PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
4. Apa saja tanda-tanda kemajuan yang terdapat pada masa kebangkitan kembali
ilmu fiqh?
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Masa kemunduran ini memakan waktu yang cukup lama yakni kurang lebih
Sembilan abad, periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat hijriyah sampai
kurang lebih abad ke tiga belas hijriyah yaitu pada waktu pemerintah Turki Usmani
memakai kitab undang undang yang dinamai Majalah Al Ahkam Al Adliyah. 1
Dalam kitab tersebut materi materi fiqh disusun dalam satu kitab undang undang
hukum perdata secara sistematis. Hal ini terjadi ketika kota Baghdad jatuh ke tangan
tantara Mongol.2 Masa ini juga disebut dengan periode taklid atau jumud. Menurut
sebagian fuqoha’ sunni periode ini juga disebut periode penutupan pintu ijtihad.
Periode taqlid yang dimaksud adalah karena pada saat itu para fuqoha tidak
lagi membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan ke dalam kandungan mazhab
yang sudah ada, seperti mazhab hambali, hanafi, maliki, dan syafi’i serta mazhab
lain yang sudah mencapai kemajuan dan sudah dibukukan. Sementara ditutupnya
pintu ijtihad masa itu dikarenakan munculnya para mujtahid gadungan, dalam artian
mereka adalah orang-orang yang belum memenuhi syarat untuk menjadi seorang
mujtahid, mereka jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqih.
Akhirnya mereka berbicara tanpa ilmu. Hal tersebut mengakibatkan kekacauan di
kalangan masyarakat dalam bidang hukum. Sehingga para ulama dan pemerintah
mengkhawatirkan akan tersebarnya fatwa menyesatkan di kalangan masyarakat
umum, maka dari itu keputusan yang diambil untuk menghidari kekhawatiran itu
adalah dengan menutup pintu ijtihad. Namun rupanya keputusan itu berdampak
buruk bagi perkembangan fiqih islam. Fiqih islam saat itu mengalami kejumudan
dan juga kemunduran.
1
A. Djazuli, Ilmu fiqh (Jakarta: Kencana., 2005), h. 155
2
Dr Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’. Cet. 2 (Jakarta, Amzah, 2011 ), h. 126
3
Ada cara lain bisa dilakukan para ulama dan pemerintah saat itu, contohnya
adalah dengan memberikan syarat-syarat yang jelas tentang bagaimana seseorang
bisa disebut sebagai mujtahid, seperti adil, dhabit, dan lain sebagainya. Jika pada
saat itu, ini dilakukan, setidaknya akan memberikan kontribusi yang lebih positif
daripada menutup mutlak pintu ijtihad yang berujung kejumudan.
Masa ini juga dikenal dengan masa meredupnya semangat dan keinginan para
ulama’ untuk melakukan ijtihad mutlak dan kembali pada dasar syariat yang pokok
dalam menyelesaikan permasalahan permasalahan hukum, bahkan mereka
membatasi diri mengikuti hukum yang telah dihasilkan oleh para mujahid
sebelumnya. Itu terjadi karena, fuqoha pada masa kemunduran tersebut merasa
bahwa apa-apa yang sudah terbukukan di dalam kitab mazhab itu sudah cukup dan
dirasa sudah benar. Sehingga menimbulkan sikap taqlid atau ikut-ikutan saja.
Sekalipun pada masa itu disebut sebagai masa kemunduran, taqlid, atau bahkan
kejumudan tapi bukan dalam artian tidak ada sama sekali mujtahid yang berijtihad.
Akan tetapi, ijtihad yang mereka lakukan hanya sebatas menjelaskan apa yang
sudah ada di dalam mazhab. Seperti membuat matan, syarh, dan hasyiah. Beberapa
ulama dari mereka yang memiliki kemampuan berijtihad dan menginstinbat hukum
seperti para pendahulu mereka, akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan
merasa cukup dengan apa yang sudah dicapai oleh para pendahulunya yaitu para
ulama fiqih mazhab. Jadi pada masa kemunduran ini, ulama-ulama yang sederajat
dengan Abu Hanifah, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i sangat sulit untuk ditemui lagi.
Adapun mujtahid-mujtahid yang ada pada masa ini, antara lain Abu Al-Hasan Al-
Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi, Al-Jashshash dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu
Rusyd Al-Qurthubi dari mazhab Maliki, Al-Juwaini Imam Al-Haramain dan Al-
Ghazali dari mazhab Syafi’i.
Masa ini bersamaan dengan masa mundurnya sejarah islam, dimana
pemerintahan Islam sudah tidak semaju sebelumnya, namun sudah terpecah
menjadi negara negara kecil yang dipimpin para amir. Keadaan ini berpengaruh
pada perkembangan fiqih dan kehidupan para mujahid. Selain itu, madzhab
madzhab fiqih sudah terbukukan dengan baik sehingga para fuqoha’ tidak lagi
mencari hukum pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi cukup pada karya-karya
4
para ulama’ pendahulu.3 Itulah salah satu tujuan dari semangat kebangkitan fiqih
islam, yaitu untuk kembali menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber
hukum yang utama.
Tidak secara mutlak para mujtahid masa itu tidak melakukan ijtihad. Ada
beberapa dari mereka yang masih melakukannya dengan giat meneliti dan
mengklarifikasi permasalahan fiqih yang munculsaat itu serta memperdebatkannya
dalam forum-forum ilmiah. Sehingga dapat diketahui mana pendapat yang
disepakati dan mana pendapat yang masih diperselihkan. Hasil pnelitian tersebut
kemudian mereka bukukan dalam bentuk kitab, seperti Al-Inshaf karya Al-
Bathliyusi, Bidayah Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, dan Al-I’tisham karya Asy-
Syatibi serta kitab-kitab lainnya.
Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada priode ini akan terlihat pada beberapa
hal berikut :
1. Penulisan matan ( teks )
Yaitu sebuah kitab yang mengumpulkan masalah masalah pokok
yang disusun dengan uraian yang mudah. Namun, kemudian ada pula yang
disusun dengan uraian yang sulit sehingga membutuhkan Syarh.
2. Penulisan Syarh ( penjelasan )
Untuk memahami sebuah matan diperlukan adanya syarh yang bias
menjelaskan maksud teks tersebut.
3. Penulisan Hasyiyah ( catatan pinggir )
Penjelasan atau penguraian kalimat atau kata kata yang asing pada
syarh
Ketiganya sampai sekarang masih digunakan ditengah masyarakat luas.
Selain dipelajari di tengah tengah masyarakat umum, juga dipelajari di pesantren
pesantren Indonesia. Bahkan para cendikiawan pun tak sedikit yang
mempergunakan buku buku tersebut sebagai rujukan meskipun penggunaan kitab
kitab tersebut selektif dan bergantung pada paham dan aliran yang dianut.
3
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 114
5
C. Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran Fiqih
Pada masa ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran,
mental, dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran di bidang fiqih
antara lain :
1. Kemunduran dalam bidang politik, misalnya terpecahnya dunia islam
menjadi beberapa wilayah kecil yang masing masing keamirannya hanya
sibuk saling berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesama
muslim yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidak tentraman
masyarakat muslim. Kondisi yang semacam ini pada menyebabkan
kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqh.
2. Dengan dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran kritis serta dianggapnya
sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau meneliti
kembali pendapat pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti
madzhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa
mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini
diperkuat lagi oleh penerapan satu madzhab tertentu bagi suatu wilayah
kekuasaan tertentu. Misalnya pemerintahan Turki termasuk para Hakimnya
menganut dan membantu madzhab Hanafi, kekuasaan di sebelah barat
mengokohkan madzhab Maliki dan sebelah timur madzhab Syafi’i.
3. Dengan banyaknya kitab-kitab fiqih, para ulama’ dengan mudah
menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
Hal ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis
dan tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab madzhab lain serta
tanpa memperhatikan kembali Al-Quran dan Sunnah, akan berakibat
kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya.
Tidak menghargai hasil ijtihad ulama ulama lain dan merasa pendapat
sendiri yang mutlak benar dalam masalah masalah ijtihadiyah sudah tentu
akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat akibatnya.
4. Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di Barat tahun
1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan islam
6
di Timur pada tahun 1258 M, Maka berhentilah denyut jantung kebudayaan
islam baik di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehancuran
masyarakat islam pada masa tersebut. Ulama ulama bagian Timur berusaha
mencoba untuk menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan
melarang berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua
rakyat, dengan demikian diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya
usaha ini tidak banyak menolong, karna nasib suatu masyarakat tidak hanya
tergantung kepada keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil
kekuatan dan kreativitas perorangan.4
4
A. Djazuli, Ilmu fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), h. 156
7
H). gerakan ini menyerukan pembasmian bid’ah dan mengajak umat Islam untuk
kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta amalan-amalan ulama sahabat dalam
mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Gerakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah
gerakan yang dipelopori beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libya
dan Afrika Utara, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, Al-
Mahdi di Sudan, K.H Muhammad Dahlan, H.A Karim Amrullah, dan T.M Hasbi
Ash-Shiddieqy di Indonesia, dan lain-lain.5
5
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, cet. 10 (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), h. 120
8
benar. Adapun cara penulisan pada fase ini umumnya terfokus pada kajian tertentu,
seperti kitab khusus mengenai muamalat, jinayat, dan sebagainya.
Kebangkitan fiqih pada masa ini dapat dilihat sebagai berikut. Pertama,
munculnya kecenderungan baru dalam mengkaji fiqih Islam tanpa harus terikat
dengan mazhab imam tertentu. Fanatisme mazhab yang telah membelenggu umat
selama kurang lebih tujuh abad, mereka sadar bahwa itu adalah malapetaka. Hal ini
tentu positif karena menghasilkan postulat, “Memelihara yang lamayang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik”. Kedua, berkembangnya kajian fiqih
muqaran (fiqih perbandingan). Perbandingannya tidak hanya terfokus pada internal
mazhab-mazhab fiqih melainkan merambah perbandingan antara hukum Islam dan
hukum positif Barat.7 Sehingga diharapkan adanya kestabilan dan keseimbangan
pada fiqh Islam.
Dalam analisis lain, periode ini dikenal dengan periode kodifikasi hukum
Islam di berbagai Negara. Hal ini disinggung oleh Mustafa Ahmad Az-Zarqa bahwa
periode kodifikasi ini dimulai sejak munculnya majalah Al-Ahkam Al-Adliyyah
sampai sekarang.8 Adapun tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan
dua tujuan. Pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang
memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Masing-masing hakim
emmberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi
undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan
yang kontradiktif. Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk sebuah hukum
fiqh dengan susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah
6
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, cet. 10 (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), h. 121
7
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, cet. 10 (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), h. 122
8
Ibid
9
dibaca.9 Yang menjadi penyebab pemerintah Turki Usmani menyusun Majallah Al-
Ahkam Al-Adliyyah yang didasari mazhab Hanafi adalah karena adanya beberapa
pendapat dalam mazhab Hanafi tersebut sehinggan menyulitkan penegak hukum
untuk memilih hukum yang akan di tegakkan dan diterapkan pada kasus yang
mereka hadapi saat itu. Maka pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk
membukukan fiqh dalam mazhab Hanafi dan memilih pendapat yang sesuai dengan
perkembangan fiqih masa itu.
Kitab kompilasi hukum Islam Turki Usmaniyah ini memuat 1815 pasal
yang membahas berbagai hukum terhadap berbagai permasalah yang masih
diperdebatkan dalam membangun hubungan sosial Islam yang terdiri enam belas
9
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ (Jakarta, Amzah, 2011), h. 134
10
bab, dimulai dari bab jual beli dan berakhir dengan bab tuntutan dan keputusan
hakim (qadha’).10
a. Di bidang perundang-undangan
b. Di Bidang Pendidikan
Salah satu contoh yaitu, pada bulan Agustus 1932 berlangsung konferensi
perbandingan hukum Internasional di Deen Haag, Negeri Belanda. Dalam
konferensi itu, prof. Dr. Ali Badawi berbicara tentang hubungan antara agama dan
hukum, sebagai jalan untuk sampai kepada pembicaraan tentang syari’ah Islam.
Akhirnya konferensi memutuskan agar dalam konferensi selanjutnya diadakan
bagian khusus bagi Syari’ah islam sebagai salah satu sumber dalam perbandingan
hukum. 11
10
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ (Jakarta, Amzah, 2011), h. 137
11
A. Djazuli, Ilmu Fiqi, (Jakarta, Prenadamedia Group, 2015), h. 161
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Masa kebangkitan ini harus tetap kita jaga dan pelihara dengan tidak mudah
merasa puas dengan ketersediaan ilmu-ilmu agar tidak terjadi pengulangan
kesalahan yang pernah ada di masa kejumudan atau kemunduran fiqih. Karena
bagaimanapun juga berijtihad itu sangat penting, apalagi untuk menghadapi
tantangan zaman yang semakin kompleks. Maka jangan sampai generasi masa kini
maupun masa depan mengulang kesalahan yang sudah pernah terjadi sebelumnya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Dedi. 2010. Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
13