Disusun Oleh:
MAGHFIRAH
11202283
Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pada masa ini, Rasulullah wafat dan Abu Bakar menjabat sebagai khalifah.
Pada masa ini pula dijumpai sebagian besar bangsa Arab berpaling dari Islam. Cita-
cita yang mantap dari Abu Bakar dan kekuatan iman dalam hati orang Muhajirin
dan Anshar adalah obat yang paling berguna untuk mengokohkan tiang-tiang Islam.
Dari permasalahan tersebut maka Abu Bakar menyiapkan bala tentara untuk
menegakkan daerah dan mengembalikan persatuan Arab. Sesudah hal itu sempurna,
Abu Bakar mengirim bala tentara itu ke Irak dan Syam, untuk menyiarkan dakwah
Islam pada kerajaan Persi dan Rumawi, dan Abu Bakar meninggal sebelum semua
itu terealisir dan belum diketahui siapa yang akan melanjutkannya.
2
Dua golongan itu saling membenci dan saling mengutuk yang lain dan pada
akhirnya masalah itu menimbulkan perang besar yaitu perang Shiffin. Akibat
perang ini kaum muslimin terpecah belah politknya menjadi tiga golongan :
2. Syi’ah; dan
3. Khawarij.1
Sikap para sahabat terhadap sumber hukum yang mereka gunakan dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa sebagai berikut.
1. Al-Qur’an
Pada awal masa Abu Bakar r.a. terjadilah peristiwa yang mewajibkan
dikumpulkannya seluruh Al-Qur’an dalam satu Mushaf. Penyebab dari hal itu
adalah pada peperangan yamamah ada 70 penghafal gugur syahid. Sehingga Abu
1A.Mustadjib, Akidah Akhlak II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Universitas Terbuka, 1997), hlm. 12.
3
Bakar khawatir terhadap hal itu. Dalam Al Itqan, As Suyuti meriwayatkan, ia
berkata: Harits Al Muhasibi berkata dalam kitabnya Fahmus Sunan: “Penulisan Al-
Qur’an bukanlah hal yang baru, karena Rasulullah selalu memerintah untuk
menuiskannya, tetapi tulisan itu terpisah-pisah dalam kertas tulis, tulang-tulang
belikat dan pelepah kurma.
4
beberapa Mushaf, maka Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Ke setiap
penjuru ia kirimkan sebuah mushaf yang telah mereka salin dan menyuruh
membakar Al-Qur’an yang ada selain dari mushaf itu. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 25 H.
2. As Sunnah
Diriwayatkan pula dari Darawardi dari Muhammad bin Amr bin Abu
Salman dari Abu Hurairah saya berkata kepadanya: “Apakah kamu meriwayatkan
hadits pada masa Umar demikian?” maka ia berkata: “Seandainya saya
meriwayatkan hadits pada masa Umar seperti yang saya ceritakan kepadamu,
niscaya Umar memukulku dengan alat pemukul”. Mengenai riwayat di atas yang
diriwayatkan oleh imam-imam ahli fatwa dan pemimpin kaum muslimin, dapat
terlihat ketidaksungguhan mereka dalam menyempurnakan pembinaan hukum
Islam menurut As Sunnah, dan mereka sangat hati-hati dalam hal itu yaitu
menyedikitkan riwayat dari Rasulullah saw. serta mereka tetap berpegang teguh
dan menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama.
Dapat kita lihat pada contoh seperti yang diriwayatkan Al Hafizh Adz
Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffazh, ia berkata, Ibnu Syihab berkata dari
Qubaishah bin Dzuaib bahwa neneknya datang kepada Abu Bakar menuntut untuk
diberi warisan, maka ia (Abu Bakar) menjawab: “Dalam Kitabullah saya tidak
mendapati bagian untukmu, dan saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah
5
saw. memberikan kepadamu sedikitpun”. Kemudian ia bertanya kepada manusia,
Al Mughirah berdiri dan berkata: “saya mendengar Rasulullah saw. memberikan
seperenam”. Maka ia berkata: “apakah ada seseorang bersamamu?” dan
Muhammad bin Maslamah bersaksi seperti itu. Maka Abu Bakar menyampaikan
seperenam itu kepadanya.
Abu Bakar dan Umar hanya menerima hadits-hadits yang disaksikan oleh
dua orang saksi, dan mereka melihat kedudukan para saksi sehingga mereka yakin
terhadap persaksian yang mereka berikan. Mereka selalu cermat terhadap hadits
yang dijadikan landasan hukum ketika suatu peristiwa memerlukan untuk
menyebutkan Al Hadits. Pengeluaran hukum (istimbat) pada masa itu terbatas pada
fatwa-fatwa yang difatwakan oleh oleh orang yang ditanyakan tentang suatu
peristiwa. Mereka tidak meluaskan dalam menetapkan masalah-masalah dan
menjawabnya, bahkan mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak
menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Jika sesuatu
peristiwa yang membutuhkan keputusan hukum terjadi, baru mereka
mengistimbatkan hukumnya.
2Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Pent: Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul Ikhya,1980), hlm. 256.
6
tanya kepada manusia: “apakah kamu tahu bahwa Rasulullah saw. memutuskan
tentang hal itu dengan suatu keputusan?”. Maka kerapkali kaum itu berdiri dan
berkata: “beliau memutuskan hal itu dengan begini dan begini”.
Umar selalu bertanya jika ia tidak mendapatkan suatu hukum di dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.: “apakah Abu Bakar memutuskan hal itu
dengan suatu keputusan?” jika Abu Bakar telah mempunyai suatu keputusan, maka
ia memutuskan dengannya, begitu pula Utsman dan Ali ra. selau berhati-hati dalam
memutuskan suatu hukum.
3. Ijma’
Abu Bakar dan Umar apabila bermusyawarah dengan suatu jamaah tentang
suatu hukum dan mereka menyarankan tentang suatu pendapat (ra’yu), dan tidak
ada seorangpun yang menyelisihinya. Maka, mengeluarkan pendapat dengan hal
tersebut merupakan ijma’. Ijma’ menurut ulama ushul adalah kesepakatan semua
mujtahid dari umat Nabi Muhammad saw. dalam satu zaman mengenai masalah
syariat.3 Pada masa itu, jumlah mujtahid dari kalangan sahabat jumlahnya terbatas
yang memungkinkan untuk mengadakan permusyawaratan dan peninjauan
terhadap hasil pendapat mereka sehingga mudah terwujudnya ijma’. Tingkat
kepercayaan orang terhadap hasil Ijma’ pada zaman Umar sangat tinggi bahkan
orang-orang yang mengingkari kehujjahan Ijma’ mengakui keabsahan Ijma’ pada
saat itu.
Para sahabat tidak mengikat dirinya dengan hasil Ijma’ kecuali Ijma’ itu
lahir dari semua orang yang diperhitungkan pendapatnya. Sedangkan ketika
berbeda pendapat satu pihak tidak memaksakan diri harus mengambil pendapat
mayoritas dan tidak pula menguatkan pendapat satu pihak apa pun status dan
kedudukannya dan meniggalkan kelompok lain, kecuali jika menurut mereka
terjdapat dalil yang kuat.
3Rachmad Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 69.
7
4. Ra’yi (logika)
4Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 68.
5M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), cet. 2, hlm. 288.
8
mereka harta yang banyak, dan kita dilarang oleh ucapan Umar, lalu umar berkata,
“Wanita itu benar dan Umar salah”.
Semua yang mereka cari adalah kebenaran di manapun berada, mereka tidak
bersedih hati seandainya kebenaran itu terdapat pada orang lain. Berbagai upaya
mereka lakukan untuk mencari kebenaran tersebut. Ra’yi yang muncul di kalangan
mereka dinisbatkan kepada mereka, bukan kepada syari’at. Bukti dari hal tersebut
ialah apabila Abu Bakar berijtihad dengan pendapatnya, ia selalu berkata: “Ini
adalah pendapatku, jika benar maka dari Allah dan jika itu salah maka dari saya
dan saya mohon ampun kepada Allah”.
2. As Sunnah,
3. Ijma’.
9
apakah quru’ itu berarti haidh, sebagaimana yang dipahami oleh Ibnu
Mas’ud.
2. Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit berfatwa bahwa wanita merdeka
yang menjadi isteri hamba maka wanita itu haram selamanya dengan
dua thalak. Ali tidak sependapat, dan berkata: “wanita itu hanya haram
dengan tiga thalak. Adapaun hamba perempuan yang menjadi isteri
laki-laki merdeka, maka hamba perempuan itu haram dengan dengan
dua thalak”. Mereka sependapat atas separoh hak-hak hamba namun
mereka berbeda pendapat apakah perceraian itu dipandang dari suami
atau dari isteri. Utsman dan Zaid berpendapat bahwa perceraian itu
dipandang dari suami, karena suamilah yang menjatuhkan thalak. Ali
berpendapat bahwa perceraian itu dipandang dari isteri karena isterilah
yang kena thalak.
3. Abu Bakar membagi harta di antara manusia sama rata yang seseorang
tidak berlebih atas yang lain, maka dikatakan kepadannya: “wahai
khalifah Rasulullah sesungguhnya engkau membagi harta ini dengan
menyamaratakan antara manusia, sebagian dari manusia ada orang
yang memiliki keutamaan, orang-orang yang terdahulu, dan orang-
orang lama. Seandainya engkau melebihkan kepada orang-orang yang
terdahulu, orang-orang lama dan orang-orang yang utama“. Ia
berkata: “adapun orang-orang lama, terdahulu, dan orang-orang yang
utama, maka apakah yang dapat memberitahukan kepadaku tentang
yang demikian itu? Hal itu hanyalah sesuatu yang pahalanya atas Allah
sedang ini adalah kehidupan, dan mempersamakan di dalam
kehidupan ini adalah lebih baik dari pada mengutamakan pada
seseorang yang lain”. Ketika masa Umar dan penaklukan-penaklukan
itu datang, maka ia melebihkan seraya berkata: “saya tidak menjadikan
orang yang memerangi kepada Rasulullah seperti orang yang berperang
bersama beliau”.
10
4. Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa onta-onta yang tersesat
pada zaman Umar ra. dilepaskan dengan berkembang biak dan tidak
seorangpun yang menyentuhnya. Ketika masa Usman bin Affan, unta
tersebut dijual, apabila ada pemiliknya datang maka ia diberi harganya.
11
saw. ada memutuskan tentang hal ini? Seringkali dihadapan mereka ada
orang yang meriwayatkan hadits, dan para sahabat memutuskan dengan
itu jika mereka membenarkan riwayat itu, Umar selalu meminta orang
yang menemani dalam mendengar Hadits, dan Ali selalu menyumpah
para perawi.
Sebelum memeluk agama Islam beliau bernama Abdul Ka’bah, dan setelah
memeluk agama Islam namanya diganti menjadi Abdullah Ibn Abi Quhafah At
Tamimi. Ibunya bernama Ummul Khoir Salma binti Sakhir Ibn Amir. Beliau lahir
dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad. Abdullah kemudian digelari Abu
Bakar As Siddik, yang artinya Abu (bapak) dan Bakar (pagi), adalah karena beliau
merupakan orang dewasa yang permata kali memeluk agama Islam. Sedangkan
gelaran As Siddik diberikan kepada beliau karena beliau orang yang senantiasa
12
membenarkan segala tindakan Rasulullah saw. terutama dalam peristiwa Isra’
Mi’raj.
Dia adalah Abdulllah bin Mas’ud Al Hadzali kawan sumpah setia Bani
Zuhrah. Ia masuk islam dan berkata: “kamu telah melihatku sebagai orang muslim
yang keenam di atas permukaan bumi”. Dialah orang yang pertama mengeraskan
bacaan Al-Qur’an di Mekkah. Ketika ia masuk Islam maka Rasulullah saw.
mengambilnya sebagai pelayan beliau, dan beliau bersabda: “Saya izinkan
kepadamu untuk mendengar rahasiaku”, ia mengangkat penutup, ia bersungguh-
sungguh dan mensegerakan perintah beliau, memakaikan sepasang sandal beliau,
berjalan bersama beliau, dan didepan beliau. Ia menutupi Rasulullah ketika beliau
mandi, membangunkan apabilah Rasulullah tidur. Ia hijrah dua kali yakni ke Habsyi
dan Madinah. Ia sholat dengan menghadap dua kiblat (pernah ke arah Baitul Maqdis
dan ke arah Ka’bah).
13
Ia hadir pada perang Badar, Uhud, Khandaq, Bai’atur Ridhwan dan seluruh
peperangan bersama Rasulullah saw. dan menyaksikan perang Yarmuk setelah
Rasulullah wafat. Sejumlah sahabat dan Tabi’in meriwayatkan Hadits daripadanya,
Di katakan kepada Hudzaifah: “’ia menceritakan kepada kami sebagai manusia
yang terdekat bimbingan dan petunjuk dari Rasulullah saw., maka kami belajar dan
mengikutinnya. Manusia yang paling dekat petunjuk dan bimbingan dari Rasulullah
adalah Ibnu Mas’ud. Di riwayatkan dari Ali ra. bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda: “seandainya saya menjadikan seseorang untuk memegang pemerintahan
dan itu tanpa permusyawaratan, niscaya saya menjadikan orang yang memegang
pemerintahan itu Ummi Abidin”. Umar bin Khattab mengutusnya ke Kufah
menjadi guru dan menteri. Ia meninggal di madinah pada tahun 32 H.9
14
Pemisah) yakni telah memisahkan yang batil dan yang hak. Ia diangkat menjadi
khalifah pada tahun 634-644 M/13-23 H.10
Dia adalah Zaid bin Tsabit Adh Dhahak An Najjari Al Anshari. Ketika
Rasulullah tiba di Madinah ia berumur sebelas tahun. Perang pertama yang
diikutinya adalah perang Khandak. Dalam perang Tabuk, bendera Bani Malik bin
Najjat dipegang oleh Imarah bin Hazm, maka di ambil oleh Rasulullah dan
diberikan kepada Zaid bin Tsabit, Imarah berkata: “wahai Rasulullah,
sampaikanlah sesuatu dari engkau tentang diriku?” beliau bersabda: “Tidak, tetapi
Al-Qur’an didahulukan, sedang Zaid bin Tsabit adalah lebih banyak mengambil
Al-Qur’an dari padamu”. Zaid selalu menuliskan wahyu.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dalam istimbat hukum, para sahabat generasi ini tetap berpegang teguh
pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Ketika tidak menemukan hukum dalam dua
rujukan utama tersebut para sahabat melakukan Ijtihad. Sehingga sumber
hukum pada masa ini berupa Al-Qur’an sebagai pegangan (landasan); As
Sunnah; Qiyas atau ra’yi sebagai cabang Al-Qur’an dan As Sunnah; dan
Ijma’.
3. Dalam menentukan suatu hukum, para sahabat selalu berpegang teguh pada
kebenaran, dan dalil yang kuat. Mereka selalu mengutamakan kemaslahatan
umat.
4. Para fuqaha pada masa ini ialah Abu Bakar As Siddik, Ummar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan
lain-lain.
16
DAFTAR PUSTAKA
Rasyad Hasan Khalil, 2009, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam,
Jakarta: AMZAH.
17