Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH HERMENEUTIKA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kontekstualisasi Dalam Tafsir Al Quran

Dosen pengempu : Fadly Rosyid Lc. M. Th,I

Oleh:

Nur Alfi Laili

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-KHOZINY BUDURAN SIDOARJO

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hermeneutika” ini. Penyusunan makalah ini
dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika

Penyusun menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna baik isi
susunan kalimat maupun sistematika pembahasannya. Untuk itu teguran saran dan nasihat para
pembaca serta dosen pengampu senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami ini.

Akhir kata, penyusun berharap Allah Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Sidoarjo,5 Juni 2023

Penyusun
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alquran, sebagai kitab suci umat Islam, adalah teks suci yang unik dan penuh keistimewaan. Ia
terbuka untuk ditafsirkan. Keterbukaannya membuat Alquran menjadi teks suci dinamis dengan
penafsiran-penafsiran yang terus berkembang tanpa henti. Penafsiran-penafsiran tersebut tentu saja
merupakan hasil kreativitas mufasir dari pelbagai disiplin ilmu. Salah satu dari aneka ragam penafsiran
Alquran itu adalah penafsiran kontekstual. Ia merupakan sebuah usaha untuk tidak mengultuskan
karya-karya penafsiran yang telah ada. Dengan penafsiran ini, karya-karya tafsir yang telah ada
sebelumnya hanya sebagai referensi.

Cikal bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat Alquran yang memiliki asbabunnuzul (sebab-sebab
turunnya), terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada saat itu. Memang, pemahaman
ayat yang paling sempurna adalah dengan memperhatikan latar sosial yang melingkupi turunnya ayat.
Latar sosial tersebut barangkali hanya berlaku pada masa tertentu, individu tertentu, dan di tempat
tertentu, akan tetapi ada kalanya berlaku sepanjang masa, pada siapa saja, dan di mana saja.
Sementara itu, ayat-ayat akidah tidak mengenal batas-batas tersebut.

Asbabunnuzul boleh dibilang merupakan tonggak utama tafsir kontekstual. Ia merupakan


ilustrasi rekaman historis suatu peristiwa sosial kemasyarakatan yang melatarbelakangi dan
mengiringi turunnya ayat. Sayangnya, hanya segelintir ayat saja yang memiliki asbabunnuzul.
Meskipun demikian, menurut Budhy Munawar-Rachman, asbabun nuzul hendaknya tidak dipandang
sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Setidaknya dari asbabun
nuzul dapat diperoleh informasi tentang nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang saat itu. Nilai-nilai
sosial ini bisa berupa adat-istiadat, karakter masyarakat atau individu, relasinya dengan zaman
sebelumnya.

Pada tahap berikutnya, informasi itu dipilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-nilai sosial
kemasyarakatan yang dihadapi para sarjana muslim yang terlibat dalam penafsiran Alquran, baik yang
menuangkan penafsirannya dalam sebuah karya tafsir atau tidak. Pada tahap ini, informasi mengenai
metode penafsiran, pendekatan serta pertimbangan, dan hasilnya bisa didapat. Informasi ini juga
dipilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada saat ini seraya tetap
mempertimbangkan konteks sosial kemasyarakatan pada saat turunnya ayat. Tahapan-tahapan ini
identik dengan teori double movement gagasan Fazlur Rahman.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diperoleh rumusan masalah bahwa metode dan aplikasi
tafsir kontekstual sebagai berikut: ?

BAB II PEMBAHASAN

A. Kontektualisasi Penafsiran Al-Qur’an

Kontekstualisasi berarti melihat realitas historis yang sedang terjadi pada saat ini dan kemudian
mencari pedoman dan petunjuk al-Qur‟an mengenai apa yang harus dilakukan. Semisal ayat yang
menjelaskan larangan unuk menghina agama lain, dalam surat al-An‟am /6: 108

(‫وال تسبوا الذین یدعون من دون هللا فیسبوا هللا عدوا بغی علم كذلك زینا لكل أمة عملھم ثم إىل رب ھم مرجعھم‬

)‫فینبئھم بما كانوا یعملون‬

‫[األنعام‬108]

Janganlah kalian memaki sembahan sembahan yang mereka sembah“selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.

Ayat ini memberikan larangan tegas kepada pemeluk agama Islam untuk menghina sesembahan
agama lain. Jika kita melihat asbȃbun- nuzȗl dari ayat ini, yaitu ketika umat muslim mengatakan
sesembahan orang-orang di luar Islam akan menjadi kayu bakar. Sedangkan pada keterangan yang
lain, ayat ini turun tatkala pembesarpembesar kafir Quraisy seperti Abu Jahal dan Abu Sofyan
meminta kepada Abu Thalib agar Muhammad tidak menghina tuhan-tuhan mereka dengan
mempublikasikan kalimat tauhid secara terang-terangan di kota Makkah. Karena dengan adanya syiar
kalimat tauhid, mereka terasa terancam dengan khawatir orangorang Quraisy tidak mau menyembah
patung-patung yang berada di Makkah.

Dari dua asbab an-nuzul ini, memberikan indikasi bahwa ayat tersebut turun tatkala Nabi
Muhammad berada di Makkah, karena kaum Quraisy Makkah pada saat itu banyak menyembah
berhala-berhala dan wafatnya paman Nabi terjadi, ketika Nabi Muhammad masih berada di Makkah.
Disamping itu ayat ini mempunyai makna universal, yaitu larangan menghina Tuhan dan agama lain,
sejatinya sama saja menjaga kehormatan Tuhan dan agamanya yang diyakininya. Inilah yang harus
benar-benar diperhatikan bagi setiap orang merasa taat dan patuh terhadap ajaran agamanya.

Mengatasi pertentangan antara teks-teks agama dan realitas sosial memang bukan perkara mudah.
Oleh karena itu, dibutuhkan usaha sungguh-sungguh dan aneka ragam pendekatan.

Di antara usaha dan aneka ragam pendekatan tersebut adalah penafsiran kontekstual terhadap
teks-teks suci Islam, terutama Alquran. Penafsiran kontekstual sangat urgen dilakukan karena
perbedaan pola hidup setiap generasi umat Islam sepanjang sejarahnya.

Kita tahu, sebagian sarjana muslim berusaha mengembangkan tafsir tematik (attafsir
almawdu’iy) untuk memecahkan peliknya problem kehidupan manusia. Akan tetapi, usaha semacam
ini kurang sempurna kalau tidak memperhatikan aneka ragam aspek kehidupan manusia sebagai
penerima dan pengamalnya. Oleh karena itu, tafsir tematik perlu dikembangkan dan disandingkan
dengan tafsir kontekstual guna memperoleh penafsiran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan
mereka.

B. Metode dan Aplikasi Tafsir Kontekstual

Seorang penafsir tentu saja membutuhkan metode dan aplikasi tafsir kontekstual. Ia harus
menguasai dengan baik sejarah manusia, terutama sejarah orang-orang Arab pra-Islam, baik secara
bahasa, sosial, politik, dan ekonomi sebagai modal awal proses penafsiran kontekstual. Alquran tidak
diturunkan dalam ruang hampa; di dalamnya juga terdapat banyak informasi tentang mereka.

Seorang penafsir harus pula menguasai secara menyeluruh seluk beluk orang-orang Arab dan
sekitarnya sebagai sasaran utama turunnya Alquran dari awal turunnya ayat pertama hingga ayat
terakhir, bahkan hingga Nabi Muhammad wafat. Tidak semua ayat Alquran memiliki asbabunnuzul.
Oleh karena itu, kalau hanya mengandalkan asbabunnuzul, maka penafsiran akan kurang sempurna.
Penguasaan terhadap seluk beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sangat mendesak dan bisa
membantu proses penafsiran kontekstual.

Seorang penafsir perlu menyusun ayat-ayat Alquran sesuai dengan kronologi turunnya,
memperhatikan korelasi sawabiq dan lawahiq ayat, mencermati struktur lingustik ayat dan
perkembangan penggunaannya dari masa ke masa, dan berusaha menggali kandungan interteks dan
ekstrateks secara komprehensif. Penafsir juga harus mencermati penafsiran para tokoh besar awal
Islam secara seksama dan konteks sosiohistorisnya, terutama yang secara lahir bertentangan dengan
Alquran, tetapi bila diperhatikan ternyata sesuai dengan tuntutan sosial yang ada pada waktu itu dan
tetap berada dalam semangatnya.
Tak kalah pentingnya adalah mencermati semua karya-karya tafsir yang ada dan memperhatikan
konteks sosiohistoris para penafsirnya. Sebab bagaimanapun juga, para penafsir mempunyai sisi-sisi
kehidupan yang berbeda satu sama lain dan turut memengaruhi penafsirannya. Di samping itu,
jugamenguasai seluk beluk kehidupan manusia di mana Alquran hendak ditafsirkan secara
kontekstual dan perbedaan serta persamaannya dengan masa-masa sebelumnya, terutama pada
masa awal Islam.

Kehidupan manusia yang terus-menerus berubah menuntut perubahan penafsiran yang sesuai
dengannya. Ini bukan berarti menundukkan sakralitas Alquran di bawah realitas kehidupan, tetapi
merupakan usaha mendinamiskan antara keduanya sehingga tidak saling bertentangan. Mengatasi
pertentangan antara teks-teks agama dan realitas sosial memang bukan perkara mudah. Oleh karena
itu, dibutuhkan usaha sungguh-sungguh dan aneka ragam pendekatan.

Di antara usaha dan aneka ragam pendekatan tersebut adalah penafsiran kontekstual terhadap
teks-teks suci Islam, terutama Alquran. Penafsiran kontekstual sangat urgen dilakukan karena
perbedaan pola hidup setiap generasi umat Islam sepanjang sejarahnya.

Kita tahu, sebagian sarjana muslim berusaha mengembangkan tafsir tematik (attafsir
almawdu’iy) untuk memecahkan peliknya problem kehidupan manusia. Akan tetapi, usaha semacam
ini kurang sempurna kalau tidak memperhatikan aneka ragam aspek kehidupan manusia sebagai
penerima dan pengamalnya. Oleh karena itu, tafsir tematik perlu dikembangkan dan disandingkan
dengan tafsir kontekstual guna memperoleh penafsiran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan
mereka.

Wallahu a'lam bissawab.


KESIMPULAN

Kontekstualisasi berarti melihat realitas historis yang sedang terjadi pada saat ini dan
kemudian mencari pedoman dan petunjuk al-Qur‟an mengenai apa yang harus dilakukan.Cikal
bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat Alquran yang memiliki asbabunnuzul (sebab-sebab
turunnya), terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada saat itu.Asbabunnuzul boleh
dibilang merupakan tonggak utama tafsir kontekstual. Ia merupakan ilustrasi rekaman historis
suatu peristiwa sosial kemasyarakatan yang melatarbelakangi dan mengiringi turunnya ayat.

Tak kalah pentingnya adalah mencermati semua karya-karya tafsir yang ada dan
memperhatikan konteks sosiohistoris para penafsirnya. Di antara usaha dan aneka ragam
pendekatan tersebut adalah penafsiran kontekstual terhadap teks-teks suci Islam, terutama
Alquran. Penafsiran kontekstual sangat urgen dilakukan karena perbedaan pola hidup setiap
generasi umat Islam sepanjang sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA

2Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks Komunikasi (Malang: UIN-
Malang Press, 2009) hlm. 10
Saparie, Gunoto Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah

Junaidi Khab,Kontekstualisasi dan Universalitas Tafsir al-Quran, hlm.69-70

3 Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks

Komunikasi… hlm.11

Anda mungkin juga menyukai