Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KAIDAH ASASIYAH KEEMPAT

Disusun Oleh :

Muhammad Abdillah Fidzikri : 2011450006

Dosen pengampu:

Asih Pertiwi, M.Ag.

PROGRAM STUDI ILMU HADIST

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS FATMAWATI SOEKARNO BENGKULU

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah pengantar qawa’id fiqhiyyah
dan disini saya akan akan membahas tentang kaidah asasiyah keempat.

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas yang diberikan oleh Dosen pembimbing
agar bisa dipresentasikan dan bermanfaat sebagai pembelajaran.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kesalahan
maupun kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan pada tugas selanjutnya.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita
semua dan dapat menambah wawasan keilmuan kita.

Terimakasih.

Wassalamu’alikum. Wr. Wb.

Bengkulu, 27 Oktober 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kaidah Asasiyah semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah
fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah
tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara
tafshili.
Kaidah Asasiyah itu digali dari sumber-sumber hukum baik melalui al-Qur’an dan as-
Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok
yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari
sekian populasi nash-nash ahkam.

Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah yang ada.
Ada lima kaidah asasiyah dalam qawa’id fiqhiyyah dan dalam makalah ini penulis akan
menjelaskan salah satu kaidah asasiyah yaitu kaidah asasiyah yang kedua “ad-Dhararu yuzalu”

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari ad-dhararu yuzalu ?
2. Apa sumber kaidah asasiyah keempat ?
3. Apa cabang kaidah asasiyah keempat ?
4. Apa contoh kaidah asasiyah keempat ?
C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui pengertian dari ad-dhararu yuzalu
2. Mengetahui dari mana sumber kaidah asasiyah keempat
3. Mengetahui cabang-cabang kaidah asasiyah keempat
4. Mengetahui contoh dari kaidah asasiyah keempat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ad-dhararu yuzalu

Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus


dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari
idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia
menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. Namun Dharar (Kemudharatan) secara
etimologi adalah berasal dari kalimat “adh Dharar” yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada
yang dapat menahannya. Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: " La Darar wa La
Dirar" Darar adalah menimbulkan kerusakan pada orang lain secara mutlak. Sedangkan
dirar adalah membalas kerusakan dengan kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada
orang lain bukan karena balas dendam yang dibolehkan1
Al-dharar dapat membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al- dhirar adalah
membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam al-Quran, seluruh ayat
yang mengandung kata “dharar” menyuruh mengusahakan kebaikan dan melarang tindakan
merugikan. Menurut para ulama, dharar adalah kesulitan yang sangat mementukan eksistensi
manusia, karena jika tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab harta serta
kehormatan manusia.

B. Sumber kaidah asasiyah keempat

Al-baqarah 195

َ‫َواَ ْنفِقُوْ ا فِ ْي َسبِي ِْل هّٰللا ِ َواَل تُ ْلقُوْ ا بِا َ ْي ِد ْي ُك ْم اِلَى التَّ ْهلُ َك ِة ۛ َواَحْ ِسنُوْ ا ۛ اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬

Artinya : Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri)
ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.

1
 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta : Kencana : 2006), hlm. 76
Al-a’raf 56

َ‫ض بَ ْع َد اِصْ اَل ِحهَا َوا ْد ُعوْ هُ َخوْ فًا َّوطَ َمعًاۗ اِ َّن َرحْ َمتَ اللّٰ ِه قَ ِريْبٌ ِّمنَ ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬
ِ ْ‫َواَل تُ ْف ِس ُدوْ ا فِى ااْل َر‬
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S
Al-A’raf/7: 56)

Sabda Rasulullah SAW:

‫ق هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫ض َّرهُ هللاُ َو َم ْن َش‬


َّ ‫ق َش‬ َ ‫ض َرا َر َم ْن‬
َ ‫ض َّر‬ ِ َ‫ض َر َر َوال‬
َ َ‫ال‬

“Tidak boleh memudharatkan dan di mudaratkan, barang siapa yang memudharatkan, maka
Allah akan memudharatkannya, dan barang siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan
menyusahkannya.” (HR.Imam Malik)2

C. Cabang kaidah asasiyah keempat beserta contohnya

Kaidah pertama:

ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ال َم ْخظُوْ َرا‬


‫ت‬ ُ ‫ضروْ َر‬
َّ ‫ال‬

Artinya : “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”

Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah Swt: potongan surat Al-baqarah 173

‫اغ َواَل عَا ٍد فَاَل ِإ ْث َم َعلَ ْي ِه ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
ٍ َ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬

Artinya : “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al-Baqarah Ayat:173)

2
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Mâlik dalam al-Muwaththa’ dari ‘Amr bin Yahya, dari
ayahnya, dari Nabi n secara mursal.  Imam Mâlik rahimahullah tidak menyebutkan Abu Sa’îd dalam sanadnya.
Hadits ini mempunyai banyak jalan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah,
ad-Dâraquthni, dan selain keduanya dengan musnad
Jadi dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan
melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin
akan menimbulkan suatu kemadhorotan pada dirinya.

Contoh: kasus kelaparan dan ia sedang menemukan makanan bangkai, jika tidak dimakan ia akan
mati, maka baginya boleh memakannya.

Kaidah kedua :

ِ ‫ت يُقَ َّد ُر بِقَد‬


‫َارهَا‬ َّ ‫َماُأبِي َح لِل‬
ِ ‫ض ُر َرا‬

Artinya :“Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dharurot harus disesuaikan menurut batasan
yang ukuran yang dibutuhkan dharurot tersebut.”

Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaan yang memaksa
(dlorurot), harus disesuaikan dengan kadar ukuran dlorurot yang sedang dideritanya, dan tidak boleh
dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan
ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ال َم ْخظُوْ َرا‬
kaidah ‫ت‬ ُ ‫الضَّروْ َر‬. dimana kebolehan yang tekandung didalamnya hanya sekedar untuk
menghilangkan kemadharatan yang sedang menimpa. Jadi yang membolehkan seseorang menempuh
jalan yang mulanya haram tersebut karena kondisi yang memaksa (dhorurot). Manakala keadaannya
tersebut sudah normal, maka hukum tersebut akan kembali menurut statusnya. Oleh sebab itu ajaran
syara’ disini memberi batas didalam mempergunakan kemudahan karena darurat itu, dan menurut
ukuran daruratnya ini semata-mata untuk melepaskan diri dari bahaya. 3

Contoh: Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr (minuman keras), maka
baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang
terancam lantaran kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali pada
asal, yaitu haram4

Kaidah ketiga:

‫ما َ َجا َز لِع ُْذ ٍر بَطَ َل بِ َز َوالِ ِه‬.

3
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta : Kencana : 2006), hlm. 77
4
Ibid
Artinya : segala sesuatu yang kebolehannya karena adanya alasan kuat (uzur), maka hilangnya
kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.

Maksudnya ialah jika kemadharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang maka hukum
kebolehan yang berdasar kemadharatan menjadi hilang juga. Artinya perbuatan boleh kembali keasal
semula yakni terlarang. Seperti orang kelaparan yang tidak menemukan makanan kecuali bangkai,
maka baginya boleh memakannya. Dari adanya penjelasan panjang lebar tentang kasus-kasus seperti
diatas dapat diambil pemahaman bahwa ketika kebolehan melakukan hal-hal karena adanya alas an
yang bias diterima oleh syara’, jika alasan tersebut sudah tidak ada maka kebolehan tersebut kembali
kepada semula, yaitu tidak boleh atau perbuatannya tidak sah atau haram.

contohnya : kasus orang bertayammum karena tidak ada air sebagai alasannya. Umpama ketika ia
akan melaksanakan sholat. Ia melihat air atau menyangka ada air, maka status tayamumnya batal

kaidah keempat:

‫ار‬ َ ‫ض َر ُر الَيُزَا ُل بِال‬


ِ ‫ض َر‬ َّ ‫ال‬.

Artinya :“Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.”

Kaidah ini semakna dengan kaidah ‫ض َر ُر اليُزَا ُل بِ ِم ْثلِه‬


َّ ‫ ال‬Artinya : “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan
dengan kemudharatan yang sebanding.” Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh
dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.

Contohnya: a. Kasus hukum tidak bolehnya seorang dokter mengobati pasien yang memerlukan
tambahan darah dengan cara mengambil darah pasien lain, dimana jika dari pasien tersebut diambil
darahnya, penyakitnya akan bertambah parah.

Kaidah kelima :

َ ‫ب َأ َخفِّ ِهما‬ َ ‫ض َم ْف َسدَتا َ ِن رُوْ ِع َي َأ ْعظَ ُمهُ َما‬


ِ َ ‫ض َررًاباِرْ تِكا‬ َ ‫ِإ َذاتَ َعا َر‬.

Artinya : “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih besar
dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.”
Maksud ialah jika ditemukan adanya pertentangan antara dua macam madlarat, maka yang harus
diperhatikan adalah mana yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan.

Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti
adalah mafsadah mana yang bobot nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya, sehingga
yang lebih besar ditinggalkan dan yang lebih ringan dikerjakan. Contohnya: a. Membedah perut
wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi yang ada di dalamnya hidup, maka hukum
membedah adalah boleh. b. Boleh hukumnya orang tetap berdiam diri melihat adanya suatu
kemungkaran, karena jika ia melakukan larangan (bertindak) akan membawa bencana pada dirinya
sendiri.5

َ ‫ب ْال َم‬
‫صالِ ِح‬ ِ ‫َدرْ ُء ْال َمفَا ِس ِد َأوْ لَى ِم ْن َج ْل‬

Artinya : mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan.

Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan kebaikan berkumpul dalam satu
kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah menangkal bahaya dengan mengabaikan
kebaikan. Artinya hal-hal yang dilarang dan membahayakan itu lebih utama ditangkal daripada
berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan perintah keagamaan, sementara disisi lain
dibiarkan terjadinya kerusakan.

Contohnya : kasus hukum diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah karena
adanya faktor sakit.

‫ض َم ْف َس َدةٌ َو َمصْ لَ َحةٌ قَ ِّد َم َد ْف ُع ْال َم ْف َس َد ِة غَالِبًا‬


َ ‫فَِإ َذا تَ َعا َر‬

Artinya: maka jika terjadi pertentangan antara factor menghilangkan mafsadah (kerusakan) dari satu
pihak dengan factor mendatangkan kemaslahatan dipihak lain, maka prinsip menghilangkan mafsadah
harus didahulukan dari faktor yang kedua.

Maksudnya jika dalam suatu perkara ditemukan adanya kemanfaatan dan kemadharatan, maka yang
harus didahulukan adalah menghilangkan mafsadah karena akan dapat meluas dan menjalar kemana-
mana, sehingga akan berakibat terjadinya mafsadah atau kerusakan yang lebih besar lagi. Seperti
status hokum diharamkannya berjudi, minuman keras karena keduanya ada maslahah dan mafsadah,
5
Ghozali Ihsan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Semarang : Multimedia Grafika : 2015), hlm.78
tetapi efek samping yang lebih besar adalah mafsadah. Kaidah ini secara tektual sama dengan kaidah
diatas, namun dalam kaidah ini sangat menekankan pada penghilangan mufsadat daripada
mendatangkan suatu kemaslahatan. Sebab mufsadah dapat cepat menyebar kalau tidak segera diatasi.

ً‫صة‬ َّ ‫ال َحا َجةُ تَ ْن ِز ْي َل َم ْن ِزلَةَ ال‬


ْ ‫ضرُوْ ِر ِة عَا َمةً َكان‬
َّ ‫َت اَوْ خَا‬
Artinya: “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan umum atau
khusus.”

Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi kemadlaratan, baik secara umum maupun
khusus, yakni dalam artian hajat (kebutuhan) yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi salah satu hal
yang pada awalnya dilarang, kemudian berubah menjadi suatu hal yang diperbolehkan untuk
dikerjakan. Contohnya: a. Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi
mengurangi kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah
berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan karena
demi kepentingan orang banyak. b. Kasus satatus hukum kebolehan melakukan transaksi jual-beli
dengan cara “pesanan/ salam”. Hal ini pada dasarnya tidak sah, sebab barang yang akan dibeli sebagai
objeknya tidak atau belum terwujud. Tetapi mengingat demi kelancaran bisnis, maka cara ini
diperbolehkan dan status hukum jual-beli seperti ini dianggap sah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Konsepsi

kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak

menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya

(menyakiti) pada orang lain.

Kaidah Adh-dhararu yuzalu adalah salah satu akidah assasiyah yang menyatakan bahwa

kemudharatan harus dihilangkan. Kaidah ini mencakup lapangan yang luas dalam fiqh, atau

bahkan mencakup pada seluruh aspek, seperti dalam hal melaksanakan ibadah. Kaidah ini dapat

menjadi pedoman bagi umat muslim untuk mendapatkan keringanan atau kemudahan termasuk

penghapusan hukum apabila menghadapi keadaan tidak dapat melaksanakan kewajibannya

sebagai muslim karena keadaan yang darurat dan menyangkut kemaslahatan.


DAFTAR PUSTAKA

Ihsan, A Ghozali, 2015, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Semarang : Multimedia Grafika


A. Djazuli, 2006, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta : Kencana
Usman, H Muchlis, 2002, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : PT RajaGrafindo

https://almanhaj.or.id/12328-tidak-boleh-membahayakan-orang-lain-2.html

Anda mungkin juga menyukai