Anda di halaman 1dari 16

PEMBENTUKAN MADZHAB-MADZHAB

FIQIH`

NAMA : ASHA WARDANA (XII IPS)

PEMBIMBING : UST. HAMDANI RANGKUTI

MADRASAH ALIYAH BAHRUL ULUM AL-ISLAMIY


PANTAI RAJA, KAMPAR
TA/2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat
taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Dan tak lupa pula salawat serta salam
kami haturkan kepangkuan baginda nabi besar Muhammad Saw, karena berkat
perjuangan dan usaha beliau kita semua dapat menikmati islam dengan sebaik-
baiknya agama.
Syukur alhamdulillah munaqosah ini bisa selesai tepat pada waktunya.
Didalam munaqosah ini kami akan membahas tentang “Pembentukan Madzhab-
Madzhab Fiqh”. Dengan rendah hati, saya ingin menyampaikan beribu maaf
apabila terjadi kesalahan dan kekeliruan pada penulisan makalah ini. Kami juga
mohon kritik dan sarannya dalam penyempurnaan makalah ini, karena kami
masih dalam tahap belajar.
Akhirul kalam jazakumullahu khairon ,wassalam.

Pekanbaru,4 April 2021

Penyusun

Asha wardana
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian madzhab


a. Titik tolak atau sejarah pembentukan madzhab
b. Factor – factor yang menimbulkan madzhab
2.2 Macam – macam madzhab
2.3 Dasar – dasar madzhab

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan


penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih
menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal
tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan
kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari
perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame
work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi
karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.

Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam,


dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan
-- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke
masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah
kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan
sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam
berikutnya

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan mazhab


2. Apa saja titik tolak atau sejarah pembentukan mazhab
3. Apa saja factor-faktor yang menimbulkan mazhab
4. Apa saja macam-macam mazhab
5. Apa saja dasar-dasar mazhab
6. Siapa saja imam-imam mazhab
1.3 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita khususnya para
mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang :

1. pengertian mazhab,
2. latar belakang munculnya madzhab
3. macam – macam madzhab dalam fiqh

BAB II

PEMBAHSANAN

2.1 Pengertian Madzhab


Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan
dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. 1Sesuatu
dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya.
Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode
(manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang
menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-
bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.

a. Titik Tolak atau Sejarah Pembentukan Madzhab


Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke
berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-
pencar ke negara yang baru. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar
pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sulit dilaksanakan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf(perbedaan pendapat) di kalangan
sahabat ada tiga yakni : 2
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.

2
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang
yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara
para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang
tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in,
muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan
suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah
dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it
Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki
abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah
Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman
sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. Dari
sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada
periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada
empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada
sekarang.
.Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh
menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode
awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih
dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi
S.A.W. (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah S.A.W. Sumber hukum ketika itu adalah
Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode
Madinah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai
Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun
41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah
Nabi S.A.W., juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.
Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak
dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-
Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang
luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah
masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H.
Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu
disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah
semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan
menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan
ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H.
Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode
Kemajuan Islam Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol
pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga
berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan
pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-
bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung
pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang
kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu
sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha
untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi
persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah
terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid
(memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-
Amin dan al-Ma'mun.
5. Periode tahrir, takhrij, dan tarjih
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7
H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang
dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan
mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya
semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada
hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing,
sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada
ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab
yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid
fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada
dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan
ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta
terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan
mazhab imamnya.

6. Periode kemunduran fiqh.


Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah
al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26
Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari
perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini
dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.
Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh
yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak
bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi
fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani,
seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan.
Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh)
mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun
menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah,
namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, Muncul ketentuan
dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad
wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya
suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan
syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi
tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut
diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang
tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya
tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau
melunasi utang tersebut.
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai
mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah
Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan
kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani
berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa Rasulullah s.a.w. hidup, beliau
merupakan madrasah utama umat islam dalam mempelajari segla urusan agama
dan yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, pada
masa Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang
pokok agama maupun dalam bidang cabang – cabang agama.
Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul perselisihan dalam kalangan
umat islam di bidang ushul dan bidang furu’. Perselisihan yang terjadi dikalangan
sahabat ialah mengenai pendapat bahwa : “apakah Nabi benar – benar meninggal
atau hanya diangkat Allah saja” 3. Sedang dibidang amaliyah, perselisihan para
sahabat ialah dalam hal pemerintahan yaitu mengenai khlifah dan sekitar kaum
yang murtad. Akan tetapi, perselisihan – perselisihan yang timbul itu merupakan
titik tolak bagi lahirnya berbagai madzhab dikemudian hari.
Ada dua golongan sahabat yang melakukan usaha pemebntukan madzhab :
1. Golongan para sahabat yang berani membahas dan menganalisa, dan berani
memberi fatwa baru tanpa ragu.
Golongan sahabat ini merupakan mereka yang ememahami, mendalami di
jiwa syari’at.
2. Golongan para sahabat yang tidak berani memberi fatwa – fatwa terhadap
kejadian – kejadian yang baru.
Golongan para sahabat ini merupakan mereka yang membatasi diri dalam
petunjuk lafaz saja dan mereka hanya menyebut makna yang lahir saja (jelas
adanya).

b. Faktor – factor yang menimbulkan madzhab

3
Secara umum penyebab muncul adanya madzhab adalah disebabkan oleh tiga
factor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah
wafatnya Rasulullah yaitu:

1. Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung


Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dll.
2. Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur
dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
3. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam,
membuat para Gubernur, Qadi, dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna
memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang
dihadapi.

Pada masa tabi’in, ijtihad sudah mempola dua bentuk yaitu yang lebih banyak
menggunakan ra’yu yang ditampilkan “Madrasah Kufah”, dan yang lebih banyak
menggunakan hadis atau sunnah yang ditampilkan “Madrasah Madinah”. Masing-
masing madrasah menghasilkan para mujtahid kenamaan.

2.2 Macam – macam madzhab


a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)- Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas
dan istihsan. Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila tidak
memeperolah nash dalam kitabullah, sunnaturrasul atau Idjma’. Hingga
terciptalah Madzhab beliau atau yang sering kita kenal dengan Madzhab Hanafi.
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin
Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti
Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah
menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan
ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat
dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti
Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan
dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-
Manshur memberi minuman beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun
meninggal sebagai syahid. Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada
bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
b. Imam Maliki (Tahun 93 – 179 H.)- Mazhab Maliki
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan
julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al
Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama
waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik
bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin
Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah
menghafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia
dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih.
Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalah
Al Muwatta’ yang berarti ‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-
Muwatta’ adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah
fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.
Dalam madzhabnya Imam Malik mendahulukan kitabullah, sesudah itu beliau
berpegang kepada As-sunnah, sesudah itu barulah ijma’ dan qiyas. Dalam hal ini
Imam malik tidak memberi kepada qiyas kedudukan yang diberikan oleh abu
Hanifah.
c. Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)-mazhab Syafi’i
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin
Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu
Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah
Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan
Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia
masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke
Makkah .
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an,
selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan
intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga
merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan
keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk
pemikiran dan mazhab fiqihnya.
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak
pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa
pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit
dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam
banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran
baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195
H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204
H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis
dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis
ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan
perkembangan baru di Mesir .
d. Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)-Madzhab Hambali
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd
bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin
Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M .
Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh
ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada
usia 15 tahun. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15
tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk
mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari
dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah,
Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid,
Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’
bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin
Ma’qil.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas
terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul
Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu
pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

2.3 Dasar – Dasar Fiqh Empat Madzhab


a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad
secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar
bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya
kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi,
dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun
Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan
tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada
Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya
adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah
adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash
Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka
hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi
menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar
berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum
disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-
imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum,
mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama
disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori
qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan
lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi
dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain,
Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya
dalam kerangka illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan
yang dipahaminya .Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal
dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum
serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah
mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan
hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah
mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan
dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-
pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah
itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-
Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian
fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh
macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul
muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam
sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab,
sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-
Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki
sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah,
qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab.
Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-
dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan
ra’yi (rasio) .
c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan
bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori
istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah
merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari
sumber utamanya tadi.
d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran
fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad
bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu
lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar
mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an,
Sunnah dan nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan,
Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan
apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan
sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan,
(7) sadd al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat
bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada
batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hasil ijtihad para imam mazhab itu setelah melalui penyempurnan di tangan
murid-muridnya, disusun secara sitematis sehingga mengasilkan kitab-kitab fiqh
mazhab. Ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh itulah yang diikuti para
pengikutnya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan jadi rujukan para
hakim dalam menyelesaikan perkara. Kitabkitab fiqh peninggalan imam mazhab
ini merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan dan perkembangan
pemikiran mazhab tersebut hingga sekarang Ringkasnya, pebedaan pendapat atau
timbulnya mazhab itu telah ada dimasa sahabat, terus berkembang hingga masa
tabi’in, kemudian meluas sesuai dengan makin berlipat gandanya “Peristiwa
Baru” yang bermunculan. Mereka telah berhasil memberikan beragam jawaban
terhadap masalah-masalah baru tersebut, malah ulama-ulama masa lampau itu
telah melewati peristiwa-peristiwa yang terjadi, sehingga mereka telah sukses
dalam menciptakan rumusan fiqh andaian
DAFTAR PUSTAKA

 Ash-Shiddieqy, Prof. M.T. Hasbi. 1953. SEJARAH DAN


PENGANTAR ILMU FIQH. Yogyakarta: Untuk Kalangan Sendiri

 Syalthut, Prof. Dr. Mahmud. 2000. Fiqh Tujuh Madzhab . Bandung :


Pustaka Setia

 Ash-Shiddieqy, Prof. M.T. Hasbi. 1968. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta


: C.V. Mulya

 http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-
fiqih.html

 http://himawarief.blogspot.com/2009/12/latar-belakang.html

Anda mungkin juga menyukai