Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MASA KEMUNDURAN DAN KEBANGKITAN FIQIH

Dosen Pengampu : Abdul Aziz Damanhuri, M.Hi.

Kelompok 7

Dido Ariendo Roy Viehansyah (200201110058)

Mardiah Kamalia (200201110080)

Muhammad Rahmat F (200201110088)

Mu’tiyatul Farohah (200201110069)

Dibuat dalam rangka memenuhi “Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh”

FAKULTAS SYARIAH

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM B

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami
bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah memberikan syafa’at kepada umatnya kelak.

Kami sangat berterimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memeberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan


wawasan serta peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Malang, 24 November 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad,
para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di
dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap
sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian
muncullah gerakan-gerakan baru.

Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud
kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan
dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat.
Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-
pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan
kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-
kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan
keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat
kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19-
sekarang, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya,
periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian
ajaran islam.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari berbagai uraian yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, penulis tertarik untuk
mengangkat beberapa permasalahan dalam makalah ini, yaitu :

1. Apa penyebab kemunduran ilmu Fiqih?


2. Apa saja faktor-faktor kemunduran ilmu Fiqih?
3. Bagaimana terjadinya kebangkitan ilmu Fiqih?
4. Apa yang dimaksud masa pembaharuan ilmu Fiqih?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui penyebab dari kemunduran fiqih.
2. Untuk mengetahui apa saja factor factor kemunduran ilmu fiqih.
3. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya kebangkitan ilmu fiqih.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pembaharuan imu fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEMUNDURAN FIQH
Periode kemunduran ini memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar Sembilan
setengah abad. Periode  ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriyah sampai kurang
lebih akhir abad ketiga belas Hijriyah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani memakai
kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang
tersebut materi-materi  fiqh  disusun dengan sistematis dalam satu Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Dan pada periode tersebut kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol.
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflik dan beberapa
faktor sosiologis dalam keadaan lemah. Banyak daerah yang melepaskan diri dari
kekuasaanya dan mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri-sendiri, seperti kerajaan Bani Samani
di Turkistan (874M-999M), Bani Ikhsydi di Mesir (935M-1055M) dan beberapa kerajaan
kecil lainnya yang antara satu dengan lain saling berebut pengaruh dan banyak terlibat dalam
situasi konflik. 
            Pada umumnya ulama yang berada di masa itu sudah lemah kamauannya untuk
mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada
periode kejayaan seperti disebut di atas. Situasi kenegaraan yang berada dalam konflik,
tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang
mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan Hadis. Mereka merasa
puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri
kepada pendapat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap inilah kemudian yang
mengantarkan Dunia Islam kealam taklid, kaum Muslimin terperangkap kealam pikiran yang
jumud dan statis. 

B. FAKTOR FAKTOR KEMUNDURAN


Pada periode ini umat Islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental,
dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh:
1. Timbulnya Taklid

Pada era kondisi ini perjalanan fiqh Islam sangat buruk sekali. Padahal periode ini
adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud. Jika di
zaman generasi pertama kita bisa melihat para fuqaha’ yang sibuk menggali fiqh, mencari
illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid
buta, padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan pendahulunya. Mereka
tidak hanya melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga
hasil karya ilmiah para fuqaha’ juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah
mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya
membuat beberapa penjelasan singkat.

Kegiatan Ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan
perincian kitab fiqih dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi
pendapat atau pemikiran baru.

2. Kemunduran di Bidang Politik

Misalnya terpecahnya dunia Islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-
masing keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang
sesama muslim yang mengakibatkan ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi yang
semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran
tentang fiqh. Dan pada akhir kekuasaan Abbasiyah khalifah dijadikan boneka, daerah-daerah
yang dikuasainya berdiri sendiri dan saling bermusuhan

3. Menganut pendapat madzhab tanpa pikiran yang kritis

Dengan dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya
sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau meneliti kembali pendapat-
pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti madzab tersebut bahkan
mempertahankannya dan membelanya tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al-
Qur’an dan Al-Sunnah. Hal ini diperkuat lagi oleh penerapan satu mazhab tertentu bagi suatu
wilayah kekuasaan tertentu. Misalnya Pemerintahan Turki termasuk para Hakim-nya
menganut dan membantu mazhab Hanafi. Kekuasaan di sebelah barat mengokohkan
madzhab Maliki dan di sebelah timur madzhab al-Syafi’i
4. Banyaknya kitab-kitab fiqh

Para ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-


masalah yang dihadapi. Hal ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya
tanpa kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa
memerhatikan kembali Al-Qur’an dan Sunnah, membawa akibat kehilangan kepercayaan
terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai hasil ijtihad ulama-
ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar dalam masalah-masalah
ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-
akibatnya. Yang di khawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fikih adalah disubukkanya
ulama dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih melalui upaya pembuatan ringkasan
(al-mukhtashar), penjelasan (syarh), dan penjelasan atas penjelasan (hasyisah). Dalam kitab
Muqiddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kegiatan yang berkutat pada kitab
fikih adalah kegiatan yang menyulitkan karena yang belajar diaharuskan menguasai,
menghafal dan menjaga seluruh (isi) dan cara-cara yang ditempuhnya.

5. Berkembangnya Tasawuf

Dengan berkembagnya tasawuf yang begitu pesat, kerja ulama fikih menjadi sangat
terbatas. Bersamaan dengan itu, muncullah problema kesenjangan dalam fikih, yaitu
bagaimana fikih yang difahami secara tekstual dan kaku itu menjawab berbagai peersoalan
yang terus berkembang. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan adanya jarak
(kesenjangan) antara fikih secara teoretis dengan kenyataan sosial secara praktis. Pertama,
kakaguman yang berlebihan dari para ulama terhadap para imam dan guru membuat mereka
membatasi kerja hanya untuk membela dan menyebarkan pemikiran-pemikiran fikih para
imam dengan cara kodifikasi atau pengajaran. Pola kerja seperti ini otomatis akan
memunculkan fanatisme yang tinggi terhadap hasil pemikiran para imam. Kedua, munculnya
gerakan kodifikasi fikih para imam. Para pengikut imam yang setia menghimpun dan
menuliskan pemikiran-pemikiran fikih yang belum ditulis sebelumnya. Ketiga, penggunaan
madzhab tertentu dalam pengadilan. Pada zaman sahabat, tabiin, dan para imam madzhab,
pelaksanaan pengadilan tidak menggunakan ketentuan madzhab tertentu. Saat itu semua
orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad boleh memutuskan hukum suatu kaus, bahkan
kemampuan berijtihad menjadi syarat utama bagi yang hendak memangku jabatan hakim.
Keadaan seperti itu menyebabkan para ulama dan fuqaha Islam sudah merasa puas dengan
usaha membuat ikhtisar karya-karya ulama masa lalu.
6) Jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di barat tahun 1213 M.

Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di barat tahun 1213 M.
Dan kemudian jatuhnya Bagdad sebagai pusat kebudayaan islam di timur 1258 M. Maka
berhentilah denyut jantung kebudayaan islam baik di barat maupun di timur. Ditambah lagi
dengan kehancuran masyarakat Islam pada waktu itu. Ulama-ulama dibagian timur berusaha
mencoba untuk menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang
berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat. Dengan demikian
diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak banyak menolong, karena
nasib suatu masyarakat tidak hanya tergantung pada suatu keseragaman kehidupan sosial
tetapi juga hasil kekuatan dan kreativitas perseorangan.

7) Penutupan pintu ijtihad

Penutupan ijtihad oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan tindakan-tindakan


tertentu dalam bidang penetapan pendapat-pandapat atau mengadakan jaminan-jaminan agar
ijtihad jangan sampai digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak, maka timbullah
kekacauan dalam persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat, dan orang-orang awam juga
ikut-ikut memberikan fatwa, dan dengan demikian maka mereka telah mempermainkan nas-
nas Syari’at dan kepentngan (hak-hak) orang banyak. akibatnya ialah banyaknya fatwa-fatwa
yang berbeda-beda dan bersimpang-siurnya keputusan-keputusan hakim, meskipun kadang-
kadang masih dalam negeri yang satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya
dianggap hukum syara’ . setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut, maka
para ulama pada akhir-akhir abad ke empat hijrah menetapkan penutupan pintu-pintu ijtihad
dan membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat-pendapat
yang ditinggalkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Jadi ulama-ulama tersebut mengobati
kekacauan dan kebekuan.

8) Pengangkatan Hakim-Hakim

Pada masa sebelumnya, hakim-hakim terdiri dari orang-orang yang bisa melakukan
ijtihad sendiri, bukan dari pengikut-pengikut mereka. Akan tetapi pada masa kemudiannya,
hakim-hakim diangkat dari orang-orang yang bertalqid, agar mereka memakai madzhab
tertentu dan terputus hubungannya dengan madhab yang tidak bisa dipakai diperadilan.
Apalagi hakim-hakim yang bisa berijtihad sering-sering keputusannya menjadi sasaran
kritikan dari penganut-penganut madzhab tertentu. Dengan terikatnya seseorang hakim
dengan madzhab Fiqh yang disukai oleh seseorang penguasa negara menjadi sebab mengapa
orang banyak merasa puas terhadap madzhab tersebut dan menyukainya pula.

C. PERIODE KEBANGKITAN

A. Kondisi awal pada masa kebangkitan fikih

Periode ini disebut juga dengan periode Renaissance, berlangsung sejak abad ke-7 H
sampai sekarang (abad ke-20 M).Disebut periode kebangkitan fiqih karena pada masa ini,
timbul ide, usaha, dan gerakan-gerakan pembebasan dari sikap taklid yang terdapat dalam
umat Islam dan dalam ilmu pengetahuan Islam, Gerakan ini timbul setelah munculnya
kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin yang
disebabkan oleh adanya penetrasi Barat dalam berbagai bidang kehidupan sehingga
menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai negeri islam. Diantaranya di Hijaz,
pada abad ke-13 H/18 M, muncul suatu gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab ( 1206 H). Gerakan ini menyerukan pembasmian serta amalan-amalan ulama sahabat
dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Gerakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah
gerakan yang dipelopori beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libiya dan Afrika
Utara, Jamaliddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, al-Mahdi di Sudan, K.H.
Muhammad Dahlan, H.A. Karim Amrullah, dan T.M. Hasbi ash-Shiddieqy di Indonesia, dan
masih banyak lagi.

Pada dasarnya, gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat Islam, pengusiran
terhadap penjajah, pengembangan ilmu pengetahuan islam, meninggalkan taklid buta dan
bid’ah, dan kembali pada ajaran al-Quran dan as-Sunnah, serta mengikuti metode ulama salaf
(ulama sahabat dan ulama-ulama sebelum masa kemunduran). Seruan ini senada dengan apa
yang telah dikumandangakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim pada periode yang lalu.
Dengan usaha mereka inilah, muncul corak baru dalam mempelajari fikih, yaitu kembali pada
al-Quran dan as-Sunnah dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum sesuai dengan hajat
dan perkembangan masyarakat. Majalah al-Urwat al-Wutsqa dan majalah al-Manar
digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan tersebut keseluruh dunia
Islam sehingga lahirlah ulama-ulama merdeka disetiap negeri Islam yang dianggap dapat
memenuhi segala kebutuhan masyarakat didalam masalah-masalah keagamaan.
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini adalah

1. Usaha pengkajian dan penulisan kitab-kitab fiqih

2. Usaha menyusun hukum-hukum fiqih secara sistem undang-undang tanpa membatasi


diri dengan suatu mazhab tertentu.

Metode pengkajian umumnya melalui sistem perbandingan, yaitu mempelajari


pendapat semua semua fuqaha dari semua mazhab, kemudian membandingkan satu sama
lainnya dan dipilih satu pendapat yang dianggap lebih benar. Adapun cara penulisan pada
periode ini umumnya terfokus pada kajian hukum tertentu, seperti kitab khusus mengenai
muamalat, jinayat, dan sebagainya.

Usaha menyusun secara undang-undang sebenarnya sudah dilakukan sejak


pemerintahan Abbasiyah. Sebagai contoh, UU tentang keuangan (perpajakan) yang dikenal
dengan kitab al-Kharaj yang disusun oleh Abu Yusuf atas permintaan Khalifah Harun al-
Rasyd. Usaha tersebut pada masa ini lahir kembali dalam bentuk yang lebih nyata. Sebagai
contoh, pada tahun 1293 H, panitia pengodifikasian yang dibentuk oleh pemerintah kerajaan
Usmani telah berhasil menyusun kitab UU perdata yang terdiri dari 1985 pasal. Pada tahun
1328 H, disusun pula UU keluarga yang diambil dari mazhab Hambali.

B. Format kebangkitan fiqih sampai sekarang

Kebangkitan fiqih pada masa ini dapat dilihat sebagai berikut:

Pertama, munculnya kecendrungan baru dalam mengkaji fikih Islam tanpa harus terikat
dengan mazhab imam tertentu. Fanatisme mazhab yang telah membelenggu umat selama
tujuh abad, mereka sadari sebagai malapetaka. Hal ini tentu sangat positif karna melahirkan
postulat,”memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik."

Kedua, berkembangnya kajian fiqih muqaran (fiqih perbandingan). Perbandingan tidak hanya
terfokus pada internal mazhab-mazhab fiqih melainkan merambah antara hukum Islam dan
hukum positif barat.

Musthafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa, paling tidak, ada tiga ciri yang
mewarnai perkembangan pada periode ini.

1. Munculnya upaya pengkodivikasian fiqih sesuai dengan tuntunan situasi dan zaman
2. Upaya pengkodivikasian semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi kerajaan
Turki Usmani, tetapi juga diwilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki
Usmani, seperti Suriah, Palestina, dan Irak. Pengkodivikasian hokum tersebut tidak
terbatas pada hokum perdata saja, tetapi juga hukum perdana dan hukum administrasi
Negara.

3. Munculnya upaya pengkodivikasian berbagai hukum fikih yang tidak terikat sama
sekali dengan mazhab fiqih tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqih
bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi
permasalahan yang dihadapi ketika itu.

Pada akhir abad ke-13 bersinarlah cahaya ijtihad kembali, yaitu dengan jalan
pemerintah Usmaniyah mengumpulkan segolongan ulama-ulama besar dan menugaskan
mereka menyusun suatu undang-undang dalam bidang muamalah Madaniyah, dan hukum-
hukum itu tidak harus diambil dari mazhab-mazhab yang terkenal saja. Para ulama ini
berkumpul dan menyisun sebuah undang-undang pada tahun1286 H. Undang-undang dimuat
dalam suatu kitab yang dinamakan majallah al-Ahkamul ‘adliyah. Dan pada tahun 1292 H,
dijadikannya undang-undang yang harus diturut dan dengan undang-undang itu mulailah di
tembus mazhab empat dan dipergunakan mazhab Ibnu Subrumah dalam membolehkan jual
beli dengan syarat.

Tatkala di mesir timbul banyak keluhan rakyat kerena pemerintah berpegang teguh
kepada mazhab Abu Hanifah dan menjadikan pedoman bagi para hakim, maka pemerintah
Mesir pada tahun 1920 M. Mengambil langkah baru untuk menghilangkan keluhan-keluhan
rakyat itu, yaitu mengeluarkan undang-undang yang didalamnya terdapat beberapa hukum
dalam bidang hokum keluarga yang menyalahi hukum Abu Hanifah, yang diambil dari
mazhab-mazhab empat yang lain.

Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar mengkritik orang yang menutup ijtihad dan
yang melarang orang lain berijtihad. Sedang al-Thahthawy dalam bukunya al-Qaul al-Sadid
al-Ijtihad wa al-Taqlid, sebagaimana dikutip Harun Nasution, menjelaskan bahwa ijtihad
perlu diadakan untuk menghadapi problem-problem yang timbul di zaman modern.

Walaupun dewasa ini tampaknya pendapat umum didunia Islam mengakui terbukanya
pintu ijtihad, namun dalam kenyataannya sedikit sekali ijtihad yang dilakukan para ulama.
Mungkin salah satu sebabnya karena masalah keagamaan dimunculkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern semakin pelik dan komplek, misalnya masalh keluarga
berencana, berkaitan erat dengan ilmu kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu keagamaan.
Sementara itu, pengetahuan ulama hanya terbatas pada bidang spesialisasinya. Karena itu,
dizaman modern ini, ijtihad individual nampaknya tidak mampu lagi memecahkan masalah
yang muncul. Oleh sebab itu, lembaga ijtihad atau ijtihad kolektif yang beranggotakan ilmuan
dari berbagai disiplin ilmu, sangat dibutuhkan.

Dengan demikian, satu masalah dapat ditinjau dari berbagai dimensi dan aspek,
sehingga tampaklah hakikat suatu masalah dan cara menyelesaikannya dapat dipikirkan
bersama. Namun harus diingat bahwa kesepakatan bersama dalam suatu masalah jangan
sampai membatasi seseorang yang mampu berijtihad secara individual untuk mengeluarkan
pendapatnya, bila ternyata hasilnya berbeda dengan apa yang telah disepakati. Harus pula
diwaspadai agar jangan sampai terjadi kekacauan dan kebingungan masyarakat karena
banyaknya pendapat produk ijtihad.

D. MASA PEMBAHARUAN FIQH

Semangat para ulama modernis ketika itu secara dinamis dan intensif senantiasa
meniupkan napas napas suci pembaharuannya. Maka dari itu para ulama modernis selain
mengembangkan jargon kembali kapada Al Quran dan As Sunnah juga mengembangkan isu
isu pemurnian ajaran keagamaan dengan cara melakukan propaganda menjauhkan ajaran
agama dari perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik. Sebab kegigihannya, gerakan modernis ini
telah menuai keberhasilan yang cukup gemilang. Tanda tanda kebangkitan fiqh Islam pada
era itu dapat ditandai dengan adanya sistem yang mempelajari dan menuliskan hukum Islam
serta bagaimana mentransformasikan fiqh melalui peraturan perundangn undangan.

Semua gerakan pembaharuan di berbagai negara terjadi dalam berbagai aspek agama
seperti aqidah, ibadah, dan akhlaq. Kebangkitan pembaharuan fiqh adalah dengan membuka
pintu ijtihad.ijtihad yang dijalankan ada periode ini adalah mengambil ijtihad dan madzhab.
Ulama dari berbagai madzhad mengadakan ijtihad berdasarkan madzhab yang dianutnya.
Ijtihad juga dilaksanakan dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum tertentu contohnya
fatwa mengenai persoalan yang dihadapi.

Gerakan Pembaharuan Hukum Islam Pasca Ke Jumudan


Berdasarkan keterangan di atas bahwa sejak abad ke-17 M, timbul upaya untuk
melepaskan diri dari taklid setelah timbul kesadaran bersama dan mengetahui adanya
kemunduran dalam bidang agama. Oleh sebab itu, muncullah gerakan pembaharuan di
berbagai negara dalam berbagai aspek, bergantung pada kecenderungan si pembaharu melihat
kelemahan umat Islam. Gerakan pembaharuan itu antara lain sebagai berikut.

1. Di Hijaz, pada abad ke-13 H (abad ke-18 M) timbul gerakan Wahabi yang dipelopori
oleh Muhammad bin Abdul Wahab, Ia menyerukan pembasmian bid’ah sekaligus
mengajak kembali kepada Al Quran, Sunnah, dan amalan sahabat.

2. Di Libya, Muhammad ibn Sanusi menyeru masyarakat untuk membersihkan agama


dari usaha usaha infiltrasi musuh Islam yang menyisipkan ajaran ajaran yang
menyesatkan dan mengajak kembali kepada Al Qur’an, Sunnah, dan amalan ulama
salaf.

3. Di Syiria, timbul usaha perbaikan yang bersendi agama yang dibangun oleh al Mahdi
serta mengajak kepada hukum Allah dan Rasul Nya 4. Di Mesir akhir abad ke-19 atau
permulaan abad ke-20 M, muncul tokoh pembaharuan seperti Jamaluddin al Afghani,
dan Syaikh Muhammad Abduh. Mereka berdakwah mengajak kembali kepada
madzhab salaf dan sumber sumber Islam. Mereka ini yang mengumandangkan perang
terhadap taqlid, menyatukan madzhab, serta menjauhkan dari bid’ah dan khurafat.
Corak baru dalam mempelajari fiqh pada masa ini yaitu mempelajari fiqh berdasarkan
syariat sekaligus disesuaikan dengan perkembangan masa dan masyarakat.

Berbicara soal pembaharuan hukum Islam, sebenarnya erat kaitannya dengan ijtihad.
Menurut Ibn Taimiyah, maju atau mundurnya hukum Islam tergantung pada tinggi rendahnya
frekuensi ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid. Para ulama, umumnya melakukan ijtihad
atas dasar ajaran masing-masing imam mazhab yang dianutnya, dan sering diwarnai
kefanatikan mazhab yang berlebihan. Hal ini bisa dimaklumi karena mazhab yang empat
pada waktu itu sudah mempunyai kedudukan yang stabil di dalam masyarakat. Dan perhatian
masyarakat umumnya tidak lagi ditujukan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi kepada
hukum-hukum fiqh.

Menurut Muhammad Iqbal, Ibn Taimiyah adalah faqih pertama yang bertolak
belakang dengan pendapat yang mengatakan bahwa keempat mazhab fiqh telah membahas
persoalan secara final, dan dengan demikian ijtihad tidak diperlukan lagi. Melihat kondisi
seperti itu, Ibn Taimiyah tampil melakukan pembaharuan hukum. Adapun pembaharuan
hukum Islam yang ia canangkan, yang tertuang dalam Kitab Majmu’ al-Rasa’il al-Kubra dan
Kitab Al-Fatawa menggunakan prinsip-prinsip antara lain:

1. Ia menyerukan umat Islam untuk meninggalkan sifat “ta’ashshub” (fanatik) kepada


suatu mazhab fiqh. Dalam kitab Majmu’ al-Rasa`il ia berkata: “Orang-orang yang
fanatik kepada suatu mazhab, sebenarnya sama saja dengan pengikut hawa nafsu.”
Maksudnya, orang yang hanya mau mengikuti keinginan pribadi bukan keinginan
agama yang benar.

2. Ibn Taimiyah melarang taqlid. Seseorang haram bertaqlid kepada orang lain, karena
tidak ada jaminan bahwa mereka tidak keliru, mempelajari ketentuan agama (al-
tafaqquh) adalah suatu kewajiban, maka siapa saja yang tidak mau belajar tidak dapat
dikatakan telah mengetahui agama.

3. Menentang dan mencela para fuqaha dan para sufi yang menginginkan bentuk
kewara’an (kealiman) tertentu yang berlebih-lebihan dan tidak mempunyai sandaran
syara’. Menurut Ibn Taimilyah, berlebih-lebihan dalam hal wara’ adalah pekerjaan
mubadzir dan melampaui batas, yang berarti meninggalkan prinsip Islam tentang
kewajaran.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Periode kemunduran fiqh memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar Sembilan
setengah abad. Periode  ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriyah sampai kurang
lebih akhir abad ketiga belas Hijriyah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani memakai
kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Faktor-faktor hal
tersebut diantaranya timbulnya taklid, kemunduran bidang ekonomi, dan menganut madzhab
tanpa berpikir kritis.

Periode kebangkitan fiqh disebut juga dengan periode Renaissance, berlangsung sejak
abad ke-7 H sampai sekarang (abad ke-20 M).Disebut periode kebangkitan fiqih karena pada
masa ini, timbul ide, usaha, dan gerakan-gerakan pembebasan dari sikap taklid yang terdapat
dalam umat Islam dan dalam ilmu pengetahuan Islam, Gerakan ini timbul setelah munculnya
kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin yang
disebabkan oleh adanya penetrasi Barat dalam berbagai bidang kehidupan sehingga
menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai negeri islam.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam
makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini.
Penulis banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
DAFTAR PUSTAKA

[1]Adi Yusuf Salsabilah & Ibda Wahyu Setiana, “Fiqih pada Masa Kemunduran dan
Kebangkitan Kembali”, http://pikirdandzikir.blogspot.com/2017/10/fiqih-pada-masa-
kemunduran-dan.html/, diakses tanggal 02 Oktober 2017

[2]Dedi Supriyadi, Mag, Sejarah Hukum Islam,(Bandung:Pustaka Setia),2007

[3] Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam,(Jakarta :


Bulan Bintang, 1970)
[4] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Perbandingan Mazhab Pengantar,(Jakarta: Logos Wacana
Ilmu. 1997)
[5] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta, AMZAH, 2009, hal 126

[6] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Ciputat, PT LOGOS Wacana Ilmu, 1997, hal 32

[7] Dzajuli, Ilmu Fiqih, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal 156

[8] Ibid, hal 156-157

[9] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, (Yogyakarta : Penerbit Ombak 2013), hal 277-
278

Anda mungkin juga menyukai