Mesir. Imam Muzani tercatat
sebagai penulis buku yang mengumpulkan secara komprehensif mengenai fiqh
Imam Syafi’i. Berikutnya, ulasan tersebut terkumpul dan dibukukan dengan judul
fiqh Mazhab Syafi’i yang paling banyak dikaji.
2) Imam Rabi’ Al-Maradi (790-873 M)
Imam Rabi’ tercata sebagai narator utama buku Imam Syafi’i, yaitu Al-Umm.
Imam Rabi’ menulisnya di sepanjang masa hidup Imam Syafi’i bersama-sama
dengan buku Ar-Risalah dan buku-buku lainnya.
3) Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
Yusuf bin Yahya menggantikan posisi Imam Syafi’i sebagai guru utama Mazhab
Syafi’i. Ia dipenjara dan disiksa hingga wafat di Baghdad karena menolak
pandangan resmi Filsafat Mu’tazilah perihal kemakhlukan Al-Qur’an.51
e. Dasar Mazhab Imam Syafi’i
1) Al-Qur’an
Imam Syafi’i bersandar pada Al-Qur’an seketat para Imam sebelumnya yang
hanya menambah pandangan-pandangan baru di dalamnya setelah melalui
pengkajian yang mendalam terhadap makna ayat-ayatnya.
2) Sunnah
Imam Syafi’i hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima sebuah
hadis, yaitu hadis tersebut harus shahih. Ia menolak semua persyaratan lainnya

50
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh Analisis Historis Atas Mazhab, Doktrin dan
Kontribusi, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung: 2005, hal. 110.
51
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.112.

27
sebagaimana diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam Syafi’i
tercatat memiliki sumbangan yang besar sekali dalam bidang ilmu kritik hadis.
3) Ijma’
Meskipun Imam Syafi’i memiliki keragu-raguan yang serius mengenai
kemungkinan Ijma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa
kasus dimana Ijma’ tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok
hukum Islam urutan ketiga.
4) Pendapat individual sahabat
Imam Syafi’i menaruh kepercayaan atas pendapat individual sahabat dengan
catatan pendapat tersebut antara satu dengan yang lainnya tidak bervariasi. Jika
ada pertentangan pendapat di dalamnya, sebagaimana Imam Abu Hanifah, ia akan
memilih pendapat yang paling dengan sumbernya dan mengabaikan yang lainnya.
5) Qiyas
Dalam pandngan Imam Syafi’i, Qiyas merupakan metode yang sah dalam
merumuskan hukum lebih lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnya. Meski
demikian, ia menempatkan pada posisi terakhir, dengan memandang pendapat
pribadinya berada di bawah dalil-dalil yang didasarkan atas pendapat para
sahabat.
6) Istishab
Istishab secara literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara hukum,
istishab merujuk pada proses permusuhan hukum-hukum Fiqh dengan
mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan
sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum Fiqh bisa
diaplikasikan pada kondisi-kondisi tertentu yang tetap sah sepanjang
persyaratannya tidak berubah.52
f. Peta Penyebaran Mazhab Imam Syafi’i
Mayoritas pengikut Mazhab Syafi’i saat ini terdapat di Mesir, Arab bagian
selatan (Yaman, Hadramaut), Srilangka, Indonesia, Malaysia, Afrika bagian timur
(Kenya, Tanzania), dan Suriname di Amerika Serikat.
4. Madzhab Hambali
a. Pendiri : Imam Ahmad bin Hambal (164 H / 778 M–241 H / 855 M)

52
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.110

28
Nama lengkap dari pendiri Madzhab Imam Hambali adalah Ahmad bin
Muhammad bin Hambal al-Syabani al-Marzawi. Beliau dihirkan di Marwa pada tahun
164 H/ 778 M dan wafat pada tahun 241 H/ 855 M di Baghdad, Iraq.53Imam Hambali
termasuk salah satu diantara Ulama-ulama yang terkenal kuat daya hapalannya dan
seorang perawi hadis terkemuka pada masanya. Dengan memusatkan pada studi hadis,
Imam Hambali menggeluti ilmu hadits dan fiqh dibawah bimbingan Imam Abu Yusuf,
murid termashur Imam Abu Hanifah, juga kepada Imam Syafi’i.
Imam Hambali mengalami serangkaian hukuman dan penganiayaan di bawah para
khalifah pada masanya karena pengadopsian mereka terhadap Filsafat Mu’tazilah. Ia
dipenjara dan dianiaya selama dua tahun atas perintah Khalifah Al-Ma’mun (berkuasa
813-842 M), karena penolakannya terhadap konsep Filosofis Mu’tazilah bahwa Al-
Qur’an adalah makhluk. Sesudah dibebaskan, Imam Hambali mengajar di Baghdad
sampai Al-Watiq menjadi Khalifah (berkuasa 842-846 M) dan memperbaharui
hukumnya. 54
b. Pendidikan Imam Hambali
Imam Ahmad mengadakan perjalanan/mengembara ke Kufah, Basrah, Makkah,
Madinah, Syiria dan Yaman. Beliau meriwayatkan hadits dari Hasyim. Ibrahin bin
Sa’ad, Sufyan bin Uyanah dan dari yang lainnya. Belajar Fiqh pada Imam Syafi’i ketika
datang/ada di Baghdad, Ahmad termasuk murid Syaf’i yang tertua yang berkebangsaan
Baghdad dimana di kemudian hari ia menjadi mujtahid mustaqil (yang independen).
Beliau melebihi dari kawan-kawannya dalam menghafal Sunnah Nabi SAW,
memeliharanya dan mengumpulkannya percerai-berainya.
c. Metodologi pengajaran Imam Hambali
Perhatian utama Imam Ahmad bin Hambal adalah pengumpulan, periwayatan,
dan interpretasi hadis. Metodi pengajarannya melalui pendiktean hadits-hadits dari
koleksi lengkapnya yang dikenal sebagai Al-Musnad, yang memuat lebih dari 30.000
Hadits, dan juga berdasarkan berbagai pendapat dari sahabat berkaitan dengan
interpretasi mereka. Berikutnya, Imam Hambali menerapkan hadits-hadits atau fatwa-
fatwa para sahabat tersebut terhadap problem yang ada. Jika tidak menemukan hadits-
hadits atau pendapat-pendapat dari sahabat yang sesuai untuk memecahkan suatu

53
Roibin, Dimensi-dimensi Sosio-Antropologis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasa Sejarah, cet. 1, (Malang:
UIN-PRESS, 2010), hal. 80

54
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.114

29
persoalan, Ima Hambali menawarkan pendapatnya sendiri dengan tetap melarang
murid-muridnya untuk mencatat solusi yang ia tawarkan. Sebagai akibatnya,
Mazhabnya dicatat, bukan oleh murid-muridnya, tetapi oleh para murid dari murid-
muridnya tersebut.55
d. Murid-murid utama Imam Ahmad bin Hambal
Murid-murid utama Imam Hambali adalah dua orang putranya, yaitu Salih (wafat
tahun 873 M) dan Abdullah (wafat tahun 903 M). Imam Bukhari dan Muslim, pengimpul
hadits yang termasyhur, adalah termasuk diantara para ulama besar hadis yan pernah
belajar di bawah bimbingan Imam Hambali.
e. Dasar-dasar Madzhab Imam Hambali
1) Al-Qur’an
Tidak ada perbedaan cara Imam Hambali memandang Al-Qur’an dengan yang
dilakukan oleh para Imam sebelumnya. Dengan kata lain, Al-Qur’an diberi kedudukannya
paling tinggi mengatasi semua sumber hukum lainnya untuk semua keadaan.
2) Sunnah
Demikian juga Sunnah Nabi SAW menempati posisi kedua di antara prinsip-prinsip
dasar yang digunakan oleh pendiri Mazhab Hambali ini dalam proses pengambilan hukum.
Satu-satunya persyaratan adalah bahwa Sunnah atau Hadits yang digunakan harus Marfu’,
yakni diatributkan langsung kepada Nabi SAW.
3) Ijma’ Sahabat
Imam Hambali mengakui Ijma’ para sahabat, dan menempatkannya sebagai sumber
hukum pada posisi ketiga diantara prinsip-prinsip dasar lainnya. Namun demikian, ia
mengesampingkan Ijma’ diluar era para sahabat dan memandangnya sebagai Ijma’ yang
tidak akurat, dengan alasan terlalu banyaknya jumlah para ulama dan terpencar-pencarnya
mereka di sepanjang imperium Islam. Dalam pandangan Imam Hambali, Ijma’ sesudah
berlalunya era sahabat adalah sesuatu yang mustahil.
4) Pendapat Individual Sahabat
Jika sebuah persoalan muncul dalam wilayah di mana para sahabat telah
mengungkapkan pendapatnya yang saling bertentangan, sebagaimana Imam Malik, Imam
Hambali mempercayai semua pendapat individu para sahabat yang beraneka ragam itu.

55
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.114

30
Oleh karenanya, sebagai konsekuensinya, dalam mazhabnya berkembang banyak hal
mengenai ketetapan hukum yang beragam mengenai kasus-kasus individual.
5) Hadits Da’if
Untuk ketetapan hukum atas suatu kasus dimana tidak ada satu pun dari empat
prinsip di atas yang bisa menawarkan solusi, Imam Hambali cenderung menggunakan
Hadits da’if daripada menggunakan Qiyas. Namun demikian, ini harus dengan syarat
Da’if-nya hadits bukan karena adanya fakta bahwa salah satu dari para perawinya adalah
orang Fasik atau Kazab.
6) Qiyas
Sebagai jalan terakhir, yaitu ketika sejumlah prinsip-prinsip di atas tidak bisa
diterapkan secara langsung, Imam Hambali secara enggan menerapkan prinsip Qiyas dan
mengambil solusidengan bersandar pada satu atau lebih prinsip-prinsip sebelumnya. 56
f. Peta Penyebaran Mazhab Hambali
Sebagian besar pengikut Mazhab Hambali tersebar di Palestina dan Saudi Arabia. Tetap
eksisnya Mazhab Hambali di Saudi Arabia, sesudah hampir tidak ditemukan lagi di negeri
muslim manapun, adalah karena adanya fakta bahwa pendiri yang di namakan Gerakan
Revivalis, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, pernah belajar kepada para Ulama yang
menganut Mazhab Hambali, dan dengan demikian secara tidak resmi menjadi Mazhab Fiqh
dan Gerakan Revivalis tersebut. Ketika Abdul Aziz bin Sa’ud merebut sebagian besar
semenanjung Arabia dan mendirikan Dinasti Sa’ud, ia menjadikan Mazhab Hambali sebagai
dasar dari sistem hukum kerajaan. 57

D. Contoh Para Ulama Membangun Madzhab Dalam Penerapan Tasyri’

Madzhab dalam penerapan tasyri' atau hukum Islam adalah hasil dari proses
pengembangan dan interpretasi hukum-hukum Islam oleh para ulama. Berikut ini beberapa
contoh bagaimana para ulama membentuk madzhab dalam penerapan tasyri':

56
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.115
57
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.117

31
1. Ijtihad: Para ulama melakukan ijtihad atau upaya penafsiran dan deduksi hukum-
hukum Islam dari sumber-sumber utamanya, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka
memperhatikan konteks historis, budaya, dan sosial dalam memahami hukum-hukum
tersebut.
2. Studi Kritis Hadis: Dalam pembentukan madzhab, para ulama melakukan studi kritis
terhadap hadis-hadis yang menjadi sumber hukum Islam. Mereka menguji keaslian dan
keabsahan hadis serta mengklasifikasikannya berdasarkan tingkat kepercayaan.
3. Mempertimbangkan Qiyas: Qiyas merupakan metode analogi di mana hukum baru
dapat diterapkan berdasarkan kesamaan dengan hukum yang sudah ada dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Para ulama menggunakan qiyas untuk memecahkan masalah-masalah baru
yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam sumber-sumber utama.
4. Mengintegrasikan Maslahah: Maslahah atau kemaslahatan umat merupakan prinsip
yang dijadikan pertimbangan dalam pembentukan hukum Islam. Para ulama
mempertimbangkan kemaslahatan umum dalam menetapkan hukum-hukum baru agar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
5. Mengakomodasi Perbedaan Masyarakat: Para ulama memahami bahwa masyarakat
memiliki keberagaman budaya dan sosial. Oleh karena itu, mereka menciptakan ruang untuk
variasi dan perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum Islam, yang tercermin
dalam berbagai madzhab yang ada.
6. Mewariskan Ilmu: Tradisi keilmuan Islam mendorong para ulama untuk mewariskan
ilmu pengetahuan kepada generasi berikutnya. Mereka menuliskan karya-karya hukum dan
memberikan pelatihan kepada para murid agar dapat melanjutkan tradisi keilmuan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa para ulama memainkan peran penting
dalam pembentukan madzhab dalam penerapan tasyri'. Mereka menggunakan berbagai
metode interpretasi dan pertimbangan untuk menghasilkan hukum-hukum Islam yang
relevan dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks kehidupan.

32
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah tentang dinamika tasyri' pada masa ulama pembangun
madzhab adalah bahwa periode awal abad kedua hingga pertengahan abad keempat Hijriyah
menjadi periode penting dalam perkembangan fiqih Islam. Faktor-faktor seperti perhatian
khalifah dinasti abbasiyah terhadap fiqh, banyaknya peristiwa yang terjadi, perhatian dan
semangat tinggi untuk mndidik para penguasa dengan pendidikan islam, bertambanhnya
penghafal al Qur'an, maraknya diskusi dan debat ilmiah di antara para fuqaha, dan
akulturasi bangsa dengan bangsa lain menjadi pemicu kemajuan fiqih pada masa itu.
Para ulama pembangun madzhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, mewariskan pendekatan-pendekatan metodologi yang
berbeda dalam memahami dan menerapkan syariat Islam. Mereka memadukan nalar, dalil-
dalil Quran dan hadis, serta konteks sosial dan budaya dalam merumuskan hukum-hukum
Islam.
Contoh konkrit dari bagaimana para ulama membangun madzhab adalah melalui proses
ijtihad yang sistematis, kajian mendalam terhadap sumber-sumber hukum Islam, serta
mempertimbangkan maslahah ummah (kepentingan umat) dalam pengambilan keputusan
hukum. Dengan demikian, madzhab-madzhab tersebut menjadi panduan bagi umat Islam
dalam menghadapi berbagai permasalahan hukum dalam kehidupan sehari-hari.

33
DAFTAR PUSTAKA

Taqqush, Muhammad Suhail. 1430 H/2009 M. Tarikh al-Dawlah al-Abbasiyyah (Sejarah


Dinasti Abbasiyah). Beirut, Lebanon: Dar al-Waqfeya lil-Thiqafah wal-Nashr.

Magluth, Sami bin Abdullah bin Ahmad. 2012. Atlas Tarikh Al-Dawlah Al-Abbasiyah
(Mulon). Riyadh: Dar Al-Waqfeya Lil-Turath.

Al-Suli, Muhammad bin Yahya. Akhbar al-Radi bi-llah wa al-Muta'li bi-llah aw Tarikh al-
Dawlah al-Abbasiyyah. Beirut: Dar al-Masirah, 1979.

Ibnu 'Abd al-Hadi al-Hanbali, Syams al-Din Muhammad b. Ahmad al-Maqdisi. (1416).
Manāqib al-aʼimmah al-arbaʻah. Beirut: Dar al-Mu'ayyad.

Al-Baqillani, Muhammad bin al-Tayyib Abu Bakar. Keutamaan empat imam. Waqfeya.net,
2024. Web. 18 Maret 2024.

Al-Maqdisi, Syams al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Abd al-Hadi. Keutamaan empat
imam. Waqfeya.net, 2008. Web. 18 Maret 2024.

Timur Pasha, Ahmad. (1994). Tinjauan sejarah munculnya empat mazhab dan penyebarannya
di kalangan mayoritas umat Islam. Mesir : Abu Zahrah, Muhammad Dar Al-Qadri

Abu Zahra, Muhammad. (1979). Maḥādirāt fī tārīkh al-madhāhib al-fiqhiyyah. Kairo: Dar al-
Qalam

34

Anda mungkin juga menyukai