Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kesehatan yang telah diberikan
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit
hambatan yang kami hadapi, namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak, sehingga kendala-kendala
yang kami hadapi dapat teratasi.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai, kami juga berharap dari pembaca mengenai kritik dan saran yang dapat membangun
pengetahuan kami dalam pembuatan makalah berikutnya.
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................
A. Latar Belakang ....................................................................................................
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A. Pengertian Waris, Wasiat Dan Hibah ...................................................................
B. Hak Mewarisi Menurut Hukum Perdata ...............................................................
C. Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Nasional ................................................
D. Hibah Dan Hukum Nasional ................................................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................................
A. Kesimpulan .........................................................................................................
B. Saran ...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia dan masyarakat pada
umumnya adalah yang berkaitan dengan harta. Manusia dan masyarakat, apapun
alasannya, tidak mungkin dilepaskan dari aspek tersebut. Harta, menjadi salah satu dari
apa-apa yang digeluti manusia. Oleh karena manusia dilengkapi hawa nafsu, maka Al-
Qur'an mengingatkan bahwa harta kekayaan adalah fitnah atau cobaan. Amat banyak
sekali masalah-masalah yang timbul akibat dari harta tersebut.
Menurut ajaran Islam, pemilikan seseorang terhadap harta tidak terlepas dari
hubungannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Oleh karena itu berkaitan dengan
harta, Islam membawa seperangkat hukum syari'at, yakni antara lain syari'at tentang
Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat. Adanya syari'at Islam
tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat merupakan hal
yang tidak terpisahkan dari iman dan akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa Islam telah
siap dengan sebuah konsep untuk menghadapi problema-problema dalam masyarakat,
terutama yang bersangkutan dengan masalah kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan.
Maka penulis pada kesempatan ini ingin berbagi pengetahuan tentang “waris,
Wasiat dan Hibah” ini yang mudah-mudahan akan bermanfaat bagi pembaca suatu hari
nanti.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini menjelaskan tentang :
1. Apakah Pengertian Waris, Wasiat Dan Hibah?
2. Bagaimana Hak Mewarisi Menurut Hukum Perdata?
3. Bagaimana Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Nasional?
4. Bagaimana Hibah Dan Hukum Nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Waris, Wasiat Dan Hibah
1. Pengertian Waris
Pengertian Warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik
harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya
yang masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah
menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan
karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33)
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari
hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal
ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa
meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus
menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi,
warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan
harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras ()هىارخ, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya
menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau
dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik yang legal secara syar‟i.Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum
Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
2. Pengertian Wasiat
Kata wasiat ( ) الىصيةberasal dari kata “washshaitu () وصيث, asy-syaia ( ) الشيئ,
ushiiyah () أصيه, artinya: aushaltu (( )أوصلثaku menyampaikan sesuatu)”.yang juga
berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan. Dalam Al-Qur'an kata wasiat
dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti
menetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am : 144 ))أم كٌحن شهداء إذ وصاكن هللا,
memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14, ( )ووصيٌا اإلًساى بىلديهdan
Maryam: 31 ) وأوصاًى بالصالة, mensyari'atkan (menetapkan) sebagaimana dalam surat
An-Nisa' ayat 12 ()وصية هي هللا. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah:
pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh
seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta benda yang
ditinggalkannya.
Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak secara suka
rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata
atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat
itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ,
ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat
mati.”
Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa
berupa barang, piutang atau manfaat.
Wasiat juga tidak hanya dikenal dalam system ekonomi Islam saja melainkan system
hukum barat misalnya testamen yakni suatu pernyataan yang dikehendaki kepada
seseorang yang akan dilakukan setelah wafat. Wasiat atau Testamen ialah suatu
pernyataan dari seseorang tentang apa yang ia kehendaki setelahnya ia meninggal
dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu adalah keluar dari satu
pihak saja (eenzidig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.
Penarikan kembali itu (herroepen), boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau seara diam-
diam (stiilzwijgend).
Menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Muhabadat Fil Al-Miras Al-Muqaram
mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain
untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara suka rela atau tidak
mengharapkan imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa
kematian orang yang berwasiat kematian orang yang berwasiat.
3. Pengertian Hibah
1. Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya
“nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut
dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa
harta atau selainnya. Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya
adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup
tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang
meliputi :
a) Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di
akhirat;
c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk
memberi imbalan.
2. Pengertian Hibah Menurut Islam
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta
benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara‟ ialah:
a) Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada
syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si
pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah
milik si pemberi.
b) Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa
mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya
tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan
hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah
dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah.
c) Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh
seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat
diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya
untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,
dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada
imbalan.
d) Menurut Madzhab Syafii, hibah mengandung dua pengertian:
1) Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan
dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang
mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang
dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena
menutup kebutuhan orang yang diberikannya.
2) Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan
sedekah.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat mazhab tersebut
berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama, yaitu;
“hibah adalah memberikan hak milik sesuatu benda kepada orang lain yang
dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesama manusia
dalam hal kebaikan”
3. Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu persetujuan,
dengan si pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak
ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah untuk
digunakan sebagai layaknya milik pribadi. Dalam KUH Perdata sama sekali tidak
mengakui lain-lain hibah, kecuali hibah di antara orang-orang yang masih hidup.
Hibah itu hanya mengenal benda-benda yang sudah ada, jika benda itu meliputi
benda yang akan ada di kemudian hari, maka sekedar mengenai hal ini hibahnya
adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH Perdata)
4. Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki. Pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab
fiqih tradisional bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemilikan sesuatu
melalui akad tanpa mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika
si pemberi hibah masih hidup.
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Joko Utama,
Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur‟an Al Karim dan Terjemahnya, CV. Putra
Toha Semarang, Semarang, hal.62. )
Surat An-nisa‟ ayat 8, yang artinya :
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,
maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.” (Ibid. )
Surat An-Nisa‟ ayat 11, yang artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu
saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Ibid.)
Syarat-Syarat Mewarisi
Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya
syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
1) Meninggal dunianya muwarris (pewaris).
Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu: (Fathur
Rahman, 1981 :79)
a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di sebabkan adanya
putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.
c.Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada dugaan yang
kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
2) Hidupnya warits (ahli waris).
Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain
mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan
mengandung ketika muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut
dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di
tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
3) Mengetahui status kewarisan
Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,
misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan
pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah
yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah
saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai
hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan
(mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
Golongan II: Merupakan mereka yang mendapat warisan bila pewaris belum
memiliki suami atau istri serta anak. Maka, yang berhak mendapatkan warisan
adalah kedua orang tua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.
Golongan III: Dalam golongan ini, pewaris tidak memiliki saudara kandung
sehingga yang mendapatkan warisan adalah keluarga dalam garis lurus ke atas,
baik dari garis ibu maupun ayah. Misal, yang mendapatkan bagian adalah kakek
atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi 1/2 bagian
untuk garis ayah, dan 1/2 bagian untuk garis ibu.
Golongan IV: Yang berhak mendapat warisan adalah keluarga sedarah dalam
garis atas yang masih hidup. Mereka mendapat 1/2 bagian. Sedangkan ahli waris
dalam garis lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan 1/2
bagian sisanya.
Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku
bangsa, maka Tanah Air kita juga memiliki hukum waris adat sebagai acuan
pembagian harta warisan. Adapun hukum adat sendiri bentuknya tidak tertulis.
Maka dari itu, hukum warisan berdasarkan adat banyak dipengaruhi oleh struktur
kemasyarakatan dan kekerabatan. Di Indonesia sendiri, sistem pewarisan adat
dibagi menjadi beberapa macam sistem.
Sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
Sistem Individual: Setiap ahli waris mendapatkan harta menurut bagiannya
masing-masing. Biasanya diterapkan pada masyarakat yang menerapkan bilateral
seperti Jawa dan Batak.
Kolektif: Ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penugasan atau kepemilikannya. Setiap ahli waris juga hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta tersebut.
Sistem Mayorat: Harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi
dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Seperti halnya di
masyarakat Bali dan Lampung, harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua,
dan di Sumatera Selatan kepada anak perempuan tertua.
Hibah adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dengan mengalihkan hak atas
sesuatu kepada pihak lain. Contohnya hak kepemilikan suatu barang. Inisiatif
penghibahan berasal dari pemberi hibah, bukan dari penerima hibah. Karena
pemberian hibah dilakukan secara cuma-cuma, terkadang hibah juga dianggap sebagai
hadiah kepada orang lain.
Dilansir dari situs Badan Pembinaan Hukum Nasional, ketentuan mengenai hibah
telah diatur dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hibah adalah pemberian oleh seseorang kepada pihak
lain secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali. Menurut Kompilasi Hukum
Islam juga sama, yaitu hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah yang diberikan
oleh orang tua kepada anaknya.
Sesuatu yang dihibahkan dapat berupa barang-barang bergerak dan barang-barang
tidak bergerak, contohnya properti dan tanah. Benda atau harta tersebut dihibahkan
kepada pihak lain ketika pemberi hibah masih hidup. Selain orang, harta yang
dihibahkan juga bisa diberikan kepada lembaga, misalnya lembaga pendidikan.
2. Syarat-Syarat Hibah
Jumlah hibah biasanya tidak sedikit sehingga pemberian hibah kepada orang lain bisa
saja berujung pada tuntutan apabila ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk
menghindari hal tersebut, pemberian hibah perlu disertai dengan surat persetujuan
dari anak kandung ataupun ahli waris pemberi hibah. Selain itu, pemberian hibah juga
sebaiknya tidak melanggar hak mutlak ahli waris atau bagian warisan yang telah
ditetapkan oleh undang-undang untuk tiap-tiap ahli waris.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah pemberian hibah sesuai dengan
syarat-syarat hibah. Menurut KUHPerdata, beberapa syarat hibah adalah:
Usia (Pasal 1329 dan Pasal 1330 Orang yang sudah dewasa atau cakap
KUHPerdata) hukum menurut Undang-Undang
Hibah kepada orang di bawah umur (Pasal Harus diterima oleh orang yang
1685 KUH Perdata) menjalankan kekuasaan orangtua itu
Jika ingin memberikan hibah dalam bentuk tanah, ada syarat lainnya yang perlu
diperhatikan. Setelah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran
tanah berlaku, tiap pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jika hibah berupa tanah tidak dibuat oleh
notaris, maka tidak akan memiliki kekuatan hukum.