Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENGERTIAN WARIS, WASIAT DAN HIBAH

Disusun Oleh :

Nama : 1. Nur Kifayah Mutiara Sakinah Hamzah


2. Nur Im Samoal
3. Hikmahtu Zahra Tehuayo

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


JURUSAN HUKUM KELUARGA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kesehatan yang telah diberikan
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit
hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak, sehingga kendala-kendala
yang kami hadapi dapat teratasi.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai, kami juga berharap dari pembaca mengenai kritik dan saran yang dapat membangun
pengetahuan kami dalam pembuatan makalah berikutnya.

Ambon, 14 Desember 2022


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................
A. Latar Belakang ....................................................................................................
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A. Pengertian Waris, Wasiat Dan Hibah ...................................................................
B. Hak Mewarisi Menurut Hukum Perdata ...............................................................
C. Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Nasional ................................................
D. Hibah Dan Hukum Nasional ................................................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................................
A. Kesimpulan .........................................................................................................
B. Saran ...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia dan masyarakat pada
umumnya adalah yang berkaitan dengan harta. Manusia dan masyarakat, apapun
alasannya, tidak mungkin dilepaskan dari aspek tersebut. Harta, menjadi salah satu dari
apa-apa yang digeluti manusia. Oleh karena manusia dilengkapi hawa nafsu, maka Al-
Qur'an mengingatkan bahwa harta kekayaan adalah fitnah atau cobaan. Amat banyak
sekali masalah-masalah yang timbul akibat dari harta tersebut.
Menurut ajaran Islam, pemilikan seseorang terhadap harta tidak terlepas dari
hubungannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Oleh karena itu berkaitan dengan
harta, Islam membawa seperangkat hukum syari'at, yakni antara lain syari'at tentang
Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat. Adanya syari'at Islam
tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat merupakan hal
yang tidak terpisahkan dari iman dan akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa Islam telah
siap dengan sebuah konsep untuk menghadapi problema-problema dalam masyarakat,
terutama yang bersangkutan dengan masalah kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan.
Maka penulis pada kesempatan ini ingin berbagi pengetahuan tentang “waris,
Wasiat dan Hibah” ini yang mudah-mudahan akan bermanfaat bagi pembaca suatu hari
nanti.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini menjelaskan tentang :
1. Apakah Pengertian Waris, Wasiat Dan Hibah?
2. Bagaimana Hak Mewarisi Menurut Hukum Perdata?
3. Bagaimana Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Nasional?
4. Bagaimana Hibah Dan Hukum Nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Waris, Wasiat Dan Hibah
1. Pengertian Waris
Pengertian Warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik
harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya
yang masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah
menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan
karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33)
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari
hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal
ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa
meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus
menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi,
warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan
harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (‫)هىارخ‬, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya
menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau
dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik yang legal secara syar‟i.Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum
Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
2. Pengertian Wasiat
Kata wasiat ( ‫ ) الىصية‬berasal dari kata “washshaitu (‫) وصيث‬, asy-syaia ( ‫) الشيئ‬,
ushiiyah (‫) أصيه‬, artinya: aushaltu (‫( )أوصلث‬aku menyampaikan sesuatu)”.yang juga
berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan. Dalam Al-Qur'an kata wasiat
dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti
menetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am : 144 )‫)أم كٌحن شهداء إذ وصاكن هللا‬,
memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14, (‫ )ووصيٌا اإلًساى بىلديه‬dan
Maryam: 31 )‫ وأوصاًى بالصالة‬, mensyari'atkan (menetapkan) sebagaimana dalam surat
An-Nisa' ayat 12 (‫)وصية هي هللا‬. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah:
pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh
seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta benda yang
ditinggalkannya.

٠٨١ ‫ُوف ح ًّقا على ٱ ۡل ُوحَّ ِقيي‬


ِ ‫صيَّةُ ِل ۡل َٰى ِلد ۡي ِي وٱ ۡۡل ۡقر ِبيي ِبٱ ۡلو ۡعر‬
ِ ‫ت إِى جرك خ ۡيرًا ٱ ۡلى‬
ُ ‫ُك ِحب عل ۡي ُكنۡ إِذا حضر أحد ُك ُن ٱ ۡلو ۡى‬
Terjemah :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum
kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
(QS Al-Baqarah : 180)
Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran seorang muslim yang sudah merasa
ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian
(hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apabila ia meninggalkan
harta yang banyak.
Dikaitkan dengan perbuatan hukum wasiat itu pada dasarnya juga bermakna transaksi
pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan harta
atau pembebanan/pengurangan utang ataupun pembarian manfaat dari milik pemberi
wasiat kepada yang menerima wasiat.

Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak secara suka
rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata
atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat
itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ,
ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat
mati.”
Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa
berupa barang, piutang atau manfaat.

Istilah-istilah wasiat dalam bahasa Arab :


- Al-washi (‫ )الىاصي‬atau al-mushi (‫ = )الوىصي‬pemberi wasiat/pewasiat
- Al-Musho bihi (‫ = )الوىصى به‬perkara/benda yang dijadikan wasiat.
- Al-Musho lahu (‫ = )الوىصى له‬penerima wasiat (orang atau sesuatu)
- Al-mushu ilaih (‫ = )الوىصى إليه‬orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
- Wasiat (‫ = )الىصية‬perilaku/transaksi wasiat

Wasiat juga tidak hanya dikenal dalam system ekonomi Islam saja melainkan system
hukum barat misalnya testamen yakni suatu pernyataan yang dikehendaki kepada
seseorang yang akan dilakukan setelah wafat. Wasiat atau Testamen ialah suatu
pernyataan dari seseorang tentang apa yang ia kehendaki setelahnya ia meninggal
dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu adalah keluar dari satu
pihak saja (eenzidig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.
Penarikan kembali itu (herroepen), boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau seara diam-
diam (stiilzwijgend).
Menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Muhabadat Fil Al-Miras Al-Muqaram
mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain
untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara suka rela atau tidak
mengharapkan imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa
kematian orang yang berwasiat kematian orang yang berwasiat.

3. Pengertian Hibah
1. Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya
“nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut
dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa
harta atau selainnya. Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya
adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup
tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang
meliputi :
a) Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di
akhirat;
c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk
memberi imbalan.
2. Pengertian Hibah Menurut Islam
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta
benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara‟ ialah:
a) Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada
syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si
pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah
milik si pemberi.
b) Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa
mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya
tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan
hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah
dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah.
c) Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh
seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat
diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya
untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,

dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada
imbalan.
d) Menurut Madzhab Syafii, hibah mengandung dua pengertian:
1) Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan
dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang
mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang
dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena
menutup kebutuhan orang yang diberikannya.
2) Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan
sedekah.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat mazhab tersebut
berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama, yaitu;
“hibah adalah memberikan hak milik sesuatu benda kepada orang lain yang
dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesama manusia
dalam hal kebaikan”
3. Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu persetujuan,
dengan si pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak
ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah untuk
digunakan sebagai layaknya milik pribadi. Dalam KUH Perdata sama sekali tidak
mengakui lain-lain hibah, kecuali hibah di antara orang-orang yang masih hidup.
Hibah itu hanya mengenal benda-benda yang sudah ada, jika benda itu meliputi
benda yang akan ada di kemudian hari, maka sekedar mengenai hal ini hibahnya
adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH Perdata)
4. Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki. Pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab
fiqih tradisional bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemilikan sesuatu
melalui akad tanpa mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika
si pemberi hibah masih hidup.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan


perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus
ada dalam pelaksanaan hibah. Jadi asasnya adalah sukarela.

B. Hak Mewarisi Menurut Hukum Perdata


Terkait pembagian waris berdasarkan hukum perdata. Sebelumnya dapat kami
sampaikan bahwa menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan
cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.Bila orang yang meninggal
dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan
pembagian warisan sebagai berikut:
1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak,
masing-masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak
mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia,
dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua,
separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari
yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW). Pasal 832 ayat
(1) KUHPer menyebutkan bahwa : “Menurut undang-undang, yang berhak menjadi
ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun
yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut
peraturan-peraturan berikut ini. Dalam hukum perdata waris dibagi dalam beberapa
golongan. Golongan ahli waris dapat dibedakan atas 4 (empat) golongan ahli waris,
yaitu: 1. Golongan I : Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannnya ke bawah
tanpa batas beserta janda/duda. 2. Golongan II : Golongan ini terdiri dari ayah
dan/atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannnya sampai derajat ke-6. 3.
Golongan III : Goloongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut lurus ke atas. 4.
Golongan IV : Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis ke samping
yang lebih jauh sampai derajat ke-6. Pembagian harta warisan berbeda sesuai dengan
golongan diatas diantaranya meliputi: 1. Dalam golongan I ini, suami atau istri dan
atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Masing-masing
mendapat ¼ bagian. 2. Golongan II ini adalah mereka yang mendapatkan warisan
bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang
berhak adalah kedua orangtua, saudara dan atau keturunan saudara pewaris, yakni
ayah, ibu, dan saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada
prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian 3. Golongan III ini
adalah, apabila pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang
mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu
maupun ayah, yakni kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya,
dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu. 4.
Golongan IV ini adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka
ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya
paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian. Undang-undang tidak
membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan
kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada
maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun
ke samping. Demikian pula, golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang
lebih rendah derajatnya.Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus
bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh
pewaris semasa hidupnya. Terkait kasus waris yang saudara sampaikan maka
berdasarkan hukum perdata yang berhak menerima waris jika pewaris selaku kepala
keluarga meninggal adalah istri dan ketiga anaknya (anak kandung) dengan masing-
masing memperoleh ¼ bagian, dalam hal ini bagian anak laki-laki dan perempuan
sama. Sedangkan terkait anak angkat pewaris dapat kami sampaikan bahwa
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 852 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan
bahwa: “ahli waris ialah: Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan
dari lain-lain perkawinan sekali pun mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek,
atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan
tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan
kelahiran lebih dulu” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa
ahli waris merupakan mereka yang memiliki hubungan darah/sedarah dengan
pewaris. Inilah dasar hukum yang menegaskan bahwa anak angkat tidak bisa
dikatakan sebagai ahli waris. Anak angkat (anak adopsi) bukan merupakan anak yang
memiliki hubungan darah. Sedangkan syarat utama pewarisan adalah adanya
hubungan darah. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pemenuhan
hak anak angkat mengenai harta waris yaitu dengan memberikan hibah sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 957 KUHPerdata yang menyatakan ; “hibah wasiat ialah
Suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada
seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu
seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau
memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya”
Pemberian hibah wasiat sebagai pemenuhan hak anak angkat terhadap harta waris
harus dilakukan secara adil. Maksudnya, bila pemberian hibah tersebut memiliki nilai
yang terlalu besar sehingga mengurangi hak dari ahli waris sah, maka nominalnya
harus dikurangi. Di sisi lain, apabila orang tua angkat yang merupakan penghibah
telah mewasiatkan ketentuan lain, maka pemberian harta berjumlah besar dapat
dilakukan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 972 KUHPerdata: “Apabila warisan
tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila warisan diterimanya
dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang ini tidak
mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibah itu dalam
keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang
hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain dalam surat wasiatnya”

C. Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Nasional


1. Hukum Waris Islam
Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum
Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur‟an berikut ini, yaitu :
 Surat An-Nisa‟ ayat 7, yang artinya :

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Joko Utama,
Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur‟an Al Karim dan Terjemahnya, CV. Putra
Toha Semarang, Semarang, hal.62. )
 Surat An-nisa‟ ayat 8, yang artinya :

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,
maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.” (Ibid. )
 Surat An-Nisa‟ ayat 11, yang artinya :

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)


anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari
dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya.
(Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Ibid.)
 Surat An-Nisa‟ ayat 12, yang artinya

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu
saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Ibid.)

 Rukun –Rukun Mewarisi


Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris.
Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi
pewarisan.
Menurut hukum islam, rukun-rukun mewarisi ada 3 yaitu :
a) Muwarrits (pewaris)
Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia
dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi- bagikan atau pengalihan harta
kepada para ahli waris.
b) Warits (ahli waris)
Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak
mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan
kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak
perwalian dengan muwarrits.
Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam,
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
c) Mauruts (harta waris)
Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di
tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk
biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta
peninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang
dibenarkan syari‟at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:
a. Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai
b. Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian
c. Hak-hak immateriil, misal hak syuf‟ah (privilege)
d. Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak
gadai yang sesuai syari‟ah, penulis).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah
harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)

 Syarat-Syarat Mewarisi
Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya
syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
1) Meninggal dunianya muwarris (pewaris).
Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu: (Fathur
Rahman, 1981 :79)
a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di sebabkan adanya
putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.
c.Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada dugaan yang
kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
2) Hidupnya warits (ahli waris).
Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain
mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan
mengandung ketika muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut
dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di
tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
3) Mengetahui status kewarisan
Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,
misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan
pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah
yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah
saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai
hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan
(mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

2. Hukum Waris Nasional


 Hukum Waris Perdata
Merupakan pembagian harta warisan yang diatur oleh hukum perdata atau hukum
keuangan secara umum dan berlaku di Indonesia. Pembagian warisan menurut
Hukum Waris Undang-Undang (KUH Perdata) dapat dibedakan menjadi empat
golongan ahli waris, yakni:
Golongan I: Termasuk suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang
berhak menerima warisan. Pembagiannya adalah, istri atau suami dan anak-
anaknya, masing-masing mendapat 1/4 bagian.

Golongan II: Merupakan mereka yang mendapat warisan bila pewaris belum
memiliki suami atau istri serta anak. Maka, yang berhak mendapatkan warisan
adalah kedua orang tua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Golongan III: Dalam golongan ini, pewaris tidak memiliki saudara kandung
sehingga yang mendapatkan warisan adalah keluarga dalam garis lurus ke atas,
baik dari garis ibu maupun ayah. Misal, yang mendapatkan bagian adalah kakek
atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi 1/2 bagian
untuk garis ayah, dan 1/2 bagian untuk garis ibu.

Golongan IV: Yang berhak mendapat warisan adalah keluarga sedarah dalam
garis atas yang masih hidup. Mereka mendapat 1/2 bagian. Sedangkan ahli waris
dalam garis lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan 1/2
bagian sisanya.

 Hukum Waris Adat

Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku
bangsa, maka Tanah Air kita juga memiliki hukum waris adat sebagai acuan
pembagian harta warisan. Adapun hukum adat sendiri bentuknya tidak tertulis.
Maka dari itu, hukum warisan berdasarkan adat banyak dipengaruhi oleh struktur
kemasyarakatan dan kekerabatan. Di Indonesia sendiri, sistem pewarisan adat
dibagi menjadi beberapa macam sistem.

Sistem keturunan: Pembagiannya dibedakan menjadi tiga macam. Yakni,


patrilineal atau berdasarkan garis keturunan bapak. Kedua, sistem matrilineal
yaitu berdasarkan garis keturunan ibu. Ketiga,

Sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
Sistem Individual: Setiap ahli waris mendapatkan harta menurut bagiannya
masing-masing. Biasanya diterapkan pada masyarakat yang menerapkan bilateral
seperti Jawa dan Batak.

Kolektif: Ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penugasan atau kepemilikannya. Setiap ahli waris juga hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta tersebut.

Sistem Mayorat: Harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi
dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Seperti halnya di
masyarakat Bali dan Lampung, harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua,
dan di Sumatera Selatan kepada anak perempuan tertua.

Itulah beberapa hukum waris yang ada di Indonesia. Pembagiannya memang


dalam membaginya pun dibutuhkan kesabaran agar tidak menimbulkan konflik
dalam keluarga.
perlu ingatkan juga jangan lupa juga lakukan komunikasi atau musyawarah
dengan keluarga terkait pembagian harta gono-gini. Komunikasi yang terbuka
bisa membantu mendapatkan hasil akhir terkait pembagian warisan secara adil
dan tentunya hubungan keluarga tetap harmonis.

D. Hibah Dalam Hukum Nasional


1. Pengertian Hibah Adalah

Hibah adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dengan mengalihkan hak atas
sesuatu kepada pihak lain. Contohnya hak kepemilikan suatu barang. Inisiatif
penghibahan berasal dari pemberi hibah, bukan dari penerima hibah. Karena
pemberian hibah dilakukan secara cuma-cuma, terkadang hibah juga dianggap sebagai
hadiah kepada orang lain.
Dilansir dari situs Badan Pembinaan Hukum Nasional, ketentuan mengenai hibah
telah diatur dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hibah adalah pemberian oleh seseorang kepada pihak
lain secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali. Menurut Kompilasi Hukum
Islam juga sama, yaitu hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah yang diberikan
oleh orang tua kepada anaknya.
Sesuatu yang dihibahkan dapat berupa barang-barang bergerak dan barang-barang
tidak bergerak, contohnya properti dan tanah. Benda atau harta tersebut dihibahkan
kepada pihak lain ketika pemberi hibah masih hidup. Selain orang, harta yang
dihibahkan juga bisa diberikan kepada lembaga, misalnya lembaga pendidikan.

2. Syarat-Syarat Hibah

Jumlah hibah biasanya tidak sedikit sehingga pemberian hibah kepada orang lain bisa
saja berujung pada tuntutan apabila ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk
menghindari hal tersebut, pemberian hibah perlu disertai dengan surat persetujuan
dari anak kandung ataupun ahli waris pemberi hibah. Selain itu, pemberian hibah juga
sebaiknya tidak melanggar hak mutlak ahli waris atau bagian warisan yang telah
ditetapkan oleh undang-undang untuk tiap-tiap ahli waris.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah pemberian hibah sesuai dengan
syarat-syarat hibah. Menurut KUHPerdata, beberapa syarat hibah adalah:
Usia (Pasal 1329 dan Pasal 1330 Orang yang sudah dewasa atau cakap
KUHPerdata) hukum menurut Undang-Undang

Pengesahan (Pasal 1682 KUHPerdata) Harus dilakukan dengan akta notaris

Hibah kepada orang di bawah umur (Pasal Harus diterima oleh orang yang
1685 KUH Perdata) menjalankan kekuasaan orangtua itu
Jika ingin memberikan hibah dalam bentuk tanah, ada syarat lainnya yang perlu
diperhatikan. Setelah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran
tanah berlaku, tiap pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jika hibah berupa tanah tidak dibuat oleh
notaris, maka tidak akan memiliki kekuatan hukum.

3. Hukum Soal Hibah


Dalam hibah, hak atas sesuatu yang dialihkan kepada pihak lain sebaiknya
menguntungkan bagi pihak yang menerima hibah. Harta yang dihibahkan juga tidak
dalam keadaan terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain, contohnya terikat
karena sedang digadaikan.
Apabila syarat hibah telah dipenuhi, hibah tidak bisa ditarik kembali setelah diberikan
kepada penerima hibah. Namun, menurut Pasal 1688 KUHPerdata, pembatalan hibah
bisa saja dilakukan melalui pengadilan jika syarat penghibahan tidak dipenuhi,
penerima hibah melakukan kejahatan terhadap pemberi hibah, dan penerima hibah
menolak memberikan nafkah kepada pemberi hibah ketika kondisi ekonomi pemberi
hibah mengalami penurunan.
Jika penghapusan hibah ini terjadi akibat persyaratan hibah tidak terpenuhi, benda
atau harta yang telah dihibahkan perlu dikembalikan kepada pemberi hibah. Tidak
hanya itu, ketika dikembalikan kepada pemberi hibah, harta itu harus dalam keadaan
baik dan bersih dari beban-beban yang berkaitan dengan harta tersebut.
Selain itu, berdasarkan Pasal 1667 KUHPerdata, sesuatu yang dihibahkan harus
berupa benda atau harta yang sudah ada. Jika hibah yang diberikan merupakan benda-
benda yang belum diketahui saat ini atau baru akan ada di masa yang akan datang,
maka proses penghibahannya batal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
1. Warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta
maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang
masih hidup. Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai
harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan
bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan
menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa,
yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi
suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang
sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi,
warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan
harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.
2. Wasiat adalah pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan
tulisan oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta benda yang
ditinggalkannya. Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram,
terkadang makruh, dan terkadang mubah (boleh).
3. Pengertian Hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain
yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame
manusia dalam hal kebaikan. Hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya
dengan kewarisan, karena berdasarkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah
diberikan ketika si penghibah masih hidup sedangakan kewarisan dilakukan setelah
adanya kematian. Namun dengan adanya permasalahan yang ada, tak menutup
kemungkinan seseorang memberikan atau menghadiahkan seluruh hartanya kepada
orang lain, yang mana bisa merugikan ahli warisnya kelak.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman Fatchur, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma‟arif)
Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV
diponegoro)
Salman Otje & haffas Mustofa, 2002, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama)
Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Bandung : PT.
Citra aditya bakti,)
Dian khoirul umam, 1999, fiqih Mawaris, (Bandung : CV. Pustaka setia)
Amin husain nasution, 2012, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT raja grafindo persada)
Ahmad kuzairi, 1996, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan)
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Abdul Manan, Aneka masalah Hukum perdata Islam di Indonesia.
Abdur Rahman Al Jaziri, Al Figih „Ala Madzahib Al Arba‟ah. juz 3
Kompilasi Hukum Islam. Citra Media Wacana. 2008
Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam, zakat dan WAkaf. UI-Press. 1988
Muhammad Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di PA dan Kewarisan
menurut Undang-Undang HUkum Perdata di PN. Pedoman ILmu Jaya, Jakarta. 1992
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 3, Darul Fikr: Beirut, LIbanon.

Anda mungkin juga menyukai