AD-DHARARU YUZALU
KEMUDHARATAN ITU HARUS DI HILANGKAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Qawaid Fiqhiyyah.
Dosen Pembimbing:
Muhammad Lazim Lc. MA
Disusun Oleh:
Ratna Susanti
NIM: 1225. 12.017
JURUSAN SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SULTAN ABDURRAHMAN KEPRI
TANJUNGPINANG
2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrahim.
Puji syukur penulis hanturkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkah,
rahmat serta hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Karya tulis yang berisi metode istihsan dalam ushul fiqih yang merupakan
pembahasan dalam mata kuliah pada semester ini.
Selain itu penulis mengucapkan permohonan maaf apabila dalam penyusunan
makalah ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik tetap kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Akhirnya, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kepada kita
semua didalam menjalankan setiap menjalankan setiap aktivitas dan apa yang kami
sajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Atas arahan dan bantuan dari berbagai pihak, kami mengucapkan terima kasih,
semoga mendapat balasan berupa imbalan dari Allah SWT, Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 2
A. Makna Kaidan Ad Dhararu Yuzalu ...................................................... 2
B. Dalil- Dalil Kidah ................................................................................. 3
C. Perbedaan Masyakot dengan Dharurot ................................................. 4
D. Cabang-Cabang Kaidahnya .................................................................. 5
E. Pengecualian Kaidah ............................................................................. 9
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 13
A. Kesimpulan ........................................................................................ 13
B. Saran ................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 17
iii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.
iv
A. Pengertian.
Makna dari kaidah ُ“ اَلض َُّر ُريُزَ ا ُلKemudharatan harus dihilangkan” Maksudnya
ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan
kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan. 1
Menurut bahasa dharurah berasal dari kata dharar, Sedang kata dharar sendiri,
mempunyai tiga makna pokok, yaitu lawan dari manfaat (dhid al-naf’i),
kesulitan/kesempitan (syiddah wa dhayq), dan buruknya keadaan (su`ul haal).2
Kata dharurah, dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith mempunyai arti kebutuhan
(hajah), sesuatu yang tidak dapat dihindari (laa madfa’a lahaa), dan kesulitan
(masyaqqah).3
Menurut istilahnya, dharurah (darurat) mempunyai banyak definisi yang hampir
sama pengertiannya, beberapa pengertian diantaranya yaitu:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau
melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal
seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan
dengan batas batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan”.
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari
kesusahan yang teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah
mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya
sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas
dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan
binasa atau nyaris binasa.4
1
As-Suyuti, hal. 59
2
Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat hal. 138
3
Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 538
4
Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-
yuzalu-kemudharatan-itu.html, 10/10/2012
v
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika
ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta
kehormatan manusia.
B. Dalil kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan yaitu jika sesuatu itu dianggap
sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka
keberadaanya wajib dihilangkan. Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam
surat al-A’raf ayat 7: 56:
vi
“Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya.”
2. Firman Allah QS al-Qoshosh: 77
.............(ُ¨bÎ)ُ©!$#ُŸwُ•=Ïtä†ُtûïωšøÿßJø9$#ُÇÐÐÈُُ
“sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”
3. Fiman Allah QS al-Baqarah: 231
4ُ.......Ÿwurُ£`èdqä3Å¡÷IäCُ#Y‘#uŽÅÑُ(#r߉tF÷ètGÏj9ُ4.............ُ
“janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka”
4. Firman Allah QS ath-Thalaaq: 6
............Ÿwurُ£`èdr•‘!$ŸÒè?ُ(#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9ُ£`ÍköŽn=tã..................ُ
“ dan janganlah kamu memudaratkan mereka (istri) untuk menyempitkan hati
mereka”
5. Sabda rasulullah SAW
ُار ِ َرُوال
َ ُض َر َ َال
َ ض َر
“tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain.” (HR.Ahamad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
vii