Masyaqqah
Bagaimana dengan masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh ditetapkan
taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah? Dalam hal ini para ulama ushul
fiqh membagi masyaqqah terhadap dua bentuk, yaitumasyaqqah mutaddah (kesulitan biasa
dan dapat diduga) dan masyaqqah ghair mutaddah (kesulitan di luar kebiasaan dan sulit
diduga). Yaitu :
1. Masyaqqah mutaddah ( )adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa
membawa kemudlaratan baginya. Masyaqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara dari
manusia dan hal ini bisa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan) dalam kehidupan ini tidak
terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, mengerjakan shalat itu bisa melelahkan badan.
Kesulitan seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh, berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan
dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklif syara. Dengan
demikian, masyaqqah separti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk
melaksanakan taklif syara.
2. Masyaqqah ghair mutaddah (), adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak
mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan
manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat, serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat
menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Kesulitan seperti ini pun, menurut ulama ushul fiqh,
secara logika, dapat diterima sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, karena Allah
sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk memberikan kesulitan bagi manusia.
Misalnya, Allah tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa siang dan malam.
Alasan yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh dalam hal ini adalah QS. Al-Hajj:78, QS.
An-Nisa:28, QS. Al-Baqarah:185
Pertama, Hak Tuhan terhadap hamba adalah disembah dan tidak dipersekutukan. Hak ini terdapat
dalam ayat yang selalu kita ulang-ulang, Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-
Mu kami memohon pertolongan (Q.S. al-Fatihah : 5). Begitu pula dalam Q.S. al-Anbiya : 25 Allah
berfirman, Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya, Bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah
aku.Pengesaan dan penyembahan adalah hal yang sangat prinsip di dalam ajaran Islam, sehingga
adakalanya kalimat tauhid laa ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah) berarti laa mabud illa
Allah,tidak ada yang patut disembah kecuali Allah. Bahkan, hal ini merupakan ajaran seluruh
agama-agama, Katakanlah, Hai ahli kitab, marilah kepada suatu kalimat yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun (Q.S. Ali Imran: 64).
Kedua, Hak hamba terhadap Tuhan adalah mendapatkan ganjaran dan pegampunan.Tentu saja,
istilah hak di sini tidak bisa disamakan dengan poin pertama. Sebab, tentu saja istilah hak di sini
tidak bisa dilawankan dengan kewajiban syari, yag berarti Tuhan berdosa jika tidak
melaksanakannya. Tetapi hal ini lebih pada prinsip keadilan, yang mana Allah swt dengan keadilan-
Nya akan memberikan ganjaran kepada siapa yang beramal saleh dan menghukum siapa yang
berbuat maksiat.
Begitu pula, secara hakiki kita tak memiliki hak di hadapan Tuhan. Sebab pada dasarnya ibadah
yang diperintahkan Allah swt tak lain merupakan sarana untuk menyempurnakan manusia. Secara
fitrah setiap manusia menginginkan kesempurnaan bagi dirinya, dan mengejar kesempurnaan itu
sesuai dengan potensi dan kemampuannya masing-masing. Dalam Islam, kesempurnaan manusia
terletak pada kedekatanya di sisi Allah swt, yakni ketakwaan, Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Untuk meraih itu tentu harus dengan
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di sinilah, Allah dengan
keadilan dan kebijaksanaan-Nya mengirim para Nabi untuk mengajarkan kepada manusia cara
beribadah dan melaksanakan hukum-hukum ilahi. Jadi, peribadatan dan hukum-hukum agama
adalah pertologan ilahi kepada manusia untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaannya
secara benar. Lalu, layakkah kita menuntut lagi balasan atas ibadah-ibadah kita, padahal seluruh
ibadah itu semuanya adalah bantuan Tuhan kepada kita?