Anda di halaman 1dari 20

FUQAHA SAHABAT DALAM GENERASI PERTAMA

Mata Kuliah : TAREKH TASYRI’

Disusun Oleh:

MAGHFIRAH

11202283

Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu Pembimbing


Tilmasami, S. PdI. MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
(STAI-PTIQ) ACEH
2022/1443 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini


karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Banda Aceh, Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Situasi Politik Secara Global ........................................... 2

2.2 Sumber Hukum ................................................................................. 3

2.3 Perbedaan Pendapat dan Penyebabnya Di Kalangan Sahabat .......... 9

2.4 Fuqaha Pada Masa Sahabat Generasi Pertama.................................. 12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah pembinaan hukum Islam pada masa sahabat generasi pertama


(Khulafa Rasyidun) merupakan pembinaan hukum Islam yang pertama setelah
Rasulullah wafat. Dalam prosesnya, pada masa ini sangat berpengaruh bagi
pembinaan hukum Islam pada masa berikutnya hingga saat ini. Pada masa
sebelumnya, ketika para umat Islam membutuhkan keputusan mengenai syariat,
mereka dapat langsung bertanya kepada Rasulullah saw. dan itu membuat segala
sesuatu menjadi lebih jelas karena langsung dari sumber yang jelas. Namun, pada
masa berikutnya, ketika Rasulullah wafat, jika terdapat peristiwa yang tidak
ditemukan didalam Al-Qur’an ataupun Sunnah umat Islam risau dan mereka
berusaha mencari kebenaran dengan berbagai cara.

Ijtihad merupakan suatu cara yang mereka lakukan dalam menyelesaikan


masalah jika tidak ada dalil yang menjelaskan peristiwa yang terjadi pada saat itu.
Dalam menentukan hukum mereka melakukan Ijma’, kemudian mereka
menggunakan pendapat pribadi (ra’yi) yang jelas, dan mereka tidak mengutamakan
diri pribadi ataupun golongan, yang mereka cari adalah kebenaran. Pembinaan
hukum pada masa itu tentu sangat memberikan pengaruh terhadap cara kita pada
saat ini, ataupun cara umat Islam pada masa sebelum ini dalam menentukan hukum
suatu perkara. Maka, dari sedikit ulasan di atas dirasa perlu untuk membahan
bagaimana dan seperti apa cara, metode dan sikap para sahabat dalam istimbat
hukum.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep penetapan dan sumber hukum pada masa sahabat


generasi pertama?

2. Sebutkan para fuqaha sahabat pada masa generasi pertama?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Situasi Politik Secara Global

Pada masa ini, Rasulullah wafat dan Abu Bakar menjabat sebagai khalifah.
Pada masa ini pula dijumpai sebagian besar bangsa Arab berpaling dari Islam. Cita-
cita yang mantap dari Abu Bakar dan kekuatan iman dalam hati orang Muhajirin
dan Anshar adalah obat yang paling berguna untuk mengokohkan tiang-tiang Islam.
Dari permasalahan tersebut maka Abu Bakar menyiapkan bala tentara untuk
menegakkan daerah dan mengembalikan persatuan Arab. Sesudah hal itu sempurna,
Abu Bakar mengirim bala tentara itu ke Irak dan Syam, untuk menyiarkan dakwah
Islam pada kerajaan Persi dan Rumawi, dan Abu Bakar meninggal sebelum semua
itu terealisir dan belum diketahui siapa yang akan melanjutkannya.

Kemudian datanglah Umar, maka di atas tangannya sempurnalah


penaklukan-penaklukan, dan kaum muslimin memerintah dari timur atas sebagian
besar persi hingga sampai sungai Jihon (Amudariya), dari utara atas Suriyah dan
negeri Armenia dan dari barat atas Mesir. Pada zamannya dibangunlah kota-kota
besae seperti Fustath, Kufah dan Bashrah. Dan sebagian kaum muslimin tinggal
disana, dan banyak orang-orang bukan bangsa Arab memasuki Islam.

Pada masa Utsman, penaklukan-penaklukan itu meluas ke timur dan barat,


seperti ke daerah Nubah, Barqah, Tripoli Barat, Armenia dan sebagian daerah
Thabaristan dan banyak lagi. Hanya saja bangunan yang tinggi itu hampir tidak
sempurna, kerena tertimpa dengan pertarungan hebat, yaitu kehebohan melawan
amirul mu’minin Utsman bin Affan r.a. yang dimulai dengan pemufakatan orang-
orang yang membencinya dan berakhir dengan tindakan kumpulan tiga negara
besar ke madinah dimana mereka menghabisi hidupnya (Utsman). Hal itu menjadi
sebab perpecahan pendapat pada kaum muslimin, yaitu satu golongan yang dendam
atas Utsman dan mereka adalah orang yang membai’at Ali bin Abu Thalib r.a. dan
satu golongan lagi yang dendam atas terbunuhnya Utsman dan mereka adalah orang
yang mengikuti Mu’awiyah bin Abu Sofyan r.a.

2
Dua golongan itu saling membenci dan saling mengutuk yang lain dan pada
akhirnya masalah itu menimbulkan perang besar yaitu perang Shiffin. Akibat
perang ini kaum muslimin terpecah belah politknya menjadi tiga golongan :

1. Jumhur (sebagian besar) kaum muslimin;

2. Syi’ah; dan

3. Khawarij.1

Masing-masing tiga golongan ini membawa pengaruh khusu dalam


pembinaan hukum Islam, dan akan nyata dalam periode berikutnya.

2.2 Sumber Hukum

Sikap para sahabat terhadap sumber hukum yang mereka gunakan dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa sebagai berikut.

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama bagi kaum muslimin, para


sahabat sama sekali tidak pernah mendahului Al-Qur’an. Telah diketahui bahwa
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun
maka Rasulullah menyuruh para penulis wahyu untuk menulisnya. Di antara
mereka ada yang mencukupkan dengan menghafal apa yang diperolehnya dan ada
juga yang menulisnya. Rasulullah yang menentukan ayat-ayat dan surat-suratnya.
Pada saat Raulullah wafat, Al-Qur’an belum terkumpul dalam satu Mushaf, namun
Al-Qur’an terpelihara di dada para penghafal. Jumlah para penghafal Al-Qur’an
pada masa nabi sangat banyak dan sebagian dari mereka ada yang hafal seluruhnya.

Pada awal masa Abu Bakar r.a. terjadilah peristiwa yang mewajibkan
dikumpulkannya seluruh Al-Qur’an dalam satu Mushaf. Penyebab dari hal itu
adalah pada peperangan yamamah ada 70 penghafal gugur syahid. Sehingga Abu

1A.Mustadjib, Akidah Akhlak II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Universitas Terbuka, 1997), hlm. 12.

3
Bakar khawatir terhadap hal itu. Dalam Al Itqan, As Suyuti meriwayatkan, ia
berkata: Harits Al Muhasibi berkata dalam kitabnya Fahmus Sunan: “Penulisan Al-
Qur’an bukanlah hal yang baru, karena Rasulullah selalu memerintah untuk
menuiskannya, tetapi tulisan itu terpisah-pisah dalam kertas tulis, tulang-tulang
belikat dan pelepah kurma.

Abu Bakar hanya memerintahkan menyalinnya dari satu tempat ke tempat


lain sehingga menjadi satu dan terkumpul. Lembaran-lembaran itu berada di
tempat Abu Bakar, kemudian Umar dan Hafshah binti Umar ibu orang-orang
mu’min. pada masa khalifah yang ketiga yaitu Utsman bin Affan ia merasa wajib
menyiarkan mushaf ini ke dalam negara-negara besar Islam. Setelah mushaf
terpencar pada negara-negara besar islam, terjadi masalah yang menurut Utsman
merupakan bahaya besar yang harus di hindarkan. Di antara penghafal Al-Qur’an
terdapat sedikit perbedaan dalam sebagian huruf Al-Qur’an karena mengikuti
bahasa mereka.

Al Bukhari meriwayatkan dari Aus bahwa Hudzaifah bin Yaman datang


kepada Utsman, dan ia memerangi penduduk Syam dalam penaklukan Armenia dan
Adzarbijan bersama penduduk Irak. Hudzaifah terkejut terhadap perbedaan mereka
dalam bacaan Al-Qur’an, dan ia berkata kepada Utsman: “berilah pengertian pada
umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani”. Maka
Utsman mengirim utusan kepada Hafshah: “kirimkanlah lembaran-lembaran
kepada kami, akan kami salin ke dalam mushaf-mushaf kemudian kami kembalikan
kepadamu”.

Maka Hafshah mengirimkan kepada Utsman dan ia menyuruh Zaid bin


Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin
Hisyam, kemudian mereka menyalinnya ke dalam beberapa mushaf. Utsman
berkata kepada kelompok orang-orang Quraisy yang tiga: “apabila kamu dan Zaid
bin Tsabit berselisih tentang sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan lidah
Quraisy karena sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan lidah mereka”.
Kemudian mereka mengerjakannya, setelah selesai menyalin lembaran itu dalam

4
beberapa Mushaf, maka Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Ke setiap
penjuru ia kirimkan sebuah mushaf yang telah mereka salin dan menyuruh
membakar Al-Qur’an yang ada selain dari mushaf itu. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 25 H.

2. As Sunnah

Adapun mengenai As Sunnah, ini tidak terlalu memperoleh perhatian


seperti Al-Qur’an pada pengumpulannya. Al Hafizh Adz Dzahabi meriwayatkan
dalam Tadzkiratul Huffazh, ia berkata: “dari Marasil bin Abu Mulaikah bahwa Ash
Shiddiq mengumpulkan manusia sesudah Rasulullah wafat, dan ia berkata:
“sesungguhnya kamu menceritakan dari Rasulullah saw. hadits-hadits yang mana
kamu berbeda-beda di dalamnya dan manusia sesudah kamu akan lebih berbeda-
beda lagi. Maka janganlah kamu menceritakan sedikitpun dari Rasulullah saw. dan
katakanlah: “di antara kami dan kamu ada kitabullah dan halalkanlah apa yang di
halalkannya dan haramkanlah apa yang di haramkannya”.

Diriwayatkan pula dari Darawardi dari Muhammad bin Amr bin Abu
Salman dari Abu Hurairah saya berkata kepadanya: “Apakah kamu meriwayatkan
hadits pada masa Umar demikian?” maka ia berkata: “Seandainya saya
meriwayatkan hadits pada masa Umar seperti yang saya ceritakan kepadamu,
niscaya Umar memukulku dengan alat pemukul”. Mengenai riwayat di atas yang
diriwayatkan oleh imam-imam ahli fatwa dan pemimpin kaum muslimin, dapat
terlihat ketidaksungguhan mereka dalam menyempurnakan pembinaan hukum
Islam menurut As Sunnah, dan mereka sangat hati-hati dalam hal itu yaitu
menyedikitkan riwayat dari Rasulullah saw. serta mereka tetap berpegang teguh
dan menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama.

Dapat kita lihat pada contoh seperti yang diriwayatkan Al Hafizh Adz
Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffazh, ia berkata, Ibnu Syihab berkata dari
Qubaishah bin Dzuaib bahwa neneknya datang kepada Abu Bakar menuntut untuk
diberi warisan, maka ia (Abu Bakar) menjawab: “Dalam Kitabullah saya tidak
mendapati bagian untukmu, dan saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah

5
saw. memberikan kepadamu sedikitpun”. Kemudian ia bertanya kepada manusia,
Al Mughirah berdiri dan berkata: “saya mendengar Rasulullah saw. memberikan
seperenam”. Maka ia berkata: “apakah ada seseorang bersamamu?” dan
Muhammad bin Maslamah bersaksi seperti itu. Maka Abu Bakar menyampaikan
seperenam itu kepadanya.

Abu Bakar dan Umar hanya menerima hadits-hadits yang disaksikan oleh
dua orang saksi, dan mereka melihat kedudukan para saksi sehingga mereka yakin
terhadap persaksian yang mereka berikan. Mereka selalu cermat terhadap hadits
yang dijadikan landasan hukum ketika suatu peristiwa memerlukan untuk
menyebutkan Al Hadits. Pengeluaran hukum (istimbat) pada masa itu terbatas pada
fatwa-fatwa yang difatwakan oleh oleh orang yang ditanyakan tentang suatu
peristiwa. Mereka tidak meluaskan dalam menetapkan masalah-masalah dan
menjawabnya, bahkan mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak
menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Jika sesuatu
peristiwa yang membutuhkan keputusan hukum terjadi, baru mereka
mengistimbatkan hukumnya.

Oleh karena itu fatwa-fatwa yang dinukil sahabat-sahabat besar adalah


sedikit. Dalam berfatwa mereka selalu berpegang atas :

a. Al-Qur’an, karena dialah asas dan tiang agama.

b. Sunnah Rasulullah saw. dan mereka telah sepakat untuk


mengikutinya kapan saja mereka mendapatkannya dan percaya
kepada orang yang benar periwayatannya.2

Abu bakar, apabila sampai kepadanya suatu peristiwa maka ia melihat


kitabullah. Jika ia mendapatkan hukumnya, maka ia memutuskan dengannya. Jika
tidak ia mendapatkan hukumnya, maka ia melihat Sunnah Rasul saw. jika ia
mendapatkan hukumnya maka ia memutuskan dengannya. Jika ia penat maka ia

2Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Pent: Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul Ikhya,1980), hlm. 256.

6
tanya kepada manusia: “apakah kamu tahu bahwa Rasulullah saw. memutuskan
tentang hal itu dengan suatu keputusan?”. Maka kerapkali kaum itu berdiri dan
berkata: “beliau memutuskan hal itu dengan begini dan begini”.

Umar selalu bertanya jika ia tidak mendapatkan suatu hukum di dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.: “apakah Abu Bakar memutuskan hal itu
dengan suatu keputusan?” jika Abu Bakar telah mempunyai suatu keputusan, maka
ia memutuskan dengannya, begitu pula Utsman dan Ali ra. selau berhati-hati dalam
memutuskan suatu hukum.

3. Ijma’

Abu Bakar dan Umar apabila bermusyawarah dengan suatu jamaah tentang
suatu hukum dan mereka menyarankan tentang suatu pendapat (ra’yu), dan tidak
ada seorangpun yang menyelisihinya. Maka, mengeluarkan pendapat dengan hal
tersebut merupakan ijma’. Ijma’ menurut ulama ushul adalah kesepakatan semua
mujtahid dari umat Nabi Muhammad saw. dalam satu zaman mengenai masalah
syariat.3 Pada masa itu, jumlah mujtahid dari kalangan sahabat jumlahnya terbatas
yang memungkinkan untuk mengadakan permusyawaratan dan peninjauan
terhadap hasil pendapat mereka sehingga mudah terwujudnya ijma’. Tingkat
kepercayaan orang terhadap hasil Ijma’ pada zaman Umar sangat tinggi bahkan
orang-orang yang mengingkari kehujjahan Ijma’ mengakui keabsahan Ijma’ pada
saat itu.

Para sahabat tidak mengikat dirinya dengan hasil Ijma’ kecuali Ijma’ itu
lahir dari semua orang yang diperhitungkan pendapatnya. Sedangkan ketika
berbeda pendapat satu pihak tidak memaksakan diri harus mengambil pendapat
mayoritas dan tidak pula menguatkan pendapat satu pihak apa pun status dan
kedudukannya dan meniggalkan kelompok lain, kecuali jika menurut mereka
terjdapat dalil yang kuat.

3Rachmad Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 69.

7
4. Ra’yi (logika)

Yang dimaksud dengan ra’yi adalah mencurahkan segala upaya dalam


rangka mencari hukum dan mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik
berupa dalil dari Al-Qur’an atau Sunnah atau dalil aqli berupa qiyas, maslahat
mursalah, urf, dan lain-lain.4 Adapun sikap para sahabat terhadap ra’yi (pendapat
pribadi), mereka bukan termasuk orang yang terbiasa dalam hal ini. Pada mulanya
mereka ragu untuk menggunakan cara ini, namun sedikit demi sedikit hilang
terutama ketika mereka bermusyawarah mengumpulkan Al-Qur’an. Dan sesudah
itu barulah mereka leluasa menggunakan cara ini, termasuk ketika mereka
menghadapi berbagai permasalahan besar terutama dalam bab fiqih.

Umar berkata: “ketahuilah keserupaan-keserupaan dan kesepadanan-


kesepadanan kemudian Qiyas-kanlah urutan-urutan itu”. Sesungguhnnya
memperlakukan ra’yi (pendapat) sekiranya demikian adalah mengamalkan ma’qul
nash. Dalam setiap keadaan, fatwa mereka yang disandarkan pada ra’yi (pendapat)
adalah sangat sedikit. Contoh dari pendapat (ra’yi) oleh Umar ialah seperti pada
masa Nabi, umat Islam sholat tarawih sendirian dimasjid (munfarid), ketika bulan
Ramadhan di masa Umar, ia mengumpulkan para jamaa’ah di Masjid kemudian di
perintahkan untuk sholat berjamaah di pimpin oleh imam. Umar berpendapat bahwa
shalat tarawih hukumnya mandub.5

Dalam menggunakan ra’yi para sahabat berpegang teguh pada kebenaran di


manapun ia berada, mayoritas mereka akan memakai pendapat orang lain dan
meninggalkan pendapatnya sendiri jika kebenaran ada pada orang lain.Umar pernah
meninggalkan pendapatnya sendiri ketika melarang mahar yang terlalu tinggi ketika
seorang wanita berkata kepadanya, “Bukankah Allah telah memberi kami (mahar
yang banyak) dengan firman Allah SWT. : Sedang kamu telah memberikan kepada

4Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 68.
5M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), cet. 2, hlm. 288.

8
mereka harta yang banyak, dan kita dilarang oleh ucapan Umar, lalu umar berkata,
“Wanita itu benar dan Umar salah”.

Semua yang mereka cari adalah kebenaran di manapun berada, mereka tidak
bersedih hati seandainya kebenaran itu terdapat pada orang lain. Berbagai upaya
mereka lakukan untuk mencari kebenaran tersebut. Ra’yi yang muncul di kalangan
mereka dinisbatkan kepada mereka, bukan kepada syari’at. Bukti dari hal tersebut
ialah apabila Abu Bakar berijtihad dengan pendapatnya, ia selalu berkata: “Ini
adalah pendapatku, jika benar maka dari Allah dan jika itu salah maka dari saya
dan saya mohon ampun kepada Allah”.

Dengan demikian, pada masa sahabat generasi pertama terdapat empat


sumber hukum, yaitu:

1. Al-Qur’an sebagai pegangan (landasan);

2. As Sunnah,

3. Ijma’.

4. Ra’yi (pendapat pribadi)6

2.3 Perbedaan Pendapat dan Penyebabnya di Kalangan Sahabat

Terdapat beberapa contoh yang menjelaskan cara istimbat di kalangan


sahabat pada masa ini, seperti berikut:

1. Ibnu Mas’ud berfatwa dan Umar bin Khattab menyetujuinya, bahwa


wanita yang bercerai, tidak keluar dari iddahnya apabila ia mandi dari
haidhnya yang ketiga. Tempat timbulnya perbedaan dalam haidh yang
ketiga adalah dalam penafsiran kata quru’, apakah quru’ itu berarti suci
seperti yang dipahamkan Zaid bin Tsabit dan orang lain

6Hudhari Bik op.cit hlm. 259.

9
apakah quru’ itu berarti haidh, sebagaimana yang dipahami oleh Ibnu
Mas’ud.

2. Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit berfatwa bahwa wanita merdeka
yang menjadi isteri hamba maka wanita itu haram selamanya dengan
dua thalak. Ali tidak sependapat, dan berkata: “wanita itu hanya haram
dengan tiga thalak. Adapaun hamba perempuan yang menjadi isteri
laki-laki merdeka, maka hamba perempuan itu haram dengan dengan
dua thalak”. Mereka sependapat atas separoh hak-hak hamba namun
mereka berbeda pendapat apakah perceraian itu dipandang dari suami
atau dari isteri. Utsman dan Zaid berpendapat bahwa perceraian itu
dipandang dari suami, karena suamilah yang menjatuhkan thalak. Ali
berpendapat bahwa perceraian itu dipandang dari isteri karena isterilah
yang kena thalak.

3. Abu Bakar membagi harta di antara manusia sama rata yang seseorang
tidak berlebih atas yang lain, maka dikatakan kepadannya: “wahai
khalifah Rasulullah sesungguhnya engkau membagi harta ini dengan
menyamaratakan antara manusia, sebagian dari manusia ada orang
yang memiliki keutamaan, orang-orang yang terdahulu, dan orang-
orang lama. Seandainya engkau melebihkan kepada orang-orang yang
terdahulu, orang-orang lama dan orang-orang yang utama“. Ia
berkata: “adapun orang-orang lama, terdahulu, dan orang-orang yang
utama, maka apakah yang dapat memberitahukan kepadaku tentang
yang demikian itu? Hal itu hanyalah sesuatu yang pahalanya atas Allah
sedang ini adalah kehidupan, dan mempersamakan di dalam
kehidupan ini adalah lebih baik dari pada mengutamakan pada
seseorang yang lain”. Ketika masa Umar dan penaklukan-penaklukan
itu datang, maka ia melebihkan seraya berkata: “saya tidak menjadikan
orang yang memerangi kepada Rasulullah seperti orang yang berperang
bersama beliau”.

10
4. Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa onta-onta yang tersesat
pada zaman Umar ra. dilepaskan dengan berkembang biak dan tidak
seorangpun yang menyentuhnya. Ketika masa Usman bin Affan, unta
tersebut dijual, apabila ada pemiliknya datang maka ia diberi harganya.

Dari beberapa contoh perbedaan pendapat dari kalangan sahabat mengenai


istimbat hukum, terdapat sebab-sebab perbedaan tersebut, yaitu:

1. Berbedanya fatwa karena berbeda dalam memahami Al-Qur’an. Dari


hal ini karena beberapa segi:

a. Terdapatnya lafazh yang mengandung dua pengertian atau lebih,


seperti mengenai lafazh quru’;

b. Terdapatnya hukum yang berbeda dalam dua persoalan yang diduga


salah satunya mencakup sebagian yang terkandung oleh bagian itu
terdapat perlawanan. Contohnya adalah tentang wanita yang
beriddah wafat. Ayat itu mewajibkan menanti selam empat bulan
sepuluh hari, dan diduga ini mencakup orang hamil. Dan ayat yhalak
menjadikan iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan
kandungannya, maka iddah wanita yang di tinggal mati dan hamil
adalah ragu-ragu antara yang terkandung oleh ayat yang pertama
sehingga harus menanti selama empat bulan sepuluh hari meskipun
ia melahirkan kandungan sebelum itu (empat bulan sepuluh hari).

2. Berbedanya fatwa karena berbedanya Sunnah. Sebagian sunnah ada


yang dikerjakan atau disabdakan di hadapan satu atau dua orang maka
yang mebawanya terbatas pada pada yang hadir. Inilah kebanyakan
sunnah qauliya (sabda-sabda Rasul), dan ini merupakan tempat
timbulnya perbedaan pendapat. Pada periode ini periwayatan Sunnah
tidaklah terkenal dan tidak pula di bukukan. Apabila sahabat dihadapkan
pada suatu peristiwa dan tidak ada nash di dalam Kitabullah maka
mereka bertanya pada orang yang bersama mereka, apakah Rasulullah

11
saw. ada memutuskan tentang hal ini? Seringkali dihadapan mereka ada
orang yang meriwayatkan hadits, dan para sahabat memutuskan dengan
itu jika mereka membenarkan riwayat itu, Umar selalu meminta orang
yang menemani dalam mendengar Hadits, dan Ali selalu menyumpah
para perawi.

3. Berbedanya fatwa karena pendapat.

Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat, secara umum juga


disebabkan oleh faktor domisili terutama setelah penaklukan kota Mekkah. Jika
sahabat tidak menemukan nash, baik di Al-Qur’an atau Sunnah dalam sautu
masalah, mereka akan berijtihad untuk istimbat hukum dengan tetap
memperhatikan kemaslahatan orang banyak, membawa manfaat dan menolak
mudharat, dan memenuhi hajat serta kemaslahatan umum yang sedikit banyaknya
berdeda pula dari suatu negeri dengan negeri yang lain.7 Sebagai contoh, Apa yang
dihadapi oleh Abdullah Ibnu Mas’ud di Kuffah, belum tentu dihadapi oleh
Abdullah bin Umar di Madinah, begitu pula dengan Mu’awiyah yang ada di Syam.

2.4 Fuqaha Pada Masa Sahabat Generasi Pertama

Beberapa fuqaha pada masa ini ialah sebagai berikut.

1. Abu Bakar Siddiq

Sebelum memeluk agama Islam beliau bernama Abdul Ka’bah, dan setelah
memeluk agama Islam namanya diganti menjadi Abdullah Ibn Abi Quhafah At
Tamimi. Ibunya bernama Ummul Khoir Salma binti Sakhir Ibn Amir. Beliau lahir
dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad. Abdullah kemudian digelari Abu
Bakar As Siddik, yang artinya Abu (bapak) dan Bakar (pagi), adalah karena beliau
merupakan orang dewasa yang permata kali memeluk agama Islam. Sedangkan
gelaran As Siddik diberikan kepada beliau karena beliau orang yang senantiasa

7Rasyad Hasan Khalil op.cit hlm. 69.

12
membenarkan segala tindakan Rasulullah saw. terutama dalam peristiwa Isra’
Mi’raj.

Sejak kecil ia dikenal sebagai seorang anak yang mempunyai kepribadian


tinggi dan mulia serta terpuji. Beliau tidak memiliki perilaku seperti kebanyakan
pembesat Arab lainnya. Sejak sebelum Nabi Muhammad di angkat menjadi Rasul,
antara beliau denga Rasulullah telah menjalin persahabatan dan terus bejalan
sampai nabi Muhammad menerima risalah kenabian. Seringkali Rasulullah
mengajak bermusyawarah dengan beliau dalam berbagai hal terutama ketika kaum
muslimin menghadapi tindakan kekerasan orang Quraisy yang di luar kemanusiaan.
Abu Bakar terkenal memiliki kemauan yang kuat, mempunyai hati yang keras dan
beliau adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, dermawan, pandai dan
tidak pernah memutuskan suatu perkara manakala perkara itu belum jelas dan telah
di pertimbangkan dengan matang.8

2. Abdulllah bin Mas’ud

Dia adalah Abdulllah bin Mas’ud Al Hadzali kawan sumpah setia Bani
Zuhrah. Ia masuk islam dan berkata: “kamu telah melihatku sebagai orang muslim
yang keenam di atas permukaan bumi”. Dialah orang yang pertama mengeraskan
bacaan Al-Qur’an di Mekkah. Ketika ia masuk Islam maka Rasulullah saw.
mengambilnya sebagai pelayan beliau, dan beliau bersabda: “Saya izinkan
kepadamu untuk mendengar rahasiaku”, ia mengangkat penutup, ia bersungguh-
sungguh dan mensegerakan perintah beliau, memakaikan sepasang sandal beliau,
berjalan bersama beliau, dan didepan beliau. Ia menutupi Rasulullah ketika beliau
mandi, membangunkan apabilah Rasulullah tidur. Ia hijrah dua kali yakni ke Habsyi
dan Madinah. Ia sholat dengan menghadap dua kiblat (pernah ke arah Baitul Maqdis
dan ke arah Ka’bah).

8AbdulMutholib, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan


Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1996), hlm. 283.

13
Ia hadir pada perang Badar, Uhud, Khandaq, Bai’atur Ridhwan dan seluruh
peperangan bersama Rasulullah saw. dan menyaksikan perang Yarmuk setelah
Rasulullah wafat. Sejumlah sahabat dan Tabi’in meriwayatkan Hadits daripadanya,
Di katakan kepada Hudzaifah: “’ia menceritakan kepada kami sebagai manusia
yang terdekat bimbingan dan petunjuk dari Rasulullah saw., maka kami belajar dan
mengikutinnya. Manusia yang paling dekat petunjuk dan bimbingan dari Rasulullah
adalah Ibnu Mas’ud. Di riwayatkan dari Ali ra. bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda: “seandainya saya menjadikan seseorang untuk memegang pemerintahan
dan itu tanpa permusyawaratan, niscaya saya menjadikan orang yang memegang
pemerintahan itu Ummi Abidin”. Umar bin Khattab mengutusnya ke Kufah
menjadi guru dan menteri. Ia meninggal di madinah pada tahun 32 H.9

3. Umar bin Khattab

Umar bin Khattab, ayahnya bernama Nufail Al-Quraisy dan ibunya


bernama Hantamah binti Hasyim. Beliau berasal dari suku Bani ‘Adiy. Pada masa
Jahiliyah, Umar adalah seorang saudagar yang berpengaruh, mulia dan
berkedudukan tinggi. Seringkali ia diutus oleh kaumnya untuk perwakilan
kaumnya. Ia terkenal sebagai seorang yang pemberani, tidak mengenal takut dan
gentar, mempunyai ketabahan dan kemauan yang keras dan tidak mengenal ragu
serta bimbang.

Masuknya Umar ke dalam barisan Islam telah membawa perubahan baru


bagi masyarakat Islam. Karena Umar masuk Islam, umat islam berani menjalankan
sholat di masing-masing rumahnya dan tidak merasa takut dengan orang-orang
Quraisy, bahkan Umar keluar dari Darul Arqom yang sebelumnya tempat kegiatan
umat Islam dengan membawa satu rombongan menuju Ka’bah untuk menyeru
kaum Quraisy dengan terang-terangan. Sejak itulah ia dijuluki “Al-Faruq” (Si

9Hudhari Bik op.cit hlm. 277.

14
Pemisah) yakni telah memisahkan yang batil dan yang hak. Ia diangkat menjadi
khalifah pada tahun 634-644 M/13-23 H.10

4. Zaid bin Tsabit

Dia adalah Zaid bin Tsabit Adh Dhahak An Najjari Al Anshari. Ketika
Rasulullah tiba di Madinah ia berumur sebelas tahun. Perang pertama yang
diikutinya adalah perang Khandak. Dalam perang Tabuk, bendera Bani Malik bin
Najjat dipegang oleh Imarah bin Hazm, maka di ambil oleh Rasulullah dan
diberikan kepada Zaid bin Tsabit, Imarah berkata: “wahai Rasulullah,
sampaikanlah sesuatu dari engkau tentang diriku?” beliau bersabda: “Tidak, tetapi
Al-Qur’an didahulukan, sedang Zaid bin Tsabit adalah lebih banyak mengambil
Al-Qur’an dari padamu”. Zaid selalu menuliskan wahyu.

Pernah buku-buku dalam bahasa Suryani diberikan kepadanya, dan


Rasulullah menyuruh agar dipelajari, dan kemudian ia menuliskan untuk Abu Bakar
dan Umar. Umar menjadikan pejabat khalifah tiga kali, begitu juga pada masa
Utsman. Ia merupakan sahabat yang pintar. Banyak sahabat dan tabi’in yang
meriwayatkan Hadits darinya. Dialah orang yang menagani pengumpulan Al-
Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman bersama orang lain yang telah ditentukan
Utsman. Ia wafat pada tahun 45 H.

10Abdul Mutholib op.cit hlm. 290

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkan secara singkat dari pembahasan di


atas ialah sebagai berikut:

1. Dalam istimbat hukum, para sahabat generasi ini tetap berpegang teguh
pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Ketika tidak menemukan hukum dalam dua
rujukan utama tersebut para sahabat melakukan Ijtihad. Sehingga sumber
hukum pada masa ini berupa Al-Qur’an sebagai pegangan (landasan); As
Sunnah; Qiyas atau ra’yi sebagai cabang Al-Qur’an dan As Sunnah; dan
Ijma’.

2. Perbedaan pendapat yang terjadi disebabkan beberapa factor, yaitu:

a. Karena berbeda dalam memahami ayat Al-Qur’an terutama mengenai


kata yang bermakna ganda (musytarak);

b. Karena berbedanya Sunnah baik dari Sunnah yang didapatkan ataupun


Sunnah yang terdapat benturan pada maknanya; dan

c. Karena pendapat yang dipengaruhi oleh letak geografis.

3. Dalam menentukan suatu hukum, para sahabat selalu berpegang teguh pada
kebenaran, dan dalil yang kuat. Mereka selalu mengutamakan kemaslahatan
umat.

4. Para fuqaha pada masa ini ialah Abu Bakar As Siddik, Ummar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan
lain-lain.

16
DAFTAR PUSTAKA

A. Mustadjib, 1997, Akidah Akhlak II, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan


Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka.

Abdul Mutholib, 1996, Sejarah Kebudayaan Islam I, Jakarta: Direktorat Jenderal


Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka.

Hudhari Bik, 1980, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Pent: Mohammad Zuhri,


Semarang: Darul Ikhya.

M. Karman, 2003, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Rachmad Syafi’I , 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

Rasyad Hasan Khalil, 2009, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam,
Jakarta: AMZAH.

17

Anda mungkin juga menyukai