Anda di halaman 1dari 20

Talfiq

Ialah mengikut pendapat satu imam dalam satu masalah, kemudian bertaklid
kepada imam lain dalam masalah yang lainnya.
Contoh, berwudu mengikuti cara HanaIi dan sholat mengikuti cara SyaIii.
Ataupun, pada hari ini dia sholat mengiikuti pendapat SyaIiI dengan membaca
Bismillah.., esoknya dia sholat mengikuti pendapat HanaIi dengan tidak
membaca bismillah.
Inilah yang dikatakan sebagai talfiq.

Kebanyakan ulama membagi talIiq menjadi dua:
1. Mengambil pendapat yang paling ringan di antara madzhab-madzhab dalam
beberapa masalah yang berbeda. Contoh: Berwudukd ikut HanaIi dan sholat
ikut Maliki.
Bagaimana hukumnya? Menurut ulama-ulama ini, talIiq dengan cara begini
adalah dibenarkan, kerana dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua
masalah yang berbeda, Wudu dan Sholat.
TalIiq begini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai
keringanan dan rahmat dari Allah Taala terhadap umat Muhammad.
Dibenarkan juga mengambil pendapat yang paling ringan antara madzhab-
madzhab dalam satu masalah. Ia diamalkan pada waktu yang berlainan yang
tidak bergantung satu sama lain.
Contoh, seseorang berwudu menurut syarat-syarat yang telah ditetap oleh Imam
SyaIi`i. Pada waktu yang lain dia berwudu menurut syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Imam HanaIi.
TalIiq seperti ini dibenarkan karena wudu pertama, menurut syarat SyaIi`i,
telah selesai dan digunakan untuk satu ibadah hingga selesai. Kemudian wudu
keduanya, menurut HanaIi, digunakan untuk tujuan tersebut diwaktu yang
lainnya hingga selesai. Jelasnya ia dilakukan, sekalipun masalahnya sama tetapi
dalam peristiwa yang berbeda.
2. Mengambil/mengumpulkan pendapat yang paling ringan di antara mazhab-
mazhab tersebut dalam satu masalah. TalIiq begini tidak benarkan.
Contoh, Ali bernikah tidak menggunakan wali kerana ikut HanaIi. Dia tidak
memakai 2 saksi kerana mengikut pendapat Maliki.

Pernikahan seperti ini adalah batal/tidak sah.


Ittiba
Ialah menerima pendapat orang lain dengan mengetahui sumber atau hujahnya.

Ittiba adalah sebaik-baik cara menerima dan mengamalkan pendapat dari
mujtahid.


Fiqhul Muqaran
Yang sedang berkembang sekarang ini ialah Fiqhul muqaran. Ia menjadi salah
satu dari subjek di kuliah syariah al-Azhar.
Fiqhul muqaran ialah membahas satu masalah dengan mengambil semua
pendapat ulama yang ada dengan dalil-dalilnya. Kemudian didiskusikan secara
ilmiah. Kemudian membuat suatu rumusan, pendapat manakah yang paling
kukuh dalil dan hujahnya (tarjih). Tarjih yang dilakukan tanpa terikat kepada
salahsatu madzhab Iikh.
Fiqhul Muqaran berbeda dengan muqaranah al-Mazahib yang ada sebelumnya,
di mana para ulama mengumpulkan semua pendapat dari semua mazhab yang
ada bersama dalil-dalilnya. Kemudian ia dibincangkan. Akhirnya melakukan
tarjih berdasarkan mazhab masing-masing. Jika yang melakukan perbandingan
itu dari mazhab HanaIi, maka tarjih itu dilakukan berdasarkan mazhab HanaIi,
begitulah seterusnya.
Sekarang kita dapat melihat Iqhul muqaran ini terus berkembang dan semakin
diterima oleh umat Islam. Antara yang bekerja keras memberi sumbangan
dalam bidang ini ialah Dr YusoI al-Qardhawi, Dr. Wahbah al-Zuhaili, lujnah
Iatwa al-Azhar dan beberapa tokoh ulamak al-Azhar.

Ada banyak kebaikan yang dapat diambil dari Iiqh ini:
1. Dapat mengetahui dalil dan hujah dari semua pihak.
2. Menghindarkan paham ta`asubiyah madzhab.
3. Dapat beramal dengan hati yang lebih tenang karena hujahnya kuat.

abi SAW lewat Aisyah disebutkan:
abi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling
mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa,
maka beliau adalah orang yang paling menfauhi hal tersebut '. (Fathu al-Bari,
X, 524)
'Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang
mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan`. (Fathu al-Bari, I,
93)
Talfik
Setelah membaca kasus yang diangkat Sdr. Ketua pada katagori Al-Qur`an
dengan judul "Tentang Pengambilan Hukum" berikut dengan semua komentar-
komentar yang ada di situ, saya teringat perbincangan kawan-kawan kita -
warga KMKM yang kebanyakan dari mereka Mahasiswa Fakultas Syariah-
yang entah kapan dan dimana saya juga sudah tidak ingat lagi, yang jelas
mereka mempersoalkan tentang yang namanya "TalIik", itu juga kalau saya
tidak salah dengar dan tidak keliru dalam penulisannya. TalIik, kalau saya tidak
salah tangkap dari kawan-kawan, TalIik adalah penggabungan ketentuan
hukum dari Imam-imam yang sudah masyhur -seperti imam yang empat-
mungkin contohnya seperti ini; Dalam hal shalat, seseorang lebih suka
mengikuti mazhab Imam SyaIi`i, tapi untuk masalah Haji dia lebih suka
mengikut pendapatnya Imam Malik, dan seterusnya dalam hukum-hukum
syariat yang lain, seperti puasa dsb. Baik nantinya akan mengikut Imam
Ahmad, Imam HanaIi, dan bahkan dari Imam-imam yang lain, sesuai dengan
apa yang diyakininya. Disini saya butuh penjelasan dari kawan-kawan semua,
terlebih dari kawan-kawan kita Syariah, tentang kejelasan TalIik tersebut, baik
dari segi deIinisi, hukum, dsb. Dan kalau TalIik ini memang dibolehkan dengan
kreteria keilmuan seseorang yang dimilikinya, bagaimana hukumnya kalau
TalIik tersebut digunakannya hanya karena ingin mempermudah dirinya?

Ijtihad, ittiba', taqlid, talfik dan intiqal madzhab

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Ijtihad, Ittiba`, Taqlid, Talfiq dan Intiqal madzhab
Secara bahasa laIadz iftihad adalah bentuk mashdar dari Ii`il iftahada yang
berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang Iikih, berarti
mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan
hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Qur`an dengan syarat-syarat
tertentu. Adapun menurut para ahli ushul Iikih, antara lain Imam Syaukani dan
Imam Zarkasyi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan
syara` (hukum Islam) yang bersiIat operasional dengan isthinbath. Menurut
Imam al-Amidi, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan ntuk mencari
hukum Islam yang bersiIat Dhanny sampai merasa dirinya tidak mampu
mencari tambahan kemampuannya itu.
Ittiba menurut bahasa berarti mengikuti, sedangkan menurut istilah adalah
Menerima pendapat seseorang dengan mengetahui dasar dalilnya. Sedangkan
Taqlid adalah kebalikan dari ittiba` yaitu mengikuti pendapat seseorang tanpa
mengetahui dalilnya.
TalIiq adalah mengikuti pendapat satu Imam dalam satu masalah kemudian
bertaqlid kepada Imam lain dalam masalah lain. Sedangkan Intiqal Mad:hab
adalah berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain secara keseluruhan hukum
imam yang diikuti.








BAB II
PROBLEMATIKA I1TIHAD, ITTIBA`, TAQLID, TALFIQ DAN
INTIQAL MADZHAB

A. PROBLEMATIKA I1TIHAD
Kalau kita membahas tentang problematika ijtihad maka tak lepas dari
problematika menjadi seorang mujtahid yang harus memenuhi beberapa syarat
yang sangat berat. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Memahami Al-Qur`an dengan asbabun nuzulnya, nsikh-mansukh dan ayat-ayat
yang nasikh dan mansukh.
2. Memahami hadits, ilmu hadits dirayah, hadits-hadits yang nasikh dan mansukh
dan asbabul wurud hadits.
3. mengetahui pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab.
4. Mengetahui tempat-tempat ijma`.
5. Mengetahui ushul Iikih.
6. Mengetahui maksud-maksud syari`at.
7. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
8. bersiIat adil dan takwa.
Disamping delapan syarat ini, beberapa ulama` menambahkan tiga syarat
lagi, yaitu :
1. Mendalami ilmu ushuluddin.
2. memahami ilmu manthiq (ilmu logika).
3. menguasai cabang-cabang Iikih.
Melihat syarat-syarat yang berat di atas, timbul pertanyaan apakah pada
masa sekarang apabila ditemukan permasalahan yang tidak ditemukan
hukumnya, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, karena syarat-syarat diatas
sangat sulit dipenuhi oleh ulama` pada masa sekarang. Pada akhirnya
muncullah apa yang disebut dengan ijtihad jama`iy, yaitu mengumpulkan para
ahli dalam bidangnya untuk mencari hukum suatu masalah yang belum
terjawab.
Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama` mengelompokkan mujtahid
dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya &shul al-
Fiqh menyebut ada enam tingkatan mujtahid, yaitu :
1. Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-
Qur`an dan sunnah, melakukan kias, berIatwa dan beristihsan.
2. Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang
Imam pada hal-hal yang bersiIat mendasar dan berbeda pendapat dengan
mereka dalam hal-hal Iuru` (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai
pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
3. Mujtahid Iil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam
Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun Iuru`. Usahanya hanya terbatas
dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya
dalam pendapat imam madzhab.
4. Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-hukum
yang tidak diijtihadkan oleh para ulama` sebelumnya. Sebenarnya mujtahid
pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih kuat.
5. Mujtahid MuhaIidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah
ditarjih oleh para ulama` sebelumnya.
6. Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-
pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.
Saat ini, diyakini manusia telah mencapai puncak kehidupan mutakhirnya,
dimana kamus mengistilahkannya dengan "globalisasi", artinya dunia semakin
mengecil dan segala sesuatu sangat mudah kita dapatkan dengan ditandai akan
berbagai perkembangan teknologi. Dunia tak ubahnya seperti sebuah desa kecil.
Seakan sudah tidak ada lagi sekat dan jarak yang memisahkan manusia.
amun, seiring dengan laju perkembangan zaman, maka bertambah pula
permasalahan baru yang muncul dan menuntut pembuktian Islam sebagai
agama rahmatan lil alamin untuk memberikan solusi yang tepat. Hal ini pada
akhirnya menuntut seorang mujtahid yang mempunyai otoritas dalam
menentukan hukum untuk turut menyelesaikan problematika kehidupan umat.
Dr Ahmad Buud (2006), menambahkan, setidaknya ada beberapa hal yang
menjadi karakteristik dan dampak negatiI maupun positiI dari modernitas,
diantaranya adalah, pertama, semakin terbebasnya manusia dari kejumudan dan
taklid yang membutakan. Kedua, kemajuan dan perkembangan teknologi,
terutama dari Barat. Ketiga, kegandrungan masyarakat dunia pada kacamata
(worldview) Barat, hingga tersebar paham sekulerisme dan liberalisme di
dunia Islam. Keempat, kebangkitan umat Islam mengejar ketertinggalannya
dari Barat.
Di sisi lain, pada hakekatnya tidak ada perbedaan mendasar antara sebuah
tuntutan kebangkitan ruh berijtihad sebagai sebuah bentuk gerakan pencerahan
(aukflarung) dengan kewajiban beragama itu sendiri. Keduanya memiliki akar
dan titik tolak yang sama, dimana tujuan keduanya akan bermuara pada
pembumian Iirman-ya (QS:2:30), yaitu bahwa manusia diutus ke bumi tak
lain adalah sebagai khaliIah-ya. Maka manusia berbeda dengan makhluk lain,
ia diberi kelebihan akal. Manusia dapat berIikir dan mampu membedakan hal
yang baik dan buruk, sehingga tidak heran apabila manusia disebut oleh Allah
sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan-ya. Hal ini jugalah yang menjadi alasan
bagi Allah kenapa Dia menurunkan wahyu-ya dalam bentuk nash-nash yang
global. Disamping RasululLah yang diutus untuk menjelaskan isi kandungan al-
Quran, juga menjadi tugas manusia sebagai hamba yang berakal untuk
menggali teks-teks tersebut, terutama pada problematika baru yang datang
sesudah Rasulullah Saw. mangkat. Kaitanya dalam hal ini, Dr Ahmad Bu`ud
dalam bukunya , Iftihad, baina haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi,
memberikan rambu dan perangkat utama pada seorang mujtahid untuk
berijtihad di era kontemporer ini.
Pertama, Iikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang
paling pertama dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah
mencari landasan dalil-dalil hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah.
Baik permasalahan yang sudah terdapat teks-teks resminya maupun yang
belum. Ini penting dilakukan mengingat keduanya, al-Quran dan Sunah adalah
dua sumber entitas resmi agama Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalam hal ini, juga harus dihindari kesalahan-kesalahan dalam memahami teks
(nash).
Penggalian hukum tidak cukup hanya dengan bermodalkan keislaman dan
keimanan serta pemahaman awal seseorang terhadap nash-nash saja. Juga tidak
cukup dengan satu, dua atau tiga orang saja. Lebih dari itu untuk kemaslahatan
umat dan ketepatan berijtihad, diperlukan kerjasama semua komponen yang
berkaitan dengan masalah tersebut, agar produk hukum tersebut menjadi kuat
dan bijak. Di samping itu beberapa kaidah dalam memahami teks yang perlu
dimiliki oleh seorang mujtahid diantaranya; (a). memiliki kapabilitas dalam
pengetahuan bahasa Arab, (b). mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau
hadis (asbab al-nu:ul wa al-wurud), (c). mengetahui tujuan atau maksud dari
turunnya ayat tersebut (maqashid al-Syariah).
Kedua, Iikih realitas (al-waqaiy) Hal kedua yang harus dilakukan oleh
mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami realita
atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-waqi, yaitu pemahaman yang
integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh manusia dalam
ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-waqi adalah: (a).
Memahami dan mengetahui pengaruh-pengaruh alami yang muncul di
lingkungan sekitarnya, terutama kondisi geograIis wilayah tertentu dimana
mujtahid tersebut hidup dan tinggal. (b). Mengetahui kondisi sosial
kemasyarakatan dan transIormasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki
keterikatan sosial dengan manusia. Yang dimaksud dengan keterikatan sosial
disini adalah segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang dengan yang
lainnya apapun jenis hubungan tersebut, baik dalam ranah agama, budaya,
ekonomi, politik atau militer. (c). Di samping memahami realita sosial yang
melingkupi sebuah permasalahan, seorang mujtahid juga dituntut untuk
mempelajari kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan
sisi dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat,
keduanya tidak bisa dipisahkan.
Ketiga, ijtihad kolektiI (famaiy). Masih menurut Dr Ahmad Bu`ud, ijtihad
kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektiI
(iftihad famaiy), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan
ijtihad kolektiI didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang
komplikatiI, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja,
walaupun orang tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah
lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang
ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami, bahwa keberadaan
ijtihad kolektiI ini akan tercermin dalam sebuah aktiIitas musyawarah (syura).
Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan
ditemukan.
Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang
disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad membahas problematika
umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada
nash-nash wahyu dan maqashid as-syariah. Juga bisa kita sebut sebagai
musyawarah (syura), karena di dalamnya mampu menampung komunitas
tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan.
Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad
kolektiI sebelum terealisasikan dalam sebuah aktiIitas musyawarah.
Musyawarah tersebutpun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para
mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki
kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.
Pertanyaannya, bagaimanakah aplikasi ijtihad kolektiI (iftihad famai) pada
era sekarang ini? Saat ini kita bisa melihat ijtihad kolektiI tersebut
termaniIestikan dalam berbagai bentuk lembaga ijtihad. Seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Mafma al-buhuts al-Islamiyyah al-A:har, Lembaga Fatwa
Mesir (Dar Ifta Mishriy), Lembaga Fikih Islam Mekah yang berpusat di Jedah,
Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih banyak lagi lembaga-
lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga ijtihad tersebut
mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang dalam memutuskan
hukum tersebut. Dr. Qutub MusthaIa Sanu membagi tiga macam bentuk ijtihad
kolektiI yang ada pada zaman ini dan masing-masing memiliki tugas-tugas
tertentu.
(a). Lembaga Ijtihad Lokal (wilayah atau provinsi), yang melihat dan
membahas permasalahan-permasalahan lokal atau wilayah tertentu. Lembaga
inilah yang kemudian mempunyai keterikatan dan hubungan dengan
masyarakat atau suatu komunitas. Maka lembaga ini dituntut untuk benar-
benar memusatkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat tersebut agar
tercipta kemaslahatan di dalamnya. Semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di
Ogan Komering Palembang Indonesia.
(b). Lembaga Ijtihad Regional. Lembaga ini mempunyai tugas untuk membahas
problematika masyatrakat dalam sekup wilayah regional yang memiliki siIat,
kebiasaan, tradisi yang mengikat dan kemaslahatan bersama. Biasanya
strukturnya setingkat negara, seperti MUI atau Dar Ifta Mishriy.
(c). Lembaga Ijtihad Internasional. Lembaga ijtihad ini hadir untuk membahas
problematika umat kekinian dengan sekup internasional, seperti Lembaga Iatwa
milik OKI (Organisasi KonIerensi Islam). Biasanya lembaga tersebut
mengadakan muktamar tahunan guna membahas permasalahan-permasalahan
umat yang terjadi di belahan dunia Islam.
Melihat realitas problematika Iiqh kotemporer, maka para ulama melihat
ijtihad kolektiI merupakan terobosan yang paling eIektiI untuk
mengantisipasinya, dimana kelompok ahli hokum Islam disamping penasehat
ilmu lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, mereka meninjau
masalah tersebut dari segala segi untuk menetapkan solusi hukumnya. Ini tidak
menutup pintu ijtihad individual, karena ijtihad Iardi merupakan jembatan
menuju ijtihad jama`i. Seorang mujtahid menetapkan hukum suatu masalah
dengan terlebih dahulu mengkaji seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengan
melakukan klariIikasi kepada ahlinya.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian library (library research)
dan siIat penelitiannya adalah deskriptiI analitik. Data yang terkumpul bersiIat
kualitatiI dan dianalisis menggunakan metode berIikir deduktiI yang berpijak
dari Iakta-Iakta yang bersiIat umum untuk diambil kesimpulan yang bersiIat
khusus, sedang pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normative.
Ijtihad dalam pengertian 'berpikir bebas adalah mesin penggerak sejarah.
Ijtihad dalam teori terminology Iiqh merupakan kunci dinamika ajaran Islam
dalam mengantisipasi dinamika perubahan zaman. Adapun tujuannya untuk
mencari solusi hukum dari suatu persoalan-persoalan yang muncul, karena
dengan ijtihad pula Ileksibilitas dan elastisitas hukum Islam. Syarat-syarat
ijtihad menurut Iormulasi Iiqh klasik sangat ketat dan sulit dipenuhi di zaman
ini. Jika itu dijadikan ukuran keabsahan ijtihad, maka ijtihad yang paling
relevan di zaman ini adalah ijtihad jama`i

B. PROBLEMATIKA ITTIBA`
Allah swt melarang manusia melakukan suatu tindakan tanpa dasar
pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan wahyu, bisa juga
pengetahuan realitas. Orang yang mengabaikan pengetahuan wahyu akan
tersesat di akhirat, sedangkan orang yang mengabaikan pengetahuan realitas
bisa celaka di dunia.Sebagai ilustrasi, seseorang diserahi untuk membersihkan
komputer, jika kemudian cara membersihkannya itu dengan dicuci sebagaimana
mencuci pakaian maka tentu akan mengalami kerusakan yang Iatal.
Yang lebih penting dari ini, adalah kewajiban mensyukuri nikmat agama
dilakukan dengan memegangi dan menjalankan konsekuensi beragama Tetapi
hal itu tidak cukup hanya dengan kebiasaan-kebiasaan tanpa pengetahuan.
Dalam menjalankan ajaran agama, manusia akan bisa melakukannya dengan
baik apabila dia memiliki pengetahuan agama. Jika tidak, bisa jadi bukan ajaran
agama tetapi dia aku sebagai ajaran agama.
Imam HanaIi berkata, tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan
kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya
Imam Maliki berkata, ' Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar
dan keliru, lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan kitab dan sunnah
maka ambillah, dan yang tidak sesuai tinggalkanlah.
Imam SyaIi`i berkata, ' jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah, ittiba`lah
kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun. Sedangkan
Imam Hanbali berkata, ' Janganlah engkau taqlid dalam agamamukepada
seorangpun ari mereka, apa yang datang dari abi dan para sahabatnya
ambillah.
Masalah ittiba` adalah masalah yang prinsip, mengingat bahwa ketetapan
Allah terhadap agama adalah bersih dari segala bentuk campur tangan al-Iikr
(pemikiran), al-wijdan (perasaan) dan al-irodah (kemauan) yang berakibat
seseorang dihukumkan al-ihdats Iiddini.
Ittiba` dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-ya, Ulama sepakat bahwa semua kaum
muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-ya dan
menjauhi laranganya.
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-ya. Ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal
menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para
sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan
berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama
waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para abi).
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia
orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh
keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau
amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan
dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu
ibadah atau amal yang dikerjakan.

. PROBLEMATIKA TAQLID
Taqlid ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui
sumber dan cara pengambilannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat
Imam SyaIi`i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini
disebut Muqallid.
Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :
1. Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad,
yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath`i dan yang dapat
diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma`lum minad din bid-Dloruroh.
Contohnya ialah hukum tentang kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa
bulan Ramadlan, bilangan rakaat dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat
diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak
memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini
seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat
mengetahuinya.
2. Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah
yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti masalah yang
hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal wudlu? Ini adalah
masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada
dalilnya dari Al-Qur`an. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk
diketahui apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan
kajian ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab
dan perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama` terjadi dalam masalah
yang seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.
Kebanyakan ulama` Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak
berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau
Iatwa dari para mujtahid.
Menurut Al-Amidi, ibnu al-ajib dan Kamal al-Hummam, tidak wajib
bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah, mereka boleh
beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka beramal
dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid dengan
madzhab SyaIi`i dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita bertaqlid
dengan madzhab ini dalam semua masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat
dari madzhab-madzhab lain.
Taqlid yang diharamkan ialah :
1. Bertaqlid kepada seseorang tnpa mengindahkan Al-Qur`an dan sunnah.
2. Bertaqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya
berijtihad.
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid
kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam
Abu HaniIah, Malik bin Anas, As SyaIi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : 'segala perkataan atau pendapat dalam
suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi
hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang
mengatakan perkataan itu.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal,
sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya.
Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al
Jauzi dan sebagainya.
Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.

1. 1aqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia
mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan a:imah-a:imahnya2 dalam semua
urusan agamanya.

Dan para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka
ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka,
pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-
ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa
yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain
abi sholallohu alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : 'Sesungguhnya dalam pendapat yang
mewajibkan taat kepada selain abi dalam segala perintah dan larangannya
adalah menyelisihi ijma` dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.
Beliau juga berkata : 'Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia
melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ulama lain
yang memberinya Iatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya,
dan tanpa udzur syar`i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang
dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa naIsunya, pelaku
keharoman tanpa ada udzur syar`i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika
menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang
satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan
memahaminya, atau ia melihat salah seorang ulama yang berpendapat adalah
lebih aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ulama yang lain, yang
mana ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang
dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang
seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan
akan hal tersebut.
2. 1aqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus
tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang
benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan
kesulitan yang sangat.

D. PROBLEMATIKA TALFIQ
TalIiq ialah mengikuti pendapat satu imam dalam satu-satu masalah,
kemudian bertaqlid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh: mengambil
wudlu mengikuti Imam HanaIi dan shalat mengikuti Imam SyaIi`i.
Kebanyakan ulama` membagi talIiq menjadi dua, yaitu :
1. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam
beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut HanaIi dan shalat ikut
Maliki. Menurut ulama`-ulama`, talIiq seperti ini dibenarkan, karena dia
mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua masalah yang berbeda. TalIiq
seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan
dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad.
2. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam
satu masalah. TalIiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali menikah tanpa
menggunakan wali ikut HanaIi, dia juga tidak menyertakan dua saksi mengikuti
Imam Maliki.
TalIiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab, misalnya
kita di lingkungan madzhab SyaIii, maka tak dibenarkan kita memakai
madzhab lain karena kita tak mengetahui hukum-hukum madzhab tersebut
secara jelas, dan akan membuat Iitnah dan bingungngya orang lain, namun jika
kita pindah, misalnya ke wilayah yang masyarakatnya bermadzhab Maliki,
maka tak layak kita terus berkeras diri untuk bermadzhab syaIii, hendaknya kita
memakai madzhab Maliki karena masyarakatnya bermadzhab maliki.
Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul
waajib illa bihi Iahuwa wajib, yaitu apa-apa yang mesti ada sebagai perantara
untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun
bila kita akan shalat Iardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg
harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah
berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun
karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14
abad setelah waIatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah
kecuali menelusuri Iatwa yg ada di imam-imam muhaddits terdahulu, maka
bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal-hal yang Iardhu /
wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab
menjadi wajib hukumnya.
Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai
situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras
kepala dengan madzhab SyaIiinya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika
Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing-masing
membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya
akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika Zeyd
bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan
dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd
berkata, maka wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula
dalam madzhab syaIii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus
menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi
berwudhu dengan madzhab SyaIii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau
ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki
dan telah batal pula dalam madzhab SyaIii.
Demikian contoh kecil jika kita talIiq, namun itu dibolehkan jika kita
pindah ke wilayah lain, karena kita bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan
minta petunjuk pada guru guru di wilayah itu.
E. PROBLEMATIKA INTIQAL MADZHAB
Apakah setiap muslim di masa sekarang harus mengikat dirinya dengan
salah satu madzhab yang ada dan selalu mengambil pendapat madzhabnya saja,
atau bolehkah kita berganti-ganti pegangan dan mengambil pendapat yang
paling ''ringan'' dari beberapa madzhab pada setiap masalah?
Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada satu
madzhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan agar kita tidak
terlalu mudah bergonta-ganti madzhab. Bahkan ada juga yang sampai
melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu umumnya ulama tidak
sampai mewajibkannya.
Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu madzhab adalah
agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab tiap-tiap madzhab
dihasilkan dari suatu logika ijthad yang sistematis, teratur dan runtut. Sehingga
menurut pendapat ini, kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil
ijtihad yang metologinya saling berbeda.
Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk tiap-tiap ijtihad.
Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam kelompok in berpendapat
tidak bolehnya bergonta-ganti madzhab.
Sedangkan pendapat yang berlawan mengatakan sebenarnya kalau diteliti
lebih dalam, tidak ada kewajiban dari nash baik Quran maupun sunnah yang
mengharuskan hal itu. Umumnya para ulama mengatakan bahwa setiap orang
bebas untuk memilih mazhab mana yang ingin dipegangnya. Termasuk bila
seseorang harus berganti madzhab berkali-kali. Dalilnya adalah bahwa dahulu
Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan untuk bertanya kepada satu orang
shahabat saja. Tetapi siapa saja dari shahabat yang punya pengetahuan tentang
suatu masalah, boleh dijadikan rujukan. Sebagaimana Iirman Allah: 'Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS An-ahl: 43)
Ayat ini tidak mewajibkan bila sudah bertanya kepada satu orang, maka
tidak boleh lagi bertanya kepada orang lain. Ayat ini hanya mensyaratkan
bahwa kita wajib bertanya kalau tidak tahu, agar dapat beribadah dengan benar.
amun tidak boleh bertanya kepada sembarang orang, harus kepada ahluz-zikr,
yang diterjemahkan sebagai ulama, Iuqaha'''' ahli ilmu syariah yang kompeten
dan benar-benar menguasai bidangnya. Tapi tidak mengharuskan hanya pada
satu orang saja.
Di tengah beda pendapat antara dua ''kubu'' ini, kami lebih cenderung
kepada pendapat yang memudahkan. Yaitu pendapat yang intinya tidak bikin
susah seorang yang ingin menjalankan agamanya. Dan kondisi bisa saja
berbeda-beda untuk tiap orang.
Di tempat tertentu, ada mungkin seorang 'alim yang sangat menguasai ilmu
agama dalam versi madzhab tertentu. Boleh dibilang bahwa dalam semua
masalah agama, beliaulah satu-satunya rujukan yang ada. Meski ilmunya hanya
dengan satu paham madzhab saja. Maka seorang muslim awam boleh bertanya
kepada beliau dan menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah agama.
Tidak ada kewajiban bagi si awam ini untuk melakukan konsultasi silang
kepada ulama lain yang tidak terjangkau baginya. Asalkan si ''''alim itu memang
seorang yang menguasai masalah Iiqih, cukuplah bagi masyarakat di sekitarnya
menjadikan pendapat-pendapat beliau sebagai rujukan. Atau dalam bahasa
lainnya, bertaqlid kepadanya. Tetapi bertaqlid di sini bukan kewajiban,
melainkan justru memudahkan. SiIatnya bukan keharusan, tetapi kebolehan.
Di tempat lain boleh jadi ada surplus ulama, misalnya di situ berkumpul
beberapa ulama dari beberapa madzhab yang saling. Maka buat orang-orang
awam yang tinggal di tempat itu, boleh saja mereka berguru kepada masing-
masing ulama dari beberapa madzhab itu. Tidak ada keharusan untuk ''''selalu
setia sepanjang masa'''' dalam menjalankan pendapat dari ulama tertentu dari
mereka. Sebagaimana juga tidak ada larangan untuk tetap setia kepada satu saja
dari mereka.
Ini yang kami maksud dengan prinsip yang memudahkan. Bila di suatu
tempat hanya ada satu ulama, kita boleh bermadzhab satu saja, tidak wajib
berpindah-pindah madzhab. Karena pindah-pindah itu justru menyulitkan.
Sebaliknya, bila di suatu tempat ada banyak sumber ilmu dari beragam
madzhab, boleh-boleh saja untuk membandingkannya dan memilih pendapat
yang menurut kita paling kuat dalilnya. Tetapi juga tidak ada larangan untuk
tetap berpegang saja pada satu madzhab, meski di sekeliling terdapat banyak
madzhab lain.
BAB III
PENUTUP

Puji syukur senantiasa kami haturkan kepada Allah swt karena berkat
tauIiq dan inayahya makalah ini dapat terselesaikan. Dalam pembuatan
makalah ini kami kesulitan mencari buku reIerensi, maka jalan yang kami
tempuh adalah mencari reIerensi dari internet. Hal itu dapat dilihat dari Iootnote
yang ada.
Sebagai penutup dari makalah ini, kami sampaikan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini. Juga kami
ucapkan terima kasih kepada bapak Dosen yang berkenan memberikan arahan
kepada kami.
Makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran
membangun senantiasa kami nantikan. Terakhir kami mohon ma`aI atas
kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.



taqlid dan Talfik
Taqlid dan TalIiq
Taqlid dari segi bahasa berasal dari kata qiladah |kalung| (Munawwir, 1997)
yaitu yuqallidu ghairahu biha (mengikuti pendapat orang lain). Dan dari segi
istilah berarti mengikuti pendapat orang lain (qail) dan tidak mengetahui
hujjahnya atau dalilnya (Hakim, tanpa tahun). Atau dengan pengertian lain
taqlid berarti mengambil pendapat orang lain untuk diamalkan tanpa
mengetahui dalilnya. Misalnya mengambil pendapat Imam SyaIi`i yaitu
menyapu sebagian kepala dalam berwudhu tanpa mengetahui dalil
pendukungnya itu. Mengikuti pendapat Abu HaniIah yaitu tidak membaca al-
Fatihah bagi makmum ketika sholat, tanpa mengetaui dalil yang mendasari
pendapat itu (Insiklopedi Hukum Islam, 2001).
Sedangkan TalIiq adalah cara mengamalkan suatu ajaran agama dengan
mengikuti secara taqlid tata cara berbagai madzhab, sehingga dalam satu
amalan terdapat pendapat berbagai madzhab. Ulama` Ushul Fiqh
mendeIinisakan TalIiq dengan melakukan suatu amalan dengan tata cara yang
sama sekali tidak dikemukakan oleh mujtahid manapun (Insiklopedi Hukum
Islam, 2001). Dalam masalah ini disyaratkan dua hal yaitu mengikuti pendapat
dengan cara taklid dan adanya penggabungan beberapa pendapat dalam satu
permasalahan. Dan terkait dengan permaslahan talIiq ini, ulama Iiqh juga
membahas persoalan mengambil amalan atau pendapat dari berbagai madzhab
yang paling mudah dan ringan. Dalam istilah seperti ini disebut dengan
tabarru`ur rukhash. Dan terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama`
berkenaan dengan hal ini
Contoh talIiq yaitu dapat dikemukakan sebagai berikut. Ketika berwudhu
khususnya saat menyapu kepala, seorang mengikuti tata cara yang
dikemukakan oleh Imam asy-SyaIi`i. Beliau berpandapat bahwa dalam
berwudhu seorang cukup menyapu sebagian kepala, yang batas minimalnya tiga
helai rambut. Setelah berwudhu orang tersebut bersentuhan kulit dengan
seorang perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan menurut SyaIi`i
persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan ajnaby (perempuan yang halal
dinikahi) tanpa hijab membatalkan wudhu. amun dalam persentuhan kulit
setelah berwudhu orang tersebut mengambil pendapat Imam Abu HaniIah dan
meninggalkan pendapat SyaIi`i. Abu HaniIah menyatakan bahwa persentuhan
kulit tersebut tidak membatalkan wudhu. Dalam kasus ini, pada amalan wudhu
terkumpul dua pendapat sekaligus yaitu pendapat Imam asy-SyaIi`i dan
pendapat Imam Abu HaniIah. Dampaknya adalah amalan itu tidak dinilai benar
(sah) oleh masing-masing imam alias batal.
Pendapat 4 Imam Madzhab Mengenai Taklid
Imam Abu HaniIah berkata, 'Jika pendapatku menyalahi (bertentangan) dengan
kitab Allah dan Hadits maka tinggalkanlah pendapatku. Dan Imam Malik
berkata, 'Semua kita menolak dan ditolak pendapanya kecuali pemilik kuburan
ini yaitu abi Muhammad SAW. Sejalan dengan pernyataan ini Imam asy-
SyaIi`i pun berkata, 'Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa
mengetahui hujjahnya bagaikan pencari kayu bakar di malam hari dengan
membawa seikat kayu dan ada seekor ular yang mematuknya sedangkan ia
tidak mengetahuinya. tuturnya. Begitu juga dengan Imam Ahmad bin Hanbal
yang mengatakan, 'Janganlah kalian ikuti pendapatku, Malik, Tsaury dan
Auza`y tapi ambillah dari sumber (mana) mereka mengambil. (Hakim, tanpa
tahun).
Dari pernyataan 4 Imam madzhad di atas bahwa sebenarnya mereka pun
menginginkan umat ini untuk meneliti pendapat yang mereka Iatwakan dan
berusaha menelusuri dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka. Artinya tidak
serta merta menerima pendapat mereka tanpa usaha untuk mengkritisi pendapat
itu. Di sini letak kelemahan umat islam yang terkadang Ianatik pada salah satu
madzhab tanpa dibarengi dengan usaha untuk meneliti pendapat madzhabnya.
Walaupan dari segi keilmuan dan kemampuan mengistinbatkan hukum mereka
jauh lebih layak dibanding manusia pada umumnya. Akan lebih baik dan bijak
jika kita tetap melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang muncul
dengan tidak menaIikan pendapat (ijtihad) mereka.
Penutup
1. Taqlid adalah mengikuti pendapat salah seorang mujtahid tanpa mengetahuhi
dalil yang dijadikan pegangan oleh mujtahid tersebut.
2. TalIiq adalah mengambil pandapat dari berbagai madzhab kemudian memilih
yang paling mudah dan ringan dalam penerapannya (aplikasinya).
3. Taqlid dibolehkan dalam hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan
ijtihad sedangkan dalam hukum-hukum yang tidak memerlukan penelitian dan
ijtihad (al-ma`lum min ad-din bi adh-dharurah) tidak diperbolekan taqlid secara
mutlak.
4. Pada hakikatnya para Imam madzhab tidak mengaruskan kaum muslimin
untuk taqlid pada pendapat mereka namun justru menyarankan untuk meneliti
dalil secara individu.
Saran
1. Taqlid dalam permasalahan hukum yang menghendaki penelitian dan ijtihad
masih banyak terjadi. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mukallaI untuk
memahami dalil (hujjah) yang digunakan dalam istinbath hukum itu. Sehingga
mereka cenderung bertaqlid yang dinilai mudah dan praktis. Untuk itu
disarankan kepada para mukallaI untuk meneliti dalil yang digunakan dalam
beramal. Manakala usaha telah dilakukan dan tidak menemui jalan keluar atau
solusi karena keterbatasan dan lain sebagainya diperbolehkan untuk bertaqlid.
2. Para muIti yang memberikan Iatwa kepada masyarakat luas diharapkan juga
menyertai dengan penjelasan tentang hujjah yang dijadikan pedoman dalam
permasalahan itu. Dengan demikian setidaknya mukallaI mengetahui hujjah
ketika mengamalkan sesuatu itu karena sudah mendapat penjelasan dari muIti.
Begitu jug sang mukallaI akan termotivasi menggali lebih dalam hujjah dari
perkataan itu.

Anda mungkin juga menyukai