Anda di halaman 1dari 17

USHUL FIQIH

TENTANG
SUMBER HUKUM YANG DI PERSELISIHKAN

Dosen Pengampu :
ADAM MALIK INDRA, LC, MA.

Disusun Oleh :
Kelompok VI

MAYSYATUN HASANAH 12110122928


MILA AURMALINA 12110120383
M. SYAHRUL HIDAYATULLAH P. 12110112888

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU


2022 / 2023
DAFTAR ISI

A. MAZHAB ASSHAHABI
1. Pengertian Mazhab Asshabi................................................................ 3
2. Pendapat dari berbagai Ulama............................................................. 3
3. Contoh permasalahan yang terjadi dan dalilnya.................................. 4

B. MASHALIH AL MURSALAH
1. Pengertian Mashalih Al-Mursalah....................................................... 4
2. Dasar Hukum Mashalih Mursalah....................................................... 6
3. Macam-macam Mashalih Mursalah.................................................... 9
4. Syarat-syarat Mashalih Mursalah........................................................ 10
5. Kedudukan Sebagai Sumber Hukum................................................... 10
C. AL ISTIHSAN
1. Pengertian Al-Istihsan......................................................................... 12
2. Pendapat Ulama................................................................................... 13
3. Macam-macam Istihsan....................................................................... 14
4. Perbedaan Istihsan Dengan Qiyas dan Mashalih Al-mursalah............ 15
BAB II

PEMBAHASAN

A. MAZHAB ASSHAHABI
1. Pengertian Mazhab Asshabi

Madzhab Shahabi adalah kumpulan hasil ijtihad dan fatwa oleh para sahabat
Nabi. Sahabat Nabi Muhammad SAW tidak hanya bagian dari khulafaur rasyidin
melainkan dari semua sahabat nabi yang pernah Bersama nabi dan juga setelah
nabi wafat. Fatwa tersebut terkait dengan hukum yang tidak ada Al-Qur’an dan
haditsnya.1

2. Pendapat dari berbagai Ulama

Dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama:

a. Mazhab Sahabi tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum, menurut


pendapat jumhur ulama Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi‘ah pendapat yang
kuat di kalangan ulama Syafi’iyah.
b. Kedua, memandang Mazhab Sahabat dapat dijadikan sebegai dalil
hukum dan didahului oleh qiyas, pendapat ini dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah, Malik, Qaul Qadim Syafi’i, dan salah satu riwayat dari
Ahmad.
c. Mazhab Sahabat dapat dijadikan sebagai alasan hukum bila dikuatkan
oleh qiyas. Pendapat Syafi’i dalam qaul jadid-nya.
d. Mazhab Sahabat dapat dijadikan sebagai dalil hukum bila kontroversi
dengan qiyas karena dengan kontroversi demikian berarti ia bukan
bersumber dari qiyas. Tetapi dari Sunnah. Pendapat ini bersumber dari
kalangan Hanafiyah.2

1 M. Noor Harisudin, Ilmu Ushul Fiqih, ( Jawa Timur, hal 126 )


2 Darmawati, Ushul Fiqih, ( Jakarta, hal 92-93 )

3
3. Contoh Permasalahan yang terjadi dan dalilnya

Ada berbagai contoh permasalahan yang telah terjadi dan sering menimbulkan
perbedaan pendapat, namun di dalam Al-Qur;an Surah Al-imran ayat 110 Allah
SWT berfirman :

ِ ‫اس تَْأ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر‬


‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْٱل ُمن َك ِر‬ ْ ‫ُكنتُ ْم خَ ْي َر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلن‬

ِ َ‫ۚ َوتُْؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ ۗ َولَوْ َءا َمن َأ ْه ُل ْٱل ِك ٰت‬


‫ب لَ َكانَ خَ ْيرًا لَّهُم‬

َ‫ِّم ْنهُ ُم ْٱل ُمْؤ ِمنُونَ َوَأ ْكثَ ُرهُ ُم ْٱل ٰفَ ِسقُون‬

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik (QS. Al-Imran : 110 ).

Namun ada beberapa permasalahan yang sering terjadi, di antaranya adalah :

a. Hukum sujud Tilawah apakah wajib atau sunnah? Menurut Imam


malik, As-Syafi’i dan Ahmad hukum sujud tilawah adalah sunnah dan
tidak mencapai wajib.
b. Status pernikahan dalam masa ‘Iddah. Imam malik, Al-Auza’i dan Al-
Laits berpendapat bahwa mereka harus dipisahkan, dan wanita itu
menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya. Adapun pendapat
bahwa dipisahkan keduannya dan sang wanita boleh mendapatkan
maharnya. Dan bila telah habis masa iddah-nya sementara sang wanita

4
berkehendak untuk menikahinya lagi, maka tidak apa apa,
sebagaimana dijelaskan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.3

B. Maslahah Mursalah
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat (fitologi) terdiri dari dua kata, yaitu

maslahah mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab  – ‫صلَ َح‬
َ
‫ح‬ ْ ‫ي‬ menjadi ‫ص • ْلحًا‬
ٍ ُ‫ُص •ل‬ ُ  atau ‫ص •لَ َحة‬
ْ ‫ َم‬ yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan

sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu :  - ‫اَرْ َس • َل‬ ‫ ُمرْ ِس•• ٌل يُرْ ِس • ُل‬-ً‫ اِرْ َس••اال‬- -
ً •••‫ ُمرْ َس‬ yang berarti diutus, dikirim, atau dipakai (dipergunakan).
menjadi ‫ل‬
Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan
(kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga berarti, suatu
perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Sedangkan pengertian menurut para ulama diantaranya adalah:
1.      Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah: memelihara tujuan syara’
dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.
2.      Menurut Imam Ar-Razi maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah
diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang pemeliharaan
agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.
3.      Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, maslahah pada dasarnya ialah meraih
manfaat dan menolak madharat.4
Menurut etimologi maslahah berarti kepentingan hidup manusia,
sedangkan mursalah berarti sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syari’at yang
menguatkan atau membatalkannya. Maslahah mursalah atau disebut dengan
istishlah secara terminologi menurut ulama-ulama usul, adalah maslahah yang

3 https://brainly.co.id/tugas/7921286#
4 Elsandra. Makalah Ushul Fiqih Maslahah Mursalah.....
 http://lalabulet.blogspot.com/2015/06/makalah-ushul-fiqih-maslahah-mursalah.html diakses pada
tanggal 26 Nopember 2016.

5
tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkan atau yang
membatalkannya. Metode ini merupakan salah satu cara dalam menetapkan
hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapannya sama sekali
tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan
hidup manusia. Prinsipnya, menarik manfaat dan menghindari kerusakan dalam
upaya memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetapan dalil syara’.5
Kedudukan dan keberadaan maslahah mursalah ini sangat penting dalam
mengantisipasi perkembangan zaman dan kemajuan umat manusia, sehubungan
dengan meninggalnya Rasulullah dan terhentinya wahyu Ilahi.6

2.  Dasar Hukum Maslahah Mursalah


Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori
maslahah mursalah, diantaranya yaitu:
1.      Al-Qur’an.
Diantara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah
firman Allah SWT dalam QS. Al Anbiya: 107.

َ‫ك إالَّ َرحْ َمةً لِ ْل َعالَ ِمين‬


َ ‫َو َماَأرْ َس ْلنَا‬
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
    menjadi rahmat bagi seluruh alam”.
Maksudnya, Allah telah menciptakan nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi
seluruh alam, artinya Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang.
Barangsiapa menerima rahmat ini dan berterimakasih atas berkah ini, dia akan
bahagia di dunia dan di akhirat.  Namun, barangsiapa yang menolaknya maka
dunia dan akhirat akan lepas darinya.
Ada pula dalam QS. Yunus: 57.
ٌ‫ور َوهُ•دًى َو َرحْ َم• ة‬ ُّ ‫ياََأيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجا َء ْت ُك ْم َموْ ِعظَ •ةٌ ِم ْن َربِّ ُك ْم َو ِش •فَا ٌءلِ َما فِي‬
ِ ‫الص • ُد‬
َ‫لِ ْل ُمْؤ ِمنِين‬

5 Beni Ahmad Saebani. Fiqih Siyasah (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal 76-77.


6 Ridwan. Fiqih Politik (Yogyakarta: FH UII Press, 2007) hal 94-95.

6
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
         pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
         penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
         petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Maksudnya, Allah berfirman, memberikan karunia kepada makhluk-Nya yaitu
berupa al-Qur’an yang Agung, yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya yang
mulia. Dari kesamaran-kesamaran dan keraguan yaitu menghilangkan kekejian
dan kotoran yang ada di dalamnya. Hidayah dan rahmat Allah dapat dihasilkan
dengan adanya al-Qur’an. Dan itu (rahmat) hanyalah untuk orang-orang yang
beriman kepadaNya, membenarkan dan meyakini apa yang ada didalamnya.
2.      Hadits.
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas kehujahan maslahah
mursalah adalah sabda nabi Muhammad SAW. ”Tidak boleh berbuat madhorot
dan pula saling memadhorotkan”. (H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni dan lainnya.
Hadits ini berkualitas hasan).
3.      Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf.
Para sahabat seperti Abu Bakar as Shidiq, Utsman Bin Affan dan para imam
madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah.7
Contoh dari Abu Bakar yaitu para sahabat memilih dan mengangkat beliau
sebagai pengganti setelah Nabi Muhammad wafat. Seorang khalifah dubutuhkan
pada saat itu, dan ini merupakan suatu maslahat yang sangat besar. Namun hal ini
tidak di temukan dalil khusus dari teks syari’at yang membenarkan atau
melarangnya. Sedangkan contoh dari Utsman bin Affan yaitu mengumpulkan al-
Qur’an ke dalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan pada
masa Rasulullah SAW. Alasan mereka mengumpulkan ini tidak lain kecuali
semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Qur’an dari kepunahan atau
kemutawatirnya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi

7 Hafidzahmuda. Maslahah Mursalah....
https://hafidzahmuda.wordpress.com/2012/05/22/maslahah-mursalah/?
_e_pi=7%2CPAGE_AD10%2AC1064652368. diakses pada tanggal 26 Nopember 2016.

7
sahabat. Kehujjahan maslahah mursalah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan
rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya
Ilmu Ushul Fiqh beliau menulis:
Al-maslahat al-mursalat yakni mathlaqat adalah kemaslahatan yang tidak
disyari’atkan oleh Allah secara tegas untuk realisasinya dan tidak ada dalil syar’i
baik yang memerintahkan maupun yang melarangnya. Disebut juga muthlaq
karena kemaslahatan itu tidak terikat pada dalil yang memerintahkan atau yang
melarangnya.8 Kesimpulannya, bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual dan
tidak ada habisnya, oleh karena itu, jika tidak ada syari’ah hukum yang berkenaan
dengan masalah baru yang terus berkembang sementara pembentukan hukum
hanya berdasarkan pada prinsip yang mendapat pengakuan syar’i saja, maka
pembentukan hukum akan terhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia
disetiap masa dan tempat akan terabaikan.
Menurut ulama Hanafiyyah, untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai
dalil, disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Menurut para
ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah mursalaha sebagai dalil
dalam menetapkan hukum, dengan syarat sejalan dengan kehendak syara’ dan
jenisnya didukung nash secara umum, dan kemaslahatan menyangkut kepentingan
orang banyak bukan pribadi atau kelompok kecil tertentu.9

3.  Macam-macam Maslahah Mursalah


Singkatnya, maslahah mursalah adalah kemaslahatan atau kemanfaatan
(bagi manusia) yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkan atau

8 Ridwan. Fiqih Politik  (Yogyakarta: FH UII Press, 2007) hal 94.


9 Dasar Hukum Maslahah Mursalah….
http://ilmutentangagama.blogspot.com/2016/dasar-hukum-maslahah-mursalah.html, diakses pada
tanggal 30 Nopember 2016.

8
membatalkannya.10 Sedangkan Ulama’ ushul membagi maslahah kepada tiga
bagian, yaitu:
1.      Maslahah Dharuriyah.
Yaitu segala hal yang menjadi sendi eksisitensi kehidupan manusia, harus ada
demi kemaslahatan mereka. Bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara
baik, kehidupan manusia akan kacau, baik di dunia maupun di akhirat. Perkara-
perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan pokok
perkara yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.      Maslahah Hajjiyah.
Adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan manusia (dibutuhkan oleh
masyarakat) untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Dalam
hal ibadah, islam memberikan rukhshah atau keringanan bila seorang mukallaf
mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya
diperbolehkan seseorang tidak berpuasa dalam bulan ramadhan ketika sedang
sakit atau sedang dalam perjalanan yang jauh. Contoh lain, diperbolehkannya
seseorang meng-qhasar sholat bila ia sedang dalam berpergian jauh dan itu sudah
terpenuhinya syarat-syarat diperbolehkannya untuk meng-qhasar sholat.
3.      Maslahah Tahsiniyah.
Ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat
kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniyah juga
masuk dalam lapangan bidang ibadah, adat dan muamalah. Lapangan bidang
ibadah, misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian
yang baik ketika akan sholat, mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-
amalan sunnah seperti sholat sunnah, puasa sunnah, besedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, misalnya bersikap sopan santun ketika makan dan minum. Dalam
muamalah, misalnya larangan menjual barang-barang yang bernajis seperti
khamar, makan makanan yang sehat, baik serta halal dan menghindari makanan
yang haram.11

10 Ridwan. Fiqih Politik  (Yogyakarta: FH UII Press, 2007) hal 94.

11 Elsandra. Makalah Ushul Fiqih Maslahah Mursalah.....

9
4.  Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum bila
memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1.      Masalah itu bersifat esensial (mendasar) atas dasar penelitian, observasi serta
melalui analisis dan pembahsan yang mendalam, sehingga penetapan hukum
terhadap masalah tersebut benar-benar memberi manfaat dan menghindari
mudharat.
2.      Masalah itu bersifat umum, bukan kepentingan perseorangan, tetapi bermanfaat
untuk orang banyak.
3.      Masalah itu tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan memenuhi
kepentingan hidup manusia serta menghindarkannya dari kesulitan.12

5.  Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum


Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan maslahah mursalah
sebagai sumber hukum.
1.      Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan:
a.       Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa
memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan
manusia yang tidak diperlihatkan oleh syariat melalui petunjuknya.
b.      Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti
membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2.      Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut
Imam Syafi’i boleh berpegang kepada maslahah mursalah apabila sesuai dengan
dalil dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara. Pendapat kedua ini
berdasarkan:

 http://lalabulet.blogspot.com/2015/06/makalah-ushul-fiqih-maslahah-mursalah.html diakses pada
tanggal 26 Nopember 2016.
12 Beni Ahmad Saebani. Fiqih Siyasah (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal 77.

10
a.       Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika
pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya
dari syar’i (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya
pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
b.      Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk
mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. Misalnya membuat
penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat Al-Qur’an dan
sebagainya.13
Kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam menginstibatkan hukum harus
memenuhi syarat yang sudah di sebutkan di atas.
Kesimpulan
            Maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketetapannya dalam
nash yang membenarkan atau yang membatalkannya.
Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori
maslahah mursalah, diantaranya yaitu: al-Qu’an, hadits, perbuatan para sahabat
dan ulama salaf.
Macam-macam maslahah mursalah yaitu: maslahah dharuriyah, maslahah
hajjiyah, dan maslahah tahsiniyah.
Syarat-syarat maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
hukum bila memenuhi tiga syarat sebagai berikut: penetapan hukum terhadap
masalah tersebut benar-benar memberi manfaat dan menghindari mudharat;
masalah itu bersifat umum, bukan kepentingan perseorangan, tetapi bermanfaat
untuk orang banyak; masalah itu tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan
memenuhi kepentingan hidup manusia.
Kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum mengenai beberapa
perbedaan pendapat dari para ulama yang disertai dengan alasannya tersendiri.
Dan ada pula Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak.
Namun menurut Imam Syafi’i boleh berpegang kepada maslahah mursalah
apabila sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara.
Tentunya mereka mempunyai alasan tertersendiri pula.

13 M. Khamzah dkk. Hikmah (Sragen: Akik Pustaka, 2015) hal 44.

11
C. Istihsan

1. Pengertian Istihsan

Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut


istilah Ulama’ Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas
Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar), atau dari
hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.14
Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan yang artinya
adalah apapun yang baik dari sesuatu. Istihsan sendiri kemudian berarti
kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini
bersifat lahiriyah (hissiy) ataupun maknawiyah, meskipun hal itu dianggap tidak
baik oleh orang lain.
Menurut istilah dari Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi yaitu salah seorang ulama’
ushul, memberikan pendapat tentang Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu
permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu
yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. 15
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih
cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua
dari hukum pertama.

14 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), Jakarta, 1996, hlm.
120

15 DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 111-112

12
2.  Pendapat ulama
Penggunaan istihsan dalam memecahkan masalah fiqhiyah tidak secara bulat
diterima oleh para ulama. Sebagian ulama menerima dan menggunakan istihsan,
namun sebagian lain menolaknya,
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai
dijadikannya
istihsan sebagai sumber hukum, ada yang menerima dan ada yang menolak.
Menurut
Ulama Hanafi, Maliki dan Hanbali istihsan dapat dijadikan sebagai sumber
hukum Islam.
Mereka beralasan bahwa istihsan adalah meninggalkan perkara yang sulit beralih
ke
perkara yang mudah di mana hal itu merupakan dasar dari agama sebagaimana
firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.

ْ ‫س َر َواَل يُ ِري ُد بِ ُك ُم ا ْل ُع‬


‫س َر‬ ْ ُ‫يُ ِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ا ْلي‬
Artinya: ...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.
Selain ayat di atas, mereka juga berdasarkan pada hadis Nabi Saw yang
menegaskan bahwa pandangan kaum muslimin atas suatu kebaikan itu juga
dianggap baik di sisi Allah.
‫فَ َما َرَأى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َ•و ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرَأوْ ا َسيًِّئا فَه َُو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيٌِّئ‬
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu di sisi Allah baik.”
(HR. Ahmad)
Mazhab Asy-syafi’iyah termasuk kalangan yang menolak penggunaan istihsan
sebagai salah satu sumber hukum Islam. Selain itu mazhab Zahiri juga termasuk
yang menolak istihsan. Alasan penolakan mereka ada beberapa sebab, antara lain :
Pertama, bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash Al-Quran, As-Sunnah atau apa
yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal

13
tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah
hukum. Kedua, istihsan bertentangan dengan firman Allah SWT yang
memerintahkan kita merujuk kepada Allah dan rasul-Nya dalam memutuskan
perkara.
‫َّس• َ ُأ‬
ِ •‫ول َو وْ لِي اَأل ْم‬
‫•ر ِمن ُك ْم فَ•ِإن تَنَ••ا َز ْعتُ ْم فِي َش• ْي ٍء‬ ْ •‫•وا هّللا َ َوَأ ِطي ُع‬
ُ ‫•وا الر‬ ْ •‫•وا َأ ِطي ُع‬
ْ •ُ‫يَا َأيُّهَ••ا الَّ ِذينَ آ َمن‬
ِ‫رسُول‬ َّ ‫فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هّللا ِ َوال‬
Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta
ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. An-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam
menyelesaikan suatu masalah, sementara istihsan tidak termasuk dalam upaya
merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
Ketiga, jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan
akalnya atas dasar istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu
hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas
daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu
seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan istihsan dengan logikanya sendiri.

3. .Macam-macam Istihsan
Pembagian istihsan ada dua macam, yaitu:
1. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada yang mengharuskan
pemindahan itu.16
Contohnya: Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti burung nasar,
burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan Istihsan,
dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia merupakan
sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa

16 Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110

14
minuman buas seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa
makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.
Sedangkan segi Istihsannya adalah bahwasanya jenis burung yang buas,
meskipun dagingnya diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya, karena ia meminum
dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk dalam tulang yang suci.
Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan
air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis.17
Dari contoh tersebut, terdapat pertentangan pada suatu kasus, yang pertama
adalah qiyas yang nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang
tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah
“istihsan”. Dan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
2. Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang
mengharuskannya.18
Contohnya: Istihsan tentang sahnya akad istihshna’ (pesanan). Menurut qiyas
semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tetapi,
masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’
atau ‘urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.

4. Perbedaan Istihsan Dengan Qiyas dan Mashalih Al-mursalah


Istihsan berbeda dengan qiyas dan juga dengan maslahah mursalah.
Perbedaan istihsan dengan qiyas adalah qiyas menyamakan kasus yang belum ada
ketentuan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’ dengan kasus yang sudah ada
ketetapan hukumnya. Di sini terdapat dua kasus yang dapat dihubungkan dengan
‘illat. Istihsan adalah berpindah dari kasus yang didasarkan pada dalil kepada
kasus lain berdasarkan dalil yang lebih kuat, seperti berpindah dari nash umum
atau qiyas kepada nash khusus, atau kepada qiyas khafi karena adanya

17 Syaikh Muhammad al-Khudari Biek, Ushul Fiqih, Jakarta, 2007, hlm. 734

18 Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110

15
kemaslahatan yang hendak direalisasikan atau mafsadah (kerusakan) yang ingin
dihindarkan. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama didasarkan pada dalil.
Sedang maslahah mursalah adalah penetapan hukum yang semata-mata
didasarkan pada pertimbangan mewujudkan kemaslahatan atau menghindarkan
kerusakan, serta tidak memiliki dasar dari nash. Jadi, hukum yang ditetapkan
berdasarkan maslahah mursalah tidak memiliki dasar dari nash sama sekali.

16
DAFTAR PUSTAKA

M. Khamzah et. al. Hikmah. Sragen: Akik Pustaka, 2015.

Ridwan. Fiqih Politik. Yogyakarta: FH UII Press, 2007.

Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Siyasah. Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), Jakarta,


1996.

DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999.

Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994.

Syaikh Muhammad al-Khudari Biek, Ushul Fiqih, Jakarta, 2007.

Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994.

Bahrudin. 2019. Ilmu Ushul Fiqih. Lampung. CV. Anugrah Utama Raharja.

Darmawati. 2019. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta. Prenada Media Group.

17

Anda mungkin juga menyukai