Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TASYRI PADA MASA TAQLID DAN JUMUD

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah TARIKH TASYRI


Dosen Pengampu :
LINA PUSVISASARI,S.Sy.,M.H.

Disusun oleh : NOOR MUHAMMAD RIZIK ZIDDAN


TITA ROSMIATI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL AZHARY CIANJUR


HUKUM KELUARGA ISLAM
SEMESTER III
2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan segala limpahan rahmat, bimbingan dan petunjuk serta hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan lancar.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri
dengan dosen pengampu Ibu LINA PUSVISASARI,S.Sy.,M.H.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dan penyusunan makalah


ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari
semua pihak.

Akhir kata penulis meminta maaf atas kesalahan serta kekhilafan dan juga
banyaknya kekurangan penulisan dalam makalah ini. Penulis berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT memberikan
petunjuk serta rahmat-Nya kepada kita semua.

Cianjur, 22 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI
COVER.............................................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A. LATAR BELAKANG..........................................................................
B. B. RUMUSAN MASALAH.................................................................
C. C. TUJUAN..........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A. ..............................................................................................................
BAB III PENUTUP..........................................................................................
A. KESIMPULAN.....................................................................................
B. SARAN.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti
sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan).
Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian
berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya,
ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai
tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu
mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain
sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang
mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits.
Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah
ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-
madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam
kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud
dan statis.

B. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A. TARIKH TASYRI PADA MASA JUMUD
Disamping kondisi sosial politik tersebut, beberapa faktor lain
berikut ini kelihatannya ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan
kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama
sebelumnya, baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar
terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam
pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada
kitab-kitab yang ada itu.
2. Fanatisme mazhab yang sempit
Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela
kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan
berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus keidakstbilan
kehidupan politik, dimana frkuensi sikap curiga dan rasa tidak
senang antara seseorang atau antar kelompoknya dengan
mnecari-cari argumentasinya yang pada umumnya apologetic
serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap
emosinalitas yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam
suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap rasionalitas
ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang
sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.
3. Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak
penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang
bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih
dan mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan
mereka diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya
sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut
mazhab tertentu, termasuk penguasa.
Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang
sudah berlangsung semakin lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup
berpengaruh terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara
pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam
perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam
meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan
mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut
sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan
disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H,
mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).
Contoh ijtihad yang dilakukan
Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas
pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut
sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan
oleh pemimpin dan para ulamanya. Mereka, terutama ulama’-ulama’
dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum
yang frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini
menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-
hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

B. KEISTIMEWAAN MASA INI


1. Pengembangan fiqih di Arab, Asia tengah dan  India
Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad,
melainkan berangsur-angsur karena itu dapatlah kita membedakan
antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H)
yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan
terbunhnya al Mu’tashim, dengan masa sesudahnya. Dalam masa
itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada taqlid sampai
pengaruhnya ke asia tengah dan India.
Para imam telah meninggalkan warisan yang begitu
berharga dan sangat besar, yaitu hukum-hukum yang diperlukan
oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam menetapkan
seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya
mengambil dari orang-orang yang mengikuti madzhab, baik di
Timur maupun di Andalus dan Maghribi. Para fuqaha’ masa taqlid
itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala karena aneka ragam
fatwa yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang
menyebabkan para fuqaha’ menjauhkan diri dari ijtihad, dan
adakala karena sudah malas untuk berijtihad, dan adakalanya pula
memang pahamnya sudah tertumbuk pada pendapat bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup. Mulai saat itu fiqh Islam sudah bercerai dari
sifat amaliyah yang praktis berpindah berjalan pada cara yang
teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan merupakan
bentuk yang membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup
dalam kehidupan umat.
Dalam pada itu, dalam masa ini masih terdapat fuqaha’
yang mempunyai pembahasan-pembahasan yang berharga dan
kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-pendapat imam. Dan
pada masa itu masih terdapat mujtahidmuqayyad atau
mujtahid madzhab. Juga para fuqaha’ pada masa itu ada yang
memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan oleh para imam
dan menampung kaidah-kaidah serta mentarjihkan pendapat-
pendapat yang berbeda-beda dari para imam dalam sesuatu
masalah.
Ringkasnya, masa ini adalah masa menyusun fiqh secara
menetapkan masalah-masalahnya yang baru, menurut dasar yaang
telah ditancapkan oleh imam-imam mereka dan mentarjihkan
menguatkan suatu pendapat dari pendapat yang berbeda-
beda.Menurut Ahli Tarikh zaman taqlid terjadi beberapa periode
yaitu :
a.       Periode pertama ( Abad ke IV –  jatuhnya baqdad
ketangan ketangan bangsa tartar pertengahan abad  ke VII Hijrah ).
Masa ini  masa ini  masing-masing ulama menegakan fatwa
imamnya  menyeru  umat untuk bertaqlid dan mazhab yang
dianutnya. Ulama Irak mempropagandakan supaya menganut
mazhab Imam Abu Hanifah, Ulama Madinah kepada mazhab
Imam Malik, pada masa ini paling kuat hanya mentarjih  antara dua
perkataan imam yang berlawanan sehingga berbunyi semboyan :
kami mazhab hanafi, disambut dengan dengan semboyan lain kami
mazhab Malikiyah dan begitulah seterusnya, meraka tidak segan-
segan mengatakan kepada yang bukan mazhabnya kalimat kafir.
b.      Periode kedua
Periode ini, kelemahan ruh ijtihad  terlihat jelas, sangat
kurang ulama yang berani memuncul ijtihad, kecuali beberapa
orang saja diantaranya Al ‘iz ‘abdusslam (578 H-660 H), Ibnu
Daqiqil ‘id (615 H – 702 H ) Al-Bulqini ( 724 H -805 H ), Ibnu
Rif’ah (645-858 H ), ibnu hajar Asqalani (773-858 H), Ibnu
Humam ( 790-911H). Ibnul Hajib (570-646 H), Ibnu Taimiyah
( 661 – 728 H ) Ibnu qayyim ( 691- 751 H), Al Asnawi ( 714 – 784
H),  Al Jalalul Mahalli (791 – 864 H ) dan Al jalalus Sayuti ( 846 –
911 H ).
c.       Periode ketiga
Pada periode ini ijtihad padam  sama sekali, sehingga
haram hukumnya berijtihad, namun ditengah kepakuman ijtihad
muncullah dua mujtahid yang masih diakui ijtihadnya yaitu
Muhammad Ibn Ismail Al Amir Ash-Sha’ani pengarang
subulussalam dan Imam Asy Syaukani pengarang Nailul Authar,
kemudian pada abad XX  bangunlah pujangga sunnah, ahli politik
yang terkenal yaitu Al Imam Muhammad Abduh.
d.      Periode ke Empat
Pada periode ini  adalah periode yang menantang
muhammad Abduh yang  menyerukan kepada para ulama untuk
berijtihad dan  menyingkapkan tirai taqlid
Melihat dari periodesasi di atas nampaklah bahwa
pertengahan abad ke-13, muncul upaya reformasi (pembaharuan)
untuk melepaskan diri dari taklid di kalangan umat Islam. Usaha
ini timbul setelah kaum muslimin sadar akan kelemahan dan
kemunduran mereka akibat perselisihan di kalangan umat Islam
sendiri. Di pihak lain ada juga usaha-usaha non muslim yang ikut
menyokong kehancuran umat Islam. Bersamaan dengan itu banyak
Negara-negara Islam ditundukkan Barat di bawah kekuasaannya.
Dalam pada itu, dunia pada umumnya, terutama barat yang
semula jauh ketinggalan dibandingkan dengan dunia Islam, mulai
maju dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mereka capai. Peradapan yang dahulu berada di tangan kaum
muslimin, beralih ke Barat. Mereka telah mengemukakan masa
keemasannya.
Kemajuan di kalangan Barat, sekaligus keberhasilan
mereka dalam menguasai peradaban dunia ketika itu tidak terlepas
dari faktor utamanya, yakni semangat berfikir rasional mereka,
yang disebut juga pengejawantahan dari semangat Yunani.
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali
kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam
muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam
bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad
Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian
dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-
buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu
pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu
pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk
belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari
300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali
dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh
ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam
yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah
peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan
strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan
dunia.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama
berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal
ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar
terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena
banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba
modern, para mujadid menafsirkan al-qur’an dengan disesuaikan
perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng
Israiliyaht dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran
baru dalam menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-Manar yang
dipelopori oleh Jamaludin al-afghani (1315 H), Muhammad Abduh
(1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh senantiasa
berusaha mencari persesuaian antar al-Qur’an tidak mungkin
mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu.
Bahkan, al-Qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad
yang akhir ini. Pemikiran Abduh terutama dalam bidang hukum
Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia membagi
ruang lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan
mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agar tidak terikat kepada
madzhab tertentu. Sikap semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya
wawasan Abduh dalam hukum Islam. Ia berani mengambil berbagi
keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab. Hal ini
nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian ditindak lanjuti
oleh muridnya, Sayyid Muhmmad Rasyid Ridha. Titik tolak
pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu
tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah
maupun amaliyahnya. Ajaran Islam yang murni inilah yang akan
membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya bid’ah, khurafat
dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.
Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat
tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu Bakar al-Arabi, Abu Bakar al-
Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir
ulama tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha
menafsirkan sunah Rasul disesuaikan dengan laju peradaban
modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang pokok itu tetap
menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman mutakhir.
Dalam mewujudkan pembaharuan dan pembentukan
hukum ini, para mujadid tidak terikat pada salah satu madzhab.
Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang
lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam
modern. Sikap seperti ini dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu),
yakni mengamalkan suatu hukum furu’ yang dzonni menurut
ketentuan dua madzhab atau lebih. Misalnya, seseorang bertanya
kepada ulama Malikiyah tentang batal wudlu karena keluar darah.
Maka ulama itu mengatakan tidak batal. Kemudian orang itu
bertanya kepada ulama Hanafiyah tentang batal wudlu karena
menyentuh kemaluan. Maka ulama itu menyatakan bahwa
wudlunya tidak batal. Apabila orang itu mengamalkan fatwa itu di
dalam wudlunya, yakni beriktikad wudlunya tidak sah pula
menurut ulama hanafiyah karena mengeluarkan darah, maka orang
demikian telah mengamalkan talfiq.
Dalam masalah boleh tidaknya talfiq, terdapat beberapa
pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-Jalal Mahalli
mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-
Athar, Ibnu Humma Abu Ishak al-Marwani membolehkannya.
Pendirian tersebut berpegang kepada firman Allah: “Allah
menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Usaha ulama yang lain adalah berkaitan dengan kemurnian
tasyri’ islam dari bid’ah dan khurafat. Bid’ah dapat diartikan
menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan sunah
Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah
ketentuan yang telah ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan
sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi kehendak al-Qur’an
dan sunah Rasulullah.
Dalam memperbaharui tasyri’ Islam, para mujtahid
berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam dari bid’ah dan khurafat,
umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan
sebagaimana yang dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat.
Tokoh terkenal yang menentang bid’ah dan khurafat adalah Abu
Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyullah al-Dahlawi dari
India.

C. SEBAB-SEBAB FAHAM TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD


Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana
kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali
hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap
kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka berbicara
tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa
dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad
keempat hijriah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid
tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum
dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan,
larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam
sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para
fuqoha periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa
digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan tersebut.
Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang
menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang
masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu
dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal
ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan kontribusi
positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada
menutup pintu ijtihad sama sekali.
Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan
terhentinya kegiatan ijtihad, dan menetapi bertaqlid kepada para
ulama terdahulu, diantaranya yaitu:
1.      Terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah
kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan para rajanya,
penguasanya dan rakyatnya.
Hal ini menyebabkan mereka selalu sibuk dengan
peperangan-peperangan, saling menfitnah, memasang berbagai
perangkap, tipu daya dan pemaksaaan dalam rangka meraih
kemenangan dan kekuasaan. situasi dan kondisi seperti ini
melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan
kesenian menjadi lemah dan mandek. Dan krisis ini mempengaruhi
terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum.
2.      Pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa
madzhab yang masing-masing mempunyai corak sendiri.
Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran
hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Dan
setiap aliran hukum ini mempunyai pengikut dan kader-kader yang
berusaha mencurahkan segenap perhatiaanya dalam rangka
membela dan memenangkan madzhabnya masing-masing.
Misalnya adakalanya dalam rangka membela dan memperkuat
madzhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan
argumentasi yang melegitimasi kebenaran madzhabnya sambil
mengedepankan kekeliruan madzhab lain yang dinilai bertentangan
dengan madzhabnya.
Disamping itu juga adakalanya dengan cara menyanjung-
nyanjung para tokoh ulama dan pemimpin mereka serta menonjol-
nonjolkan kemampuan dan kehebatan mereka. Kondisi inilah yang
membuat para ulama madzhab sibuk dan membelokkan mereka
dari dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu Alquran dan Sunnah. Dan tak
seorangpun dari mereka yang mau merujuk kembali pada Alquran
dan Hadis, kecuali hanya sekedar untuk memperkuat madzhab
imamnya walaupun dengan cara menyimpang dalam memahami
dan menakwilkan. Dengan demikian, kepribadian seorang alim
ulama tenggelam dan hancur kedalam kepentingan golongannya
dan semangat kemerdekaan berpikir menjadi mandek dan mati.
Orang-orang alim menjadi seperti orang-orang awam saja yakni
sebagai pengikut-pegikut yang bertaqlid.
3.      Umat islam mengabaikan sistem kekuasaan
perundang-undangan.
Sementara disisi lain mereka juga tidak mampu
merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak
ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya. Dengan
demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad dengan
demikian praktek ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak
mempunyai keahlian. Orang-orang bodoh mempermainkan nash-
nash syariat, mereka berani berfatwa kepada umat islam, maka
munculah berbagai macam fatwa hukum yang bertentangan antara
satu dengan yang lainnya. Hal ini juga diikuti dengan munculnya
berbagai keputusan hukum di peradilan-peradilan sehingga
terjadilah keputusan hukum di peradilan yang bertentangan dalam
kasus yang sama dalam satu negri. Semua ini terjadi dikalangan
umat islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari hukum-
huum syariat. Situaisi dan kondisi ini membuat para ulama merasa
khawatir sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum
dengan cara menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikat para
mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya tetap saja mengikuti
ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu. Inilah
cara mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum
islam dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan
(statis). Ini terjadi pada akhir abad IV H.
4.      Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat
mereka, sehinga tidak bisa sampai pada level orang-orang yang
melakukan ijtihad.
Dikalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois
mementingkan diri sendiri. Kalau salah seorang diantara mereka
berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti akan membuka pintu
kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan rekan-rekan lainnya.
Kalau ia berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut
pendapatnya, maka para ulama lainnya meremehkan pendapatnya
dan merusak fatwanya dengan berbagai macam cara. Oleh karena
itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya tipu
daya dari rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan
mengatakan bahwa dia itu tukang taqlid dan tukang kutip saja dan
bukanlah seorang mujtahid, dengan demikian semangat ijtihad
mandek dan mati sehinggga tidak ada yag lahir dan terangkat
tokoh-tokoh dalam dunia fikih Islam. Dan kepercayaan ulama
terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula,
kepercayaan masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang
sehingga dengan demikian mereka bertaqlid kepada madzhab-
madzhab imam mujtahid terdahulu saja.

D. TOKOH ULAMA PADA PERIODE INI


1. Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)
Namanya Abu Hanifah al-Nu’man, terkenal dengan Imam
ahl al-Ra’yi. Beliau lahir di Kufah dan meninggal dunia di
Baghdad. Muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Zufar bin
Hudzail bin Qa`is sl-Kufi, al-Hasan bin Ziyad, dan Muhammad bin
al-Hasan al-Syaibani.
Pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur berkuasa di
Baghdad, Abu Hanifah diundang ke Baghdad untuk menjabat
hakim, tetapi beliau menolak berkali-kali, akhirnya beliau
dijebloskan ke dalam penjara dan kemudian dihukum cambuk.
Akhirnya, ia meninggal dunia di Baghdad dalam usia 70 tahun.
Ciri yang paling menonjol adalah beliau lebih mengandalkan Qiyas
dalam penetapan hukum.
Pengaruh
didunia: Irak, Turki,Affghanistan, Bukhara, Pakistan,India, Mesir
teutama kalangan akademik Jami’ah al-Azhar.
2. Imam Malik bin Anas (93 – 179 H/ 712 – 798 M)
Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin
Abu ‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits, lahir dan meninggal dunia di
Madinah. Karena itu, ia terkenal dengan Imam al-Haramain.
Murid-muridnya:
·         Al-Auza’i
·         Sufyan al-Tsauri
·         Sufyan bin ‘Uyainah
·         Ibnu al-Mubarak
·         Al-Syafi’i
Kitabnya: al-Muwaththa’, kitab hadits 1720 hadits, ditulis
tahun 144 H atas perintah Khlifah Ja’far al-Manshur. Ciri yang
paling menonjol adalah sangat tergantung pada amalan (praktik)
penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ahad yang shahih.
Pengaruh di Dunia: Marokko,Mauritania, Mali, Al-
Jazair, Tunisia,Libiya, Mesir (Iskandariyah), Sudan
Utara, Sinegal, Pantai Gading,Nigeria, Afrika Utara, Hijaz

3. Imam al-Syafi’i (150 – 204 H/ 767 – 820 M)


Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin
‘Utsman bin syafi’i, lahir di Ghazzah (kawasan Palestina Selatan)
dan meninggal dunia di Mesir. Beliau hafal Kitab yang ditulis
Imam Malik, al-Muwaththa’. Tahuan 195 H beliau hijhrah ke
Baghdad untuk belajar dari murid Imam Abu Hanifah, kemudian
beliau berangkat ke Makkah. Tahun 198 H beliau kembali lagi ke
Baghdad; dan tahun 199 H beliau berangkat ke Mesir. Kumpulan
fatwa selama di Baghdad disebut Qaulun Qadim dan di Mesir
disebut Qaulun Jadid. Beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun.
Guru-guru beliau: Malik bin Anas, Muslim bin Khalid,
Ibnu ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad. Murid-Muridnya: Ahmad bin
Hanbal, al-humaidi, Abu Thahir bin al-Buwaithi, Muhammad bin
Abdil Hakam.
Beliau pernah dipenjara dan disiksa karena tidak mengakui
al-Qur’an sebagai makhluk tetapi qadim. Karya-karyanya: al-
Musnad, Mukhtalif al-Hadits, al-Sunan. Dalam bidang Fiqh dan
Ushul Fiqh : al-Umm, al-Risalah.
Pengaruhnya di Dunia: Kairo,Somalia, Eritria, Kenya
Afrika
Tuimur, Zanzibar, Hadramaut,Pakistan, Asia, Suria, Libanon,Yama
n (Yaman Selatan), Emirat Arab, Indonesia, Brunei
Darussalam,Malaysia, Filipina,
Ciri khasnya: pendapat lama (Qaulun Qadim) dan baru
(Qaulun Jadid); dalam menetapkan hukum, tidak menggunakan
istihsan dan mengutamnakan hadist Ahad.
4. Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H/ 780 – 855 M)
Nama aslinya, Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal
al-Marwazi, lahir dan meninggal dunia di Baghdad.
Beliau merantau ke Makkah, Madinah, Syam, Yaman,
Basrah dan lain-lain. Beliau adalah murid setia Imam al-Syafi’i.
Beliau hafal 1000.000 hadis. Pendapat beliau menolak “al-Qur’an
adalah makhluk.” Sebagai akibatnya, beliau disiksa dan di penjara.
Muridnya: Imam al-Bukhari, Muslim, Ibnu Abiddunya dan
Ahmad bin Abi al-Hawarimi. Karyanya:Musnad al-Kabir berisi
40.000 hadits.
Pengaruhnya: Saudi Arabia,Hijaz, Qathar, Mesir. Sebab Perbedaan
Pendapat dalam Islam:
1. Perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
- Lafazh Musytarak (satu kata banyak makna)
- Amr (perintah) dan Nahy (larangan)
-  Haqiqat (makna sebenarnya) dan Majaz (makna kiasan)‘
- Amm (makna umum) dan
- Khash (makna khusus,
- Nasikh (yang menghapus) dan
- Mansukh (yang dihapus)
- Muthlaq (makna bebas, tidak terikat) dan Muqayyad
(makna terikat)
- Manthuq (makna tekstual) dan Mafhum (makna yang
dipahami, kontekstual)
- Ta`wil (pengalihan makna)
- Mujmal (tidak jelas pengertiannya) dan Zhahir (makna
yang sudah jelas)
2. Perbedaan Cara Menilai tingkat Kesahihan Hadits
3. Perbedaan dalam menilai dalil yang bertentangan
4. Perbedaan dalam menilai ‘urf atau adat kebiasaan
5. Merujuk kepada dalil-dalil yang diperselisihkan
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya
itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran
Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya
dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada
tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang
mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam
pikiran yang jumud dan statis.
Keistimewaan Masa Ini adalah di Pengembangan fiqih di Arab, Asia
tengah dan  India. Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan
berangsur-angsur karena itu dapatlah kita membedakan antara masa sebelum
pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H) yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan
Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al Mu’tashim, dengan masa
sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada taqlid
sampai pengaruhnya ke asia tengah dan India.
Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan terhentinya kegiatan
ijtihad, dan menetapi bertaqlid kepada para ulama terdahulu, diantaranya yaitu :
1.      Terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang
saling bermusuhan para rajanya, penguasanya dan rakyatnya
2.      Pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-
masing mempunyai corak sendiri.
3.      Umat islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.
4.      Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa
sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad.
Tokoh ulama masa ini :
1.      Imam Hanafi
2.      Imam Maliki
3.      Imam Syafi’i
4.      Imam Hanbali
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.unissula.ac.id

Anda mungkin juga menyukai