Anda di halaman 1dari 56

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1

Bab 1 : Pendahuluan 2

1.1 Latar Belakang 2

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penulisan 3

1.4 Manfaat Penulisan 3

Bab 2 : Pembahasan 4

2.1 Pengertian Mahram 4

2.2 Pembagian Mahram 6

2.2.1. Mahram Muabbadah 7

2.2.2. Mahram Ghairu Muabbadah 29

2.2.3. Mahram dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) 37

2.3 Implikasi Hukum Mahram Muabbad dan Muaqqat 39

2.4 Hikmah Mahram Muabbad dan Muaqqat 41

2.5 Contoh Problematika Mahram 42

Bab 3 : Penutup 52

3.1 Kesimpulan 52

Bab 4 : Daftar Pustaka 55

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Allah SWT menciptakan segala sesuatu di alam ini berpasang-pasangan. Bumi


dan langit, Siang berpasangan dengan malam, negatif berpasangan dengan positif,
matahari dan rembulan, daratan dan lautan, iman dan kafir, mati dan hidup, celaka
dan bahagia, surga dan neraka, jantan berpasangan dengan betina, laki-laki
berpasangan dengan perempuan. Allah berfirman dalam Surat Adz-Dzariyat ayat
49.

)49/‫َيءٍ َخلَ ْقنَا زَ ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرونَ (الذاريات‬
ْ ‫َو ِم ْن ُك ِِّل ش‬

Artinya: “Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya


kamu mengingat kebesaran Allah SWT”.1

Akan tetapi berpasang-pasangan manusia laki-laki dan perempuan berbeda


cara dan aturannya dengan binatang dan benda-benda lainnya.

Tentang cara aturan berpasang-pasangan atau perjodohan antara laki-laki


dengan perempuan, Allah tentukan dengan cara perkawinan islam dalam agama
islam yang mempunyai syarat, rukun, dan batas-batas tersendiri. Dalam perkawinan
islam yang termasuk dalam penjelasan batas-batasnya, salah satunya adalah
mahram nikah atau siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi.

Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang mahram nikah
di dalam hukum perkawinan islam.

1
QS. al-Dzariyat (51): 49.

2
1.2 Rumusan Masalah

Dari pemaparan di atas, dapat diambil beberapa pokok masalah yang akan
dibahas dengan lebih lanjut. Adapun pokok masalah yang dapat penulis angkat
adalah seperti berikut:

1. Apakah Pengertian Mahram?


2. Bagaimana Pembagian Mahram?
3. Bagaimana Implikasi Hukum Mahram Muabbad dan Muaqqat?
4. Apa Hikmah Mahram Muabbad dan Muaqqat?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
mahram dalam hukum perkawinan islam.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan dalam makalah ini adalah untuk menyebarkan informasi dan
mensosialisasikan mahram dalam hukum perkawinan islam serta mengembangkan
serta melestarikan khazanah keilmuan islam terkait mahram dalam hukum
perkawinan islam.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mahram

Mahram )ٌ‫ْرم‬
َ ‫ ( َمح‬berasal dari kata ‫ َح َرمَ ـ يَحح ُْرمُ ـ َح َر ًما َو َمح َْر ًما‬yang berarti
mencegah sedangkan secara bahasa yakni “yang terlarang” atau orang (perempuan/
laki-laki) yang tidak halal dinikahi namun kita boleh bepergian (safar) dengannya,
boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, boleh berjabat tangan,
dan seteterusnya.

Namun sebagaian orang ada juga yang menyebut mahram dengan istilah
muhrim. Padahal muhrim adalah orang yang berihram. Muhrim adalah isim fa’il
dari kata ‫ احراما‬- ‫يحرم‬ – ‫ أحرم‬yang artinya berihram, maka muhrim artinya orang
yang sedang berihram. Sedangkan mahram adalah wanita yang haram dinikahi oleh
laki-laki. Mahram adalah isim maf’ul dari kata َ‫ َح َرم‬yang artinya melarang. Oleh
karena itu istilah yang lebih tepat adalah mahram bukan muhrim.

Dalam sebagian literatur klasik atau kitab turats yang dalam kalangan
pesantren biasa disebut dengan kitab kuning ada yang menyebutkan mahram
dengan istilah mawani’ (‫)موانع‬, ini bentuk jamak dari mufrad mani’ (‫ )مانع‬yang

artinya perkara yang mencegah. Berarti jika ada istilah mawani’ an- nikah ( ‫موانع‬

‫ )النكاح‬maka yang dimaksud adalah perkara-perkara yang mencegah terjadinya


pernikahan.2 Kedua istilah diatas baik mahram maupun mawani’ mempunyai
maksud yang sama yaitu sesuatu yang dapat mencegah atau mengharamkan
terjadinya pernikahan.

2
Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 56.

4
Sedangkan mahram menurut sebagian ulama ahli fiqh diantaranya:3

1. Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah : Mahram adalah semua orang


yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan
dan pernikahan.
2. Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah : Mahram adalah orang-orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman
dan lain-lain.

3. Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : Mahram wanita adalah suaminya dan


semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab
seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain
seperti saudara sepersusuannya, ayah ataupun anak tirinya.

4. Menurut Imam An-Nawawi

‫كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها‬

"Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebabkan sesuatu


yang mubah, karena statusnya yang haram”.4

Dari beberapa pengertian tentang mahram yang disebutkan oleh para ulama
diatas dapat diketahui bahwa pengertian-pengertian tersebut lebih bersifat khusus,
yaitu mendefinisikan mahram dengan cenderung condong terhadap sub-sub bagian
dari mahram itu sendiri, walaupun dalam kenyataannya dalam pembagian mahram
sendiri oleh para ulama dibedakan antara mahram muabbad (bersifat selamanya)
dan mahram muaqat (bersifat sementara).
Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti
bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan. Masalah

3
Sahrani, Sohari, Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009), h .98.
4
Abu Zakaria Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf An-Nawawi, Al-Manhaj Syarah Shahih Muslim, Juz IX
(Cet. II; Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H), h. 105.

5
tentang Mahram disinggung didalam Al-Qur’an seperti dalam surahan-Nisa ayat
23:
‫ت‬ ْ
ِ ‫األخ‬ ُ‫ع َّمات ُ ُك ْم َوخَاالت ُ ُك ْم َو َبنَاتُ األخِ َوبَنَات‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم أ ُ َّم َهات ُ ُك ْم َوبَنَات ُ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم َو‬ ْ ‫ُح ِ ِّر َم‬
َ ‫ت‬
َ ‫ع ِة َوأ ُ َّم َهاتُ ِن‬
‫سا ِئ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الالتِي ِفي‬ َ ‫ضا‬ َّ َ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم ِمن‬
َ ‫الر‬ َ ‫َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم الال ِتي أ َ ْر‬
َ ‫سا ِئ ُك ُم الال ِتي دَخ َْلت ُ ْم ِب ِه َّن فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ُكونُوا دَخ َْلت ُ ْم ِب ِه َّن فَال ُجنَا َح‬
‫علَ ْي ُك ْم َو َحال ِئ ُل‬ َ ‫ور ُك ْم ِم ْن ِن‬
ِ ‫ُح ُج‬
‫ورا َر ِحي ًما‬ ً ُ‫غف‬
َ َ‫َللاَ َكان‬ َ َ‫سل‬
َّ ‫ف إِ َّن‬ َ ‫األختَي ِْن إِال َما قَ ْد‬ ْ َ‫صالبِ ُك ْم َوأ َ ْن تَجْ َمعُوا بَيْن‬ ْ َ ‫أ َ ْبنَائِ ُك ُم الَّذِينَ ِم ْن أ‬
)23/‫(النساء‬
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”5

2.2 Pembagian Mahram

َ ‫ َو َم َوانِ َع‬.ٍ‫ َم َوانِ َع ُم َؤبَّدَة‬:‫ش ْر ِعيَّةُ بِ ْال ُج ْملَ ِة ت َ ْنقَ ِس ُم أ َ َّو ًال إِلَى قِ ْس َمي ِْن‬
ٍ‫غي ِْر ُم َؤبَّدَة‬ َّ ‫َو ْال َم َوانِ ُع ال‬

،‫ص ْه ٌر‬
ِ ‫ َو‬، ٌ‫سب‬
َ َ‫ ن‬:‫ث‬ َ ‫ فَ ْال ُمتَّفَ ُق‬.‫ َو ُم ْختَلَفٍ فِي َها‬،‫علَ ْي َها‬
ٌ ‫علَ ْي َها ث َ َال‬ ٍ َ‫ ُمتَّف‬:‫َو ْال َم َوانِ ُع ْال ُم َؤبَّدَة ُ ت َ ْنقَ ِس ُم ِإلَى‬
َ ‫ق‬
‫ضاع‬
َ ‫َو َر‬

ُ َ‫اللِّع‬
‫ان‬ ُ َ‫َو ْال ُم ْختَل‬
ِّ ِ :‫ف فِي َها‬
ِ ‫ َو‬،‫الزنَى‬

5
QS. An-Nisa (4): 23.

6
ِ ِّ ‫الر‬
‫ق‬ ِّ ِ ‫ َمانِ ُع‬:‫ث‬ ُ ‫ َمانِ ُع ْال َج ْمعِ َوالثَّا ِل‬:‫ َمانِ ُع ْال َعدَ ِد َوالثَّانِي‬:‫ أ َ َحدُهَا‬:ٍ‫غي ُْر ْال ُم َؤبَّدَةٍ ت َ ْنقَ ِس ُم ِإلَى تِ ْسعَة‬َ ‫َو‬
ِ‫ َمانِ ُع ْال ِعدَّة‬:‫سابِ ُع‬َّ ‫ض َوال‬ ِ ‫ َمانِ ُع ْال َم َر‬:‫ِس‬
ُ ‫ساد‬ َّ ‫اْلحْ َر ِام َوال‬ ِ ْ ‫ َمانِ ُع‬:‫س‬ ِ ‫ َمانِ ُع ْال ُك ْف ِر َو ْالخ‬:‫الرا ِب ُع‬
ُ ‫َام‬ َّ ‫َو‬
6 َّ ‫ َمانِ ُع‬:‫ق َوالتَّا ِس ُع‬
‫الز ْو ِجيَّ ِة‬ َ ‫ق ث َ َالثًا ِل ْل ُم‬
ِ ِّ‫ط ِل‬ ِ ‫ط ِلي‬ ِ َّ ‫عدَ ِم ت َأ ْ ِبي ِد ِه َوالث‬
ْ َّ ‫ َمانِ ُع الت‬:‫ام ُن‬ ْ ‫علَى‬
َ ‫اختِ َالفٍ فِي‬ َ

Seperti yang telah disebutkan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah


al-Muqtashid bahwa perkara-perkara yang dapat mencegah terjadinya pernikahan
(‫ ) ْال َم َوانِ ُع ال َّش ْر ِعيَّ ُة فى النكاح‬secara global dibagi menjadi dua, yaitu: muabbadah dan
ghairu muabbadah.

2.2.1 Muabbadah

Mahram muabbadah adalah wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi untuk


selama-lamanya. Mahram muabbadah dibagi menjadi dua,

a. Disepakati: [1] karena nasab, [2] karena ikatan perkawinan (mushaharah),


[3] karena persusuan (radha’ah).

b. Diperselisihkan: [1] karena zina, [2] karena sumpah li’an

1. Mahram Muabbadah yang Disepakati


a. Sebab Nasab

Mahram dari nasab adalah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam surat
An-nisa’: 23.

ُ‫َاالت ُ ُك ْم َو َبنَاتُ ْاألَخِ َوبَنَات‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم أ ُ َّم َهات ُ ُك ْم َوبَنَات ُ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم َو‬
َ ‫ع َّمات ُ ُك ْم َوخ‬ ْ ‫ُح ِ ِّر َم‬
َ ‫ت‬
.......ِ‫ْاأل ُ ْخت‬

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan

6
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid, Juz III (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 56.

7
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan”.7

Para ulama’ tafsir menjelaskan: “sesungguhnya lelaki yang merupakan


mahram bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat diatas, mereka adalah:

1. ‫( األمهات‬ibu kandung), termasuk al-ummahat ialah ibunya ibu (nenek),


ibunya bapak (nenek) dan seterusnya ke atas.
Kemudian bagi wanita adalah ayah. Termasuk dalam kategori bapak yang
merupakan mahram bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun
dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas.
Adapun bapak angkat, maka dia tidak termasuk mahram berdasarkan firman
Allah SWT.

‫َو َما َج َع َل أ َ ْد ِع َيا َء ُك ْم أ َ ْبنَا َء ُك ْم‬


“….Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu … ” [Al-Ahzab : 4]8

Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya:

ِ ‫َللاِ ۚ فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ْعلَ ُموا آبَا َء ُه ْم فَإ ِ ْخ َوانُ ُك ْم ِفي الد‬


‫ِِّين َو َم َوا ِلي ُك ْم‬ َّ َ‫ط ِع ْند‬ َ ‫عو ُه ْم ِِل َبا ِئ ِه ْم ُه َو أ َ ْق‬
ُ ‫س‬ ُ ‫ا ْد‬
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-
bapak’mereka, itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu…. [Al-Ahzab : 5]9

Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata: “Seluruh ulama tafsir sepakat


bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah
meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: “Dulu tidaklah kami memanggil
Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Allah

7
QS. an-Nisa (4): 23.
8
QS. al-Ahzab (33): 4.
9
QS. al-Ahzab (33): 5.

8
SWT: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-
bapak mereka….”10

Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya
mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak
angkat seperti anak sendiri dalam masalah khalwah dan yang lainnya

Agar tidak rancu, anak angkat di masyarakat kita ada 2:

1. Anak angkat yang sebelumnya adalah mahram. Misalnya, keponakan atau


anak persusuan. Maka yang seperti ini tetaplah mahram

2. Anak angkat yang sebelumnya bukan mahram. Sekalipun dia hidup bersama
orang tua asuh, statusnya tetap bukan mahram.

Maka Allah memerintahkan mereka untuk mengembalilkan nasab mereka


kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Allah
membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat.

2. ‫( البنات‬anak perempuan kandung), termasuk al-banaat ialah cucu


perempuan dan seterusnya ke bawah

3. ‫( األخوات‬saudari perempuan), baik saudari perempuan sekandung, seayah,


maupun seibu

4. ‫( العمات‬saudari perempuannya ayah), baik sekandung, seayah, maupun


seibu

5. ‫( الخاالت‬saudari perempuannya ibu), baik sekandung, seayah, maupun


seibu

10
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Ibn Farah al-Anshari al-Khazraji Syamsuddin
al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Tafsir al-Qurthuby, Juz XIV (Cet, II; Kairo: Dar al-
Kutub al-Mishriyah, 1964), h. 118.

9
6. ‫( بنات االخ‬anak perempuannya saudara laki-laki/keponakan dari saudara
laki-laki)

7. ‫( بنات األخت‬anak perempuannya saudari perempuan/keponakan dari saudari


perempuan)

Berikut ini adalah diagram mahram nikah berdasarkan nasab.

10
b. Sebab Radha’ah
a. Definisi Radha’ah
Radha’ah secara bahasa adalah proses menyedot puting, baik hewan
maupun manusia.
Sedangkan secara istilah syara’ diartikan dengan sampainya air susu
manusia pada lambung anak kecil yang belum genap umur dua tahun.
Sedangkan pengertian radha’ah menurut ulama-ulama madzhab
adalah sebagai berikut: 11
Menurut Hanafiyah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang
perempuan pada waktu tertentu
Menurut Malikiyah masuknya air susu manusia kedalam tubuh yang
berfungsi sebagai gizi
Menurut Syafi’iyah sampainya air susu seorang perempuan kedalam perut
seorang bayi
Menurut Hanabilah seorang bayi dibawah dua tahun yang menghisap
puting payudara peremp uan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum
susu tersebut atau sejenisnya.
Susuan yang dapat menjadi sebab haramnya perkawinan adalah
Susuan yang sempurna, yaitu dimana anak menyusu dan menyedot air
susunya, dan tidak berhenti dari menyusui kecuali dengan kemauannya
sendiri tanpa sesuatu paksaan.12

b. Dalil tentang hubungan mahram dari hubungan persusuan

1. Dari al qur’an : ..........‫عة‬


َ ‫ضا‬ َّ َ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم ِمن‬
َ ‫الر‬ َّ ‫َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم‬
َ ‫الالتِي أ َ ْر‬
“…juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara kalian dari
persusuan…“[an-nisa’:23]13

11
Cholil Uman, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel
Suci, 1944), h. 267.
12
Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz II (Cet, II; Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1977), h. 75
13
QS. An-Nisa’ (4): 23.

11
2. Dalil dari sunnah: ‫ب‬ َ َّ‫ضاعِ َما يَحْ ُر ُم ِم ْن الن‬
ِ ‫س‬ َ ‫الر‬
َّ َ‫يَحْ ُر ُم ِمن‬
“diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab”. [Hr.
Bukhari]

c. Syarat dan Rukun Radha’ah

Menurut jumhur ulama, syarat radha’ah ada 3, yaitu:14


1. Air susu harus berasal dari manusia (‫)لبن األدمية‬
Air susu campuran, dengan makanan, minuman, obat, atau susu sapi,
jumhur Madzhab Abu Hanifah dan ibn qasim dari Malikiyah susu yang
menyebabkan larangan kawin itu menurut kadarnya.
Jika lebih banyak maka mengharamkan dan sebaliknya.
Di dalam hal ini kaidah yang terkenal yaitu “apabila airnya lebih banyak
dari pada air susu dianggap air. dan bilamana air susunya lebih banyak
dari campurannya, maka dianggap air susu juga”.
Madzhab syafi’iyah dan ibn Majsyun dari ashab Malik, yang
penting masih ada susunya maka menjadi mahram.

2. Air susu masuk kedalam perut bayi (‫)وصول الى جوف طفل‬
Baik melalui isapan langsung dari puting payudara maupun melalui
alat penampung susu, sepertt gelas, botol dan lain lain.

3. Bayi belum berusia dua tahun )‫)دون الحولين‬


Menurut madzhab fiqh empat dan jumhur ulama, susuan itu harus
dilakukan pada usia anak sedang menyusu.

14
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Cet, XI; Damaskus: Dar al-Fikr), h.
129.

12
Menurut jumhur ulama rukun radha’ah ada 3, yaitu:
1. Anak yang menyusu (‫)الرضيع‬

2. Perempuan yang menyusui (‫)المرضعة‬

Jumhur sepakat wanita yang menyusui disyaratkan adalah seorang


wanita, baik dewasa, dalam keadaan haid, hamil atau tidak, sudah bersuami
maupun belum.

Sedangkan wanita yang sudah meninggal, ulama berbeda pendapat


imam syafi’i, tidak bisa mengharamkan Abu hanifah dan imam Malik tetap
mengharamkan.
3. Kadar air susu (‫ )مقدار اللبن‬yang memenuhi batas minimal

d. Batasan-batasan mengenai Mahram Susuan


Batasan-batasan mengenai mahram lebih lanjut lagi akan di
terangkan di bawah ini.
1. Jumlah susuan

Secara zhahir segala macam susuan dapat menjadi sebab haramnya


perkawinan. Tetapi sebenarnya tidak benar, kecuali karena susuan yang
sempurna, yaitu dimana anak menyusu dan menyedot air susunya, dan tidak
berhenti dari menyusui kecuali dengan kemauannya sendiri tanpa sesuatu
paksaan.15
Jika ia baru menyusu sekali atau dua kali hal ini tidak menyebabkan
haramnya kawin, karena bukan disebut menyusu dan tidak pula bisa
mengenyangkan.

‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :

‫َان‬
ِ ‫صت‬ َّ ‫الَت ُ َح ِ ِّر ُم ا ْل َم‬
َّ ‫صةَ َوالَ اْل َم‬
“Tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan” (H.R. Jama’ah,
kecuali Bukhari).

15
Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz II, h. 75.

13
Para ulama telah berbeda pendapat tentang kadar persusuan yang
menimbulkan pertalian persusuan. Hal ini akibat adanya beberapa riwayat
hadits yang mengandung keterangan yang berbeda satu sama lain, yang
masing-masing dikuatkan ataupun dilemahkan berdasarkan pertimbangan
para ulama dari berbagai madzhab. Di antara pendapat-pendapat tersebut
adalah:16
a. Menurut madzhab syafi’i dan ahmad (dalam salah satu di antara dua
pendapatnya) serta ibn hazm: Paling sedikit lima kali susuan
mengenyangkan, dalam beberapa waktu yang berlainan.
b. Menurut abu hanifah, malik, dan salah satu dalam madzhab ahmad:
Tidak ada batasan jumlah susuan yang mengakibatkan keharaman
menikah.
c. Abu daud azh-zahiri, abu tsaur dan ibn al-mundzir: tiga kali susuan
Dinyatakan dalam kitab bidayatul mujtahid silang pendapat ini
disebabkan oleh adanya pertentangan antara keumuman ayat al-qur’an
dengan hadits yang memuat pembatasan, di samping pertentangan antara
hadits itu sendiri satu dengan lainnya. Keumuman firman Allah tersebut
ialah:

َّ ‫َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم‬


َ ‫الالتِي أ َ ْر‬
‫ض ْعنَ ُك ْم‬

Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu. ( Q.S. Al-Nisa (4): 23 )


Ayat ini menghendaki keharaman setiap yang dikatakan susuan.
Sedangkan hadits yang saling bertentangan mengenai masalah ini
berpangkal pada dua hadits.

ِ ‫الت ُ َح ِ ِّر ُم اْ ِْل ْمالَ َجةُ َوالَ اْ ِْل ْمالَ َجت‬: ‫م‬.‫قال الرسول هللا ص‬
‫َان‬

Rasulullah saw bersabda: “Tidak mengharamkan satu kali sedotan


atau dua kali sedotan”.

16
Muhammad Bagir Al-Habsyi, “Fiqh Praktis”, (Bandung: Mizan, 2002), h. 17.

14
Kedua: Hadits Salhah yang berkenaan dengan Salim, bahwa Nabi
saw. berkata kepadanya:

ٍ ‫ض َعا‬
‫ت‬ َ ‫س َر‬ ِ ‫ا َ ْر‬
َ ‫ض ِع ْي ِه خ َْم‬
“Susukanlah dia lima kali susuan”.
Bagi fuqaha yang lebih menguatkan lahir kata-kata al-Qur’an atas
hadits-hadits ini, maka mereka mengatakan bahwa satu atau dua kali
sedotan sudah diharamkan.
Sedang bagi fuqaha yang mendudukan hadits tersebut sebagai
tafsiran atas ayat al-Qur’an, dan menggabungkan antara hadits-hadits
dengan al-Qur’an, serta lebih menguatkan mafhum dalil khithab pada sabda
Nabi saw.: “Tidak mengharamkan satu kali sedotan atau dua kali sedotan”,
atas mafhum dalil khithab pada hadits tentang Salim, maka mereka
mengatakan bahwa tiga kali sedotan ke atas itulah yang mengharamkan.17

2. Usia menyusu

Firman Allah:

َ‫عة‬
َ ‫ضا‬ َّ ‫املَي ِْن ِل َم ْن أ َ َرادَ أ َ ْن يُتِ َّم‬
َ ‫الر‬ ِ ‫َو ْال َوا ِلدَاتُ ي ُْر‬
ِ ‫ض ْعنَ أ َ ْو َالدَ ُه َّن َح ْولَي ِْن َك‬

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,


yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (Al-Baqarah: 233).

Fuqaha telah sependapat bahwa menyusu pada usia dua tahun


mengharamkan.18 Kemudian mereka berselisih pendapat tentang penyusuan
anak yang sudah besar.
a. Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan lainnya berpendapat bahwa
penyususan anak besar tidak mengharamkan.
b. Daud dan fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa penyusuan tersebut
mengharamkan. Ini juga pendapat ‘Aisyah ra. Sedang pendapat jumhur

17
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 60.
18
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 60.

15
fuqaha (di atas) merupakan pendapat Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Umar ra.,
Abu Hurairah ra., Ibnu Abbas ra., dan seluruh istri Nabi saw.

Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara hadits-


hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut. Demikian itu karena dalam hal ini
terdapat dua hadits.19

Pertama: Hadits tentang Salim yang telah disebutkan di muka.


Kedua: Hadits ‘Aisyah ra. Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
berikut ini:

ُ‫فَقُ ْلت‬,‫ب ِفى َوجْ ِه ِه‬ َ َ‫ع َل ْي ِه َو َرأَيْتُ الَغ‬


َ ‫َض‬ َ َ‫ِى َر ُج ٌل فَا ْشتَدَّ ذَالِك‬
ْ ‫ َو ِع ْند‬.‫م‬.‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫ دَ َخ َل َر‬: ‫ت‬ ْ َ‫قَال‬
ُ ‫ أ ُ ْن‬,‫سالَ ُم‬
َ‫ُظ ْرنَ َم ْن إِ ْخ َوانُ ُك َّن مِن‬ َّ ‫علَ ْي ِه ال‬
َّ ‫صالَة ُ َوال‬ َ ‫ع ِة فَقَا َل‬
َ ‫ضا‬ َ ‫الر‬ َّ َ‫ إِنَّهُ ا َ ِخ ْى ِمن‬,ِ‫س ْو َل هللا‬ُ ‫ار‬
َ َ‫ ي‬:
.‫ع ِة‬َ ‫عةَ ِمنَ اْل َم َجا‬
َ ‫ضا‬
َ ‫الر‬َّ ‫ع ِة فَا َِّن‬
َ ‫ضا‬َ ‫الر‬َّ

“ ‘Aisyah berkata: Rasulullah saw. masuk kerumahku, sedang aku mempunyai


tamu seorang lelaki, maka hal itu membuat beliau marah, dan aku melihat (tanda-
tanda) kemarahan di wajahnya. Kemudian aku berkata, “ya Rasulullah,
sesungguhnya ia adalah saudaraku sesusuan. “ maka berkatalah Nabi saw., “
Perhatikanlah siapa saudara-saudaramu sesusuan, karena sesungguhnya
penyususan itu disebabkan kelaparan.
Bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits terakhir ini, maka mereka
mengatakan bahwa air susu yang tidak dapat berfungsi sebagai makanan bagi orang
yang menyusu, tidak menyebabkan keharaman.
Hanya saja, hadits tentang Salim merupakan suatu kejadian yang nyata, dan
seluruh istri Nabi saw. menganggap kejadian tersebut sebagai suatu kemurahan
(rukhshah) bagi Salim sendiri.
Sedang bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits tentang Salim, dan
menganggap hadits ‘Aisyah ra. (ada celanya). Karena mereka sendiri tidak
menggunakannya, maka mereka mengatakan bahwa penyusuan anak besar
menyebabkan keharaman.

19
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 61.

16
Bagi fuqaha yang berpendapat adanya pengaruh penyusuan pada usia
menyusu, baik mereka yang mensyaratkan tidak adanya penyapihan atau tidak
mensyaratkan demikian, maka mereka berselisih pendapat tentang masa tersebut.

3. Penyusuan Tambahan Sesudah Berhenti Menyusu.

Fuqaha berselisih pendapat mengenai, apabila seorang anak tidak


membutuhkan lagi (susu) sebelum berusia dua tahun, lalu disapih, kemudian
disusui lagi oleh perempuan lain.
a. Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak
mengharamkan.
b. Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa penyusuan tersebut
menyebabkan keharaman.

Silang pendapat ini disebabkan oleh silang pendapat mereka


tentang mafhum sabda Nabi SAW :
َ ‫عةُ ِمنَ ال َم َجا‬
‫ع ِة‬ َ ‫ضا‬ َّ ‫فَ ِا نَّ َما‬
َ ‫الر‬
Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah disebabkan kelaparan.

Boleh jadi, yang dimaksud oleh hadits ini adalah penyusuan yang terjadi
pada masa (usia) lapar – betapapun juga keadaan anak itu – yaitu usia menyusu.
Dan boleh jadi pula bahwa yang dimaksud adalah, apabila anak tersebut belum
disapih. Apabila telah disapih dalam usia dua tahun, maka bukan penyusuan karena
kelaparan. Jadi, silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan, apakah yang
dijadikan tolak ukur bagi penentuan penyusuan yang disebabkan oleh kelaparan dan
kebutuhan akan air susu? Apakah kebutuhan yang alami bagi anak-anak, yaitu
kebutuhan yang disebabkan oleh usia menyusu, ataukah kebutuhan anak yang
menyusu itu sendiri, yang dalam hal ini akan hilang dengan adanya penyapihan,
tetapi kebutuhan itu sendiri memang ada.
Bagi fuqaha yang berpendapat adanya pengaruh penyusuan pada usia
menyusu, baik mereka yang mensyaratkan tidak adanya penyapihan atau tidak
mensyaratkan demikian, maka mereka berselisih pendapat tentang masa tersebut.20

20
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 61.

17
a. Zufar berpendapat bahwa masa tersebut adalah dua (2) tahun.
b. Dalam menetapkan keharaman, Imam Malik mensunnahkan sedikit
penambahan waktu dari dua (2) tahun. Menurut salah satu riwayat
daripadanya, tambahan tersebut adalah satu (1) bulan. Dan menurut
riwayat yang lain, tiga (3) bulan.
c. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa tersebut adalah dua tahun
enam bulan.

Silang pendapat ini disebabkan oleh kemungkinan terdapatnya pertentangan


antara ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah penyusuan dengan hadits
‘Aisyah ra. Yang disebutkan di muka. Firman Allah tersebut:

ِ ‫َو ْال َوا ِلدَاتُ ي ُْر‬


ِ ‫ض ْعنَ أ َ ْو َالدَ ُه َّن َح ْولَي ِْن َك‬
‫املَي ِْن‬

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh”. (Q.S.
al-Baqarah, 2: 233)
Ayat ini memberi pengertian bahwa penyusuan yang lebih dari dua
(2) tahun bukan merupakan penyusuan karena kelaparan (kebutuhan) akan air susu.

Sedang keumuman sabda Nabi saw:

َ ‫عةُ ِمنَ ال َم َجا‬


‫ع ِة‬ َ ‫ضا‬ َّ ‫فَ ِا نَّ َما‬
َ ‫الر‬

“Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah disebabkan kelaparan.”


Menghendaki bahwa selama makanan anak kecil masih berupa air susu,
maka penyususan tersebut menyebabkan keharaman.21

ُ ‫) ْال َو ُج‬
4. Memasukkan Air Susu Tanpa Melalui Penyusuan (ُ‫ور َوال َّلدُود‬
Apakah al-wajur wa ‘I-ladud adalah memasukkan air susu ke dalam
kerongkongan tanpa melalui penyusuan. Menyebabkan keharaman apa tidak?

21
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 61.

18
a. Imam Malik berpendapat al-wajur wa ‘I-ladud menyebabkan
keharaman. Dikarenakan ia lebih memperhatikan masuknya air susu -
dengan bagaimana pun juga masuknya.

b. Atha’ dan Daud berpendapat bahwa tidak menyebabkan keharaman.


Dikarenakan ia lebih memperhatikan cara masuknya air susu tersebut
dengan cara yang biasa, yakni yang disebut al-radha’ (penyusuan),
maka mereka mengatakan bahwa al-wajur wa ‘I-ladud
tidak mengharamkan.

5. Air Susu Campuran


a. Menurut madzhab Hanafi, Al-Muzani dan Abu Tsaur dari kalangan
madzhab Syafi,i.
Apabila air susu seorang ibu bercampur dengan makanan, minuman,
obat, susu sapi dan sebagaimana yang dimakan oleh si anak, kalau susu dari
si ibu yang menyusui lebih banyak kadarnya maka perempuan yang
mengeluarkan air susu itu menjadi haram untuk dikawin. Apabila kadarnya
lebih sedikit tidak menyebabkan haram.22

b. Asy-syafi,i dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa di susu


yang menyebabkan larangan kawin itu menurut kadarnya. Apabila
dicampur tetap ada susunya atau tidak.
Sebenarnya dalam masalah ini harus dilihat kadar susu yang
bercampur itu, apakah masih dapat disebut susu atau tidak, apabila masih
disebut susu maka menyebabkan haram dan kalau tidak maka tidak
menyebabkan haram.
Di dalam hal ini kaidah yang terkenal yaitu “apabila airnya lebih
banyak dari pada air susu dianggap air. Dan bilamana air susunya lebih
banyak dari campurannya, maka dianggap air susu juga”.23

22
H.S.A Al-Hamdani, (Alih Bahasa oleh Drs. Agus Salim) : Risalah Nikah, Hukum Perkawinan
Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 66.
23
Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz II, h. 77.

19
6. Persaksian Atas Penyusuan
Yaitu kesaksian yang dikemukakan oleh orang yang mengetahui
secara pasti bahwa laki-laki dan wanita itu sepersusuan. Para ulama berbeda
pendapat tentang berapa jumlah saksi yang diperlukan, diantaranya:24
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa untuk kesaksian penyusuan ini
diperlukan dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan, kesaksian hanya oleh seorang perempuan tidak dapat
diterima berdasarkan firman Allah SWT :

ِ ‫ش ِهيدَي ِْن ِم ْن ِر َجا ِل ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َو ْام َرأَت‬


َ ‫َان ِم َّم ْن ت َْر‬
‫ض ْو‬ َ ‫َوا ْست َ ْش ِهدُوا‬
‫اء‬ ُّ ‫نَ ِمنَ ال‬
ِ َ‫ش َهد‬
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”.(Al-Baqarah : 282).

b. Asy-Syafi’i berpendapat bahwa untuk kesaksian penyusuan ini


diperlukan empat orang saksi perempuan, karena dua (2) orang
perempuan sama dengan seorang laki-laki dan biasanya kaum wanitalah
yang dapat menyaksikan penyusuan seperti biasanya orang perempuan
menyaksikan kelahiran anak.
c. Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya berpendapat bahwa seorang
perempuan dapat diterima kesaksiannya dalam kesaksian tentang
penyusuan anak. Mereka beralasan dengan hadits budak hitam yang
berkata kepada Uqbah ibnul Harits:
َ ‫قَ ْد أ َ ْر‬
َ ‫ض ْعت ُ ُكما‬
Artinya : “ Saya telah menyusui kalian berdua”.
Dan Nabi saw tidak menanyakan siapa yang menyaksikannya selain
dirinya sendiri.
d. Madzhab Maliki berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita sebelum
akad adalah tidak sah kecuali ibu laki-laki itu sendiri. Adapun kesaksian
seorang laki-laki dengan seorang wanita ataupun kesaksian dua orang
wanita dapat diterima dengan syarat di ungkapkan sebelum akad.

24
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 63.

20
e. Mahram dari radha’ah atau sepersusuan adalah sebagai berikut:
1. Wanita yang menyusui dan ibunya.
2. Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
3. Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
4. Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak
dari saudara persusuan).
5. Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
6. Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
7. Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari
saudara persusuan).
8. Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
9. Istri lain dari suami dari wanita yang menyusui.

21
c. Sebab Musaharah (Perkawinan)
a. Definisi Musaharah

Musaharah berasal dari kalimat : ash-shihr. Berkata imam ibnu atsir :


“shihr adalah mahram karena pernikahan”.25
Berkata syaikh abdul karim zaidan: “mahram wanita yang disebabkan
musaharah adalah orang-orang yang haram menikah dengan wanita tersebut
selama-lamanya seperti ibu tiri, menantu perempuan, mertua perempuan”.

Firman Allah ta’ala:


‫اء‬
ِ ‫س‬َ ِّ‫َو َال ت َ ْن ِك ُحوا َما نَ َك َح آبَاؤُ ُك ْم ِمنَ ال ِن‬
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu (ibu tiri)… [an nisa’ : 22]

b. Sebab-sebab Hurmatul Musaharah26

 Hanafiyah, akad yang sah dan wathi’ baik dengan akad yang sah,
fasid maupun karena zina.
 Malikiyah, akad yang sah dan akad yang rusak (fasid) yang telah
berhubungan badan.
 Syafi’iyah, akad yang sah bagi yang pengharamnnya cukup dengan
akad dan akad yang rusak (fasid) bagi orang yang disyaratkan
bersetubuh dalam pengharamannya, seperti ibu, karena anak
perempuannya tidak diharamkan kecuali bersetubuh dengan ibunya.
 Hanabilah, akad yang sah, akad yang rusak (fasid), zina baik dari
qubul maupun dubur dan liwath (sodomi).

25
Slamet, Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1999), h. 101.
26
Abdurrahman bin Muhammad ‘aud al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz IX, (Cet,
II; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 62.

22
c. Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoharah) ada empat
wanita:

 ‫( زوجة االب‬isteri ayah/ibu tiri) istri kakek (nenek tiri), dan


seterusnya ke atas, para fuqaha sepakat bahwa semata-mata karena
akad (sekalipun belum terjadi hubungan seksual antara ayah dengan
isterinya) sudah mengakibatkan keharaman menikahi ibu tiri.

 ‫بنت الزوجة‬, anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah
melakukan hubungan badan dengan ibunya.

 ‫( أم الزوجية‬ibunya istri/ibu mertua) nenek istri dan seterusnya ke


atas, meskipun hanya dengan akad.

Untuk Bintu az-zaujah dan Ummu zaujiyyati ada kaidah


ushul yang mengatakan.

27
‫ والدخول باألمهات يحرم البنات‬،‫يحرم األمهات‬
ِّ ‫العقد على البنات‬

“Akad terhadap anak perempuan cukup untuk


mengharamkan ibunya (mertua perempuan), sedangkan
menyetubuhi (dalam ikatan pernikahan) terhadap ibunya baru
dapat mengharamkan anak perempuannya (anak tiri).”

 ‫( زوجة االبن‬menantu perempuan), istri cucu, dan seterusnya


kebawah.

Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, (Cet, III; Beirut:
27

Maktabah al-Ghazali, 1980), h. 455.

23
2. Mahram Muabbadah yang Diperselisihkan
a. Sebab Zina

Mani’u az-zina (penghalang perkawinan karena perbuatan zina). Ialah


bahwa perbuatan zina itu menjadi penghalang bagi perkawinan terhadap orang yang
masih bernasab dengan pezina tersebut.

Contoh, jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, apakah


anak dari perempuan tersebut (pezina) atau ibunya haram untuk dinikahi?

• Menurut Imam Hanafi haram menikahinya


• Menurut Imam Syafi’i tidak haram menikahinya, karena perbuatan yang
haram tidak mengharamkan sesuatu yang halal

Silang pendapat ini disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan lafadz


(‫)النكاح‬, apakah makna hakikat dari nikah adalah bersetubuh (‫ )الوطء‬atau akad
(‫)العقد‬. Ulama yang berpendapat bahwa makna hakikat nikah adalah bersetubuh,
maka zina menjadi penghalang dari pernikahan, sedangkan ulama yang
berpendapat bahwa makna hakikat nikah adalah akad, maka zina tidak menjadi
penghalang dari pernikahan.

24
Ulama Hanafiyah lebih mengunggulkan bahwa yang dimaksud nikah adalah
bersetubuh (‫)الوطء‬, Mereka mengatakan bahwa nikah secara hakikat adalah

bersetubuh (‫ )الوطء‬sedangkan secara majaz adalah akad (‫)العقد‬. Jika yang dimaksud

nikah adalah bersetubuh, maka tidak ada perbedaan antara bersetubuh (‫ )الوطء‬yang
halal dan yang haram.

Sedangkan Ulama Syafi’iyah lebih mengunggulkan bahwa yang dimaksud


nikah adalah akad. Mereka mengatakan bahwa diantara dalil yang menunjukan itu
adalah dari segi pengamatan yang mendalam bahwa Allah SWT menjadikan
keharaman sebab musaharah (perkawinan) karena untuk memuliakannya, seperti
halnya menjadikan keharaman dari nasab. Kemudian bagaimana menjadikan
pengharaman ini karena zina sedangkan zina adalah sesuatu yang jelek dan
menjijikan.28

Untuk pengharaman menikahi si wanita pezina tersebut baik oleh laki-laki


yang berzina dengannya ataupun laki-yang tidak berzina dengannya oleh para
ulama di klasifikasikan terhadap mahram muaqqat (mahram yang bersifat
sementara).

Dasar hukumnya ialah firman allah surat an-nur ayat 3:

‫الزانى ال ينكح إالِّ زانية أو مشركة والزانية ال ينكحها إال زان او مشرك وحرم ذلك على‬
)3 :‫المؤمنين (النور‬

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang


berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.”

28
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, h. 457.

25
Maksud ayat di atas ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan wanita
yang berzina, demikian pula sebaliknya. Para ulama berbeda pendapat tentang haram atau
tidaknya laki-laki mu’min mengawini wanita pezina.

Penyebab perbedaan pendapat dalam masalah ini ialah apakah larangan dalam ayat
3 surat an-Nisa di atas sebagai celaan atau menunjukkan keharaman. Lebih lanjut, apakah
lafadz dzalika dalam firman Allah di atas (wa hurima dzalika) itu menunjuk kepada zina
atau nikah. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa bahwa ayat 3 surat an-nisa’ itu
menunjukkan dzam (celaan) bukan mengharamkan.29

Para ulama sepakat bahwa laki-laki pezina boleh menikahi wanita yang
berzina dengannya. Sedangkan jika laki-laki yang bukan pezina menikahi wanita
pezina para ulama berbeda pendapat.30

• Hasan Basri mengatakan bahwa zina merusak pernikahan


• Jumhur ulama berpendapat boleh menikah

Kemudian jumhur Ulama berbeda pendapat dalam perinciannya:

• Hanafiyah, jika wanita tidak hamil maka sah menikahinya walaupun


laki-laki yang bukan pezina, begitu juga jika wanita tersebut hamil
maka tetap boleh menikahinya akan tetapi tidak boleh
menyetubuhinya sampai wanita tersebut melahirkan.
• Abu Yusuf dan Zufar, tidak diperbolehkan menikahi wanita hamil
dari zina, seperti halnya tidak sah menikahi wanita hamil yang bukan
karena zina.
• Malikiyah, tidak diperbolehkan menikahi wanita pezina kecuali
setelah tebebasnya perempuan dari zina dengan tiga (3) kali haid
atau tiga bulan. Jika menika wanita sebelum terbebas dari zina
(‫ )استبراء‬maka akadnya adalah fasid dan wajib merusaknya, baik si
wanita sudah jelas hamil ataupun belum. Kemudian ada yang

29
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 64.
30
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, h. 141.

26
berpendapat bahwa (‫ )استبراء‬adalah penyucian rahim, yakni
melahirkan anaknya bagi yang hamil atau setelah selesai satu kali
haid bagi yang tidak mengandung.
• Syafi’iyah, sesungguhnya berzina dengan perempuan tidak
mengharamkan untuk menikahinya.
• Hanabilah, jika seorang wanita berzina maka tidak halal bagi orang
yang mengetahuinya untuk menikahi wanita tersebut kecuali dengan
dua syarat:
1. Selesai masa ‘iddahnya, jika wanita tersebut hamil maka
‘iddahnya sampai melahirkan. Maka tidak halal menikahinya
sebelum melahirkan.
2. Wanita sudah bertaubat dari perbuatan zina.

b. Sebab Sumpah Li’an

Sumpah li’an yaitu sumpah yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya
karena suami menuduh istrinya berbuat zina dengan laki-laki lain atau suami
mengingkari kehamilan isteri dari perbuatannya.

Tuduhan zina atau pengingkaran kehamilan itu dilakukan dengan cara


suami mengucapkan empat kali dan sumpah/peraksian dan sumpah yang kelima
disertai sumpah bahwa tuduhnnya itu benar, suami bersedia menerima laknat Allah
kalau jika tuduhannya itu bohong. Atas tuduhan suaminya itu, istri dapat terbebas
dari sanksi pidana zina apabila ia mau bersumpah empat kali bahwa tuduhan
suaminya itu bohong dan sumpahnya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia
bersedia menerima murka Allah jika tuduhan suaminya itu benar. Dasar hukum
sumpah li’an ialah firman Allah surat an-Nur ayat 6-8:

ُ‫اَّللِ ۙإِنَّه‬
َّ ِ‫ت ب‬ َ ‫ش َهادَة ُ أ َ َح ِد ِه ْم أ َ ْربَ ُع‬
ٍ ‫ش َهادَا‬ ُ ُ‫ش َهدَا ُء إِ َّال أ َ ْنف‬
َ َ‫س ُه ْم ف‬ ُ ‫َوالَّذِينَ يَ ْر ُمونَ أ َ ْز َوا َج ُه ْم َولَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه ْم‬
َّ ‫لَ ِمنَ ال‬
َ‫صا ِدقِين‬

27
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar.”31

Setelah terjadi prosesi mula’anah (saling meli’an) antara suami istri, maka
terputuslah perkawinan mereka. Setelah putus perkawinan itu apakah suami yang
telah meli’an istrinya itu masih mungkin kembali kepada istrinya dengan akad
perkawinan yang baru, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

• Jumhur fuqaha, di antaranya imam Malik, imam asy-Syafi’I, berpendapat


bahwa percerian antara keduanya bersifat selamanya sehingga antara
keduanya tidak diperbolehkan kawin untuk selamanya. Mereka beralasan
dengan hadis Nabi:

‫فرق رسول هللا صلعم بين المتالعنين وقال حسبكما على هللا احدكما كاذب السبيل لك عليها‬

“Rasulullah saw telah menceraikan di antara dua orang yang saling


meli’an dan bersabda “perhitunganmu diserahkan kepada Allah, salah seorang di
antaramu adalah pembohong, tidak ada jalan cara untukmu kembali keadanya”.

• Sementara itu imam Abu Hanifah berpendapat bahwa antara keduanya bisa
kembali membangun perkawinan apabila salah seorang di antara keduanya
mencabut sumpah li’annya.

31
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 139.

28
2.2.2 Mahram Ghairu Muabbadah

Mahram ghairu muabbadah atau dalam beberapa kitab ulama disebut


mahram muaqatah ialah wanita-wanita yang haram untuk dinikahi yang bersifat
sementara waktu.

a. ‫( مانع العدد‬penghalang perkawinan karena bilangan isteri)

Dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat yang berat


dibolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yaitu dua, tiga, dan
maksimal empat orang. Apabila seorang laki-laki sudah beristeri empat
orang, maka tidak diperbolehkan untuk menambah isteri lagi.
Dengan demikian yang dimaksud dengan penghalang perkawinan
karena jumlah isteri ialah ketika seorang laki-laki sudah beristeri empat
orang maka perempuan yang manapun haram untuk dijadikan isteri yang
kelima, karena batas maksimal poligami adalah empat orang iseri. Hal ini
sebagamana disebutkan dalam firman Allah:

…‫وإن خفتم آن ال تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب من النسآء مثنى وثالث ورباع‬
)3 :‫(النسآء‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat....”

b. ‫( مانع الجمع‬penghalang perkawinan karena permaduan)


Diharamkan laki-laki memadu antara dua orang perempuan
bersaudara dalam satu waktu yang bersamaan. Apabila mengawini mereka

29
secara berganti-ganti, umpama seorang laki-laki menikahi seorang wanita
tetapi kemudian isterinya itu meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu
boleh menikahi adik atau kakak mantan isterinya.
Tidak diperbolekan juga mengumpulkan seorang wanita dengan
bibinya (‘ammah maupun khalah). Larangan mengumpulkan dua orang
wanita yang mempunyai hubungan nasab dalam satu perkawinan, seperti
disebutkan di atas adalah didasarkan kepada:

a. Surat an-Nisa’ ayat 23 di atas: ‫وأن تجمعوا بين االختين‬


b. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah:

‫ى نهى أن تجمع بين إمرأةٍ وع ِّمتها وبين أمرأةٍ وخالتها‬


ِّ ‫أن النب‬

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang mengumpulkan


(sebagai isteri) antara seorang wanita dengan ‘ammahnya dan antara
seorang wanita dengan khalahnya.”

c. ‫( مانع الرق‬penghalang perkawinan karena budak)

Para ulama sepakat bahwa budak laki-laki (‫ )عبد‬boleh menikahi

budak perempuan (‫)أمة‬, dan bagi wanita merdeka boleh menikahi budak
perempuan jika dia dan walinya ridla.
Sedangkan para ulama berbeda pendapat bagi laki-laki merdeka
yang menikahi budak wanita.
• Madzhabnya Ibn Qasim, hukumnya boleh secara mutlak
• Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i, tidak boleh kecuali dengan dua
(2) syarat, [1] Tidak ada mahar, [2] Takut kesulitan (menghindari
zina)
Silang pendapat ini disebabkan oleh pertentangan dalil
dalam firman Allah SWT,

30
) 25:‫ (النساء‬.......‫ط ْوال أ َ ْن يَ ْن ِك َح‬
َ ‫َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع ِم ْن ُك ْم‬

“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak


cukup perbelanjaannya untuk mengawini......”

Karena umumnya Firman Allah SWT,

َّ ‫{وأ َ ْن ِك ُحوا األَيَا َمى ِم ْن ُك ْم َوال‬


]32 :‫صا ِل ِحينَ } [النور‬ َ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)....”

d. ‫( مانع الكفر‬penghalang perkawinan karena kekafiran)


Ulama sepakat tidak boleh menikahi wanita-wanita kafir atau
musyrikah, yaitu wanita yang menyembah berhala dan bukan pemeluk
agama samawi.32 Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 221.
ِ ‫َوال ت َ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
]221 :‫ [البقرة‬.....‫ت َحتَّى يُؤْ ِم َّن‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman....”

Wanita muslimah hanya boleh kawin dengan laki-laki muslim dan


tidak boleh kawin dengan laki-laki kafir.
Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
221 dan surat al-Mumtahanah ayat 10.

]10 :‫ِ [الممتحنة‬.......‫ص ِم ْال َك َوافِر‬


َ ‫َوال ت ُ ْم ِس ُكوا بِ ِع‬
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir;”

Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, h. 283.
32

31
Para ulama sepakat kebolehan seorang muslim menikahi wanita
kitabiyah yang merdeka, akan tetapi bagi wanita muslimah tidak boleh
dinikahkan dengan lelaki kitabi,33 hal ini didasarka pada Firman Allah
SWT, surah al-Baqarah ayat 221.

ِ َّ‫أ ُ ْوالَئِكَ يَ ْدعُونَ إِلَى الن‬


]221 :‫ [البقرة‬..... ‫ار‬
“Mereka mengajak ke neraka,...”
Selain itu wanita muslimah yang dikawinkan dengan laki-laki kafir
akan menggoyahkan aqidah, membahayakan agama si wanita karena
biasanya wanita mengikuti suaminya, termasuk mengikuti agama suami dan
suami akan menariknya kepada kekafiran.

e. ‫( مانع االحرام‬penghalang perkawinan karena ihram)


Orang yang sedang ihram haji ataupun umrah tidak boleh
mengadakan akad nikah, baik untuk dirinya ataupun orang lain. Aqad nikah
yang dilakukan pada waktu ihram menjadi batal. Hal ini didasarkan kepada
hadis riwayat Muslim, bahwa Rasul bersabda:

‫ال يَ ْن َك ُح المحر ُم وال يُ ْنكح وال يخطب‬


Artinya: “Orang yang sedang ihram tidak boleh kawin,
mengawinkan, dan meminang.”
Yang berpendapat bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh
melakukan akad nikah, tidak boleh menikahkan ialah Umar bin Khattab,
Ali, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, malik, asy-Syafi’I, Ahmad.
Adapun ulama Hanafiyah membolehkan mengadakan akad
perkawinan ketika sedang ihram, yang tidak diperbolehkan ialah melakukan
hubungan seksual selama ihram.

33
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, h. 289

32
ِ ‫( َمانِعِ ْال َم َر‬penghalang perkawinan karena sakit)
f. ‫ض‬
Para ulama berbeda pendapat tentang nikahnya orang yang sakit.
• Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, boleh menikah dengan orang
yang sakit.
• Imam Malik, tidak boleh menikah dengan orang yang sakit.

g. ‫( مانع العدة‬penghalang perkawinan karena menjalani iddah)


Ulama sepakat wanita yang sedang menjalani iddah, baik iddah cerai
maupun iddah ditinggal mati haram dikawini berdasarkan firman Allah
surat al-Baqarah ayat 228 dan ayat 234
َ ‫َو ْال ُم‬
]228 :‫ [البقرة‬. ٍ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالَثَةَ قُ ُروء‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'.”
‫َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِمن ُك ْم َو َيذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا َيت ََربَّصْنَ ِبأَنفُ ِس ِه َّن أ َ ْر َب َعةَ أ َ ْش ُه ٍر‬
]234 :‫ [البقرة‬...‫ع ْش ًرا‬ َ ‫َو‬
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.”
Sedangkan ulama berbeda pendapat bagi orang yang menikahi
wanita yang sedang iddah serta menyetubuhinya.
• Imam Malik, Auza’i san Laits, kedua suami istri tersebut
terpisah dan tidak halal untuk selamanya.
• Abu Hanifah Syafi’i dan Tsauri, keduanya terpisah, jika
telah selesai masa iddah diantara keduanya maka tidak
masalah menikah lagi untuk yang kedua kalinya.
َ ‫ق ث َ َالثًا ِل ْل ُم‬
ِ ِّ‫ط ِل‬
h. ‫ق‬ ْ َّ ‫( َمانِ ُع الت‬penghalang talak 3 bagi orang yang mentalak)
ِ ‫ط ِلي‬
Talak adalah pernyataan atau sikap atau perbuatan untuk
melepaskan ikatan pernikahan. Bisa juga dikatakan sebagai putusnya
hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau
selamanya.

33
Talak pada umumnya dilakukan oleh suami, tetapi talak juga bisa diajukan
oleh pihak istri. Apabila talak dilakukan oleh suami, maka ada beberapa jenis
talak.34

1. Talak sunni, yakni perceraian yang dilakukan oleh suami yang


mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum
disetubuhinya (sang istri beradaa dalam keadaan suci).
2. Talak bid’i, suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika sang istri
dalam keadaan haid atau berada dalam kondisi suci tapi sang istri sudah
disetubuhi (berhubungan intim).
3. Talak raj’i, yakni perceraian ketika suami mengucapkan talak satu atau
talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya
ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami
tidak dibenarkan melakukan rujuk dengan istrinya kecuali dengan
melakukan akad nikah baru.
4. Talak bain, perceraian pada saat suami mengucapkan atau melafazkan
talak tiga (atau ketiga) kepada isterinya. Isterinya tidak boleh diajak
rujuk kembali kecuali setelah isterinya menikah dengan lelaki lain,
suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan
telah habis iddah dengan suami barunya.
5. Talak ta’liq, yakni suami yang menceraikan isterinya dengan sesuatu
sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku,
maka terjadilah penceraian atau talak.

Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa talak 1 dan talak 2 adalah talak
(cerai) yang memungkinkan si suami untuk kembali ruju’ tanpa akad baru
(termasuk mengajak berhubungan intim) dengan istrinya selama masa iddah
(kurang lebih 3 bulan). Selama masa ‘iddah sang istri tetap berada di rumah suami
dan berhak mendapatkan nafkah lahir. Kenapa tidak boleh dipulangkan dulu ke

34
Ust. Dr. Ahmad Zain An Najah, MA, http://darussalam-online.com/perempuan-yang-haram-
dinikahi-sementara-karena-suatu-sebab-keluarga-sakinah/. Diakses tanggal 27 Mei 2016.

34
rumah mertua? Agar supaya ada potensi untuk ruju’, tumbuh kembali rasa cinta dari
suami sehingga mengatakan “saya mau ruju’ kembali”. Dari penjelasan ini, maka
talak 1 dan talak 2 masuk dalam kategori talak raj’i.

Jika usai masa iddah suami tidak meruju’ istrinya maka disebut dengan talak
bainunah sughra. Maksudnya, sang suami tidak halal berhubungan intim dengan
istrinya kecuali dengan akad nikah baru. Sebab, istri sudah tidak menjadi istrinya
dan tidak ada kewajiban baginya memberikan nafkah.

Jika suami meninggal dunia, dalam keadaan mencerai istrinya (talak 1 atau
talak 2) maka sang istri masih berhak mendapatkan harta warisan. Istri
mendapatkan harta warisan 1/4 jika tidak punya anak, atau mendapatkan
seperdelapan kalau punya anak dari harta suaminya, sebab cerainya masih dalam
masa iddah. Tetapi jika sudah jatuh 3 kali cerai, maka istrinya tidak mendapatkan
harta warisan.

Jadi, misalkan suami A dan istri B menikah. Lalu A mentalak B. Ini disebut
talak 1. Setelah 3 bulan, mereka rujuk. Lalu karena satu dan lain hal, A kembali
mentalak B. Nah, ini disebut talak 2. Meski telah talak 2, A masih boleh rujuk
dengan B. Namun jika A kembali mentalak B, yg otomatis menjadikan talak 3 telah
jatuh, maka A tidak boleh rujuk lagi dengan B, kecuali B menikah dahulu dengan
X, berhubungan intim, lalu si X mentalaknya (minimal talak 1), serta sudah habis
masa iddahnya.

Sedangkan pernyataan talak yang langsung talak 3 ini masih menjadi


perdebatan di kalangan ulama. Namun, jika merujuk pada ayat “Talak (yang dapat
dirujuki) dua kali” (Al Baqarah: 229), banyak ulama yg berpendapat bahwa talak
3 hanya bisa dilakukan setelah 2 kali talak dan 2 kali rujuk.

35
Meski demikian, ada yang berpendapat boleh dilakukan talak langsung talak
3 dengan merujuk pada hadits berikut ini:

“Di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakr, lalu dua
tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar
pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan
talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak itu
masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap
bisa mensahkan talak tiga sekali ucap”. Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga
sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak”. (HR. Muslim)

Merujuk pada hadits di atas, boleh-boleh saja seorang suami langsung


menjatuhkan talak 3 sekaligus. Namun, seperti yang Umar katakan, bahwa
perbuatan langsung talak 3 sebenarnya hal yang tergesa-gesa dan tidak sesuai
dengan aturan Islam yg dulu pernah berlaku, yakni jatuhnya 2 kali talak dan 2 kali
rujuk.

Karena jika seorang suami telah mentalak 3 istrinya, lalu di kemudian hari
menyesal dan ingin rujuk, maka seperti penjelasan-penjelasan di atas, tidak
diperbolehkan rujuk kecuali si istri telah menikah dengan orang lain, disetubuhi
suami barunya, diceraikan (ditalak), dan habis masa ‘iddah. Itu berarti mesti
dilakukan akad nikah baru. Apabila si suami memaksa rujuk dan berhubungan
intim, maka hal tersebut dilarang dan hubungan intimnya bisa dikategorikan
sebagai zina karena dilakukan oleh pasangan yang tidak resmi (dikarenakan telah
terjadi talak 3).

Silakan merujuk pada ayat, “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah


talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah

36
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Al
Baqarah: 230)

Namun, seorang istri yang telah ditalak 3 tidak boleh melakukan pernikahan
dan persetubuhan serta perceraian “pura-pura” hanya agar bisa kembali ke suami
sebelumnya. Hal ini juga dilarang! Pernikahan seperti ini disebut pernikahan
muhallil.

i. ‫( مانع الزوجية‬penghalang perkawinan karena ikatan perkawinan)


Yang dimaksud dengan penghalang perkawinan karena ikatan
perkawinan bahwa perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan
dengan seorang laki-laki haram dikawini oleh siapapun. Bahkan perempuan
yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar baik secara jahr,
terus-terang ataupun secara sindiran, meskipun dengan janji akan dikawini
apabila nanti diceraikan dan sudah habis iddahnya. Keharaman ini berlaku
selama suaminya masih hidup atau belum dicerai. Setelah suaminya mati
atau telah diceraikan, maka ia boleh dikawini oleh siapa saja. Keharaman
mengawini perempuan yang sedang bersuami ini didasarkan kepada firman
Allah surat an-Nis ayat 24:
]24 :‫ [النساء‬.....‫والمحصنات من النسآء إال ما ملكت ايمانكم‬
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki”
Dari ayat di atas menutup kemungkinan berlakunya perkawinan
poliandri dalam Islam.

37
2.2.3 Mahram dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi hukum islam memasukkan pembahasan konsep mahram dalam
bab VI tentang Larangan Kawin.

BAB VI LARANGAN KAWIN


Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya
hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita
karena keadaan tertentu:

38
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah
ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila
pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya
masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah
seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam
masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan
telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.

39
2.3 Implikasi Hukum Mahram Muabbad dan Muaqqat

Hubungan kemahraman yang telah dipaparkan di atas, baik yang muabbad


maupun yang ghairu muabbad, sama menghasilkan konsekuensi hukum lanjutan,
selain tidak boleh terjadinya pernikahan. Di antaranya adalah:

• Kebolehan berkhalwat antara sesama mahram


• Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari
asal ditemani mahramnya.
• Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala,
rambut, tangan dan kaki.

2.3.1 Implikasi Hukum Mahram Muabbad

Hukum menikahi mahram muabbad ialah haram untuk selamanya.


• Larangan perkawinan karena hubungan darah dalam agama
diharamkan begitu juga menurut medis, perkawinan antara keluarga
yang berhubungan darah akan mengakibatkan keturunannya kelak
kurang sehat dan sering cacat, bahkan inteligensinya kadang-kadang
kurang cerdas.
• Larangan perkawinan karena hubungan susuan. Larangan ini
dimaksudkan karena air susu yang telah ditelan oleh si bayi akan
menjadi darah dan daging untuk membentuk fisik bayi.

2.3.2 Implikasi Hukum Mahram Muaqqat

Hukum menikah dengan ghairu muabbad ialah haram untuk


sementara disebabkan adanya suatu penghalang namun apabila penghalang
tersebut tidak ada maka ia boleh dinikahi.

• Kawin karena memadu 2 orang perempuan bersaudara dapat


mengakibatkan terputusnya tali kekeluargaan di antara anggota-

40
anggota keluarga serta menyebabkan munculnya perasaan benci
antar sesama.
• Kawin dengan isteri orang lain atau bekas isteri orang lain yang
sedang iddah mengakibatkan hilangnya hak suami.
• Kawin dengan orang yang sedang ihram menyebabkan
kawinnya tersebut tidak sah.
• Kawin dengan pezina mengakibatkan terserangnya penyakit
yang sebelumnya telah dimiliki oleh seorang pezina tersebut.

2.4.1 Hikmah Mahram Muabbad dan Muaqqat

2.4.1 Hikmah Mahram Muabbad

1. Karena nasab

-Anak akan menghargai dan menghormati ayahnya.

-Terjaga rasa kasih sayang diantara orang tua, maupun keluarga yang lain.

-Perasaan cinta dan sayang dalam kekeluargaan tetap segar selalu.

2. Karena susuan

-Memperluas tali kekeluargaan.

3. Karena perkawinan

-Jiwa suami istri menjadi tenang

-Tertanamnya rasa kasih sayang pada diri mereka dan pada orang-orang
lain yang masih mempunyai hubungan darah daging dengan mereka.

2.4.2 Hikmah Mahram Muaqqat

1. Terhindar dari penyakit

41
2. Manusia dapat hidup dengan bahagia
3. Manusia dapat mencapai ke tingkat yang sangat luhur.
4. Dapat hidup dengan orang yang lebih baik.

2.5 Contoh Problematika Mahram

1. Apa yang dimaksud mahram anak?


Jawab:
Mahram anak adalah istilah bagi seorang anak yang tidak bisa dinikahi oleh
orang tuanya sendiri baik sebab nasab, radha’ah maupun mushaharah.
2. Bolehkah seorang perempuan menikahi anak angkatnya?
Jawab:
Diperinci: Seperti yang telah dijelaskan pada mahram nasab diatas,
• Anak angkat yang sebelumnya adalah mahram. Misalnya,
keponakan atau anak persusuan. Maka yang seperti ini tetaplah
mahram. Maka haram menikahi anak angkatnya.
• Anak angkat yang sebelumnya bukan mahram. Sekalipun dia hidup
bersama orang tua asuh, statusnya tetap bukan mahram. Maka boleh
menikahi anak angkatnya.
3. Apa yang dimaksud anak syubhat?
Jawab:
Anak syubhat adalah anak yang terlahir dari pernikahan atau wathi’ syubhat.

‫واعلم أن الشبهة تنقسم ثالثة أقسام القسم األول شبهة الفاعل وهي كمن وطىء على ظن الزوجية‬
‫أو الملكية والقسم الثاني شبهة المحل وهي كمن وطىء األمة المشتركة والقسم الثالث شبهة الطريق‬
‫وهي التي يقول بها عالم يعتد بخالفه واألول ال يتصف بحل وال حرمة ألن فاعله غافل مكلف‬
)337 ‫ ص‬3 ‫والثاني حرام والثالث إن قلد القائل بالحل ال حرمة وإال حرم (اعانة الطالبين ج‬
Wathi syubhat terbagi tiga :

• Syubhatul fail (pelaku), semisal orang yang menjima’ perempuan


yang dianggap isterinya, namun kenyataannya bukan.

42
• Syubhatul machal (perempuannya), semisal orang yang menjima’
budak perempuan yang musytarokah (milik bersama).

• Syubhatut thoriq, misalnya jima’ dari pernikahan tanpa wali


(karena ada ulama yang memperbolehkannya).
 Hukum Pelaku Tindakan Syubhat

‫ ومثلوا لها‬، ‫ ذهب الشافعية إلى حرمة تعاطي شبهة المحل‬- 4: ‫حكم تعاطي الشبهات‬
‫ فال توصف بحل وال‬. ‫أما شبهة الفعل‬. ‫بوطء األمة المشتركة لإلجماع على حرمته‬
‫ كمن وطئ امرأة يُظنها حليلته ألنه في حالة الَغفلة عن الحقيقة غير مكلف اتفاقا‬، ‫بحرمة‬
‫ وإذا انتفى التكليف انتفى وصف فعله بالحل‬، ‫ ومن ثم حكي اْلجماع على عدم إثمه‬،
‫أما شبهة‬. ‫ وطء الشبهة ال يوصف بحل وال حرمة‬: ‫ وهذا محمل قولهم‬، ‫والحرمة‬
‫ وإال لم تحرم‬، ‫ فإن قلد من قال بالتحريم حرمت‬، ‫الطريق فيختلف حكمها بحسب من قلد‬
)341 ‫ ص‬25 ‫(الموسوعة الفقهية ج‬
Kalangan Syafi’iyyah menilai akan keharaman tindakan subhat machal
seperti menggauli wanita sahaya yang dimiliki secara bersamaan karena
terdapatnya ijma’ ulama akan keharaman kepemilikan dan perbuatan
semacam ini.
Sedang dalam syubhat fi’li maka tidak dapat dihukumi akan halal atau
haramnya seperti bila seseorang menggauli wanita yang ia sangka istrinya
karena kondisi lalai secara kesepakatan ulama bukanlah termasuk
mukallaf.
Oleh karena Ijma Ulama menyatakan tidak terdapati dosa didalamnya, bila
ketaklifan seseorang tiada, tiada pulalah ketentuan hukum halal dan haram
padanya, ini yang dimaksud pendapat ulama “Wathi Syubhat tiada
dihukumi halal atau haram”
Dalam masalah syubhat thoriq kalangan syafiiyyah menilai hukumnya
tergantung pada pendapat yang ia anut, bila ia menganut pendapat ulama
yang mengharamkan maka haramlah perbuatannya, bila tidak maka tidak
haram.

43
 Status Anak Syubhat
Wath'i subhat, anaknya bertemu nasab pada orang yang mewath'i
(ayahnya).

‫ كالموﻃوﺀة في زواج فاسد؛ ألن وطﺀ‬،‫وتجب العدة أيَضاً باالتفاق بالتفريق للوطﺀبشبهة‬
‫الشبهة والزواج الفاسد كالوطﺀ في الزواجالصحيح في شَغل الرحم ولحوق النسب بالواﻃئ‬
)594 / 4 ‫(الفقه اْلسالمي‬
Wath'i subhat dan pernikahan yang rusak ( karena tunggal mahram ) itu
seperti pernikahan shahih di dalam masalah yang berhubungan rahim dan
bertemunya nasab dengan pewath'i.

Anak yang dilahirkan dari pernikahan syubhat seperti


pernikahan semahram yang sebelumnya tidak diketahui, maka anak
tersebut ada hubungan nasab pada bapaknya, maka dari itu anak tersebut
berhak mendapatkan warisan dari bapaknya karena di antara sebab
menerima warisan adalah ada hubungan nasab.

. ‫ولو نكح إمرأة فبانت محرمة برضاع ببينة أو إقرار فرق بينهما فإن حملت منه كان الولد نسيبا الحقا‬
٢٠١ : ‫ بَغية المسترشدين ص‬.‫بالواطئ ال يجوز نفيه‬
‫ولو مات الزوج فينبَغي أن ترث منه زوجته بالزوجية ال باألختية ألن الزوجية ال تحجب بخالف األختية‬
)٢٨٣/٣ ‫ (إعانة الطالبين‬.‫فهي أقوى السببين‬
)٢٢٣/٣ ‫ (إعانة الطالبين‬.‫و لإلرث أركان و شروط و أسباب____وأسبابه ثالثة وهي نكاح والء و نسب‬

4. Bagaimana hukumnya jika ada saudara kandung berpisah, lalu menikah


tanpa mengetahui bahwa mereka saudara kandung?
Jawab:
Pernikahan tersebut masuk dalam kategori nikah syubhat.
‫ولو نكح إمرأة فبانت محرمة برضاع ببينة أو إقرار فرق بينهما فإن حملت منه كان الولد نسيبا‬
٢٠١ : ‫ بَغية المسترشدين ص‬.‫الحقا بالواطئ ال يجوز نفيه‬

Konsekuensi:
1. Ikatan nikah dibubarkan
2. Sang wanita wajib menjalani masa iddah, 3 kali haid

44
3. Anak tetap dinasabkan kepada ayah biologis, sebagaimana layaknya
anak kandung.
4. Si lelaki wajib memberikan mahar standar kepada wanita, menurut
madzhab Hanafi.
, ‫اتفق الفقهاء على وجوب العدة وثبوت النسب بالوطء في النكاح المختلف فيه بين المذاهب‬
‫ ويتفقون كذلك على‬.‫ ونكاح الشَغار‬, ‫ وكنكاح المحرم بالحج‬, ‫ أو بدون ولي‬, ‫كالنكاح بدون شهود‬
، ‫ وزوجة الَغير‬, ‫ كنكاح المعتدة‬، ‫وجوب العدة وثبوت النسب في النكاح المجمع على فساده بالوطء‬
: ‫ بأن كان ال يعلم بالحرمة ; وألن األصل عند الفقهاء‬, ‫ إذا كانت هناك شبهة تسقط الحد‬، ‫والمحارم‬
)123 ‫ ص‬8 ‫ فالولد الحق بالواطئ (الموسوعة الفقهية ج‬، ‫أن كل نكاح يدرأ فيه الحد‬

‫لكن إن اعتقد هذا نكاحا ً جائزا كان الوطء فيه وطء شبهة يلحق الولد فيه ويرث أباه (الفتوى الكبرى‬
)9 ‫ ص‬4 ‫ج‬

5. Apa perbedaan mahram dengan muhrim?


Jawab:
Mahram )ٌ‫ْرم‬
َ ‫ ( َمح‬berasal dari kata ‫ َح َرمَ ـ يَحح ُْرمُ ـ َح َر ًما َو َمح َْر ًما‬yang berarti
mencegah sedangkan secara bahasa yakni “yang terlarang” atau orang
(perempuan/ laki-laki) yang tidak halal dinikahi namun kita boleh bepergian
(safar) dengannya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat
wajahnya, boleh berjabat tangan, dan seteterusnya.
Sedangkan Muhrim adalah orang yang berihram. Muhrim adalah isim fa’il
dari kata ‫ احراما‬- ‫ أحرم – يحرم‬yang artinya berihram, maka muhrim artinya
orang yang sedang berihram.
6. Bolehkah nenek menikah dengan cucunya?
Jawab:
Tidak boleh karena masih satu nasab
7. Apakah Bank Asi mempengaruhi kemahraman?
Jawab:
Diperinci:
• Jika Bank Asi dalam sistemnya telah memenuhi syarat dan rukun
serta ketentuan-ketentuan mahram sepersusuan, maka Bank Asi
mempengaruhi kemahraman yaitu mahram sepersusuan (radha’ah).

45
Seperti yang telah dijelaskan pada bab mahram sebab persusuan
(radha’ah).
• Jika Bank Asi tersebut tidak memenuhi kriteria-kriteria yang
menyebabkan terjadinya mahram radha’ah, maka Bank Asi tidak
mempengaruhi kemahraman.

8. Apakah ada perbedaan diantara ulama tentang mahram muaqqat?


Jawab:
Perbedaan para ulama dalam konteks mahram muaqqat secara umum hanya
terjadi pada pengklasifikasian mahram muaqqat tersebut yaitu ada dua yang
diperselisihkan, zina dan sumpah li’an.
• Menurut Imam Syafi’i secara umum zina dan li’an tidak masuk
dalam klasifikasi mahram muaqqat, akan tetapi masuk dalam
klasifikasi mahram muabbad.
• Menurut Imam Abu Hanifah secara umum zina dan li’an masuk
dalam klasifikasi mahram muaqqat.

Sedangkan perbedaan dalam sub-sub bagian dari mahram muaqqat juga


banyak terjadi di kalangan ulama, seperti yang telah di jelaskan sebelumnya.

9. Bagaimana hukumnya menikahi wanita hamil karena zina?


Jawab:

Para ulama sepakat bahwa laki-laki pezina boleh menikahi wanita yang
berzina dengannya. Sedangkan jika laki-laki yang bukan pezina menikahi wanita
pezina para ulama berbeda pendapat.35

• Hasan Basri mengatakan bahwa zina merusak pernikahan


• Jumhur ulama berpendapat boleh menikah

Kemudian jumhur Ulama berbeda pendapat dalam perinciannya:

35
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, h. 141.

46
• Hanafiyah, jika wanita tidak hamil maka sah menikahinya walaupun
laki-laki yang bukan pezina, begitu juga jika wanita tersebut hamil
maka tetap boleh menikahinya akan tetapi tidak boleh
menyetubuhinya sampai wanita tersebut melahirkan.
• Abu Yusuf dan Zufar, tidak diperbolehkan menikahi wanita hamil
dari zina, seperti halnya tidak sah menikahi wanita hamil yang bukan
karena zina.
• Malikiyah, tidak diperbolehkan menikahi wanita pezina kecuali
setelah tebebasnya perempuan dari zina dengan tiga (3) kali haid
atau tiga bulan. Jika menika wanita sebelum terbebas dari zina
(‫ )استبراء‬maka akadnya adalah fasid dan wajib merusaknya, baik si
wanita sudah jelas hamil ataupun belum. Kemudian ada yang
berpendapat bahwa (‫ )استبراء‬adalah penyucian rahim, yakni
melahirkan anaknya bagi yang hamil atau setelah selesai satu kali
haid bagi yang tidak mengandung.
• Syafi’iyah, sesungguhnya berzina dengan perempuan tidak
mengharamkan untuk menikahinya.
• Hanabilah, jika seorang wanita berzina maka tidak halal bagi orang
yang mengetahuinya untuk menikahi wanita tersebut kecuali dengan
dua syarat:
1. Selesai masa ‘iddahnya, jika wanita tersebut hamil maka
‘iddahnya sampai melahirkan. Maka tidak halal menikahinya
sebelum melahirkan.
2. Wanita sudah bertaubat dari perbuatan zina.

Status anak zina

Dalam hal ini, secara garis baris kasus anak zina dapat dibagi dalam empat
kategori yaitu (a) anak yang lahir tanpa adanya perkawinan; (b) kedua
pelaku zina menikah sebelum anak lahir; (c) perempuan hamil zina menikah

47
dengan pria lain (bukan yang menzinahi); (d) perempuan bersuami berzina,
hamil dan melahirkan anak.

a. Madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan sebagian madzhab Hanafi, anak


tersebut dinasabkan pada ibunya walaupun seandainya ayah biologisnya
mengklaim (Arab, ilhaq atau istilhaq) bahwa ia adalah anaknya.
Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Nakha’i,
dan Ishaq, anak zina tersebut dinasabkan pada ayah biologisnya
walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu biologisnya. Pendapat ini
dipilih oleh Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali apabila ada klaim atau
pengakuan (istilhaq) dari bapak biologis anak.
b. Imam Abu Hanifah status anak zina dinasabkan pada bapak biologisnya
apabila kedua pezina itu menikah sebelum anak lahir. Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni mengutip pandangan Abu Hanifah demikian:
‫ والولد‬,‫ ويستر عليها‬,‫ال أرى بأسا إذا زنى الرجل بالمرأة فحملت منه أن يتزوجها مع حملها‬
‫ولد له‬
(Seorang lelaki yang berzina dengan perempuan dan hamil, maka boleh
menikahi perempuan itu saat hamil. Sedangkan status anak adalah
anaknya)
Dalam madzhab Syafi’i ada dua pendapat. Pendapat pertama bahwa
nasab anak zina tetap kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya
walaupun keduanya sudah menikah sebelum anak lahir. Ini pendapat
mayoritas ulama madzhab Syafi’i.
Pendapat kedua, status anak zina dalam kasus ini dinasabkan kepada
ayah biologisnya apabila anak lahir di atas 6 bulan setelah akad nikah
antara kedua pezina. Dan tidak dinasabkan ke ayah biologisnya jika
anak lahir kurang dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si
suami melakukan ikrar pengakuan anak.
‫ فإن جاءت بولد بعد مَضي ستة أشهر‬،‫يحل باالتفاق للزاني أن يتزوج بالزانية التي زنى بها‬
‫ وإن جاءت به ألقل من ستة أشهر من وقت العقد ال يثبت‬،‫ ثبت نسبه منه‬،‫من وقت العقد عليها‬

48
‫ إن هذا اْلقرار بالولد يثبت به‬.‫ ولم يصرح بأنه من الزنا‬،‫ إن الولد منه‬:‫ إال إذا قال‬،‫نسبه منه‬
‫نسبه منه‬
(Ulama sepakat halalnya pria pezina menikahi wanita yang dizinahi.
Apabila melahirkan anak setelah enam bulan akad nikah maka
nasabnya ke pria itu. Apabila kurang dari 6 bulan dari waktu akad
nikah maka tidak dinasabkan padanya kecuali apabila si pria membuat
ikrar dengan mengatakan bahwa anak itu darinya dan tidak
menjelaskan bahwa ia berasal dari zina. Maka dengan ikrar ini nasab
anak tersebut tetap pada ayah biologisnya).
Adapun menurut madzhab Hanbali dan Maliki, maka haram hukumnya
menikahi wanita hamil zina kecuali setelah melahirkan. Dan karena itu,
kalau terjadi pernikahan dengan wanita hamil zina, maka nikahnya tidak
sah. Dan status anaknya tetap anak zina dan nasabnya hanya kepada
ibunya.
c. Madzhab Syafi’i jika anak lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan, anak
tersebut secara dzahir saja dinasabkan kepada suaminya, dan ia wajib
menafikannya (tidak mengakui anak) menurut pandangan Sayyid Ba
Alwi Al-Hadrami dalam Bughiyatul Mustarsyidin.
Inti dari pandangan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali dalam kasus
ini adalah bahwa anak yang terlahir dari hamil zina yang ibunya
menikah saat hamil dengan lelaki bukan yang menghamili, maka status
anak dinasabkan pada ibunya secara mutlak bukan pada bapaknya.
d. Apabila seorang perempuan bersuami berselingkuh, dan melakukan
hubungan zina dengan lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka status
anaknya saat lahir adalah anak dari suaminya yang sah; bukan anak dari
pria selingkuhannya. Bahkan, walaupun pria yang menzinahinya
mengklaim (Arab, istilhaq) bahwa itu anaknya. Sebagai anak dari laki-
laki yang menjadi suami sah ibunya, maka anak berhak atas segala hak
nasab (kekerabatan) dan hak waris termasuk wali nikah apabila anak
tersebut perempuan.

49
Pandangan ini disepakati oleh madzhab Hanbali di mana Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni mengatakan:
‫ وإنما الخالف فيما إذا ولد‬،‫وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه ال يلحقه‬
‫على غير فراش‬

(Ulama sepakat bahwa apabila seorang anak lahir dari perempuan yang
bersuami kemudian anak itu diakui oleh lelaki lain maka pengakuan itu
tidak diakui. Perbedaan ulama hanya pada kasus di mana seorang anak
lahir dari perempuan yang tidak menikah).

10. Apakah ada mudharat menikah senasab?


Jawab:
Ya, banyak sekali mudharatnya perkawinan antara keluarga yang
berhubungan darah akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat
dan sering cacat, bahkan inteligensinya kadang-kadang kurang cerdas.
11. Bagaimana nasib anak yang terlanjur lahir dari pernikahan yang haram?
Keharaman tersebut bersifat mutlak atau ada toleransi?
Jawab:
Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah atau
nikah fasad, ataupun nikah yang haram disamakan statusnya dengan anak
zina dan anak li‟an. Oleh karena itu tidak ada hubungan nasab dengan
bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
Keharaman pernikahan tersebut adalah bersifat mutlak tidak ada toleransi,
seperti nikah berbeda agama, nikah satu nasab dan sebagainya.
12. Jika ada suami istri cerai belum sampai punya anak, lalu keduanya menikah
dengan orang lain. Bagaimana hukumnya jika anak masing-masing dari
mereka menikah?
Jawab:
Boleh menikah, karena tidak ada halangan nasab bagi keduanya.
13. Sampai kapan tahrim muaqqat berlaku?

50
Jawab:
Sampai hilangnya atau tidak adanya sesuatu yang mengharamkan. Seperti
yang telah dijelaskan diatas tentang mahram muaqqat.
14. Jika ada seorang laki-laki menikah dengan janda yang punya anak (anak
tiri). Apakah suaminya mahram dengan anak janda tersebut?
Jawab:
Diperinci:
• Mahram jika laki-laki telah berhubungan badan dengan ibunya
• Tidak mahram jika belum berhubungan badan dengan ibunya

Dalam kitab, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam karya Muhammad


‘Ali ash-Shabuni, ada kaidah yang mengatakan:

‫ والدخول باألمهات يحرم البنات‬،‫يحرم األمهات‬


ِّ ‫العقد على البنات‬

Akad terhadap anak perempuan cukup untuk mengharamkan ibunya


(mertua perempuan), sedangkan menyetubuhi (dalam ikatan pernikahan)
terhadap ibunya baru dapat mengharamkan anak perempuannya (anak tiri).

51
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Para ulama telah banyak mendefinisikan tentang mahram, namun sebagian


besar dari mereka, cenderung lebih condong terhadap definisi mahram yang
bersifat khusus, yaitu mendefinisikan mahram dengan lebih condong
terhadap sub-sub bagian dari mahram itu sendiri, walaupun pada
kenyataannya dalam pembagian mahram sendiri oleh para ulama dibedakan
antara mahram muabbad (bersifat selamanya) dan mahram muaqat (bersifat
sementara).
Dari pengertian-pengertian para ulama tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi
selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab),
sepersusuan, dan pernikahan.

2. Seperti yang telah disebutkan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah


al-Muqtashid bahwa perkara-perkara yang dapat mencegah terjadinya
pernikahan (‫النكاح‬ ‫ ) ْال َم َوانِ ُع ال َّش ْر ِعيَّ ُة فى‬secara global dibagi menjadi dua,
yaitu: muabbadah dan ghairu muabbadah.

Mahram muabbadah adalah wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi untuk


selama-lamanya. Mahram muabbadah dibagi menjadi dua,

1. Disepakati: [1] karena nasab, [2] karena ikatan perkawinan


(mushaharah), [3] karena persusuan (radha’ah).

2. Diperselisihkan: [1] karena zina, [2] karena sumpah li’an

52
Mahram ghairu muabbadah atau dalam beberapa kitab ulama disebut
mahram muaqatah ialah wanita-wanita yang haram untuk dinikahi yang
bersifat sementara waktu.

1. ‫( مانع العدد‬penghalang perkawinan karena bilangan isteri)

2. ‫( مانع الجمع‬penghalang perkawinan karena permaduan)

3. ‫( مانع الرق‬penghalang perkawinan karena budak)

4. ‫( مانع الكفر‬penghalang perkawinan karena kekafiran)

5. ‫( مانع االحرام‬penghalang perkawinan karena ihram)

ِ ‫( َمانِعِ ْال َم َر‬penghalang perkawinan karena sakit)


6. ‫ض‬

7. ‫( مانع العدة‬penghalang perkawinan karena menjalani iddah)


َ ‫ق ث َ َالثًا ِل ْل ُم‬
ِ ِّ‫ط ِل‬
8. ‫ق‬ ْ َّ ‫( َمانِ ُع الت‬penghalang talak 3 bagi orang yang
ِ ‫ط ِلي‬
mentalak)
9. ‫( مانع الزوجية‬penghalang perkawinan karena ikatan perkawinan)

3. Hubungan kemahraman yang telah dipaparkan di atas, baik yang muabbad


maupun yang ghairu muabbad, sama menghasilkan konsekuensi hukum
lanjutan, selain tidak boleh terjadinya pernikahan. Di antaranya adalah:

• Kebolehan berkhalwat antara sesama mahram


• Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari
asal ditemani mahramnya.
• Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala,
rambut, tangan dan kaki.

4. Banyak sekali hikmah-hikmah dibalik pensyari’atan mahram dalam nikah


ini, seperti mahram karena nasab, Anak akan lebih menghargai dan
menghormati ayahnya atau orang tuanya, terjaga rasa kasih sayang diantara
orang tua, maupun keluarga yang lain. Kemudian karena susuan, dapat
memperluas tali kekeluargaan. Karena perkawinan yaitu membuat Jiwa
suami istri menjadi tenang.

53
Hikmah dalam pensyari’atan mahram ini sangat besar dirasakan oleh
manusia khususnya umat Islam sendiri, sehingga manusia dapat hidup
dengan bahagia, lebih dapat mencapai ke tingkat yang sangat luhur dan
dapat hidup dengan orang yang lebih baik.

54
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

 Abdurrahman bin Muhammad ‘aud al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-


Arba’ah, Juz IX, (Cet, II; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003)
 Abidin, Slamet, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1999),
 Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III
(Kairo: Dar al-Hadits, 2004)
 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Ibn Farah al-Anshari
al-Khazraji Syamsuddin al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Tafsir
al-Qurthuby, Juz XIV (Cet, II; Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964)
 Abu Zakaria Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf An-Nawawi, Al-Manhaj Syarah
Shahih Muslim, Juz IX (Cet. II; Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392
H).
 Al-Habsyi, Muhammad Bagir, “Fiqh Praktis”, (Bandung: Mizan, 2002)
 H.S.A Al-Hamdani, (Alih Bahasa oleh Drs. Agus Salim) : Risalah Nikah,
Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989)
 Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz
I, (Cet, III; Beirut: Maktabah al-Ghazali, 1980)
 Sahrani, Sohari, Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009)
 Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz II (Cet, II; Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi,
1977)
 Uman, Cholil, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad
Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1944)
 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Cet, XI;
Damaskus: Dar al-Fikr), h. 129.
 Ust. Dr. Ahmad Zain An Najah, MA, http://darussalam-
online.com/perempuan-yang-haram-dinikahi-sementara-karena-suatu-
sebab-keluarga-sakinah/. Diakses tanggal 27 Mei 2016.

55
56

Anda mungkin juga menyukai