Daftar Isi 1
Bab 1 : Pendahuluan 2
Bab 2 : Pembahasan 4
Bab 3 : Penutup 52
3.1 Kesimpulan 52
1
BAB 1
PENDAHULUAN
)49/َيءٍ َخلَ ْقنَا زَ ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرونَ (الذاريات
ْ َو ِم ْن ُك ِِّل ش
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang mahram nikah
di dalam hukum perkawinan islam.
1
QS. al-Dzariyat (51): 49.
2
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan di atas, dapat diambil beberapa pokok masalah yang akan
dibahas dengan lebih lanjut. Adapun pokok masalah yang dapat penulis angkat
adalah seperti berikut:
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
mahram dalam hukum perkawinan islam.
Manfaat penulisan dalam makalah ini adalah untuk menyebarkan informasi dan
mensosialisasikan mahram dalam hukum perkawinan islam serta mengembangkan
serta melestarikan khazanah keilmuan islam terkait mahram dalam hukum
perkawinan islam.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
Mahram )ٌْرم
َ ( َمحberasal dari kata َح َرمَ ـ يَحح ُْرمُ ـ َح َر ًما َو َمح َْر ًماyang berarti
mencegah sedangkan secara bahasa yakni “yang terlarang” atau orang (perempuan/
laki-laki) yang tidak halal dinikahi namun kita boleh bepergian (safar) dengannya,
boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, boleh berjabat tangan,
dan seteterusnya.
Namun sebagaian orang ada juga yang menyebut mahram dengan istilah
muhrim. Padahal muhrim adalah orang yang berihram. Muhrim adalah isim fa’il
dari kata احراما- يحرم – أحرمyang artinya berihram, maka muhrim artinya orang
yang sedang berihram. Sedangkan mahram adalah wanita yang haram dinikahi oleh
laki-laki. Mahram adalah isim maf’ul dari kata َ َح َرمyang artinya melarang. Oleh
karena itu istilah yang lebih tepat adalah mahram bukan muhrim.
Dalam sebagian literatur klasik atau kitab turats yang dalam kalangan
pesantren biasa disebut dengan kitab kuning ada yang menyebutkan mahram
dengan istilah mawani’ ()موانع, ini bentuk jamak dari mufrad mani’ ( )مانعyang
artinya perkara yang mencegah. Berarti jika ada istilah mawani’ an- nikah ( موانع
2
Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 56.
4
Sedangkan mahram menurut sebagian ulama ahli fiqh diantaranya:3
Dari beberapa pengertian tentang mahram yang disebutkan oleh para ulama
diatas dapat diketahui bahwa pengertian-pengertian tersebut lebih bersifat khusus,
yaitu mendefinisikan mahram dengan cenderung condong terhadap sub-sub bagian
dari mahram itu sendiri, walaupun dalam kenyataannya dalam pembagian mahram
sendiri oleh para ulama dibedakan antara mahram muabbad (bersifat selamanya)
dan mahram muaqat (bersifat sementara).
Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti
bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan. Masalah
3
Sahrani, Sohari, Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009), h .98.
4
Abu Zakaria Muhyiddin Yahya Ibn Syaraf An-Nawawi, Al-Manhaj Syarah Shahih Muslim, Juz IX
(Cet. II; Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1392 H), h. 105.
5
tentang Mahram disinggung didalam Al-Qur’an seperti dalam surahan-Nisa ayat
23:
ت ْ
ِ األخ ُع َّمات ُ ُك ْم َوخَاالت ُ ُك ْم َو َبنَاتُ األخِ َوبَنَات َ علَ ْي ُك ْم أ ُ َّم َهات ُ ُك ْم َوبَنَات ُ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم َو ْ ُح ِ ِّر َم
َ ت
َ ع ِة َوأ ُ َّم َهاتُ ِن
سا ِئ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الالتِي ِفي َ ضا َّ َض ْعنَ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم ِمن
َ الر َ َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم الال ِتي أ َ ْر
َ سا ِئ ُك ُم الال ِتي دَخ َْلت ُ ْم ِب ِه َّن فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ُكونُوا دَخ َْلت ُ ْم ِب ِه َّن فَال ُجنَا َح
علَ ْي ُك ْم َو َحال ِئ ُل َ ور ُك ْم ِم ْن ِن
ِ ُح ُج
ورا َر ِحي ًما ً ُغف
َ ََللاَ َكان َ َسل
َّ ف إِ َّن َ األختَي ِْن إِال َما قَ ْد ْ َصالبِ ُك ْم َوأ َ ْن تَجْ َمعُوا بَيْن ْ َ أ َ ْبنَائِ ُك ُم الَّذِينَ ِم ْن أ
)23/(النساء
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”5
َ َو َم َوانِ َع.ٍ َم َوانِ َع ُم َؤبَّدَة:ش ْر ِعيَّةُ بِ ْال ُج ْملَ ِة ت َ ْنقَ ِس ُم أ َ َّو ًال إِلَى قِ ْس َمي ِْن
ٍغي ِْر ُم َؤبَّدَة َّ َو ْال َم َوانِ ُع ال
،ص ْه ٌر
ِ َو، ٌسب
َ َ ن:ث َ فَ ْال ُمتَّفَ ُق. َو ُم ْختَلَفٍ فِي َها،علَ ْي َها
ٌ علَ ْي َها ث َ َال ٍ َ ُمتَّف:َو ْال َم َوانِ ُع ْال ُم َؤبَّدَة ُ ت َ ْنقَ ِس ُم ِإلَى
َ ق
ضاع
َ َو َر
ُ َاللِّع
ان ُ ََو ْال ُم ْختَل
ِّ ِ :ف فِي َها
ِ َو،الزنَى
5
QS. An-Nisa (4): 23.
6
ِ ِّ الر
ق ِّ ِ َمانِ ُع:ث ُ َمانِ ُع ْال َج ْمعِ َوالثَّا ِل: َمانِ ُع ْال َعدَ ِد َوالثَّانِي: أ َ َحدُهَا:ٍغي ُْر ْال ُم َؤبَّدَةٍ ت َ ْنقَ ِس ُم ِإلَى تِ ْسعَةَ َو
ِ َمانِ ُع ْال ِعدَّة:سابِ ُعَّ ض َوال ِ َمانِ ُع ْال َم َر:ِس
ُ ساد َّ اْلحْ َر ِام َوال ِ ْ َمانِ ُع:س ِ َمانِ ُع ْال ُك ْف ِر َو ْالخ:الرا ِب ُع
ُ َام َّ َو
6 َّ َمانِ ُع:ق َوالتَّا ِس ُع
الز ْو ِجيَّ ِة َ ق ث َ َالثًا ِل ْل ُم
ِ ِّط ِل ِ ط ِلي ِ َّ عدَ ِم ت َأ ْ ِبي ِد ِه َوالث
ْ َّ َمانِ ُع الت:ام ُن ْ علَى
َ اختِ َالفٍ فِي َ
2.2.1 Muabbadah
Mahram dari nasab adalah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam surat
An-nisa’: 23.
َُاالت ُ ُك ْم َو َبنَاتُ ْاألَخِ َوبَنَات َ علَ ْي ُك ْم أ ُ َّم َهات ُ ُك ْم َوبَنَات ُ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم َو
َ ع َّمات ُ ُك ْم َوخ ْ ُح ِ ِّر َم
َ ت
.......ِْاأل ُ ْخت
6
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid, Juz III (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 56.
7
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan”.7
7
QS. an-Nisa (4): 23.
8
QS. al-Ahzab (33): 4.
9
QS. al-Ahzab (33): 5.
8
SWT: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-
bapak mereka….”10
Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya
mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak
angkat seperti anak sendiri dalam masalah khalwah dan yang lainnya
2. Anak angkat yang sebelumnya bukan mahram. Sekalipun dia hidup bersama
orang tua asuh, statusnya tetap bukan mahram.
10
Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Ibn Farah al-Anshari al-Khazraji Syamsuddin
al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Tafsir al-Qurthuby, Juz XIV (Cet, II; Kairo: Dar al-
Kutub al-Mishriyah, 1964), h. 118.
9
6. ( بنات االخanak perempuannya saudara laki-laki/keponakan dari saudara
laki-laki)
10
b. Sebab Radha’ah
a. Definisi Radha’ah
Radha’ah secara bahasa adalah proses menyedot puting, baik hewan
maupun manusia.
Sedangkan secara istilah syara’ diartikan dengan sampainya air susu
manusia pada lambung anak kecil yang belum genap umur dua tahun.
Sedangkan pengertian radha’ah menurut ulama-ulama madzhab
adalah sebagai berikut: 11
Menurut Hanafiyah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang
perempuan pada waktu tertentu
Menurut Malikiyah masuknya air susu manusia kedalam tubuh yang
berfungsi sebagai gizi
Menurut Syafi’iyah sampainya air susu seorang perempuan kedalam perut
seorang bayi
Menurut Hanabilah seorang bayi dibawah dua tahun yang menghisap
puting payudara peremp uan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum
susu tersebut atau sejenisnya.
Susuan yang dapat menjadi sebab haramnya perkawinan adalah
Susuan yang sempurna, yaitu dimana anak menyusu dan menyedot air
susunya, dan tidak berhenti dari menyusui kecuali dengan kemauannya
sendiri tanpa sesuatu paksaan.12
11
Cholil Uman, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel
Suci, 1944), h. 267.
12
Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz II (Cet, II; Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1977), h. 75
13
QS. An-Nisa’ (4): 23.
11
2. Dalil dari sunnah: ب َ َّضاعِ َما يَحْ ُر ُم ِم ْن الن
ِ س َ الر
َّ َيَحْ ُر ُم ِمن
“diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab”. [Hr.
Bukhari]
2. Air susu masuk kedalam perut bayi ()وصول الى جوف طفل
Baik melalui isapan langsung dari puting payudara maupun melalui
alat penampung susu, sepertt gelas, botol dan lain lain.
14
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Cet, XI; Damaskus: Dar al-Fikr), h.
129.
12
Menurut jumhur ulama rukun radha’ah ada 3, yaitu:
1. Anak yang menyusu ()الرضيع
َان
ِ صت َّ الَت ُ َح ِ ِّر ُم ا ْل َم
َّ صةَ َوالَ اْل َم
“Tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan” (H.R. Jama’ah,
kecuali Bukhari).
15
Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz II, h. 75.
13
Para ulama telah berbeda pendapat tentang kadar persusuan yang
menimbulkan pertalian persusuan. Hal ini akibat adanya beberapa riwayat
hadits yang mengandung keterangan yang berbeda satu sama lain, yang
masing-masing dikuatkan ataupun dilemahkan berdasarkan pertimbangan
para ulama dari berbagai madzhab. Di antara pendapat-pendapat tersebut
adalah:16
a. Menurut madzhab syafi’i dan ahmad (dalam salah satu di antara dua
pendapatnya) serta ibn hazm: Paling sedikit lima kali susuan
mengenyangkan, dalam beberapa waktu yang berlainan.
b. Menurut abu hanifah, malik, dan salah satu dalam madzhab ahmad:
Tidak ada batasan jumlah susuan yang mengakibatkan keharaman
menikah.
c. Abu daud azh-zahiri, abu tsaur dan ibn al-mundzir: tiga kali susuan
Dinyatakan dalam kitab bidayatul mujtahid silang pendapat ini
disebabkan oleh adanya pertentangan antara keumuman ayat al-qur’an
dengan hadits yang memuat pembatasan, di samping pertentangan antara
hadits itu sendiri satu dengan lainnya. Keumuman firman Allah tersebut
ialah:
ِ الت ُ َح ِ ِّر ُم اْ ِْل ْمالَ َجةُ َوالَ اْ ِْل ْمالَ َجت: م.قال الرسول هللا ص
َان
16
Muhammad Bagir Al-Habsyi, “Fiqh Praktis”, (Bandung: Mizan, 2002), h. 17.
14
Kedua: Hadits Salhah yang berkenaan dengan Salim, bahwa Nabi
saw. berkata kepadanya:
ٍ ض َعا
ت َ س َر ِ ا َ ْر
َ ض ِع ْي ِه خ َْم
“Susukanlah dia lima kali susuan”.
Bagi fuqaha yang lebih menguatkan lahir kata-kata al-Qur’an atas
hadits-hadits ini, maka mereka mengatakan bahwa satu atau dua kali
sedotan sudah diharamkan.
Sedang bagi fuqaha yang mendudukan hadits tersebut sebagai
tafsiran atas ayat al-Qur’an, dan menggabungkan antara hadits-hadits
dengan al-Qur’an, serta lebih menguatkan mafhum dalil khithab pada sabda
Nabi saw.: “Tidak mengharamkan satu kali sedotan atau dua kali sedotan”,
atas mafhum dalil khithab pada hadits tentang Salim, maka mereka
mengatakan bahwa tiga kali sedotan ke atas itulah yang mengharamkan.17
2. Usia menyusu
Firman Allah:
َعة
َ ضا َّ املَي ِْن ِل َم ْن أ َ َرادَ أ َ ْن يُتِ َّم
َ الر ِ َو ْال َوا ِلدَاتُ ي ُْر
ِ ض ْعنَ أ َ ْو َالدَ ُه َّن َح ْولَي ِْن َك
17
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 60.
18
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 60.
15
fuqaha (di atas) merupakan pendapat Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Umar ra.,
Abu Hurairah ra., Ibnu Abbas ra., dan seluruh istri Nabi saw.
19
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 61.
16
Bagi fuqaha yang berpendapat adanya pengaruh penyusuan pada usia
menyusu, baik mereka yang mensyaratkan tidak adanya penyapihan atau tidak
mensyaratkan demikian, maka mereka berselisih pendapat tentang masa tersebut.
Boleh jadi, yang dimaksud oleh hadits ini adalah penyusuan yang terjadi
pada masa (usia) lapar – betapapun juga keadaan anak itu – yaitu usia menyusu.
Dan boleh jadi pula bahwa yang dimaksud adalah, apabila anak tersebut belum
disapih. Apabila telah disapih dalam usia dua tahun, maka bukan penyusuan karena
kelaparan. Jadi, silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan, apakah yang
dijadikan tolak ukur bagi penentuan penyusuan yang disebabkan oleh kelaparan dan
kebutuhan akan air susu? Apakah kebutuhan yang alami bagi anak-anak, yaitu
kebutuhan yang disebabkan oleh usia menyusu, ataukah kebutuhan anak yang
menyusu itu sendiri, yang dalam hal ini akan hilang dengan adanya penyapihan,
tetapi kebutuhan itu sendiri memang ada.
Bagi fuqaha yang berpendapat adanya pengaruh penyusuan pada usia
menyusu, baik mereka yang mensyaratkan tidak adanya penyapihan atau tidak
mensyaratkan demikian, maka mereka berselisih pendapat tentang masa tersebut.20
20
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 61.
17
a. Zufar berpendapat bahwa masa tersebut adalah dua (2) tahun.
b. Dalam menetapkan keharaman, Imam Malik mensunnahkan sedikit
penambahan waktu dari dua (2) tahun. Menurut salah satu riwayat
daripadanya, tambahan tersebut adalah satu (1) bulan. Dan menurut
riwayat yang lain, tiga (3) bulan.
c. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa tersebut adalah dua tahun
enam bulan.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh”. (Q.S.
al-Baqarah, 2: 233)
Ayat ini memberi pengertian bahwa penyusuan yang lebih dari dua
(2) tahun bukan merupakan penyusuan karena kelaparan (kebutuhan) akan air susu.
ُ ) ْال َو ُج
4. Memasukkan Air Susu Tanpa Melalui Penyusuan (ُور َوال َّلدُود
Apakah al-wajur wa ‘I-ladud adalah memasukkan air susu ke dalam
kerongkongan tanpa melalui penyusuan. Menyebabkan keharaman apa tidak?
21
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 61.
18
a. Imam Malik berpendapat al-wajur wa ‘I-ladud menyebabkan
keharaman. Dikarenakan ia lebih memperhatikan masuknya air susu -
dengan bagaimana pun juga masuknya.
22
H.S.A Al-Hamdani, (Alih Bahasa oleh Drs. Agus Salim) : Risalah Nikah, Hukum Perkawinan
Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 66.
23
Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz II, h. 77.
19
6. Persaksian Atas Penyusuan
Yaitu kesaksian yang dikemukakan oleh orang yang mengetahui
secara pasti bahwa laki-laki dan wanita itu sepersusuan. Para ulama berbeda
pendapat tentang berapa jumlah saksi yang diperlukan, diantaranya:24
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa untuk kesaksian penyusuan ini
diperlukan dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan, kesaksian hanya oleh seorang perempuan tidak dapat
diterima berdasarkan firman Allah SWT :
24
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 63.
20
e. Mahram dari radha’ah atau sepersusuan adalah sebagai berikut:
1. Wanita yang menyusui dan ibunya.
2. Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
3. Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
4. Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak
dari saudara persusuan).
5. Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
6. Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
7. Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari
saudara persusuan).
8. Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
9. Istri lain dari suami dari wanita yang menyusui.
21
c. Sebab Musaharah (Perkawinan)
a. Definisi Musaharah
Hanafiyah, akad yang sah dan wathi’ baik dengan akad yang sah,
fasid maupun karena zina.
Malikiyah, akad yang sah dan akad yang rusak (fasid) yang telah
berhubungan badan.
Syafi’iyah, akad yang sah bagi yang pengharamnnya cukup dengan
akad dan akad yang rusak (fasid) bagi orang yang disyaratkan
bersetubuh dalam pengharamannya, seperti ibu, karena anak
perempuannya tidak diharamkan kecuali bersetubuh dengan ibunya.
Hanabilah, akad yang sah, akad yang rusak (fasid), zina baik dari
qubul maupun dubur dan liwath (sodomi).
25
Slamet, Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1999), h. 101.
26
Abdurrahman bin Muhammad ‘aud al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz IX, (Cet,
II; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 62.
22
c. Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoharah) ada empat
wanita:
بنت الزوجة, anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah
melakukan hubungan badan dengan ibunya.
27
والدخول باألمهات يحرم البنات،يحرم األمهات
ِّ العقد على البنات
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, (Cet, III; Beirut:
27
23
2. Mahram Muabbadah yang Diperselisihkan
a. Sebab Zina
24
Ulama Hanafiyah lebih mengunggulkan bahwa yang dimaksud nikah adalah
bersetubuh ()الوطء, Mereka mengatakan bahwa nikah secara hakikat adalah
bersetubuh ( )الوطءsedangkan secara majaz adalah akad ()العقد. Jika yang dimaksud
nikah adalah bersetubuh, maka tidak ada perbedaan antara bersetubuh ( )الوطءyang
halal dan yang haram.
الزانى ال ينكح إالِّ زانية أو مشركة والزانية ال ينكحها إال زان او مشرك وحرم ذلك على
)3 :المؤمنين (النور
28
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, h. 457.
25
Maksud ayat di atas ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan wanita
yang berzina, demikian pula sebaliknya. Para ulama berbeda pendapat tentang haram atau
tidaknya laki-laki mu’min mengawini wanita pezina.
Penyebab perbedaan pendapat dalam masalah ini ialah apakah larangan dalam ayat
3 surat an-Nisa di atas sebagai celaan atau menunjukkan keharaman. Lebih lanjut, apakah
lafadz dzalika dalam firman Allah di atas (wa hurima dzalika) itu menunjuk kepada zina
atau nikah. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa bahwa ayat 3 surat an-nisa’ itu
menunjukkan dzam (celaan) bukan mengharamkan.29
Para ulama sepakat bahwa laki-laki pezina boleh menikahi wanita yang
berzina dengannya. Sedangkan jika laki-laki yang bukan pezina menikahi wanita
pezina para ulama berbeda pendapat.30
29
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 64.
30
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, h. 141.
26
berpendapat bahwa ( )استبراءadalah penyucian rahim, yakni
melahirkan anaknya bagi yang hamil atau setelah selesai satu kali
haid bagi yang tidak mengandung.
• Syafi’iyah, sesungguhnya berzina dengan perempuan tidak
mengharamkan untuk menikahinya.
• Hanabilah, jika seorang wanita berzina maka tidak halal bagi orang
yang mengetahuinya untuk menikahi wanita tersebut kecuali dengan
dua syarat:
1. Selesai masa ‘iddahnya, jika wanita tersebut hamil maka
‘iddahnya sampai melahirkan. Maka tidak halal menikahinya
sebelum melahirkan.
2. Wanita sudah bertaubat dari perbuatan zina.
Sumpah li’an yaitu sumpah yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya
karena suami menuduh istrinya berbuat zina dengan laki-laki lain atau suami
mengingkari kehamilan isteri dari perbuatannya.
ُاَّللِ ۙإِنَّه
َّ ِت ب َ ش َهادَة ُ أ َ َح ِد ِه ْم أ َ ْربَ ُع
ٍ ش َهادَا ُ ُش َهدَا ُء إِ َّال أ َ ْنف
َ َس ُه ْم ف ُ َوالَّذِينَ يَ ْر ُمونَ أ َ ْز َوا َج ُه ْم َولَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه ْم
َّ لَ ِمنَ ال
َصا ِدقِين
27
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar.”31
Setelah terjadi prosesi mula’anah (saling meli’an) antara suami istri, maka
terputuslah perkawinan mereka. Setelah putus perkawinan itu apakah suami yang
telah meli’an istrinya itu masih mungkin kembali kepada istrinya dengan akad
perkawinan yang baru, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
فرق رسول هللا صلعم بين المتالعنين وقال حسبكما على هللا احدكما كاذب السبيل لك عليها
• Sementara itu imam Abu Hanifah berpendapat bahwa antara keduanya bisa
kembali membangun perkawinan apabila salah seorang di antara keduanya
mencabut sumpah li’annya.
31
Ahmad ibn Rusydi Al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, h. 139.
28
2.2.2 Mahram Ghairu Muabbadah
…وإن خفتم آن ال تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب من النسآء مثنى وثالث ورباع
)3 :(النسآء
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat....”
29
secara berganti-ganti, umpama seorang laki-laki menikahi seorang wanita
tetapi kemudian isterinya itu meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu
boleh menikahi adik atau kakak mantan isterinya.
Tidak diperbolekan juga mengumpulkan seorang wanita dengan
bibinya (‘ammah maupun khalah). Larangan mengumpulkan dua orang
wanita yang mempunyai hubungan nasab dalam satu perkawinan, seperti
disebutkan di atas adalah didasarkan kepada:
budak perempuan ()أمة, dan bagi wanita merdeka boleh menikahi budak
perempuan jika dia dan walinya ridla.
Sedangkan para ulama berbeda pendapat bagi laki-laki merdeka
yang menikahi budak wanita.
• Madzhabnya Ibn Qasim, hukumnya boleh secara mutlak
• Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i, tidak boleh kecuali dengan dua
(2) syarat, [1] Tidak ada mahar, [2] Takut kesulitan (menghindari
zina)
Silang pendapat ini disebabkan oleh pertentangan dalil
dalam firman Allah SWT,
30
) 25: (النساء.......ط ْوال أ َ ْن يَ ْن ِك َح
َ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع ِم ْن ُك ْم
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, h. 283.
32
31
Para ulama sepakat kebolehan seorang muslim menikahi wanita
kitabiyah yang merdeka, akan tetapi bagi wanita muslimah tidak boleh
dinikahkan dengan lelaki kitabi,33 hal ini didasarka pada Firman Allah
SWT, surah al-Baqarah ayat 221.
33
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rowai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz I, h. 289
32
ِ ( َمانِعِ ْال َم َرpenghalang perkawinan karena sakit)
f. ض
Para ulama berbeda pendapat tentang nikahnya orang yang sakit.
• Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, boleh menikah dengan orang
yang sakit.
• Imam Malik, tidak boleh menikah dengan orang yang sakit.
33
Talak pada umumnya dilakukan oleh suami, tetapi talak juga bisa diajukan
oleh pihak istri. Apabila talak dilakukan oleh suami, maka ada beberapa jenis
talak.34
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa talak 1 dan talak 2 adalah talak
(cerai) yang memungkinkan si suami untuk kembali ruju’ tanpa akad baru
(termasuk mengajak berhubungan intim) dengan istrinya selama masa iddah
(kurang lebih 3 bulan). Selama masa ‘iddah sang istri tetap berada di rumah suami
dan berhak mendapatkan nafkah lahir. Kenapa tidak boleh dipulangkan dulu ke
34
Ust. Dr. Ahmad Zain An Najah, MA, http://darussalam-online.com/perempuan-yang-haram-
dinikahi-sementara-karena-suatu-sebab-keluarga-sakinah/. Diakses tanggal 27 Mei 2016.
34
rumah mertua? Agar supaya ada potensi untuk ruju’, tumbuh kembali rasa cinta dari
suami sehingga mengatakan “saya mau ruju’ kembali”. Dari penjelasan ini, maka
talak 1 dan talak 2 masuk dalam kategori talak raj’i.
Jika usai masa iddah suami tidak meruju’ istrinya maka disebut dengan talak
bainunah sughra. Maksudnya, sang suami tidak halal berhubungan intim dengan
istrinya kecuali dengan akad nikah baru. Sebab, istri sudah tidak menjadi istrinya
dan tidak ada kewajiban baginya memberikan nafkah.
Jika suami meninggal dunia, dalam keadaan mencerai istrinya (talak 1 atau
talak 2) maka sang istri masih berhak mendapatkan harta warisan. Istri
mendapatkan harta warisan 1/4 jika tidak punya anak, atau mendapatkan
seperdelapan kalau punya anak dari harta suaminya, sebab cerainya masih dalam
masa iddah. Tetapi jika sudah jatuh 3 kali cerai, maka istrinya tidak mendapatkan
harta warisan.
Jadi, misalkan suami A dan istri B menikah. Lalu A mentalak B. Ini disebut
talak 1. Setelah 3 bulan, mereka rujuk. Lalu karena satu dan lain hal, A kembali
mentalak B. Nah, ini disebut talak 2. Meski telah talak 2, A masih boleh rujuk
dengan B. Namun jika A kembali mentalak B, yg otomatis menjadikan talak 3 telah
jatuh, maka A tidak boleh rujuk lagi dengan B, kecuali B menikah dahulu dengan
X, berhubungan intim, lalu si X mentalaknya (minimal talak 1), serta sudah habis
masa iddahnya.
35
Meski demikian, ada yang berpendapat boleh dilakukan talak langsung talak
3 dengan merujuk pada hadits berikut ini:
“Di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakr, lalu dua
tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar
pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan
talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak itu
masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap
bisa mensahkan talak tiga sekali ucap”. Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga
sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak”. (HR. Muslim)
Karena jika seorang suami telah mentalak 3 istrinya, lalu di kemudian hari
menyesal dan ingin rujuk, maka seperti penjelasan-penjelasan di atas, tidak
diperbolehkan rujuk kecuali si istri telah menikah dengan orang lain, disetubuhi
suami barunya, diceraikan (ditalak), dan habis masa ‘iddah. Itu berarti mesti
dilakukan akad nikah baru. Apabila si suami memaksa rujuk dan berhubungan
intim, maka hal tersebut dilarang dan hubungan intimnya bisa dikategorikan
sebagai zina karena dilakukan oleh pasangan yang tidak resmi (dikarenakan telah
terjadi talak 3).
36
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Al
Baqarah: 230)
Namun, seorang istri yang telah ditalak 3 tidak boleh melakukan pernikahan
dan persetubuhan serta perceraian “pura-pura” hanya agar bisa kembali ke suami
sebelumnya. Hal ini juga dilarang! Pernikahan seperti ini disebut pernikahan
muhallil.
37
2.2.3 Mahram dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi hukum islam memasukkan pembahasan konsep mahram dalam
bab VI tentang Larangan Kawin.
38
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah
ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila
pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya
masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah
seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam
masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan
telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.
39
2.3 Implikasi Hukum Mahram Muabbad dan Muaqqat
40
anggota keluarga serta menyebabkan munculnya perasaan benci
antar sesama.
• Kawin dengan isteri orang lain atau bekas isteri orang lain yang
sedang iddah mengakibatkan hilangnya hak suami.
• Kawin dengan orang yang sedang ihram menyebabkan
kawinnya tersebut tidak sah.
• Kawin dengan pezina mengakibatkan terserangnya penyakit
yang sebelumnya telah dimiliki oleh seorang pezina tersebut.
1. Karena nasab
-Terjaga rasa kasih sayang diantara orang tua, maupun keluarga yang lain.
2. Karena susuan
3. Karena perkawinan
-Tertanamnya rasa kasih sayang pada diri mereka dan pada orang-orang
lain yang masih mempunyai hubungan darah daging dengan mereka.
41
2. Manusia dapat hidup dengan bahagia
3. Manusia dapat mencapai ke tingkat yang sangat luhur.
4. Dapat hidup dengan orang yang lebih baik.
واعلم أن الشبهة تنقسم ثالثة أقسام القسم األول شبهة الفاعل وهي كمن وطىء على ظن الزوجية
أو الملكية والقسم الثاني شبهة المحل وهي كمن وطىء األمة المشتركة والقسم الثالث شبهة الطريق
وهي التي يقول بها عالم يعتد بخالفه واألول ال يتصف بحل وال حرمة ألن فاعله غافل مكلف
)337 ص3 والثاني حرام والثالث إن قلد القائل بالحل ال حرمة وإال حرم (اعانة الطالبين ج
Wathi syubhat terbagi tiga :
42
• Syubhatul machal (perempuannya), semisal orang yang menjima’
budak perempuan yang musytarokah (milik bersama).
ومثلوا لها، ذهب الشافعية إلى حرمة تعاطي شبهة المحل- 4: حكم تعاطي الشبهات
فال توصف بحل وال. أما شبهة الفعل. بوطء األمة المشتركة لإلجماع على حرمته
كمن وطئ امرأة يُظنها حليلته ألنه في حالة الَغفلة عن الحقيقة غير مكلف اتفاقا، بحرمة
وإذا انتفى التكليف انتفى وصف فعله بالحل، ومن ثم حكي اْلجماع على عدم إثمه،
أما شبهة. وطء الشبهة ال يوصف بحل وال حرمة: وهذا محمل قولهم، والحرمة
وإال لم تحرم، فإن قلد من قال بالتحريم حرمت، الطريق فيختلف حكمها بحسب من قلد
)341 ص25 (الموسوعة الفقهية ج
Kalangan Syafi’iyyah menilai akan keharaman tindakan subhat machal
seperti menggauli wanita sahaya yang dimiliki secara bersamaan karena
terdapatnya ijma’ ulama akan keharaman kepemilikan dan perbuatan
semacam ini.
Sedang dalam syubhat fi’li maka tidak dapat dihukumi akan halal atau
haramnya seperti bila seseorang menggauli wanita yang ia sangka istrinya
karena kondisi lalai secara kesepakatan ulama bukanlah termasuk
mukallaf.
Oleh karena Ijma Ulama menyatakan tidak terdapati dosa didalamnya, bila
ketaklifan seseorang tiada, tiada pulalah ketentuan hukum halal dan haram
padanya, ini yang dimaksud pendapat ulama “Wathi Syubhat tiada
dihukumi halal atau haram”
Dalam masalah syubhat thoriq kalangan syafiiyyah menilai hukumnya
tergantung pada pendapat yang ia anut, bila ia menganut pendapat ulama
yang mengharamkan maka haramlah perbuatannya, bila tidak maka tidak
haram.
43
Status Anak Syubhat
Wath'i subhat, anaknya bertemu nasab pada orang yang mewath'i
(ayahnya).
كالموﻃوﺀة في زواج فاسد؛ ألن وطﺀ،وتجب العدة أيَضاً باالتفاق بالتفريق للوطﺀبشبهة
الشبهة والزواج الفاسد كالوطﺀ في الزواجالصحيح في شَغل الرحم ولحوق النسب بالواﻃئ
)594 / 4 (الفقه اْلسالمي
Wath'i subhat dan pernikahan yang rusak ( karena tunggal mahram ) itu
seperti pernikahan shahih di dalam masalah yang berhubungan rahim dan
bertemunya nasab dengan pewath'i.
. ولو نكح إمرأة فبانت محرمة برضاع ببينة أو إقرار فرق بينهما فإن حملت منه كان الولد نسيبا الحقا
٢٠١ : بَغية المسترشدين ص.بالواطئ ال يجوز نفيه
ولو مات الزوج فينبَغي أن ترث منه زوجته بالزوجية ال باألختية ألن الزوجية ال تحجب بخالف األختية
)٢٨٣/٣ (إعانة الطالبين.فهي أقوى السببين
)٢٢٣/٣ (إعانة الطالبين.و لإلرث أركان و شروط و أسباب____وأسبابه ثالثة وهي نكاح والء و نسب
Konsekuensi:
1. Ikatan nikah dibubarkan
2. Sang wanita wajib menjalani masa iddah, 3 kali haid
44
3. Anak tetap dinasabkan kepada ayah biologis, sebagaimana layaknya
anak kandung.
4. Si lelaki wajib memberikan mahar standar kepada wanita, menurut
madzhab Hanafi.
, اتفق الفقهاء على وجوب العدة وثبوت النسب بالوطء في النكاح المختلف فيه بين المذاهب
ويتفقون كذلك على. ونكاح الشَغار, وكنكاح المحرم بالحج, أو بدون ولي, كالنكاح بدون شهود
، وزوجة الَغير, كنكاح المعتدة، وجوب العدة وثبوت النسب في النكاح المجمع على فساده بالوطء
: بأن كان ال يعلم بالحرمة ; وألن األصل عند الفقهاء, إذا كانت هناك شبهة تسقط الحد، والمحارم
)123 ص8 فالولد الحق بالواطئ (الموسوعة الفقهية ج، أن كل نكاح يدرأ فيه الحد
لكن إن اعتقد هذا نكاحا ً جائزا كان الوطء فيه وطء شبهة يلحق الولد فيه ويرث أباه (الفتوى الكبرى
)9 ص4 ج
45
Seperti yang telah dijelaskan pada bab mahram sebab persusuan
(radha’ah).
• Jika Bank Asi tersebut tidak memenuhi kriteria-kriteria yang
menyebabkan terjadinya mahram radha’ah, maka Bank Asi tidak
mempengaruhi kemahraman.
Para ulama sepakat bahwa laki-laki pezina boleh menikahi wanita yang
berzina dengannya. Sedangkan jika laki-laki yang bukan pezina menikahi wanita
pezina para ulama berbeda pendapat.35
35
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, h. 141.
46
• Hanafiyah, jika wanita tidak hamil maka sah menikahinya walaupun
laki-laki yang bukan pezina, begitu juga jika wanita tersebut hamil
maka tetap boleh menikahinya akan tetapi tidak boleh
menyetubuhinya sampai wanita tersebut melahirkan.
• Abu Yusuf dan Zufar, tidak diperbolehkan menikahi wanita hamil
dari zina, seperti halnya tidak sah menikahi wanita hamil yang bukan
karena zina.
• Malikiyah, tidak diperbolehkan menikahi wanita pezina kecuali
setelah tebebasnya perempuan dari zina dengan tiga (3) kali haid
atau tiga bulan. Jika menika wanita sebelum terbebas dari zina
( )استبراءmaka akadnya adalah fasid dan wajib merusaknya, baik si
wanita sudah jelas hamil ataupun belum. Kemudian ada yang
berpendapat bahwa ( )استبراءadalah penyucian rahim, yakni
melahirkan anaknya bagi yang hamil atau setelah selesai satu kali
haid bagi yang tidak mengandung.
• Syafi’iyah, sesungguhnya berzina dengan perempuan tidak
mengharamkan untuk menikahinya.
• Hanabilah, jika seorang wanita berzina maka tidak halal bagi orang
yang mengetahuinya untuk menikahi wanita tersebut kecuali dengan
dua syarat:
1. Selesai masa ‘iddahnya, jika wanita tersebut hamil maka
‘iddahnya sampai melahirkan. Maka tidak halal menikahinya
sebelum melahirkan.
2. Wanita sudah bertaubat dari perbuatan zina.
Dalam hal ini, secara garis baris kasus anak zina dapat dibagi dalam empat
kategori yaitu (a) anak yang lahir tanpa adanya perkawinan; (b) kedua
pelaku zina menikah sebelum anak lahir; (c) perempuan hamil zina menikah
47
dengan pria lain (bukan yang menzinahi); (d) perempuan bersuami berzina,
hamil dan melahirkan anak.
48
إن هذا اْلقرار بالولد يثبت به. ولم يصرح بأنه من الزنا، إن الولد منه: إال إذا قال،نسبه منه
نسبه منه
(Ulama sepakat halalnya pria pezina menikahi wanita yang dizinahi.
Apabila melahirkan anak setelah enam bulan akad nikah maka
nasabnya ke pria itu. Apabila kurang dari 6 bulan dari waktu akad
nikah maka tidak dinasabkan padanya kecuali apabila si pria membuat
ikrar dengan mengatakan bahwa anak itu darinya dan tidak
menjelaskan bahwa ia berasal dari zina. Maka dengan ikrar ini nasab
anak tersebut tetap pada ayah biologisnya).
Adapun menurut madzhab Hanbali dan Maliki, maka haram hukumnya
menikahi wanita hamil zina kecuali setelah melahirkan. Dan karena itu,
kalau terjadi pernikahan dengan wanita hamil zina, maka nikahnya tidak
sah. Dan status anaknya tetap anak zina dan nasabnya hanya kepada
ibunya.
c. Madzhab Syafi’i jika anak lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan, anak
tersebut secara dzahir saja dinasabkan kepada suaminya, dan ia wajib
menafikannya (tidak mengakui anak) menurut pandangan Sayyid Ba
Alwi Al-Hadrami dalam Bughiyatul Mustarsyidin.
Inti dari pandangan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali dalam kasus
ini adalah bahwa anak yang terlahir dari hamil zina yang ibunya
menikah saat hamil dengan lelaki bukan yang menghamili, maka status
anak dinasabkan pada ibunya secara mutlak bukan pada bapaknya.
d. Apabila seorang perempuan bersuami berselingkuh, dan melakukan
hubungan zina dengan lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka status
anaknya saat lahir adalah anak dari suaminya yang sah; bukan anak dari
pria selingkuhannya. Bahkan, walaupun pria yang menzinahinya
mengklaim (Arab, istilhaq) bahwa itu anaknya. Sebagai anak dari laki-
laki yang menjadi suami sah ibunya, maka anak berhak atas segala hak
nasab (kekerabatan) dan hak waris termasuk wali nikah apabila anak
tersebut perempuan.
49
Pandangan ini disepakati oleh madzhab Hanbali di mana Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni mengatakan:
وإنما الخالف فيما إذا ولد،وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه ال يلحقه
على غير فراش
(Ulama sepakat bahwa apabila seorang anak lahir dari perempuan yang
bersuami kemudian anak itu diakui oleh lelaki lain maka pengakuan itu
tidak diakui. Perbedaan ulama hanya pada kasus di mana seorang anak
lahir dari perempuan yang tidak menikah).
50
Jawab:
Sampai hilangnya atau tidak adanya sesuatu yang mengharamkan. Seperti
yang telah dijelaskan diatas tentang mahram muaqqat.
14. Jika ada seorang laki-laki menikah dengan janda yang punya anak (anak
tiri). Apakah suaminya mahram dengan anak janda tersebut?
Jawab:
Diperinci:
• Mahram jika laki-laki telah berhubungan badan dengan ibunya
• Tidak mahram jika belum berhubungan badan dengan ibunya
51
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
52
Mahram ghairu muabbadah atau dalam beberapa kitab ulama disebut
mahram muaqatah ialah wanita-wanita yang haram untuk dinikahi yang
bersifat sementara waktu.
53
Hikmah dalam pensyari’atan mahram ini sangat besar dirasakan oleh
manusia khususnya umat Islam sendiri, sehingga manusia dapat hidup
dengan bahagia, lebih dapat mencapai ke tingkat yang sangat luhur dan
dapat hidup dengan orang yang lebih baik.
54
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
55
56