Anda di halaman 1dari 7

A.

Kehujahan fatwa sahabat


Dalam menentukan kehujjahan atau kekuatan mazhab sahabat sebagai dalil hukum
terkait dengan bentuk danasal fatwa sahabat tersebut. Permasalahan yang dibahas
dalam ushul fiqih dalam kaitan ini adalah apakah fatwa-fatwa sahabat harus diikuti para
mujtahid setelah Al-quran , sunnah, dan ijma dalam menetapkan hukum atau tidak.
Abdul Karim Zaidan membagi fatwa sahabat kedalam empat kategori, yaitu :
a) Fatwa sahabat yang bukan merupakan ijtihad, contohnya ibnu masud, mengatakan
bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin adalah 10
dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat dan
besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-
fatwa semacam ini disepakati sebagai landasan hukum bagi generasi sesudahnya 1.
b) Fatwa sahabat yang di sepakati secara tegas di kalangan mereka di kenal dengan
ijma sahabat. Fatwa ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
c) Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat lain. Para mujtahid
dikalangan sahabat memang sering menjadi perbedaan penapat dalam satu masalah,
namun dalam hal ini fatwa sahabat tidak mengikat (diikuti) sahabat lain.
d) Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh rayun dan ijtihad.
Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitab nya Ilamul Muwaqqiin berkata
bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk 2:
1) Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2) Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3) Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur
pemahaman ayatnya bagi kita.
4) Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang
sahabat.

1
jazuli. (200). Ushul Fiqih Metodologi hukum islam. jakarta: Raja Grafindo Persada.

pratama, m. b. (2017, oktober kamis). Diambil kembali dari ladang ilmu:


http://muhammadbagaskarapratama.blogspot.co.id/2013/03/fatwa-sahabat-sebagai-
sumber-hukum-syara.html

rahmawati, M.Ag. (2010). ushul fiqih. sulawesi selatan: lembaga penerbitan STAIN Palopo.

zahrah, M. a. (2008). Ushul Fiqh. jakarta: pustaka firdaus.

Zaini, M. M. (2008). Ilmu Ushul Fiqih. jombang: darul hikam.

2
Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 212-213.
5) Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah
lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya.
Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6) Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata
pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah. 3

B. Pandangan ulama tentang fatwa sahabat


Ulama berbeda pendapat mengenai fatwa sahabat secara perorangan tersebut
dapat merupakan hasil ijtihad 4 , apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak
mengikat. Terdapat beberapa pendapat dalam hal ini. Menurut wahbab az-zuhaili,
beberapa pendapat ini dapat disimpulkan terhadap dua pendapat, diantaranya :
1. Kalangan hanafiah, imam maliki, imam syafii, dan pendapat terkuat dari imam
Ahmad bin Hanbali, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi
sesudahnya (hujjah). Alasan mereka antara lain :
a. Firman Allah SWT






Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (Q.S
Al-imran : 110)
Pada ayat ini menjelaskan bahwa umat islanm merupakan umat terbaik yang
diciptakan Allah dari sekian manusia dengan misi menegakkan yang maruf dan
mencegah yang mungkar. Umat islaam yang dimakssud dalam ayat ini adalah para

3
pratama, m. b. (2017, oktober kamis). Retrieved from ladang ilmu:
http://muhammadbagaskarapratama.blogspot.co.id/2013/03/fatwa-sahabat-sebagai-sumber-hukum-
syara.html

4
sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas
dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang
sahabat Nabi SAW. Misi yang mereka jalankan haruslah diikuti dan dijalankan
umat islam setelah mereka.
b. Sabda Rasulullah



Para sahabatku bagaikan bintang-bintang siapapun diantara mereka yang kalian
ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk (HR.Abu Daud).
Dalam hadist lain Nabi SAW bersabda :


Adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyid
yang datang sesudahku (HR. Ibnu Majah).
Kedua hadist tersebut menurut ulama yang menerima kehujjahan fatwa sahabat
memahami kedua hadist ini sebagai perintah bagi umat islam untuk mengikuti fatwa
sahabat.
2. Kalangan mutazilah, syiah dan salah satu pendapat imam Ahmad bin Hanbal
bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi seterusnya atau sesudahnya dalam arti
lain tidak dapat dijadikan hujjah, alasan yang mereka kemukakan diantaranya :
a. Firman Allah SWT



Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan (Q.S Al-Hasr :2)
Kalangan ulama yang berpegang pada pendapat ini, menyatakan bahwa
perintah ayat tersebut untuk mengambil pelajaran adalah perintah mengambil
ijtihad. Jadi, ayat ini memerintahkan mereka yang memiliki kemampuan untuk
melakukan ijtihad. Hal ini baru bisa terwujud manakala seseorang yang disebut
mujtahid tidak mengikuti pendapat atau fatwa sahabat apabila mereka
mengikuti pendapat sahabat sahabat berarti bertentangan dengan kehendak ayat
yang memerintah mereka melakukan ijtihad 5.

5
rahmawati, M.Ag. (2010). ushul fiqih. sulawesi selatan: lembaga penerbitan STAIN Palopo.hal :72-73
b. Para sahabat bukanlah termasuk orang yang dijamin Allah maksum (bebas dari
dosa dan kesalahan), sama halnya dengan paraa mujtahid lainnya. Oleh karena
itu, fatwa mereka mungkin saja ada yang keliru. Sesuatu yang kemungkinan
keliru tidak boleh diikuti6.
C. Penggunaan fatwa sahabat oleh para imam besar
Iman-imam mazhab besar seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi,I, Imam
Ahmad bin hanbal dan Imam Maliki sepakat menjadikan fatwa sahabat sebagai rujukan
terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam
masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, fatwa sahabat dipandang
berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi 7 yang bersumber dari Rasulullah.

1. Imam Syafii

Diriwayatkan oleh ar-Rabi, bahwa Imam Syafii berkata dalam kitab al-
Risalahnya sebagai berikut:

Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang


sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih
terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat. Kemudian seorang
teman diskusinya bertanya: Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?. Dia
menjawab: Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Quran, sunah,
ijma, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat.

Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi, bahwa Imam Syafii di dalam kitab al-Umm
(kitab yang baru) berkata:

Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Quran dan sunnah,
maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka.
Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti)
pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah
dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Quran dan
sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah.(al-Umm, juz 7,
hal. 247 ) 8

6
Muktar Yahya, prof, Dr, dan fatchurrahman, dasar-dasar pembinaan hukum islami, (bandung: PT. Al-
Maarif,1993) hal.154
7
informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve
8
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet. 12, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hal. 332-334.
Beberapa keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum,
pertama-tama Imam Syafii mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian
pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang
diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan
Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena
pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.

2. Imam Ahmad bin Hanbal


Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath.
Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah,
qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal 9, hadis dhaif, qiyas dan sadz al
dzari.

Imam Ahmad Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif
daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan
sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai
fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.

Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau
menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka.
Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal
dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.

3. Imam Abu Hanifah

Sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam
Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar 10 yang shahih yang diriwayatkan
oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia
akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil
pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah
berkata: Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Quran dan hadist,
maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada
yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari
pendapat mereka kepada selain mereka.

9
hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabiin
10
Perkataan ataupun perbuatan yang disandarkan kepada Sahabat ataupun Tabiin
4. Imam Maliki

Dalam kitab karangannya yang terkenal yaitu al muwatha, imam maliki


menggunakan beberapa metode dalam berijtihad. Hanya saja ia tidak menuliskan secara
khusus metode-metode yang digunakan. Oleh karena itu para pengikutnya belakangan
ini melakukan penelitian terkait metode yang digunakan imam Maliki dalam berijtihad.
Kenudian ditemukanlah beberapa metode yang digunakan, dengan meneliti kitab al
muwatha. Metode yang digunakan diantaranya :

a. Al-qur;an dan as-sunnah


b. Amal atau perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi imam Maliki
dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad 11
c. Fatwa sahabat, Imam Malik berpendapat bahwa fatwa sahabat itu bisa dijadikan
hujjah bedasarkan Q.S Al-imran : 110 12.
d. Qiyas
e. Maslahah mursalah
f. Istihsan
g. Dzarai
D. Contoh fatwa sahabat
Diantara contoh fatwa-fatwa sahabat yaitu :
1. Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita dua
tahun melalui ungkapannya : anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari
dua tahun
2. Fatwa Anas bin Malik yang menerangkan tentang masa minimal haid seorang
wanita, yaitu tiga hari.
3. Fatwa Umar bin Khatab tentang laki-laki yang menikahi wanita yang sedang
dalam masa iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya untuk menikahi
wanita tersebut untuk selamanya.

11
Tim Ilmiah purnasiswa, Sejarah Tasyri islam,(Forum pengembangan intelektual lirboyo,2006),hlm.260

12
Muhammad Masum Zaini,Ilmu ushul fiqih,(Darul hikmah jombang,2008),hlm.136
DAFTAR PUSTAKA

jazuli. (200). Ushul Fiqih Metodologi hukum islam. jakarta: Raja Grafindo Persada.

pratama, m. b. (2017, oktober kamis). Diambil kembali dari ladang ilmu:


http://muhammadbagaskarapratama.blogspot.co.id/2013/03/fatwa-sahabat-sebagai-
sumber-hukum-syara.html

rahmawati, M.Ag. (2010). ushul fiqih. sulawesi selatan: lembaga penerbitan STAIN Palopo.

zahrah, M. a. (2008). Ushul Fiqh. jakarta: pustaka firdaus.

Zaini, M. M. (2008). Ilmu Ushul Fiqih. jombang: darul hikam.

Anda mungkin juga menyukai