(Diajukan Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih yang diampu oleh Drs.
H. M Rosyadi BR, M.Pd.I)
1. AINI ( D20181048 )
2. Putri Yulianti ( D20181066 )
3. YUDI ()
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat rahmat-Nya berupa
kekuatan lahir maupun batin serta jalan semangat sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar dan sebaik baiknya.
Tugas makalah ini berisi materi tentang bahasan Fase Kemunduran Ilmu
Fiqih untuk memenuhi tugas mata kuliahIlmu Kalam.Kami berterimah kasih
kepada Bapak Drs.H.M Rosyadi BR, M.Pd.I selaku dosen pembimbing dan telah
bersedia memberikan saran kepada kami sehingga makalah ini selesai dibuat.Serta
semua teman-teman yang mana telah semangat dan ketekunan dalam membuat
makalah ini
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................I
DAFTAR ISI.................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah....................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Masa Kemunduran Ilmu Fiqh.....................................................................3
2.2 Kemunculan Taqlid pada Masa Kemunduran............................................3
2.2.1 Faktor Kemunculan Taqlid...............................................................4
2.2.2 Kontribusi Para Ulama’ dan Fuqoha’ pada Fase Taqlid...................6
2.3 Kemunculan Jumud Pada Masa Kemunduran............................................9
2.3.1 Kontribusi Fuqoha’ pada Periode Ini................................................10
2.3.2 Dampak Kejumudan ini terhadap Fiqh Islam...................................11
2.4 Faktor Kemunduran Fiqh Pada Periode Ini................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak permulaan abad ke-4 Hijriyah atau abad ke-10-13 Masehi, Ilmu fiqh
mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (penghujung) pemerintahan atau
dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri
mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam
buku berbagai madzhab yang dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-
soal pokok, tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (ranting).
Sejak itu mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya
(Ittiba’-Taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini tidak lagi menggali hukum fiqh
Islam dari sumbernya yang asli, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-
pendapat yang telah ada dalam madzhabnya masing-masing. Kalau orang menulis
masalah hukum tulisan itu biasanya hanya merupakan komentar atau catatan-
catatan terhadap pikiran-pikiran hukum yang terdapat dan telah ada dalam
madzhabnya sendiri. Era taqlid ini kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan
(kebekuan).1
1
4. Apa faktor kemunduran ilmu fiqh?
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Fase ini berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir abad
ketiga belas hijriah. Dikarenakan periode ini mencakup dua fase yang bertautan,
fase pertama masih terkait dengan fase kedua secara langsung maka disini kami
akan menjelaskan periode ini dengan mengupas dua fase ini secara intensif.
Pertama, tentang era taqlid kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan
(kebekuan).
2 Saifuddin Mujtabah, Ilmu Fiqh, (Jember: STAIN Jember Press, 2013), 174.
3 http: // abusalma. Wordpress. Com / e-books/.
3
Dari penjelasan diatas kita tau bahwa ada sebagian fuqaha’ yang memiliki
kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja
mereka berpaling dari kemandirian berfikir dan tidak mau membuat madzhab
baru, serta merasa sudah cukup dengan madzhab yang ada. Kemudian mereka
pun bertaqlid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah
cabang yang ada dalam madzhab. Adapun sebab terjadinya taqlid, diantaranya
sebagai berikut:
Yang mendorong para ulama’ untuk berijtihad pada zaman itu karena ingin
mengetahui hukum dari sebuah masalah yang baru muncul ditengah masyarakat
yang belum ada hukumnya. Maka ketika para ulama’ mujtahid terdahulu sudah
menulisnya kemudian datanglah para ulama’ pada periode ini dan mendapatkan
segalanya sudah tersedia dan lengkap sehingga tidak ada lagi keinginan untuk
berijtihad. Semua permasalahan yang dicari sudah ada jawabanya, baik masalah
yang besar atau kecil sehingga tidak ada lagi hajat untuk mencari kembali, semua
madzhab sudah menyediakan hidangan fiqhnya.
2. Fanatisme madzhab
Para ulama’ pada periode ini sibuk dengan menyebarkan ajaran madzhab dan
mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha’. Bahkan
sampai kepada tingkat dimana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan
imamnya, seakan kebenaran semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa
ulama’ yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama’
Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan “setiap ayat yang bertentangan
dengan pendapat madzhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau
dihapuskan”, termasuk juga hadist nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar
pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang
kemudian menutup mata mereka dari ijtihad. Sebab, jika ia sudah menyakini
sebuah doktrin, berlabuh dalam lautanya, berdiri tegak tidak mau beranjak, segala
4
keputusan ada padanya, dan pada akhirnya inilah bentuk sebuah kejumudan
(kebuntuan) berfikir.
3. Jabatan hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka
yang memang mumpuni dalam bidang ilmu Al-quran dan sunnah Rasullah serta
memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para
khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus
berdasarkan pada Al-quran, sunnah Rasul-Nya, dan logika yang dekat dengan
kebenaran. Buktinya, surat yang ditulis oleh Umar bin Khattab kepada hakimnya,
Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata kepadanya, “jabatan hakim itu adalah sebuah
kewajiban yang sudah ditetapkan dan warisan yang diikuti, maka pahami dan
pahami setiap masalah yang disampaikan kepadamu yang tidak ada dalam Al-
quran dan sunnah, kemudian tetapkanlah yang ada kemiripan, dan carilah yang
sepadan, kemudian peganglah yang kamu lihat lebih dicintai Allah dan lebih dekat
dengan kebenaran. Namun, ketika kondisi sosial sudah berubah bersama dengan
pergeseran waktu, para khalifah pun lebih mengutamakan para hakim yang hanya
bisa ber-taqlid, ikut pada pendapat madzhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh
khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai
hakim harus mengikuti salah satu madzhab dan tidak melangkahinya.
Petaka besar menimpa fiqh islam pada periode ini dimana kesucian ilmu ternodai,
orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan merek sangat jauh dari
pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqh yang pada akhirnya mereka
berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan
ulama’ untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan ayat keempat hijriyah agar
mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan
menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi
sangat disayangkan, larangan ini telah member efek yang negative terhadap fiqh
islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya
5
para fuqaha’ periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk
membantah pendapat ulama’ gadungan tersebut. Salah satunya dengan
menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak,
dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu
dan menyesatkan dan bukan penutuppintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka
lakukan, niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan fiqh islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama
sekali.4
Begi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini, dapat membuat
kesimpulan bahwa bentuk khidmat atau upaya itu terhimpun dalam beberapa hal
sebagai berikut:
Pada zaman ini para ulama’ menemukan banyak sekali khazanah fiqh yang
diwariskan oleh generasi sebelumnya, namun mayoritas warisan fiqh ini masih
belum menyebutkan illat-nya (hikmah atau alasanya). Kemudian masing-
masing fuqaha’ madzhab mengkaji, berijtihad, dan mengistinbat illat hukum fiqh
yang diwariskan oleh imamnya. Melalui cara ini mereka bisa menentukan hukum
bagi masalah baru yang tidak sempat dibahas oleh para imam madzhab
sebelumnya.
Tentu inisebuah hasil ijtihad dari mereka namun bukan ijtihad mutlak. Ini
merupakan ijtihad khusus yang berputar disekitar madzhab-madzhab tertentu,
yaitu apa yang dinamakanushul takhrij dan mereka dinamakan ulama’takhrij.
6
Fuqaha’ hanafiyah paling banyak menggunakan konsep eksplorasi illat-
illat hukum dan membahas tentang ushul madzhab Imam Abu Hanifah,karena
madzhab mereka dibangun diatas apa yang pernah ditulis oleh Muhammad bin
Al-Hasan Asy-Syaibani yang sarat dengan masalah fiqh. Akan tetapi makalah ini
tidak menyebutkan illat-illat (hikamah) lalu mereka berijtihad mencarinya dan
berupaya mengetahui ushul madzhabnya.
Adapun yang mendorong para ulama’ Hanafiyah untuk melakukan hal ini adalah
adanya debat dan diskusi ilmiah yang mereka lakukan dengan ulama’-ulama’
Syafi’iyah tentang beberapa masalah fiqh. Sudah tentu masing-masing madzhab
akan berupaya memenangkan madzhabnya dengan dalil yang kuta sehingga tidak
dapat dipatahkan oleh lawan.
Oleh karena itu, mereka tidak perlu lagi mencari prinsip dasar madzhab sang
imam danillat-illat hukum pada masyarakat.
2. Tarjih
7
Seperti yang sudah kami jelaskan diatas, betapa debat dan diskusi ilmiah diantara
para ulama’ telah memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan ilmu
pengetahuan secara umum dan fiqh islam khususnya. Ini terjadi ketika debat dan
diskusi bertujuan untuk mencari kebenaran dan inilah yang terjadi pada zaman
imam-imam madzhab.
Akan tetapi, fiqh pada fase ini telah berubah haluan. Masing-
masing fuqaha’ madzhab sibuk memperjuangkan madzhabnya sendiri dengan
menempuh dua cara berikut.
Masing-masing pihak menulis buku tentang kelebihan yang dimiliki oleh sang
imam dalam bentuk syair dan prosa yang disebarkan kepada masyarakat umum
dengan harapan agar mereka memberikan loyalitas kepada imamnya.
8
b. Menyebutkan dalil hukumnya dari setiap imam.
Tentu usaha ini sangat baik dan dapat membantu kita untuk memahami pendapat
yang kuat secara pasti, jika memang bertujuan mencari kebenanrana tanpa ada
rasa fanatic madzhab. Akan tetapi pada kenyataanya hal ini sangat berbeda sekali,
yang tampak bagi para penulis kitab sejarah tasyri’ islam pada zaman ini adalah
rasa fanatic dan ingin memenangkan madzhad sendiri.
Dan terkadang mereka terbawa perasaan saling menghujat dan melampaui batas,
suatu kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi diantara para imam
madzhab itu sendiri, yaitu kompetisi ilmiah yang mulia untuk mencari kebenaran
tanpa fanatic dan berlebih-lebihan, yang mereka lakukan sama dengan apa yang
pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.5
Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan. Periode ini dimulai sejak tahun
656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada
akhir abad ketiga belas.
Pada era ini kondisi perjalanan fiqh Islam saangat buruk sekali. Padahal periode
ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan
jumud. Jika di zaman generaasi pertama kita bisa melihat para fuqoha’ yang sibuk
menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya
9
sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki kemampuan
untuk menempuh jalan para pendahulunya.
Akibatnya, apa yang mereka hasilkan berbeda sekali dengan hasil karya para
pendahulu. Jika para pendahulu membuat uraian, talil hukum, mentarjih pendapat
yang kuat dan memilih pendapat yang ditopang olegh dalil, namun pada masa ini
semuanya serba ringkas dan terbatas. Tujuan parafuqoha’ pada masa ini adalah
mewujudkan dua hal: Pertama, agar masyarakat mudah memahami masalah
fiqh. Kedua, memudahkan para pelajar menghafal kandungan fiqh madzhab dan
menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi sedikit.
Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan terlihat pada beberapa
hal sebagai berikut:
Yaitu tulisan ringkas. Penulisan matan menjadi tren sepanjang periode ini, bahkan
menjadi konsentrasi fuqoha’, hingga ada yang mengatakan, “Siapa yang
menghafal matan (teks), maka ia akan mendapat ilmu banyak.
Jenis penulisan seperti ini belum muncul kecuali pada fase kedua dari periode ini,
menjadi hobi para fuqoha’ sampai kepada tingkat rumus-rumus tertentu.
10
asig dan dapat menjadi catatan ini pun belum cukup sehinnga perlu ada ulasan
tersendiri.6
Kejumudan yang menimpa fiqh Islam sepanjang perjalanan periode ini telah
memberikan dampak sebagai berikut:
1. Ketidak berdayaan fiqh Islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul.
3. Masyarakat dan para penguasa sebagian negeri Islam menjadi berpaling dari
fiqh Islam dan memakai konsep undang-undang konvensional sebagai rujukan
dalam urusan pribadi, termasuk juga urusan pemerintahan. Dengan demikian,
syari’at Islam menjauh daari kehidupan, padahal sebelumnya syari’at Islam
menjadi sumber perundangan.
Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini di antaranya
sebagai berikut:
2. Pada zaman ini para fuqoha’ yang lebih memperhatikan warisan fiqh madzhab
dan mengajak masyarakat untuk mengikutinya, fanatik, dan menghujat orang-
orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
6 Ibid: 127
11
3. Para fuqoha’ membatasi ruang geraknya dan tidak mau berijtihad seperti yang
kami jelaskan sebelumnya.
4. Munculnya beberapa buku yang syarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan,
sehingga masyarakat melupaka buku-buku warisan yang berharga, gaya
bahasanya mudah dipahami dan penjelasannya mudah untuk dicerna.
5. Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa
Negara baru, baik Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di kawasan Timur Tengah,
dan Asia. Munculnya Negara-Negara baru itu membawa ketidakstabilan
politik. Hal ini mempengaruhi pula kegiatan pemikiran dan pemantapan
hukum.
BAB III
PENUTUP
3.1 Saran
12
bertautan, tentang era taqlid kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan
(kebekuan).
Taqlid mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan
hujjah. Faktor yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah
pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi
Negara kecil, sebagian fuqaha’ yang memiliki kapasitas untuk memahami,
ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja mereka berpaling dari
kemandirian berfikir dan tidak mau membuat madzhab baru, serta merasa
sudah cukup dengan madzhab yang ada. Adapun sebab terjadinya taqlid,
diantaranya sebagai berikut:
1. Pembukuan kitab madzhab
2. Fanatisme madzhab
3. Jabatan hakim
4. Ditutupnya pintu ijtihad
Begi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini,
dapat membuat kesimpulan bahwa bentuk khidmat atau upaya itu
terhimpun dalam beberapa hal yaitu ta’lil, tarjih, dan upaya pembelaan
madzhab dan penulisan fiqih perbandingan.
Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan. Periode ini dimulai sejak
tahun 656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan
berakhir pada akhir abad ketiga belas. Pada era ini kondisi perjalanan fiqh
Islam saangat buruk sekali. Padahal periode ini adalah fase terpanjang
dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud.
Jika di zaman generaasi pertama kita bisa melihat para fuqoha’ yang sibuk
menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para
ulamanya sudah beralih profesi menjaditaqlid buta, padahal mereka
memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya.
Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan terlihat pada
beberapa hal sebagai berikut: penulisan matan dan penulisan Syah,
Hasyiyah, dan Ta’liq.
13
Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini di
antaranya sebagai berikut:
1. Adanya pergolakan politik dalam tubuh Negara islam
2. Para fuqaha’ lebih memperhatikan warisan fiqh madzhab dan
berfanatik
3. Para fuqaha’ tidak mau berijtihad
4. Munculnya buku-buku yang sarat dengan rumusan yang perlu
dipecahkan
3.2 Kesimpulan
Dengan adanya peristiwa yang digambarkan di makalah ini semoga
kita mampu berijtihad dan bukan hanya bertaqlid yang menyebabkan kita
menjadi jumud sehingga pemikiran orang islam terus mengalami
kemandekan dan tidak berkembang.
Daftar Pustaka
14
15