Anda di halaman 1dari 15

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Pengantar Studi Hadis Bapak Najib M. Ag.

Periwayatan Hadis

OLEH KELOMPOK :

Ahmad Mudzakkir (200103030201)

Muhammad Ricardo Huzair (200103030261)

M. Wildan Agusti (200103030296)

Resvin Noor Ananda Sidiq (200103030028)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA


JURUSAN AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Harapan kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga untuk kedepannya kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini dengan lebih baik.

Kami menyadari bahwa maklah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang
Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................


Kata Pengantar .................................................................................i
Daftar isi...........................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................1
B. Rumusan masalah .................................................................1
C. Tujuan....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................2


A. Pengertian Hadist ....................................................................2
B. Bagaimana Cara Periwayatannya ...........................................3
C. Bentuk – Bentuk
Periwayatan Hadis ..................................................................4

BAB III PENUTUP........................................................................10

A. Kesimpulan............................................................................10
Daftar Pustaka ....................................................................................11

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam konteks periwayatan Hadis, sahabat Nabi merupakan generasi pertama yang
langsung menerima sabda-sabda dari Nabi saw. namun dalam aktivitasnya, para sahabat
berbeda-beda cara dalam menerima sabda tersebut, bahkan tiap seorang dari sahabat tidak
dapat dan tidak mungkin mengetahui langsung semua Hadis, baik yang berbentuk aqwal,
af’al maupun taqrir,1 sebab tidak mungkin pula semua sahabat senantiasa bersama Nabi
sepanjang harinya akan tetapi pada masa itu, para sahabat yang hadir di majlis Rasulullah
saw. senantiasa memberikan informasi keapada sahabat lain yang tidak sempat hadir
tentang hal-hal yang mereka dengar dan lihat pada majlis tersebut. Mereka selalu
menisbahkan hal-hal tersebut kepada Nabi saw., sehingga hampir semua informasi tentang
sabda dan perilaku Nabi sudah terekam diingatakan para sahabat. Dari sinilah proses
periwayatan sebenarnya secara tidak langsung dan tidak tertulis sudah dirintis oleh para
sahabat. Pada masa berikutnya proses ini semakin berjalan secara berkesinambungan
hingga pada masa tabi’in dan generasi setelahnya.

Cara yang dilakukan para ulama di masa-masa berikutnya dalam meneliti kehidupan
rawi, baik yang berkaitan dengan keadaan khusus dan keadaan yang bersifat umum. Segi
daya hapal, dan segi kecermatannya, adalah dengan meneliti bagaimana seorang periwayat
tersebut memperoleh Hadis dari gurunya dan bagaimana cara periwayat menyampikan
riwayat tersebut kepada periwayat lain .2

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Hadist ?
2. Bagaimana Cara Periwayatannya ?
3. Apa Bentuk-Bentuk Periwayatan Hadis?

1
Khaeruman, 2004, p. 88
2
Fayyad, 1998, p. 51
1
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui Pengertian Hadist Dan Cara Periwayatannya.
2. Mengetahui Cara Periwayatannya.
3. Mengetahui Bentuk-Bentuk Periwayatan Hadis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist Dan Cara Periwayatannya

Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadis. Hal ini disebabkan
berbeda pandangannya dalam menilai luasnya arti hadis.Menurut ahli hadis, menyatakan
bahwa hadis sama dengan arti Sunnah yang mencakup segala sesuatu yang diterima dari
Nabi Saw. baik sebelum diangkat menjadi Rasul (nubuat) maupun sesudahnya. Namun
demikian mereka juga mereka berpendapat bahwa bila disebutkan dengan istilah
hadis,maka maknanya adalah perkataan, perbuatan dan iqrarnya Nabi Saw setelah ia
diangkat sebagai Nabi.1 Berdasarkan urain di atas maka ulama hadis telah memberikan
ta’rif hadis sebagai berikut: “Perkataan Nabi Saw, perbuatan dan hal ihwalnya”. Menurut
ahli ushul, bahwa istilah hadis sama dengan As-Sunnah. Akan tetapi hadis itu
pengertiannya lebih bersifat khusus; itupun terbatas dalam masalah yang ada
sangkutpautnya dengan hukum. Sedangkan kebanyakan para muhadisin menetapkan bahwa
hadis itu adalah sinonim As-Sunnah. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah
dikemukakan para ahli tentang pengertian hadis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
yang dikatakan hadis adalah segala perkataan, perbuatan dan keadaan taqrir Nabi Saw.
Kecuali itu, kalangan ushuliyin mempunyai persepsi lain, yaitu segala tingkah laku Nabi
Saw, baik ucapan, perbuatan dan persetujuannya serta ada keterkaitannya dengan hukum,
mereka cenderung menyebutnya As-Sunnah.
Para rawi telah menerima sebuah hadis dari seseorang dan menyampaikannya kepada
seseorang yang lain, penyampaian tersebut baik secara maknawy maupun lafdhy. Untuk
keabsahan hadis-hadis yang diriwayatkan itu, maka kalangan muhaddisin menetapkan
beberapa syarat khusus, baik syarat ketika menerima (tahammul) hadis, maupun syarat saat
menyampaikan (ada’) kannya kepada orang lain. Syarat-Syarat Serah Terima Hadis
Para ulama tidak merinci seputar syarat-syarat sahnya penerimaan masa periwayatan; akan
tetapi dapatlah dinyatakan bahwa seorang penerima riwayat hadis hendaknya ;
a. Sehat akal pikirannya

2
b. hadis yang di terimanya.

Melihat kepada syarat yang telah disebutkan diatas maka tidak salahnya seorang anak
boleh menerima hadis asal saja ia sehat akal pikirannya. Jumhur Ulama telah membolehkan
anak-anak menerima riwayat hadis, akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai berapa
batas umur minimal seseorang anak sehingga dibenarkan menerima riwayat hadis. Pendapat
pertama mengatakan bahwa batas minimal usia anak tersebut adalah 5 (lima) tahun.
Pendapat kedua mengatakan bahwa anak tersebut sekedar bisa membedakan antara sapi dan
keledai. Ini adalah pendapat Musan bin Harun al- Hammal.

Mahmud al-Tahh dalam Tafsir Mustalahal-Hadisth menjelaskan: menurut pendapat yang


sahih tidak ada persyaratan Islam dan baligh dalam penerimaan (al-tahammul) Hadis,
namun dalam penyampaian (al-ada’) disyaratkan islam dan baligh.3 Berangkat dari hal ini,
maka periwayatan oleh orang muslim baligh tetang Hadis yang diterimanya ketika ia
belum masuk islam akan diterima (maqbul), hanya saja dalam kasus seperti ini tamyiz
tetap dipersyaratkan bagi yang belum baigh. Sebagian ulama ada yang mensyaratkan
baligh dalam penerimaan Hadis, namun persyaratan ini tidaklah tepat, karena pada masa
sahabat telah terjadi penerimaan riwayat dari para sahabat yang masih junior (al-sighar),
seperti Hasan, Ibnu ‘Abbas dan lainnya tanpa membedakan apakah riwayat yang mereka
terima tersebut diterima oleh para junior ketika ia sudah baligh maupun sebelumnya lain
mengatakan bahwa syaratnya adalah asal si anak sudah dapat memahami percakapan dan
dapat berkomunikasi meskipun belum sampai 5 (lima) tahun.4 Ulama lain mengatakan
bahwa orang kafir pun dianggap sah menerima hadis. 4

3
n.d., p. 132
4
Al-Thahhān, n.d., p. 132
3
B. Bentuk – Bentuk Periwayatan Hadis
Ada beberapa macam cara periwayatan sesuatu hadis, dari seorang perawi kepada perawi
lainnya, yaitu:
1. As Sima’i
2. Al Qira’ah /Qira’ah ‘ala Asy Syeikh
3. Al Ijazah
4. Al Munawalah
5. Al Mukatabah
6. Al I’lam/I’lam ‘ala Asy Syeikh
7. Al Washiyah
8. Al Wijadah

a. Mendengar (As-Sima’i)
Bentuk al-sima’ ini merupakan bentuk paling tinggi dan kuat diantara bentuk
periwayatan lainnya5 Di lisan orang arab sudah lazim tentang ucapan seorang periwayat
Hadis : haddathana fulan, atau akhbarana fulan, atau anba’ana fulan, atau zakarana
fulan, atau qala lana fulan, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu menurut ulama bahasa,
sama seperti ucapan periwayat Hadis sami’tu fulan. Dari sini bisa diambil pemahaman
bahwa mereka, para ulama Hadis menggunakan cara-cara ulama bahasa dalam
pemakaian istilah-istilah tersebut .6
Al-Tahhan mejelaskan, bahwa yang dimaksud as-sima’i adalah ketika seorang al-
shaikh (guru) membaca dan al-tholib (murid) mendengarkannya, baik sang guru
tersebut membacakan berdasarkan hafalan maupun membaca dari kitab, sedang sang
murid menuliskan apa yang ia dengar atau hanya mendengarkan saja tanpa
menuliskannya.7

b. Membaca (Al-Qira’ah)
5
Al-Thahhān, n.d., p. 133
6
Salih, 2009, p. 93
7
Al-Thahhān, n.d., p. 132
4
Yang dimaksud dengan membaca di sini adalah kegiatan membaca seorang murid di
depan gurunya, baik secara hapalan maupun dengan melihat sebuah kitab8. Apabila
bacaannya bukan hapalan atau tidak pula dengan membaca dari kitab melainkan dengan
mendengar orang lain membaca di depan gurunya, maka untuk orang tersebut
disyaratkan harus hapal bacaannya .9
Pendapat yang banyak diterima mengatakan bahwa membaca tanpa mendengar
lebih dahulu itu menempati derajat kedua, namun ada sementata ulama berpendapat
bahwa cara manapun sama derajatnya dengan mendengar. Mereka tidak
mempermasalahkan murid yang mengungkapkan apa yang pernah dibacakannya pada
gurunya ketika dia menyampaikan riwayat yang di dapat gurunya tersebut. Ada juga
ahli Hadis yang sangat mementingkan membaca dari pada mendengar10.
Terkait derajat kualitas bentuk Al-Qira’ah atau membaca ini, Mahmud al-Tahhan
membaginya dalam tiga kelompok pendapat, pertama, membaca sama derajatnya
dengan mendengar (As-Sima’i), pendapat ini diriwayatkan dari Malik, al-Bukhari, dan
mayoritas ulama hijaz dan kufah., kedua, lebih rendah dari pada As-Sima’i, pendapat ini
diriwayatkan dari mayoritas ahl al-mashriq dan ini adalah pendapat yang sahih., ketiga,
lebih tinggi dari As-Sima’i, pendapat ini diriwayatkan dari abu Hanifah, ibn Abi Za’b
dan satu pendapat dari Malik.11

c. Ijazah (Al-Ijazah)
Yang dimaksud ijazah di sini adalah memberikan izin periwayatan baik secara
ucapan maupun tulisan (Al-Thahhān, n.d., p. 134). Bentuk ijazah ini adalah seperti
halnya ucapan seorang guru kepada murid : “saya memberikan ijazah kepadamu untuk
meriwayatkan kitab sahih al-bukhari “ (Al-Thahhān, n.d., p. 134). Di antara bentuk
ijazah yang bisa diterima oleh kebanyakan ulama ialah, ijazah sebuah kitab atau
beberapa kitab tertentu diberikan kepada seorang atau beberapa orang tertentu,
sebagaimana contoh di atas. Sebagian ulama ada yang lebih longgar dengan menerima
ijazah orang tertentu atau beberapa orang tertentu terhadap sesuatu yang belum jelas 12.
8
Salih, 2009, p. 97
9
Salih, 2009, p. 97
10
Salih, 2009, p. 98
11
AlThahhān, n.d., p. 134
12
Salih, 2009, p. 99
5
Seorang guru misalnya berkata : “aku ijazahkan kepada kamu atau kepada kau sekalian,
semua yang pernah aku dengar dan riwayatkan.” Diterimanya bentuk seperti ini
13
merupakan kelonggaran dalam memahami makna ijazah
Adapun mengijazahkan sesuatu yang belum diketahui kepada orang yang belum
diketahui juga, menurut para ulama hal ini tidak diperbolehkan. Demikian pula
ijazahijazah lain yang bersifat umum. Pada dasarnya, ijazah ialah ucapan lisan seorang
guru yang disampaikan dalam bahasa yang tegas kepada muridnya, bila dilakukan
secara tertulis tanpa diucapkan, tidak diperbolehkan oleh sejumlah ulama yang
berhaluan keras. Mengenai kekuatan ijazah, baik yang bisa diterima sekalipun tetap
tidak bisa menandingi metode mendengar dan membaca, sehingga ijazah menempati
peringkat ketiga dalam periwayatan setelah membaca dan mendengar 14

d. Memberi (Al-Munawalah)
Yang dimaksud dengan istilah memberi atau Al-Munawalah ini adalah tindakan
pemberian sebuah kitab atau sebuah Hadis tertulis oleh seseorang supaya disampaikan
dan diriwayatkan.Al-Munawalah terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sama tingkatan
lemah dan kuatnya15.Bentuk yang paling kuat dan paling tinggi adalah Al-Munawalah
16
Ma’a Al-Ijazah Au bi Al-Ijazah yakni pemberian sebuah kitab atau sebuah Hadis
tertulis dari seorang guru seraya berkata: “aku berikan ini kepadamu dan aku ijazahkan
kamu untuk meriwayatkannya, ambillah dan riwayatkanlah ia dariku 17 Ada juga bentuk
lain, seperti ucapan guru kepada muridnya: “ ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, lalu
kembalikan kepada saya.” Selain kedua bentuk di atas, ada bentuk lain yaitu; seorang
murid datang kepada gurunya untuk meminta kitab yang isinya pernah ia dengar dari
gurunya. Lalu sang guru mengambil kitab seraya berkata: “riwayatkanlah dari saya” .18

e. Menulis (Al-Kitabah/Al-Mukattabah)

13
Salih, 2009, p. 100
14
Salih, 2009, p. 100
15
Salih, 2009, p. 100
16
Al-Thahhān, n.d., p. 135
17
Salih, 2009, p. 101
18
Salih, 2009, p. 101
6
Misalnya, seorang guru menulis sendiri atau dengan memerintahkan orang lain
untuk menuliskan beberapa Hadis kepada orang yang ada dihadapannya untuk menimba
ilmu darinya, atau seseorang lain yan berkirim surat padanya . 19Kekuatan kepercayaan
orang itu tentunya tidak bisa menandingi orang yang datang menemui sendiri, karena
dia bisa langsung melihat tulisan gurunya atau tulisan pembantunya yang langsung
diawasi dan diakuinya. Ini tentu berbeda dengan orang yang tidak hadir dan hanya
mengirim surat atau kurir saja ,Sebagian ulama ada yang bersikap keras, mereka
mensyaratkan bahwa pencatatan dan penulisan harus disertai ijazah, akan tetapi ini
tidaklah beralasan sama sekali. Dikarenakan seorang imam besar dalam Hadis, Imam
Bukhari pernah berkirim surat kepada Muhammad bin Basyar dan meriwayatkan
Hadisnya Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya juga mengatakan : “aku berkirim surat
kepada Jabir bin Samrah lewat pembantuku bernama Nafi’, dalam surat itu aku
memintanya mengabarkan kepadaku sesuatu tentang ucapan Rasulullah saw., surat itu
berbalas: aku mendengar dari Rasulullah saw. bahwa hari jum’at sore si Aslami telah
dihukum rajam.” 20
Sebagian ulama mengatakan bahwa, menulis bersama ijazah lebih kuat dan lebih
tinggi dari pada mendengar sendiri secara langsung ,Karena penulisan bersamaan
dengan ijazah lebih meminimalisir adanya distorsi, dengan tulisan akan terhindar dari
ungkapan “saya mendengar”, atau “diberi kabar” dan sejenisnya.

f. Memberitahukan (Al-I’lam)
Yang dimaksudkan dengan memberitahukan ialah tindakan seorang yang mengabari
muridnya bahwa kitab atau Hadis ini termasuk riwayat darinya atau dari yang
didengarnya dari sesesorang (fulan) tanpa member ijazah untuk menyampaikannya.
Mayoritas ulama memperbolehkan bentuk seperti ini, dan dijadikan sebagai salah satu
bentuk penanggungan Hadis21.
Dalam kitab Taisir Mustalah al-Hadith, Mahmud al-Tahhan Menjelaskan, terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum periwayatan dengan I’lam,
setidaknya ada dua pendapat, pertam, Boleh, pendapat ini diriwayatkan dari sebagian
19
(Salih, 2009, p. 101).
20
Salih, 2009, p. 102
21
(al-Tahammul) (Salih, 2009, p. 103
7
ulama Hadis, fikih dan usul., kedua, tidak boleh, pendapat ini diriwayatkan dari sebagian
ulama Hadis, dan ini adalah pendapat yang sahih.22

g. Wasiat (Al-Wasiyah)
Bentuk wasiat jarang terjadi, wasiat adalah penegasan dari seorang guru sewaku
hendak bepergian atau mendekati saat-saat kematiannya. Yaitu berwasiat kepada seorang
tentang kitab tertentu yang diriwayatkan . terkait hukum periwayatan dengan bentuk ini,
sebagian ulama salaf memperbolehkan orang yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan
kitab dari orang yang mewasiatkannya. Menurut mereka, wasiat itu sama dengan cara
pemberitahuan dan termasuk jenis pemberian. Dengan wasiat, sang guru seolah - olah
telah memberi sesuatu kepada muridnya, dan memberitahukan bahwa sesuatu itu
termasuk riwayatnya, hanya saja lafaz-lafaznya saja yang tidak jelas .23
Ulama yang memperbolehkannya mengakui bahwa riwayat dengan wasiat adalah
bentuk yang paling lemah di antara sekian banyak bentuk periwayatan yang lain. Orang
yang mendapat wasiat ketika menyampaikan riwayat wajib terikat pada susunan kata-kata
(redaksi) si pemberi riwayat, dalam arti dia tidak boleh menambahi maupun
menguranginya. Sebab, wasiat ilmu pada dasarnya sama denganwasiat harta. Jadi, yang
diwasiatkanpun harus jelas jumlahnya atau keadaannya. Yaitu apakah berupa sebuah
kitab atau beberapa kitab, berua sebuah Hadis atau beberapa Hadis, dan apakah sesuatu
itu berupa apa yang ia dengar atau yang ia riwayatkan. Semuanya harus sama dengan
pernyataan yang diberikan oleh sang guru yang mewasiatkan.

h. Penemuan (Al-Wijadah)
Menurut Subhi Salih bentuk ini adalah sumber Hadis yang tidak pernah diketahui
orang arab pada umumnya. Para ulama Hadis menjadikannya suatu metode pengambilan
ilmu dari sahifah, bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah. Misalnya,
seseorang menemukan sebuah Hadis tertulis dari seorang guru yang pernah ia jumpai,
yang lalu ia tulis ulang kemudian ia sampaikan. atau, dia memang tidak pernah
menjumpai guru tersebut, akan tetapi ia yakin bahwa tulisan itu benar miliknya. Begitu
pula halnya bila dia menemukan beberapa Hadis dalam kitab-kitab terkenal, seseorang
22
Al-Thahhān, n.d., p. 136
23
Salih, 2009, p. 104
8
yang memperoleh Hadis dengan cara demikian harus meriwayatkannya dari gurunya
dengan cara hikayat atau cerita. Disamping itu, ia wajib memberlakukan isnad Hadis
seperti keadaan aslinya dan menceritakan jujur tentang penemuannya itu, hal ini pernah
dilakukan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata: aku menemukan tulisan
ayahku: “Fulan memberikan Hadis kepadaku”24
Beberapa bentuk periwayatan yang telah disebutkan di atas, merupakan bentuk-bentuk
yang telah terlaku dan disepakati oleh para ulama. Periwayatan Matan Hadis sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa Nabi saw. tidak seluruh Hadis ditulis oleh para
sahabat Nabi saw. Hadis yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih
banyak berlangsung melalui lisan .25Hadis Nabi saw. yang mungki diriwayatkan secara
lafal (riwayat bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah Hadis yang dalam
bentuk sabda (aqwal). Sedangkan Hadis yang tidak berbentuk sabda, seperti halnya
Hadis-Hadis yang berupa perilaku (af’al), sifat atau persetujuan (taqriran) dari Nabi saw.,
hanya dapat diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma’na).

24
Salih, 2009, p. 105
25
Ismail, 2005, p. 79
9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ulama hadis telah memberikan ta’rif hadis hadis ialah “Perkataan Nabi Saw,
perbuatan dan hal ihwalnya”. Menurut ahli ushul, bahwa istilah hadis sama dengan
As-Sunnah. Akan tetapi hadis itu pengertiannya lebih bersifat khusus; itupun terbatas
dalam masalah yang ada sangkutpautnya dengan hukum. Sedangkan kebanyakan para
muhadisin menetapkan bahwa hadis itu adalah sinonim As-Sunnah. Seorang penerima
riwayat hadis hendaknya Sehat akal pikirannya, hadis yang di terimanya.Cara
Periwayatannya Mendengar (As-Sima’i),Membaca (Al-Qira’ah) Ijazah (Al-
Ijazah),Memberi(Al-Munawalah),Menulis(Alkitabah/AlMukattabah),Memberitahukan
(Al-i’lam),Wasiat (Al-Wasiyah)Penemuan (Al-Wijadah).

10
DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Shiddiqy Teungku Muhammad,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet.IV; EdisiII;
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Majid Abdul Khon,Ulumul Hadis, Cet,I; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008

Al-Husain, A. Q. binti. (2003). No TitlePeran Wanita Dalam Periwayatan Hadis. Jakarta:


Pustaka Azzam.Al-Thah}h}ān, M. (n.d.). Taysīr Mus}t}alah} al-H}adīs\.Azami, M. M.
(2012). Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

11

Anda mungkin juga menyukai