Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KAIDAH FIQH AL-DHARARU YUZALU DAN CABANG-


CABANGNYA

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Qawaidul Fiqhiyyah

Dosen pengampu: Dr. H. Mashudi, M.Ag.

Di susun oleh:

1. Zufar Nabil Darell Althaf (2102026131)


2. Risma Afrinda Parandita (2102026132)
3. Nur Kholis Majid (2102026140)

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN WALISONGO SEMARANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini


karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Semarang, September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kaidah Fiqh Aldhararu Yuzalu ......................................... 3

2.2 Cabang-cabang Kaidah Fiqh Aldhararu Yuzalu ................................. 4

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama Islam memiliki Al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman bagi


kehidupan seluruh umatnya. Al-Quran sebagai penuntun umat secara garis besar
mengandung dasar-dasar tentang tauhid, akidah, akhlak, dan hukum-hukum syariat
sebagai pedoman bagi keberlangsungan hidup umatnya. Sudah sejak pada masa
Nabi Muhammad SAW, berbagai permasalahan dan hukum diselesaikan
berdasarkan wahyu-wahyu yang diturunkan kepada beliau yang kemudian telah
disatukan menjadi sebuah kitab suci yang disebut Al-Quran.

Permasalahan-permasalahan hidup yang ada pada saat itu tidak hanya


diselesaikan melalui Al-Quran namun juga berdasarkan perkataan-perkataan
belliau yang kemudian disebut sebagai sunnahnya. Ilmu Fiqih yang memang sudah
digunakan sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga kini ini merupakan suatu ilmu
yang harus kita pahami dan harus dipelajari sebagai umat islam. Mengapa
demikian? Ilmu Fiqih mengatur segala hal tentang hukum dan permasalahan hidup
setiap orang, bisa dibayangkan apabila kita tidak mempelajari dan memahami apa
yang ada didalamnya maka kita bisa saja banyak melakukan kesalahan-kesalahan
yang seharusnya memang tidak diperbolehkan dalam agama.

Ilmu Fiqh ini adalah suatu ilmu yang menyertaki kita umat islam dari mulai
bangun tidur, melakukan aktifitas, dan kembali tidur. Itu berarti bahwa ilmu ini
sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari manusia. Ilmu Fiqih ini bukan
berdasrkan pada hati atau perasaan manusia namun merupakan ilmu pasti yang
bersifat ilmiah dimana segala hal yang diatur didalamnya adalah hukum yang benar
adanya dan logis secara pemikiran dan memiliki kaidah-kaidah tertentu. Oleh
karena itu penulis akan membahas tentang Fiqih, Ushul Fiqh, dan Kaidah Fiqh
secara lebih dalam pada makalah ini sehingga akan menjadikan pembakelan materi
yang baik dalam lingkup pendidikan dan membentuk pribadi yang mengerti hukum
dan syariat bagi pembaca.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kaidah fiqh aldhararu yuzalu?

2. Apa saja cabang dari kaidah fiqh aldhararu yuzalu?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kaidah Fiqh Aldhararu Yuzalu

Menurut Ahmad al-Nadwi kaidah ad-Dhararu Yuzalu mencakup hal-hal


yang luas dalam hukum Islam. Pemahaman ini dikenal kuat bahwa seseorang tidak
diperbolehkan membahayakan orang lain. Kita dianjurkan untuk selalu
menghilangkan segala bentuk kemudharatan di dalam setiap aktivitas kehidupan ini

Ad-Dhararu Yuzalu secara garis besar memiliki tujuan untuk


menghilangkan kemudharatan kepada orang lain. Dalam aspek pengelolaan
lingkungan, tentunya pengaruh kaidah ini sangat berfungsi secara signifikan bagi
keberlangsungan kehidupan baik manusia maupun alam sekitarnya. Manusia yang
ditunjuk sebagai khalifah harus mampu memakmurkan dan melestarikan alam
secara baik sebagai wujud syukur akan anugerah kehidupan yang diberikan oleh
Allah SWT (Abdullah, 2016).

Beberapa kondisi yang dapat menjelaskan secara terperinci penggunaan


kaidah AdDhararu yuzalu diantaranya yaitu apabila kemudharatan yang dialami
dapat membolehkan hal-hal yang dilarang di dalam syari’at (haram). Hal ini dapat
terjadi bila pada saat itu kondisi seseorang sangat terancam dan tidak ada jalan lain
selain melakukan larangan dalam syari’at. Namun, dalam kondisi tersebut, pelaku
tidak diperbolehkan melebihi batas kadar tertentu dalam menolak kondisinya yang
terancam terhadap perilaku yang dilarang tersebut. Kemudharatan yang dimaksud
dalam kaidah ini pun harus mengenal batasan-batasan tertentu seperti dapat ditolak
dengan batas-batas yang memungkinkan, tidak ekses atau tidak berlebihan.

Kemudharatan tidak boleh dilakukan dengan kemudharatan yang sama.


Artinya mudharat yang dilakukan tidak boleh sebanding dengan yang ingin
dihilangkan. Apabila terdapat kemudharatan dengan sifat khusus maka wajib
melaksanakan untuk menolak mudharat yang umum dan bila kemudharatan
tersebut lebih berat maka dihilangkan dengan mudharat yang lebih ringan.

3
Kemudharatan yang telah lama terjadi tidak boleh dianggap sepele sehingga
diabaikan karena pada setiap kemudharatan terdapat konsekuensi tersendiri. Setiap
kedudukan kebutuhan manusia menempati darurat baik umum maupun khusus,
karena itu setiap ada keringanan yang diperbolehkan harus melewati kondisi darurat
atau al-hajah terlebih dahulu agar pelaku dapat menggunakan dalil ini. Konsep ini
kemudian menjadi implementasi terhadap dasar bahwa setiap tindakan umum yang
menolak kemaslahatan dan dapat membawa kerusakan harus dilarang (Rosmanidar,
2018).

2.2 Cabang-cabang Kaidah Fiqh Al-Dhararu Yuzalu

Kaidah yang merupakan cabang dari kaidah “al-dhararu yuzalu”, antara


lain;

1. ِ ‫َّرو َراتُ ت ُ ِب ْي ُح ال َم ْخظُ ْو َرا‬


‫ت‬ ْ ‫الض‬

Artinya : “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.”

Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah Swt:

ٌ ُ‫غف‬
‫ور َرحِ ي ٌم‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫عا ٍد فَ ََل ِإثْ َم‬
َ َّ ‫علَ ْي ِه ِإ َّن‬ َ ‫ضطُ َّر‬
َ ‫غي َْر بَاغٍ َو ََل‬ ْ ‫( فَ َم ِن ا‬173)

Artinya : “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)


sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS: Al-Baqarah Ayat: 173)

Jadi dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat)
terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa
terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu
kemadhorotan pada dirinya. Contoh: kasus kelaparan dan ia sedang menemukan
makanan bangkai, jika tidak dimakan ia akan mati, maka baginya boleh
memakannya.

4
2. ِ ‫َماأُبِي َح لِلض َُّر َرا‬
‫ت يُقَد َُّر بِقَدَ ِارهَا‬

Artinya: “Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurot harus


disesuaikan menurut batasan yang ukuran yang dibutuhkan dlorurot tersebut.”

Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran


keadaan yang memaksa (dlorurot), harus disesuaikan dengan kadar ukuran dlorurot
yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya
saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah ‫َّرو َراتُ تُبِ ْي ُح‬
ْ ‫الض‬
ِ ‫ال َم ْخظُ ْو َرا‬. dimana kebolehan yang tekandung didalamnya hanya sekedar untuk
‫ت‬
menghilangkan kemadharatan yang sedang menimpa. Jadi yang membolehkan
seseorang menempuh jalan yang mulanya haram tersebut karena kondisi yang
memaksa (dhorurot). Manakala keadaannya tersebut sudah normal, maka hukum
tersebut akan kembali menurut statusnya. Oleh sebab itu ajaran syara’ disini
memberi batas didalam mempergunakan kemudahan karena darurat itu, dan
menurut ukuran daruratnya ini semata-mata untuk melepaskan diri dari bahaya.

Contoh: Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr
(minuman keras), maka baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk
mempertahankan hidupnya yang sedang terancam lantaran kehausan. Akan tetapi
jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali pada asal, yaitu haram.

3. َ َ‫ما َ َجازَ ِلعُذْ ٍر ب‬.


‫ط َل بِزَ َوا ِل ِه‬

Artinya: “Segala sesuatu yang kebolehannya karena adanya alasan kuat


(uzur), maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.”

Maksudnya ialah jika kemadharatan atau keadaan yang memaksa tersebut


sudah hilang maka hukum kebolehan yang berdasar kemadharatan menjadi hilang
juga. Artinya perbuatan boleh kembali keasal semula yakni terlarang. Seperti orang
kelaparan yang tidak menemukan makanan kecuali bangkai, maka baginya boleh
memakannya. Dari adanya penjelasan panjang lebar tentang kasus-kasus seperti
diatas dapat diambil pemahaman bahwa ketika kebolehan melakukan hal-hal karena

5
adanya alas an yang bias diterima oleh syara’, jika alas an tersebut sudah tidak ada
maka kebolehan tersebut kembali kepada semula, yaitu tidak boleh atau
perbuatannya tidak sah atau haram.

Misalnya: kasus orang bertayammum karena tidak ada air sebagai


alasannya. Umpama ketika ia akan melaksanakan sholat. Ia melihat air atau
menyangka ada air, maka status tayamumnya batal.

4. َ ‫الض ََّر ُر َلَيُزَ ا ُل ِبال‬


‫ض َر ِار‬

Artinya: “Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan


yang lain.”

Kaidah ini semakna dengan kaidah:

‫الض ََّر ُر َليُزَ ا ُل ِبمِثْلِه‬

Artinya: “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan


yang sebanding.” Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan
dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contohnya:

a. Kasus hukum tidak bolehnya seorang dokter mengobati pasien yang


memerlukan tambahan darah dengan cara mengambil darah pasien lain,
dimana jika dari pasien tersebut diambil darahnya, penyakitnya akan
bertambah parah.

b. Tidak ada kewajiban seseorang merobohkan sendiri tembok pagarnya


yang mereng yang bias mencelakai orang yang lewat jika hal itu akan
membahayakan dirinya sendiri. Makanya bahaya tidak dapat
dihilangkan jika harus menimbulkan bahaya baru.

6
5. َ ‫ب أَخ َِف ِهما‬
ِ َ ‫ض َر ًرابا ِْرتِكا‬ َ ‫ِي أ َ ْع‬
َ ‫ظ ُم ُه َما‬ َ ‫ض َم ْف‬
َ ‫سدَتا َ ِن ُر ْوع‬ َ َ‫إِذَاتَع‬
َ ‫ار‬

Artinya : “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah
bahaya yang lebih besar dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.”

Maksud ialah jika ditemukan adanya pertentangan antara dua macam


madlarat, maka yang harus diperhatikan adalah mana yang lebih besar bahayanya
dengan melakukan yang lebih ringan. Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara
bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti adalah mafsadah mana
yang bobot nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya, sehingga yang
lebih besar ditinggalkan dan yang lebih ringan dikerjakan.

Contohnya:

a. Membedah perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi
yang ada di dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.

b. Boleh hukumnya orang tetap berdiam diri melihat adanya suatu


kemungkaran, karena jika ia melakukan larangan (bertindak) akan
membawa bencana pada dirinya sendiri.

6. ‫ِح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ‫صال‬ ِ ‫مِن َج ْل‬
ْ ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِد أ َ ْولَى‬

Artinya: “Mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya


kebaikan.”

Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan kebaikan


berkumpul dalam satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah
menangkal bahaya dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-hal yang dilarang
dan membahayakan itu lebih utama ditangkal daripada berusaha meraih kebaikan
dengan cara menjalankan perintah keagamaan, sementara disisi lain dibiarkan
terjadinya kerusakan.

Contohnya : kasus hukum diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at


atau shalat jamaah karena adanya faktor sakit.

7
َ ‫صلَ َحةٌ قَد َِم دَ ْف ُع ْال َم ْف‬
7. ‫سدَةِ غَا ِلبًا‬ َ ‫ض َم ْف‬
ْ ‫سدَة ٌ َو َم‬ َ َ‫فَإِذَا تَع‬
َ ‫ار‬

Artinya: “Maka jika terjadi pertentangan antara factor menghilangkan


mafsadah (kerusakan) dari satu pihak dengan factor mendatangkan kemaslahatan
dipihak lain, maka prinsip menghilangkan mafsadah harus didahulukan dari faktor
yang kedua.”

Maksudnya jika dalam suatu perkara ditemukan adanya kemanfaatan dan


kemadharatan, maka yang harus didahulukan adalah menghilangkan mafsadah
karena akan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan berakibat
terjadinya mafsadah atau kerusakan yang lebih besar lagi. Seperti status hokum
diharamkannya berjudi, minuman keras karena keduanya ada maslahah dan
mafsadah, tetapi efek samping yang lebih besar adalah mafsadah. Kaidah ini secara
tektual sama dengan kaidah diatas, namun dalam kaidah ini sangat menekankan
pada penghilangan mufsadat daripada mendatangkan suatu kemaslahatan. Sebab
mufsadah dapat cepat menyebar kalau tidak segera diatasi.

8. ً‫صة‬ ْ ‫ال َحا َجةُ ت َ ْن ِزيْلَ َم ْن ِزلَةَ الض َُّر ْو ِرةِ َعا َمةً كَان‬
َّ ‫َت ا َ ْو خَا‬

Artinya: “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat,


baik kebutuhan umum atau khusus.”

Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi kemadlaratan,


baik secara umum maupun khusus, yakni dalam artian hajat (kebutuhan) yang
dalam kondisi tertentu bisa menjadi salah satu hal yang pada awalnya dilarang,
kemudian berubah menjadi suatu hal yang diperbolehkan untuk dikerjakan.
Contohnya:

a. Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan


demi mengurangi kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat
ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan membongkar
sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan karena
demi kepentingan orang banyak.

8
b. Kasus satatus hukum kebolehan melakukan transaksi jual-beli
dengan cara “pesanan/salam”. Hal ini pada dasarnya tidak sah, sebab
barang yang akan dibeli sebagai objeknya tidak atau belum
terwujud. Tetapi mengingat demi kelancaran bisnis, maka cara ini
diperbolehkan dan status hukum jual-beli seperti ini dianggap sah.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Ahmad al-Nadwi kaidah ad-Dhararu Yuzalu mencakup hal-hal


yang luas dalam hukum Islam. Pemahaman ini dikenal kuat bahwa seseorang tidak
diperbolehkan membahayakan orang lain. Kita dianjurkan untuk selalu
menghilangkan segala bentuk kemudharatan di dalam setiap aktivitas kehidupan
ini.

‫ أَلض ََّر ُريُزَ ا ُل‬memiliki 8 cabang yaitu:

ِ ‫( ْال َمحْ ظُ ْو َرا‬1, ُ‫( َماأُبِي َح ُربِقدَ ِرها َ تُقَدَّ اَلض ُُّر ْو َرات‬2, َ‫ط َل ِلعُذْ ٍر َما َجاز‬
َ ‫ت تُبِ ْي ُع اَلض َُّر‬
‫ورات‬ َ َ‫( بِزَ َوا ِل ِه ب‬3, ‫اَلض ََّر ُر‬
َ‫( باَلض ََّر ِر يُزَ ا ُل َلَيُزَ َل‬4, ‫ض‬
َ ‫ار‬ َ ‫ِي َم ْف‬
َ َ‫سدَتا َ ِن إِذَاتَع‬ ِ َ ‫ض َر ًرابا ِْرتِكا‬
َ ‫ب ُر ْوع‬ َ ‫( أَخ َِف ِهما َ أ َ ْع‬5, ‫أ َ ْولَى ْال َمفَا ِس ِد دَ ْر ُء‬
َ ‫ظ ُم ُه َما‬
ْ ‫ب‬
‫مِن‬ ِ ‫ِح َج ْل‬
ِ ‫صال‬َ ‫( ْال َم‬6, ‫ض فَإِذَا‬ َ َ‫سدَة ٌ تَع‬
َ ‫ار‬ ْ ‫( غَا ِلبًا ْال َم ْفسَدَةِ دَفْ ُع قَد َِم َو َم‬7, ُ‫لُ َم ْن ِزلَ َة تُن ََّز ا َ ْلحا َ َجة‬
َ ‫صلَ َحةٌ َم ْف‬
ْ ‫عا َّمةًكَان‬
ِ‫َت الض ُُّر ْو َرة‬ َّ ‫( أ َ ْوخَا‬8.
َ ً‫صة‬

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, D. 2016. Perspektif Al-Qur’an Tentang Posisi Manusia Dalam


Memakmurkan Alam Raya. Ad-Daulah Vol. 5 (1): hal. 13-20
Rosmanidar, E. 2018. Adh-Dhararu Yuzalu Syar’an. Surabaya: UIN Sunan Ampel
QS. Al-Baqarah : 173.

11

Anda mungkin juga menyukai