Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MEMAHAMI IJTIHAD SEBAGAI SUMBER NILAI KETIGA

Dosen Pengampu:

Dr. Mahfudz, M. Pd.i

Oleh :

KELOMPOK 5

1. RACHMY DESTYANI NIM: 2220201113


2. TRI AJENG NURJANAH NIM: 2220201134
3. TRI JULIYANTI NIM: 2220201125
4. NANDA ABSORI NIM: 2220201114
5. NIKEN WINDI WAHYUNI NIM: 2220201115

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

UNIVERSITAS UIN RADEN FATAH PALEMBANG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Dr. Mahfudz, M.Pd.i sebagai
dosen pengampu mata kuliah studi keislaman yang telah membantu memberikan arahan dan
pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Palembang, Oktober 2022

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH.....................................................................................................................5
C. TUJUAN..........................................................................................................................................5
D. PENDAHULUAN..............................................................................................................................5
E. PEMBAHASAN................................................................................................................................6
1.1 Pengertian Ijtihad........................................................................................................................6
1.2 Jenis-jenis ijtihad.........................................................................................................................8
1.3 Faktor Penyebab Perbedaan Ijtihad...........................................................................................10
1.4 Sejarah Ulama Mujtahid Mutlak................................................................................................11
F. KESIMPULAN................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17
A. LATAR BELAKANG

Suasana serta keadaan umat Islam saat ini ini sangatlah berbeda dengan keadaan pada era
nabi, teman, ataupun pada masa Imam madzhab terdahulu. Pada dikala ini dunia Islam
telah sangat tertinggal oleh dunia Barat. Eropa yang dulu mulai memahami peradaban
serta alam benak orang- orang Yunani berkat jasa para ilmuwan Arab/ Islam itu saat ini
ini dalam banyak perihal malah lebih maju dari pada Islam sendiri, tercantum pranata
sosial serta politiknya. Apalagi dalam bidang hukum, sebagian besar dari negara- negara
baru yang mulai bermuncul didunia Islam semenjak akhir perang dunia kedua, tercantum
Republik Indonesia, menjajaki Barat, baik hukum konstitusi, hukum perdata serta pidana.
Satu- satunya yang masih menjajaki ajaran Islam merupakan hukum keluarga:
pernikahan/ perceraian, pembagian peninggalan, serta perwakafan. Itu juga dengan
berbagai modifikasinya. Dengan kata lain, dunia Barat yang dahulu tertinggal oleh Islam
itu sekarang sangat pesat serta dikala ini sangat jauh di depan Islam.

Perihal tersebut sebab negara negara tersebut terus mencari dengan menggunakan ide,
yang merupakan pemberian Tuhan yang utama kepada umat manusia. Sedangkan itu
pengembangan intelektual dalam dunia Islam boleh dikatakan telah semenjak lama
menyudahi. Walaupun ungkapan‘ pintu ijtihad sudah tertutup’ telah amat jarang
terdengar, namun para pemikir umat Islam saat ini nyatanya masih senantiasa jera buat
berani berfikir. Dampaknya, Islam yang dahulu ditangan nabi ialah ajaran revolosioner,
saat ini ini mewakili aliran yang terbelakang. Dalam membongkar masalah- masalah
ijtihadiyah, biasanya para Mujtahid enggan meng- istinbath hukum secara langsung dari
al- Qur’ an dan Sunnah lewat sebagian tata cara ijtihad yang sudah dipakai para imam
pendahulu mereka. Mereka lebih suka mencari pada bahan- bahan ijtihad para Mujtahid
lebih dahulu, walaupun hasil ijtihad tersebut telah tidak cocok dengan suasana dan
keadaan era saat ini ini dalam pemecahan permasalahan.

Sikap mereka yang demikian ini, mempertipis rasa toleransi antara sesama pengikut
madzhab fiqih, sehingga kerapkali mencuat persaingan serta permusuhan sebagai akibat
dari fanatisme madzhab yang kelewatan. Sebagian fuqaha’ pada masa ini juga seakan-
akan tidak keberatan dengan ditutupnya pintu ijtihad serta seolah- olah mereka
mensetujui perihal tersebut. Menyerahkan aktivitas ijtihad kepada orang- orang yang
bukan ahlinya, menurut pertimbangan mereka, tidak lebih baik dari aksi menutup pintu
ijtihad. Sehingga keahlian ijtihad mutlaq seorang dikala itu tidak diakui, sebab yang
diperoleh cumalah ijtihad relatif( nisbi). Maksudnya Mujtahid cuma diperbolehkan
melaksanakan pengertian kembali terhadap hukum- hukum fiqih Islam dalam batasbatas
yang sudah didetetapkan oleh madzhab yang dianutnya. Ataupun sangat jauh dan sekalian
ialah poin paling tinggi dalam legislasi otentik masa itu, mujtahid cuma dibenarkan
melaksanakan riset kombinasi serta perbandingan tentang hukum Islam dari aliran- aliran
fiqih yang berbeda.

Akibat dari perilaku para fuqaha- fuqaha tersebut hukum Islam menjadi terpisah dari
gerak hidup, sebab gerak hidup manusia dengan segala persoalannya tidak memahami
menyudahi, sebaliknya hukum Islam diberhentikan secara paksa pada hasil ijtihad pada
masa kemudian serta hukum Islam cuma bersifat teori semata, sebab dalam praktek tidak
sanggup lagi melayani bermacam aspek pergaulan manusia yang terus berganti serta
tumbuh.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian, masalah yang akan diidentifikasi dalam penyusunan
tugas makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menyebabkan adanya perbedaan Ijtihad ?


2. Apakah Ijtihad bisa dilakukan Siapa saja, coba jelaskan ?

C. TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah

1. Mengetahui apa saja yang menyebabkan perbedaan Ijtihad


2. Memahami jenis jenis Ijtihad
3. Mengetahui Sejarah Ulama Ijtihad

D. PENDAHULUAN

Di dalam sejarah dan perkembangannya, ijtihad telah ada sejak zaman Rasulullah
saw. Bahkan, Rasulullah saw. merupakan mujtahid pertama dalam Islam,
disusul kemudian oleh para sahabat, para imam mazhab,mujtahid
mazhab,muqalliddanmujtahid muta`akhir.

Pada akhir abad dua puluh sampai saat ini, perkembangan hukum Islam memasuki
babak baru, yaitu telah tumbuh kesadaran dari kalangan ahli atau ulama fikih
untuk membebaskan diri dari ke-taqlid-an. Kesadaran ini pertama kali muncul di
kalangan ulama fikih yang berijtihad di Mesir. Hal ini dikarenakan banyak
persoalan-persoalan yang timbul di abad modern yang tidak dapat ditemui jawabannya
dari fikih yang sudah ada. Mulailah para mujtahid yang notabene adalah ulama fikih
melakukan ijtihad tanpa harus merujuk kepada fikih yang sudah ada dan langsung kepada
sumber hukum Islam, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits serta amal para Salaf Saleh.
Mereka berpendapat bahwa mazhab-mazhab yang dipegang oleh Jumhur Ulama
semuanya juga kembali kepada prinsip pokok agama Allah yang benar dan bersumber
dari sumber-sumber sebagaimana yang telah disebutkan.

Dengan kesadaran ini, banyak persoalan dapat terjawab oleh hukum Islam. Dari
persoalan bayi tabung sampai pada persoalan bank. Dari aspek ekonomi sampai
pada aspek seni dan budaya. Namun demikian, banyak pula ulama fikih masa kini
yang tetap berpegang pada salah satu dari mazhab fikih yang ada atautaqliddi
dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan suatu hukum. Dengan fenomena seperti
di atas, maka ulama ahli ushul fikih membagi ahli fikih ke dalam tujuh tingkatan.
Empat tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke dalam
kategorimuqallid,belum sampai ke derajat mujtahid.

Kesadaran untuk membebaskan diri daritaklid, juga menjalar ke Indonesia. Walau


di Indonesia mazhab yang dianut oleh umat Islam kebanyakan adalah
Mazhab Syafi`iyyah, namun banyak ulama fikih di Indonesia yang tidak lagi terikat
pada salah satu mazhab ketika melakukan ijtihad. Selain banyak pula yang tetap
bersandar dan mengikuti pada imam mazhabnya. Atau dengan kata lain, ulama
fikih atau mujtahid di Indonesia telah memenuhi empat pengelompokkan
mujtahid sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hal ini tentu menjadikan hasil
ijtihad dari seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya terhadap suatu persoalan
menjadi beragam, terutama bila menyangkut persoalan-persoalan kekinian.
E. PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad terambil dari kata dasar jâhada, kata ini secara bahasa bisa diartikan
dengan: “kerja keras”, “giat”, “tekun”, dan “sungguh-sungguh”. Sedangkan secara
istilah, ijtihad memiliki pengertian: pencurahan tenaga pikiran untuk mengambil
hukum yang bukanqath`idari suatu dalil. Ijtihad menurut Ulama Ushul ialah
usaha seorang yang ahli fikih yang menggunakan seluruh kemampuannya
untuk menggali hukum yang bersifat‘amaliah(praktis) dari dalil-dalil yang
terperinci.

Ijtihad secara harfiah berarti usaha keras dan gigih. Sedangkan secara teknis berarti
penggunaan penalaran hukum secara independen untuk memberikan jawaban atas suatu
masalah ketika al-Qur’an dan al-Hadits “diam” tak rnemberi jawaban. Konsepijma’
(konsensus) muncul sebagai hasil upaya percobaan ijtihad. Artinya,ijtiha dtelah menuntun
para perintis hukum kepada kesimpulan bahwa konsensus masyarakat atau para ulama
atas suatu masalah, harus dijadikan salah satu sumber syari’ah. Sunnah mendukung ijtihad
sebagai sumber syari’ah. Pengertian ijtihad, yang menurut penulis cukup representatif untuk
karya ilmiah ini adalah yang telah diberikan oleh Imam Asy-Syatibi. Menurutnya,
ijtihad memiliki pengertian: “Menggerakkan segenap kemampuan dan mencurahkannya
kepada tujuan yang luas; terkadang bertujuan untuk memahami atau mendapatkan hukum-
hukum syari`at dan terkadang bertujuan untuk mencocokkan hukum-hukum syari`at.”

Adapun tujuan ijtihad untuk mencocokkan hukum-hukum syari`at merupakan jenis yang
pertama yang bisa dilakukan oleh semua orang tanpa pengecualian, sedangkan tujuan ijtihad
untuk memahami atau mendapatkan hukum-hukum syari`at merupakan jenis kedua yang
hanya bisa dilakukan oleh orang yang ahli (mujtahid).

Jadi, dari pengertian di atas dan penjelasan yang diberikan oleh Imam Asy-Syatibi,
pengertian ijtihad di sini adalah menggerakkan segenap kemampuan dan mencurahkannya
yang bertujuan untuk memahami atau mendapatkan hukum-hukum syari`at dari dalil-dalil
yang bukanqathiyang dilakukan oleh orang yang ahli. Orang yang ahli di bidang ini, disebut
dengan mujtahid. Dasar Ijtihad, Hukum Ijtihad dan Masalah-masalah yang
Diperkenankan Ijtihad Adapun dasar untuk melakukan ijithad adalah al-Qur`an, al-
Hadits atau Sunnah Rasulullah saw., Ijma` dan Qiyas. Sedangkan para ulama Fikih sepakat
bahwa hukum ijtihad adalah wajib. Alasannya adalah QS. Al-Hasyr ayat 2, QS. An-
Nisa ayat 59; dan juga hadis Rasulullah saw., “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang
akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya.”

Mengenai masalah-masalah yang boleh di-ijtihadi, Prof. Abdul Wahhab Khallaf mengatakan,
“Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang sudah ada nashnya secara pasti
(dalilqothi).”

Hal ini memberikan pengertian bahwa seorang mujtahid tidak boleh mencari hukum
lain jika sudah ada ketetapan hukumnya secara jelas di dalam al-Qur`an, al-Hadits atau
Sunnah Rasulullah saw., dan Ijma’. Misalnya, jumlah hukum jilid yang seratus kali tidak
dapat di-ijtihadkan lagi. Karena memiliki nashyangqath’iyud dalalah (pasti penunjukannya
pada makna tertentu). Yang menjelaskan tentang hal ini, terdapat dalam QS. An-Nur Ayat 2
:

ٌ‫اح ٍد ِّم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة ۖ َّواَل تَْأ ُخ ْذ ُك ْم ِب ِه َما َرْأفَة‬


ِ ‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُد ْوا ُك َّل َو‬

‫فِ ْي ِدي ِْن هّٰللا ِ اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُ ْو َن بِاهّٰلل ِ َو ْاليَ ْو ِم ااْل ٰ ِخ ۚ ِر َو ْليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما طَ ۤا ِٕىفَةٌ ِّم َن‬

‫ْال ُمْؤ ِمنِي َْن‬


Artinya:

Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,
dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.

1.2 Jenis-jenis ijtihad

1. Ijmak

Ijmak artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yangterjadi.
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk
kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan
bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

2. Qiyâs

Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum atau suatu
perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam
sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi
sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi qiyâs (analogi):

1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik

persamaan di antara keduanya.

2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu


persamaan di antaranya.

3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an]

atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

4. Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh al-
qur'an dan hadits.

3. Istihsân

Beberapa definisi Istihsân:

1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar.

2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan

olehnya

3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.

4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada

sebelumnya..
4. Maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan
kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari
kemudharatan.

5. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentingan umat.

6. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa

mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan menikah lagi

apabila yang bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas

kabarnya? maka dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan

tersebut statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah (lagi) kecuali sudah jelas

kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

7. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan

masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan

prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

1.3 Faktor Penyebab Perbedaan Ijtihad

Perbedaan pendapat mengenai penetapan perundang-undangan dikalangan para imam


mujtahid itu berpangkal pada beberapa masalah diantaranya :
1. Perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum termasuk:
a. Hadis segi-segi yang dipersilisihkan adalah tingkat originalitas dan validitas sebuah
hadis baik ditinjau dari segi sanad, rawi maupun matannya.
b. Perbedaan pendapat tentang sumber hukum selain Alquran dan hadis, termasuk
fatwa sahabat, qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain-lain.
2. Perbedaan prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam meneliti hukum-hukum syariat
dan uslub-uslub bahasa Arab.
3. Lokasi atau lingkungan tempat tinggal ahli hukum, Perbedaan lokasi yang sangat
mempengaruhi ditetapkannya hukum, kebiasaan adat setempat yang telah lama berakar
tidak bisa diabaikan begitu saja. Dari perbedaan lokasi inilah menimbulkan dua kelompok
yang berbeda dalam menetapkan hukum yaitu:
a. Ahl al-ra’yi, aliran ini timbul karena sedikitnya hadis yang tersebar di wilayah
tempat fuqaha berada dan masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat majemuk,
sehingga menyebabkan fuqaha di daerah tersebut banyak memecahkan persoalan
dengan akal (ra’yu).
b. Ahl al-Hadis, aliran ini timbul dari daerah yang banyak tersebar hadis di daerah
tersebut seperti Madinah sampai ke Hijaz. Perlu diingat bahwa terpolarisasinya dalam
dua kelompok bukan berarti mujtahid Irak yang rasional dalam menetapkan hukum
tidak berdasarkan hadis-hadis sementara Hijaz tidak mempertimbangkan alasan rasio-
rasio dalam menetapkan hukum, keduanya sepakat bahwa hadis-hadis nabi
merupakan dasar hujjah ketika menghadapi ketetapan nashnya.
4. Pandangan dan metode Persyaratan penerimaan hadis bagi ahl-al sunnah salah satunya
adalah, apakah perawinya adil dan dhabit (cermat) sampai ke akhir sanad tanpa adanya
kelainan atau cacat, baik itu dari ahl al-bayt atau bukan. Sedangkan mazhab Syi’ah selalu
mengutamakan hadis yang diriwayatkan oleh ahl al-bayt. Gradasi antara kecenderungan-
kecenderungan inilah yang mengakibatkan timbulnya aliran-aliran pemikiran yang
berbeda-beda, terutama di dalam detail-detail keputusan tertentu. Aliran-aliran pemikiran
itu kemudian disebut dengan mazahib (tunggal: mazhab)30 yang berarti “arah”, “tata
cara”, “aliran fikiran”.

1.4 Sejarah Ulama Mujtahid Mutlak

Dalam khasanah fiqhi dikenal empat mazhab yang sangat populer. Mazhab-mazhab
itu lahir dari mujtahid-mujtahid besar pada priode ini. Mereka itu adalah Imam Abu
Hanifah (Mazhab Hanafiah), Imam Malik (Mazhab Maliki), Imam Syafi’i (Mazhab
Syafi’i), dan Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali)

1. Imam Abu Hanifah (80 H – 150 H / 697 M – 767 M)


Nama lengkapnya adalah al-Nu’man bin Tsabit, lahir pada tahun 80 H di Kufah
dan wafat pada tahun 150 H di Bagdad. Ia termasuk keturunan bangsawan Persia
yang merdeka. Abu Hanifah termasuk pengikut tabi’in dan menerima ilmu fiqhi dari
Hammad bin Abi Sulaiman dari Ibrahim al-Nakha’iy dari al-Qamah bin Qais dari
Ibnu Mas’ud.
Pada tahun 96 H, beliau melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya di Mesjidil
Haram dan bertemu dengan Abdullah bin Haris bin Juz’i, seorang sahabat dan ia
mendengar hadis :

‫من نفقھ في دین هللا كفاه هللا فھمھ ورزقھ من حیث ال یحتسب‬
Abu Hanifah seorang yang cerdas dan cakap dalam berdebat. Metode belajar
mengajar di kalangan para muridnya adalah metode diskusi. Ia mengawali kajiannya
dengan melontarkan suatu masalah lalu mendiskusikannya bersama-sama sehingga
melahirkan pandangan sebagai jawaban terhadap masalah yang diajukan sebelumnya.
Metodologi penetapan hukum yang ditempuh oleh Abu Hanifah adalah sebagaimana
yang diungkapkannya sendiri sebagai berikut :
Sesungguhnya saya berpedoman kepada Alquran, jika saya tidak
mendapatkannya dari Alquran, maka saya berpedoman pada sunnah rasul dan
atsar-atsar yang sahih dan yang terdapat di kalangan orang tsiqah (adil dan
dhabith). Bila Alquran dan sunnah tidak saya temukan, maka saya beralih kepada
keterangan para sahabat jika saya kehendaki dan meninggalkan pendapatnya
jika saya kehendaki. Kalau suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam
Alquran, sunnah dan pendapat para sahabat, maka saya berijtihad sebagaimana
halnya Ibrahim al-Nakha’iy, al-Sya’biy, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Said bin
Musayyab berijtihad.
Sahal bin Muzahib pernah berkata: Abu Hanifah suka memperhatikan adat istiadat
dan hal ihwal orang banyak. Ia memecahkan berbagai problematika dengan jalan qiyas,
apabila jalan itu terasa kurang tepat, maka beliau menempuh jalan istihsan, jika
metode inipun tidak dapat ditempuh, maka beliau mengembalikan urusan itu kepada
apa yang telah dilakukan oleh kaum muslimin.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa metodologi istinbath hukum yang
ditempuh oleh Abu Hanifah adalah : - Alquran
- Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah mashur di antara
ulama. - Fatwa para sahabat. - Qiyas
- Istihsan
- Adat yang berlaku di masyarakat
Atas dasar metodologi penetapan inilah, sehingga fiqhi dan ilmu ushul fiqh
mengalami perkembangan dan kemajuan baru.

2. Imam Malik bin Anas (93 H – 173 H / 712 M – 792 M)


Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas al-Ashbahiy, nisbah pada Ashbah
merupakan salah satu kabilah di Yaman, salah seorang kakeknya datang ke Madinah
dan tinggal di sana. Kakeknya bernama Abu Amir termasuk salah seorang sahabat
nabi dan mengikuti perang bersama beliau kecuali perang Badar. Malik lahir di Madinah
pada tahun 93 H. Ia belajar kepada ulama Madinah, termasuk Nafi bin Abi
Nu’aim, Ibnu Syihab al-Zuhri, Abul Zinad dan lain sebagainya. Sedang yang menjadi
murid-muridnya adalah asy-Syaibani, Imam Syafi’i, Yahya bin Yahya al-Andalusia,
Abdurrahman bin Kasim di Mesir serta As’ad al-Furat at-Tunisi. Dia seorang ahli hadis
sekaligus ahli fiqhi.
Selanjutnya pada tahun 140 H. Imam Malik membukukan kitabnya yang bernama al-
Muwaththa atas intruksi Abu Ja’far al-Mansur. Buku ini di samping buku hadis juga
sekaligus buku fiqhi. Hanya saja dalam kitab tersebut masih bercampur antara hadis
nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in.
Pemikiran Imam Malik dalam bidang hukum Islam sangat dipengaruhi oleh
lingkungannya, yaitu Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasulullah dan
sunnah sahabat. Sehingga pemikiran hukumnya banyak berpegang kepada sunnah-
sunnah tersebut, kalau terjadi perbedaan satu sunnah dengan yang lainnya, maka ia
berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. Imam Malik
mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada hadis ahad, kalau terjadi
perbedaan antara keduanya. Karena penduduk Madinah itu mewarisi apa yang
mereka amalkan dari ulama salaf mereka, kemudian ulama salaf itu mewarisi dari
para sahabat. Olehnya itu amalan penduduk Madinah lebih kuat daripada hadis ahad.
Sedangkan Imam Syafi’i dan sebagian dari imam mujtahid lainnya berbeda
pendapatnya, karena sunnah itu kebanyakan dibawa oleh sebagian sahabat ke
berbagai kota yang sudah ditaklukkan oleh umat Islam. Sunnah seluruhnya tidak
terbatas pada amalan penduduk Madinah.
Selain itu Imam Malik juga merujuk kepada metode qiyas (analogi). Selain itu juga
banyak persoalan hukum dibangun dengan metode maslahah mursalah. Mujtahid
yang banyak memakai metode ini adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Sebagai contoh: dibolehkannya pembedahan perut jenazah seorang ibu untuk
mengeluarkan janinnya, apabila janinnya itu punya harapan untuk hidup.
Dari pemikiran Imam Malik tersebut, maka dalam menentukan hukum adalah
sebagai berikut : - Alquran
- Sunnah
- Ijma’ (kesepakatan penduduk Madinah)
- Qiyas
- Maslahah Mursalah
Mazhab ini timbul dan berkembang di Madinah lalu ke Hijaz sampai ke Mesir,
Magribi (Maroko) dan Andalus di Spanyol. Sehingga negara-negara yan meminati
mazhab ini banyak menghadiri kajian-kajian Mazhab Malik. Buku-buku yang dikaji
selain al-Muwaththa’ juga al-Mudawwanah yang merupakan kitab dasar fiqhi Mazhab
Malik.

3. Imam Syafi’i (150 H – 204 H / 767 M – 820 M)


Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i al-Quraisy. Ia juga sering
dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang anaknya bernama
Abdullah. Nasab keturunannya bersambung dengan nabi pada nama Abdi Manaf dari
pihak bapak. Sedang dari ibunya adalah cicit dari Ali bin Abi Thalib. Jadi kedua orang
tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy. Ia lahir di Ghazzah Palestina pada tahun
150 H. ayahnya meninggal ketika Imam Syafi’i masih kecil sehingga diasuh dan
dibesarkan oleh ibunya dalam kehidupan yang sangat sederhana bahkan banyak
menderita kesulitan, tetapi ia terpelihara dari akhlak tercela dan perbuatan buruk.
Dalam usia 10 tahun, ia telah menghafal Alquran, setelah itu mengarahkan
perhatiannya untuk menghapal hadis dari gurunya, lalu ia pun mendalami bahasa
Arab untuk menjaga dirinya dari pengaruh bahasa asing yang sedang melanda bangsa
Arab sampai ia ahli dalam bahasa Arab, kesusasteraan serta mahir dalam membuat
syair. Syafi’i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu,
semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakan banyak yang tidak diketahui.
Metodologi penetapan hukum menurut Imam Syafi’i adalah sebagai berikut : - Alquran
dan al-Sunnah
- Ijma’ - Fatwa sahabat yang disepakati - Fatwa sahabat yang diperselisihkan
- Qiyas
- Istidlal
Dasar pertama dalam menetapkan hukum adalah Alquran dan sunnah.
Alquran dan sunnah ditempatkan sejajar, karena baik Alquran maupun al-sunnah
datang dari Allah sekalipun berbeda cara dan sebab datangnya. Mengenai hadis ahad,
Syafi’i tidak mewajibkan syarat kemashuran; alasannya bahwa Allah telah
memerintahkan beriman kepada-Nya dan rasul-Nya, dengan konsekwensi wajib
mematuhinya baik dalam perkataan, perbuatan maupun takrirnya. Hal tersebut
didasari dengan firman Allah swt.

‫إنما المؤمنون الذین آمنوا باهللا ورسولھ وإذا كنوا معھ علي امر جامع لم یذھبوا‬
...‫حت یستؤذنوه‬
) ٦٢ ‫(ا لنور‬
Hadis ahad tidak dipersoalkan untuk dijadikan sandaran, selama yang
meriwayatkannya dapat dipercaya, teliti dan sanadnya bersambung kepada
Rasulullah.
Dasar kedua adalah ijma’, jika ijma’ belum juga didapatkan, maka beliau beralih ke
fatwa sahabat yang disepakati, apabila fatwa sahabat yang disepakati belum juga
didapatkan maka beliau beralih pada fatwa sahabat yang diperselisihkan. Setelah itu
barulah menempuh jalan qiyas bila keadaan telah memaksa. Apabila tidak dijumpai
dalil qiyas, maka ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan
kaedah-kaedah umum agama Islam. Jadi Imam Syafi’i sangat memperhatikan
beramal dengan hadis ahad yang sahih, sehingga penduduk Bagdad memberi gelar
“Nashiru Sunnah” (penolong sunnah).
Imam Syafi’i termasuk profil ulama yang tekun dan berbakat dalam menulis
karangan yang terkenal antar lain (1) al-Risalah yang khusus membahas dasar-dasar
pengetahuan tentang ushul fiqhi. (2) al-Umm, sebuah kitab fiqhi yang menjadi dasar
mazhab Syafi’i. (3) al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis nabi yang dihimpun dari
kitab al-Umm.
4. Imam Ahmad bin Hanbal (164 H – 241 H / 780 M – 855 M)
Nama lengkapnya Ahmad bin Hanbal al-Syaibani al-Marwaziy, lahir di Marwah
pada tahun 164 H (780 M) dan wafat pada tahun 241 H (855 M) di Bagdad, ibunya
pindah ke Bagdad sewaktu ia masih kecil. Beliau berusaha mengumpulkan sunnah
dan menghafalnya hingga menjadi ahli hadis pada masanya. Imam Bukhari dan Imam
Muslim pernah belajar hadis kepadanya. Ia telah menyusun kitab hadis yang disebut
musnad yang sangat populer dengan nama musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang
terdiri dari 6 jilid dan diterbitkan di Mesir.
Ahmad bin Hanbal belajar fiqhi dari Imam Syafi’i dan menyertainya selama ia tinggal
di Bagdad. Ahmad bin Hanbal termasuk imam mujtahid hanya lebih cenderung
kemuhaddisannya daripada kefaqihannya.
Dasar-dasar penetapan hukum Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut : - Nash
yaitu Alquran dan hadis marfu’ - Fatwa sahabat yang tidak diketahui ada yang
menentangnya
- Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih pendapat mereka kepada yang
dekat pada kitabullah dan sunnah
- Hadis mursal dan dhaif, yang dianggap lebih kuat dari pada qiyas. Akan tetapi
hadis mursal dan dhaif dapat dijadikan dasar hukum selama tidak ada dalil lain,
dan tidak termasuk hadis munkar dan tertuduh pendusta perawinya
- Qiyas, jika keempat tersebut tidak dapat ditemukan barulah beralih kepada
qiyas. Jadi qiyas dilakukan karena keterpaksaan.
Landasan ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal tidak jauh berbeda dengan prinsip Imam
Syafi’i, hal ini dimungkinkan karena ia belajar fiqhi dari Imam Syafi’i.

F. KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad membutuhkan waktu,


sementara persoalan umat datang silih berganti tanpa mengenal waktu. Karenanya, ijtihad
merupakan sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau ditutup. Dengan kata lain, ijtihad tetap
memiliki urgensi, tetap diperlukan oleh umat Islam untuk menjawab persoalan-persoalan
kekinian yang datang silih berganti.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad AbuZahrah,Ushul Fikih, Saefullah Ma’sum (terj.)(Jakarta: Pustaka


Firdaus, 2000), h.43
Syekh Muhammad Ali As-Sayis,Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam(Jakarta: Akademika Pressindo, 1996), h. 191.
Muhamad Abu Zahrah,Ushul Fikih Cet. ke-6(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 579.
Rumadi,Al-Maslahat Al-Mursalat dalam pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, (Padang: Tesis IAIN Imam Bonjol, 1997), h. 77-159
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlorh,Kamus Krapyak ‘Al-‘Ashri (Yogyakarta:
Pesantren Krapyak, 1996),h. 27
Ahmad Warson Munawwir,Al-Munawwir: KamusArab-Indonesia,(Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagaamaan Pondok Pesantren “Al-Munawwir”
Krapyak, 1984), h. 235.
Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fikih, Saefullah Ma’sum (terj.),(Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), h. 567.
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberies,
Human Rights and International Law, (terj.)
Ahmad Suedy dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 53.
Abu Ishaq Asy-Syatibi,Al-Muāfaqāt fî Ushūl Asy-Syarî`ah,(Beirut-Libanon: Dār
Al-Ma`rifah, t.t.), Juz 4, h. 89.
Ahmad Hanafi,Pengantar dan Sejarah Hukum Islam Cet.ke-7(Jakarta: Bulan Bintang,
1995), h. 163.
Abdul Wahhab Khallaf,Kaidah-kaidah Hukum Islam Cet. ke-1(Bandung: Risalah,
1983), h. 162.13
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman,Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung: Al-Maarif, 1986), h. 373.

Anda mungkin juga menyukai