Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN


ALIRAN –ALIRAN DALAM USHUL FIQH
Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Drs. H Ujang Dedih, M.Ag
Siti Halimah, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Syalwa Destya 1212020257
Viranda Yudinar 1212020269
Zakiyah Siti Patiha 1212020277
Al’ya Sarah Samrati 1192020025

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim...

Alhamdulillah, Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.,


atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan dan aliran-aliran dalam ushul fiqh ” ini dengan baik.

Tak lupa, shalawat beserta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, sampailah kepada kita selaku
umat-nya.

Kami ucapkan terimakasih kepada bapak Drs. H Ujang Dedih,M.Ag dan


Ibu Siti Halimah M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh yang telah
membimbing dan mempercayai kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Sedikit kami sampaikan bahwasannya, dalam makalah
ini mungkin masih banyak kekurangan didalamnya. Namun, kami berharap
pembaca dapat memaklumi juga memberikan kritik yang membangun kepada
kami agar kami bisa menjadi lebih baik lagi.

Terimakasih kami ucapkan juga kepada rekan-rekan kelas kelompok yang


telah men-support dan menyelesaikan tugas makalah ini secara bersama-sama.
Makalah yang berjudul “ Sejarah Perkembangan dan aliran-aliran dalam
Ushul Fiqh ” ini berisikan beberapa materi beserta pointnya yang menjelaskan
bagaimana sejerah perkembangan dan aliran-aliran dalam Ushul fiqh.

Dengan segala kerendahan hati, kami ucapkan terimakasih.

Bandung, 20 September 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................... ....i

Daftar Isi................................................................................................................ii

BAB 1: Pendahuluan............................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................1
C. Tujuan.........................................................................................................1

BAB 2: Pembahasan.............................................................................................2

A. Sejarah Awal Perkembangan Ushul Fiqh...................................................2


B. Periode Sahabat..........................................................................................2
C. Periode Tabi’in............................................................................................4
D. Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqh.................................................................7

BAB 3: Penutup....................................................................................................13

A. Kesimpulan................................................................................................13
B. Saran..........................................................................................................13

Daftar Pustaka......................................................................................................14

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman
Rosulullah dan sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i,
semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. Pada
masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang.

Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah


saw, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami
perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan
dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu
disiplin ilmu tersendiri. Untuk itulah kami membuat makalah ini agar para
pembaca dapat memahami lebih jauh lagi tentang ushul fiqh dan
perkembangannya dimasa sekarang ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarahnya periode awal perkembangan Islam ?
2. Bagaimana perkembanganya pada saat periode sahabat ?
3. Bagaimana perkembangannya pada saat periode tabi’in?
4. Apa saja aliran-aliran yang ada dalam ushul fiqh ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah periode awal perkembangan
Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembanganya pada periode sahabat
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangannya pada periode tabi’in
4. Untuk mengetahui aliran-aliran yang ada dalam ushul Fiqh

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Awal Perkembangan Ushul Fiqh

Pada awal abad I Hijriyah, ilmu ushul fiqh belum muncul dipermukaan
sebagai disiplin ilmu. Karena, pada abad pertama, ilmu ushul fiqh belum dirasa
diperlukan untuk dirumuskan dan dijadikan sebagai disiplin ilmu terangkum
dalam sebuah buku tertulis. Walaupun hakekatnya, bahwa hukum Allah yang
diturunkan kepada umat manusia dan hukum yang dihasilkan berdasarkan ijtihad
Rasul saw dan para sahabatnya mempertimbangkan kemaslahatan dan
keberpihakan pada kemasahlahatan manusia. Sedangkan maslahah ini, termasuk
kajian ilmu ushul fiqh.Sebagaimana dikatakan Khallaf, bahwa ilmu ushul fiqh
muncul dipermukaan pada abad II H. Karena, pada abad I H, Ilmu Ushul Fiqh
belum dibutuhkan. Dengan alasan, pada masa Rasul saw, Rasul Saw memberi
fatwa pada para sahabat dan memutuskan suatu perkara berdasarkan wahyu yang
turun kepada Nabi saw, yaitu alQur’an, juga berdasarkan ‘ilham dari Allah Swt.
yang diaplikasikan dalam bentuk ucapan dan tindakan Nabi Saw. dan juga
berdasarkan ijtihad Nabi Saw. sendiri tanpa butuh pada teori dan kaidah untuk
beristinbat (menggali hukum) dan berijtihad1.

B. Periode Sahabat

Setelah Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin dipimpin oleh 4


khalifah secara bertahap yaitu Abu Bakar Ash- Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu umat islam dihadapi dengan
banyak permasalahan-permasalahan baru yang sebelumnya tidak terjadi pada
masa Rasulullah SAW. Karena wilayah islam sudah berkembang sampai keluar
jazirah Arab. Sehingga para sahabat terpanggil untuk memberikan keputusan

1
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I ilmu ushul fiqih 1 hlm.16-17
fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah baru yang berkembang pada saat
itu2
Ketika Rasulullah SAW masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber
penting dalam pemecahan hukum, yaitu Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu (nalar).
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di
antaranya ijma’ sahabat dan mashlahah. (Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman,
1983: 38-39)
Pertama, khalifah (khulafa’rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk
mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut
diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah
tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian
hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa
qiyas dan mashlahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum
dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul
pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru
contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan mashlahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat.Umar bin
Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan
pertimbangan mashlahah dalam pemecahan hukum. Contohnya, pengucapan talak
tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan
hukuman potong tangan di waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj),
pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan lain sebagainya. Pertukaran pikiran
yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan3.

2
Dr. Nurhayati, M.Ag. Dr. Ali Imran Sinaga, M.Ag. Fiqh dan Ushul Fiqh Jakarta, Kencana 2018.

3
Muhammad al-Khudlary. Tth: 114). (Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018

3
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era
sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering
berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan
tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang
kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat
lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang
dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
permasalahan yang muncul. 4
C. Periode Tabi’in

Setelah berakhirnya masa sahabat, era berikutnya adalah generasi tabi’in,


jika pada priode sahabat tercatat sebagai awal pertumbuhan ushul fiqih, namun
memasuki masa tabiin dan selanjutnya ushul fiqih memasuki masa perkembangan.
Hal ini ditandai dengan muncul dan berperannya ulama yang merupakan didikan
para sahabat. Para ulama ini tampil sebagai mujatahid, diantaranya Sa'id lbn al-
Musayyab (15 H-94 H) di Madinah, dan al-Qamah ibn Qays (w. 62 H), Ibrahim
bin Yazid An-Nakh'ie, Hammad Abu Sulaiman, Abu Hanifah dan lainnya. Pola
pikir yang dibangun oleh ulama-ulama pada era ini terutama di Baghdad
mempertimbangkan rasionalitas. Mereka tidak saja banyak menggunakan rasio
dalam memahami hukum dan menyikapi peristiwa dan persoalan yang muncul,
tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberikan
hukumnya5.

Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat


dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam
menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di
Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah,Umar bin Khattab, Aisyah,
dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di

4
Muhammad al-Khudlary. Tth: 114 Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018
5
Dr. Nispul Khoiri, MA Ushul Fikih hlm.18 (Mun'im A.Sirry, Sejarah Fikih Islam: Sebuah Pengantar
hlm. 50

4
Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi
tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki
murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang
kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing. Murid-murid para
sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari
kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di
kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi ,Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para
ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli
hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya
ibn Katsir. (Taha Jabir Alwani. 1994) (Muhammad al-Khudary, Tth: 150-162).
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di
masing-masing daerah.6Contohnya: ulama fiqh Irak lebih dikenal dengan
penggunaan ar ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya,
sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi
dengan kasus yang sudah ada nashnya. Adapun para ulama Madinah banyak
menggunakan hadits-hadits Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah
melacak sunnah Rasulullah di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam
mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh. Akibatnya, muncul tiga
kelompok ulama, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al-
Madinah. Pada perkembangan selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al
kufah dikenal dengan sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah
dikenal dengan sebutan madrasah al- hadits.7

Seiring dengan meluasnya ekspansi Islam, juga munculnya beragam


peristiwa hukum, membutuhkan metode istinbath hukum yang lebih luas
dibanding sebelumnya. Dalil-dalil hukum sebagai pedoman dalam menetapkan
hukum juga dikembangkan tidak saja beradasarkan Al-Qur’an,hadis dan ijtihad,
tetapi metode-metode ijtihad. Seperti ijma', qiyas, maslahah al-mursalah,bahkan
qaul sahabat dan amalan ahli Madinah menjadi pegangan dalam merumuskan
6
Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018 hlm.67-68
7
Jurnal Syariah Hukum Islam 1 (1): 16-37

5
hukum. Dengan kata lain metode ushul fikih yang dikembangkan mulai mencari
bentuknya pada periode ini. Proses pembentukan ushul fikih sebagai sebuah
metodologi fikih tidak hanya diterapkan dalam proses istinbath hukum, tetapi juga
dibangun dalam diskusi dan halaqah-halaqah yang berkembang, kemudian
halaqoh ini merupakan cikal bakal berkembangnya mazhab-mazhab ushul fikih
dan fikih. Setiap madzhab mempunyai metode sendiri dalam pengembangan
ijtihadnya. SalahSalah satu mazhab ushul fikih yang berkembang adalah mazhab
Hanafi, mazhab ini lahir atas pemikiran Abu Hanifah (80 - 150 H) (Dr. Nispul
Khoiri, MA ) sebagai seorang ulama yang hidup masa tabi'in Abu Hanifah adalah
seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan ra'yu dan rasional
dalam berijtihad. Metode berpikirnya lebih rasional dan realistis daripada tekstual.
Hal ini disebabkan faktor geografis bahwa Baghdad dan Kufah adalah kota-kota
yang jauh dari pusat tadisi Nabi (Madinah), sehingga ini mempengaruhi pola
pikirnya dan sedikitnya perbendaharan hadis-hadis tentang hukum. Ini dapat
dilihat dalam proses penetapan istinbath hukumnya rnenggunakan metode
tersendiri berpegang kepada Alquran,hadits, qaul sahabi, ijma', qiyas, istihsan dan
urf.8
Setelah Abu Hanifah, ulama yang berperan dalam pengembangan
metode ushul fikih adalah Imam Malik (w. 179 H) dinisbahkan sebagai
pendiri mazhab ushul fikih Maliki. Dalam metodologi ushulnya, Imam Malik
menggunakan metode istinbath hukum Alquran, hadis, ijma', qiyas
amal ahli Madinah, maslahah al-mursalah, qaul sahabi, istihsan, sad al-zariah, urf
dan istishab.
Selanjutnya, munculnya Imam Muhammad Idris al - syafii (150H-204)
sebagai pendiri mazhab syafii, semakin memberikan warna tersendiri terhadap
ushul fikih. Kalaulah Imam Abu Yusuf orang pertama kali menghimpun kaidah-
kaidah yang terserak menjadi satu himpunan, maka Imam Syafii orang yang
pertama kali mengkodifikasi, meramu dan mensistematiskan ushul fikih.

8
Dr. Nispul Khoiri, MA Ushul Fikih hlm.18 (Sya’ban Muhammad Ismail, al Tasyri, al Islami
Masadiruh wa Atwaruh.cet.ke 2 (Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,1985 h.316)

6
Seperti dikatakan Ahmad Hasan, dikutip oleh Romli, teori ushul fikih yang
dikembangkan oleh Imam Syafi’i mengambil jalan tengah antara ahli ra'yi dan
ahlu hadis. Bila dibandingkan dengan mazhab fikih yang lain sungguh berbeda, ia
selalu melakukan pengkajian secara luas. BerbagaiBerbagai pikiran dalam ushul
fikih dituangkannya dalam sebuah karya yang terkenal yakni "ar-Risalah",memuat
rumusan dan metode hukum serta kaidah-kaidah dasar dalam melakukan istinbath
hukum secara ijtihad. Atas dasar ini dalam melakukan istinbath hukum, Imam
Syafi'i menggunakan langkah-langkah, yakni melalui Alquran, hadis, ijma', qiyas
dan istishab. Syafi’i memakai khabar ahad apabila rawinya tsiqat (kuat dan
terpercaya) dan tidak mensyaratkan harus masyhur sebagaimana halnya imam
Malik. Syafii juga tidak menggunakan istihsan sebagaimana halnya Abu Hanifah
bahkan beliau menolaknya. Sepeninggalnya Imam Syafii, mazhab ushul fikih lain
yang berperan dalam pengembang ushul fikih adalah mazhab Hanbali. Mazhab ini
dinisbahkan kepada pendirinya Ahmad ibn Hanbal (164-241H). Perkembangan
ushul fikih juga dapat diekplorasi pada mazhab Zahiri dan Syi'ah.

D. Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqh

Sejarah perkembangan ushul fiqh, menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak


mandeg melainkan berjalan secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan
ushul fiqh yang saat ini dikenal, hal ini terjadi antara lain akibat adanya perbedaan
dalam membangun teori ushul fiqh untuk menggali hukum islam. Secara umum,
para ahli memmbagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu aliran
mutakallimin (syafi’iyah) dan aliran fukaha (hanafiyah). Dari kedua aliran
tersebut, lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai
berikut. 9

1. Aliran Mutakallimin/Shafi’iyyah
Aliran pemikiran ini disebut dengan thariqah asy-syafi’iyah karena para tokoh
thariqah ini banyak yang berasal dari ulama mazhab syafi’i, seperti al-Juwaini dan
al-Ghazali. Selanjutnya, disebut juga thariqah mutakallimin, karena pengembang

9
Zulhamdi, “Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh”, Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 (Desember,
2018), hlm 73

7
aliran ini juga banyak berasal dari ulama yang dikenal sebagai tokoh ilmu kalam,
seperti Abi Hasan Al-Bashri dan Al-Qadhi Abdul Jabbar. Lebih jauh lagi, aliran
ini juga disebut thariqah al-jumhur, karena dalam masalah fiqh, penganut aliran
ini bukan hanya dari ulama Syafi’iyyah tetapi juga dari ulama pengikut mazhab
Maliki dan Hambali yang pada umumnya adalah ulama aliran Hijaz. 10
Dalam ushul fiqh, aliran syafi’iyyah ini membangun ushul fiqh secara teoretis
murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula
dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunaakan alasan yang kuat, baik dari
dalil naqli maupun aqli, tanpa dipengaruhi oleh masalah furu’ (cabang-cabang)
dan mazhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’
dan adakalanya juga tidak sesuai. Dengan demikian, pembahasan mereka hanya
diarahkan pada pengembangan ilmu ushul fiqh saja. Ilmu ushul fiqh yang telah
disusun inilah yang mereka jadikan sebagai alat untuk menghasilkan hukum-
hukum fiqh yang baru. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat
dijadikan kaidah.11

Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis
dari kalangan Hanbali, seperti:

a. Abu Ya’la pengarang al-Uddah,


b. Ibnu Qudamah pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir,
c. Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah
beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-
Musawwadah),
d. Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdhah dan Syarh
Mukhtashar al-Rawdlah.

Selain itu ada penulis dari kalangan Maliki, seperti: Ibnu Hajib (pengarang
Muntaha al-Wushul (al-sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal). Bahkan

10
Maman Suherman, “Aliran Ushul Fiqh dan Maqashid Syari’ah”, Al-Mashlahah Jurnal Hukum
dan Pranata Sosial Islam, hlm 357.

11
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I Ilmu Ushul Fiqh I (Jember, Pena Salsabila), 2014 hlm 15

8
ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti: Ibnu Hazm al-Andalusi
(pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).

Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum


mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan
teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani.
Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam
Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu,
Imam Abu Bakar alBaqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan
diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam
al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara
tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak
menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin,
seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.

Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:

a. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas


kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah- kaidah itulah
yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu
sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya
berisi kaidah kebahasaan.
b. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti
terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi.
Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih.

Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut,


dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah
mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya
al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-
Sul) karya Ibnu Hajib.

Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam


kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan.

9
Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul
fiqh, serta bersifat lintas madzhab. 12

2. Aliran Fuqaha/Hanafiyah

Aliran ini disebut dengan thariqah Hanafiyyah karena pada umumnya


pengembang aliran ini adalah ulama pengikut mazhab Hanafi, seperti: al-Karakhi,
Abi Bakr ar-Razi, ad-Dabbusi, al-Baidhawi, dan asy-Syarakhsyi. Selanjutnya,
aliran ini disebut dengan thariqah alfuqaha, karena dalam mengembangkan
pembahasan ushul fiqh, mereka terpengaruh dan diarahkan untuk mendukung
hasil ijtihad para ulama pendahulu mereka dalam bidang hukum fiqh yang bersifat
parsial (furu’). (Maman Suherman, “Aliran Ushul Fiqh dan Maqashid Syari’ah”,
Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, hlm 359). Aliran ini
berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu’.
Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru
supaya bisa diterapkan pada masalah furu’ tersebut.

Dengan kata lain, ushul fiqh yang mereka kembangkan berperan sebagai alat
untuk mempertahankan pendapat-pendapat fiqh yang telah lebih dahulu ada. Jadi,
berbeda dengan ushul fiqh thariqah asy-Syafi'iyyah yang menjadikan ilmu ushul
fiqh sebagai alat untuk melahirkan hukum-hukum fiqh, maka pada aliran ini,
mereka menjadikan hukum-hukum fiqh yang telah ada, terutama hukum-hukum
fiqh hasil ijtihad Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, sebagai pedoman untuk
menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh mereka.

Karya ushul fiqh yang menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:

a. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul


al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
b. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
c. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam alBazdawi.
d. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)

12
Zulhamdi, “Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh”, Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 (Desember,
2018), hlm 74.

10
3. Aliran Gabungan

Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh


aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan
adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh.
Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan
kaidah yang menjadi sandarannya.

Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti


kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘
bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab
Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh
Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya
Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-
Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu
Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya
Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d
al-Din al-Taftazani al-Syafi’i dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-
Syafi’i.

Dari uraian mengenai aliran-aliran dalam ushul fiqh diatas, dapat kita
simpulkan bahwa aliran-aliran tersebut memiliki keistimewaan masing-masing.
Keistimewaaan metode ulama kalam adalah pembuktian mereka dengan logika
teoritis pada kaidah-kaidah ilmu tersebut dan bahasan-bahasannya. Mereka
menetapkan kaidah yang didukung oleh argumen tanpa harus menyesuaikan
dengan kaidah dan hukum yang sudah diistimbathkan oleh para mujtahid atau hal
yang berkaitan dengan masalah furu’. Sesuatu yang didukung oleh akal dan ada
argumentasinya, maka itulah sumber pokok islam, baik sesuai dengan masalah-
masalah furu’, maupun bertenteangan dengannya. 13

Adapun keistmewaan metode ulama Hanafiyah, dalam menyusun ilmu


ushul fiqh ialah mereka mampu membuat kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan

13
Prof. Abdul Wahhab Khallaf ilmu Ushul Fiqih (Semarang, Dina Utama Semarang), 2014, hlm 12

11
ushuliyyah yang mereka pandang bahwa para imam mendasarkan ijtihad atas
kaidah dan bahasan itu.ketika mereka banyak dihadapkan pada masalah-masalh
furu’, maka mereka akan membuat kaidah-kaidah ushulliyyah yang sesuai dengan
masalah furu’ tersebut. Jadi, orientasinya adalah mengembangkan ushul fiqh
imam-imam mereka dari furu’ hasil ijtihad mereka.14

Sementara itu, sebagian ulama ada yang menempuh metode sintesis,


dengan cara menggabungkan kedua metode diatas, mereka memperhatikan
pembuktian kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil terhadapnya,
disamping itu juga memperhatikan aspek penerapan dan hubungannya dengan
masalah-masalah furu.

14
Zulhamdi. 2018. “Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh” dalam Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah perkembanga Ushul Fiqh dimulai diawal abad ke-3 Hijriah yaitu
dibawah pemerintahan Abbasiyah hingga pada abad ke-4 Hijriah pada tahap
ini dinasty Abbasiyah sedang mengalami kemunduran dibidang politik hingga
akhirnya pada abad ke 5dan 6 Hijriyah inilah merupakan periode penulisan
ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab
standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya.
Peranan Ushul Fiqh dalam perkembangaan Fiqh Islam ialah sebagai
penolong fiqh dalam mengeluarkan hukum-hukmu syara’ dari dalil-dalilnya.
Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan
sebagai pengembangan pemikiran fiqih islam dan sebagai penyaring
pemikiran-pemikiran seorang mujtahid.
Aliran- aliran dalam Ushul Fiqh yaitu dimulai dengan aliran Syafi’iyah
atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam), lalu dilanjutkan
dengan Aliran Hanafiyah (Fuqaha), dan Aliran Muta’akhirin hingga
melahirkan banyak kitab-kitab yang terkenal pada masanya.

B. Saran

Demikianlah makalah tentang sejarah perkembangan dan aliran-aliran dalam


ushul fiqh yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari
sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini
dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.

13
14
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I ilmu ushul fiqih ,Jakarta
Dr. Nurhayati, M.Ag. Dr. Ali Imran Sinaga, M.Ag. Fiqh dan Ushul Fiqh Jakarta,
Kencana 2018.
Dr. Nispul Khoiri, MA Ushul Fikih Mun'im A.Sirry, Sejarah Fikih Islam: Sebuah
Pengantar
Muhammad al-Khudlary,Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018
Dr. Nispul Khoiri, MA Ushul Fikih hlm.18 (Sya’ban Muhammad Ismail, al
Tasyri, al Islami Masadiruh wa Atwaruh.cet.ke 2 (Kairo : Maktabah al-Nahdah al-
Misriyah,1985 h.316)
Zulhamdi, “Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh”, Jurnal At-Tafkir Vol. XI No.
2 Desember, 2018

Maman Suherman, “Aliran Ushul Fiqh dan Maqashid Syari’ah”, Al-Mashlahah


Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I Ilmu Ushul Fiqh I (Jember, Pena
Salsabila),2014
Zulhamdi, “Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh”, Jurnal At-Tafkir Vol. XI No.
2 ,Desember, 2018
Prof. Abdul Wahhab Khallaf ilmu Ushul Fiqih (Semarang, Dina Utama
Semarang), 201

15

Anda mungkin juga menyukai