Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AKHLAK TASAWWUF

“KONSEP INSAN KAMIL DAN TAREKAT DALAM TASAWWUF”


Dosen Pengampu :
Bpk. Iskandar Zuhdi, B.Sc., M.Pd

Disusun oleh :
Rahmat Ramdhani (2020220025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI AL HAMIDIYAH JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun dalam rangka
menyelesaikan tugas dari Bapak Iskandar Zuhdi, B.Sc., M.Pd selaku dosen pengampu mata
kuliah Akhlak Tasawwuf.
Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
para pembaca, senhingga makalah ini bisa bermanfaat untuk orang lain.
Saya mengakui bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman
yang saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu, saya harapkan kepada pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Depok, 17 Juli 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………... i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………. ii
BAB I …………………………………………………………………………………………
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………….
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………...
BAB II ………………………………………………………………………………………..
2.1 Pengertian Insan Kamil ……………………………………………….......................
2.2 Ciri-ciri Insan Kamil …………………………………………………………………
2.3 Pengertian dan Tujuan Tarekat ………………………………………………………
2.4 Tarekat yang berkembang di Indonesia …………………………………………….
BAB III ……………………………………………………………………………………...
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Akhlak tasawuf merupakan salah satu jalan untuk manusia dalam pensucian diri sebagai
muslim yang sejati dan berbudi luhur, kehidupan yang terjadi dimasa kemajuan ini membuat
pemudaran akhlak, persaingan hidup yang sangat kompetitif membuat manusia mudah
terganggu jiwa/stress dan frustasi, pola hidup yag materialisme kini kian digemari, dan
apabila semuanya yang ingin mereka punyai tidak dapat terealisasikan olehnya maka akan
berdampak pada diri mereka sendiri, mereka akan putus asa dan bunuh diri, maka ingatlah
apa dampak terahirnya. Oleh karenanya Allah SWT yang telah mengutus nabi kita
Muhammad saw, yang diturunkan dimuka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak semua
umat, maka dari itu kita akan mempelajari semuanya dengan tuntunan akhlak tasawuf ini
untuk menyadarkan kita semua menuju akhlak budi baik nabi kita, meniru sunnah-sunnah
beliau, agar kelak bahagia di kehidupan yang hakiki yaitu akhirat.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian insan kamil?
2. Apa ciri-ciri insan kamil?
3. Apa pengertian dan tujuan tarekat?
4. Apa saja tarekat yang berkembang di Indonesia?
C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian insan kamil.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil.
3. Untuk mengetahui pengertian dan tujuan tarekat.
4. Untuk mengetahui tarekat yang berkembang di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata: insan dan kamil. Secara harfiah,
insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna.
Jamil shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukan pada sesuatu yang khusus di
gunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa arab kata insan
mengacu pada sifat manusia yang terpuji, sedangkan para filosof klasik mengatakan bahwa
kata insan mengarah langsung pada hakikat manusia, juga di gunakan pada arti terkumpulnya
seluruh potensi intelektual, rohani, fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat
kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan di gunakan
untuk menunjukan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya
sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.[1]
Di alqur’an dapat di jumpai asal kata dari insan yaitu: pertama berasal dari kata anasa
yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Kedua berasal dari kata nasiya
yang artinya lupa. Ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas.
Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insane mengandung arti melihat, mengetahui,
dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang
penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insane mengandung arti lupa, dan
menunjukan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia
kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut.
Sedangkan insan jika di lihat dari asalnya al-uns, atau anisa yang artinya jinak,
mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat
di pelihara, jinak.
Dilihat dari sudut kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa maka
dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk pada suatu pengertian yang ada kaitannya
dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Selain itu sebagai insane manusia
pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial, maupun ilmiah.
Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudi, ia
tidak liar, baik secara sosial maupun secara alamiah.
Selanjutnya kata insan dalam alqur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat, dan
digunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Musa asy’ari
menyebutkan lapangan kegiatan insane dalam 6 bidang. Pertama untuk menyatakan bahwa
manusia menerima pelajaran dari tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya.(QS.96:1-5).
Kedua, manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan. (QS.12:5). Ketiga, manusia
memikul amanat dari tuhan. (QS.33:72). Keempat, manusia harus menggunakan waktu
dengan baik (QS.105:1-3). Kelima, manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang
telah di kerjakannya (QS.53:39). Keenam, menusia mempunyai keterikatan dengan moral
atau sopan santun.(QS.29:8).[2]
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut manusia di gunakan al-qur’an untuk
menunjukan sebagai mahkluk yang dapat belajar, mempunyai musuh (setan). Dapat
menggunakan waktu, dapat memikul amanat, punya keterkaitan dengan moral, dapat
beternak (QS.28:23), menguasai lautan (QS.2:124), dapat mengolah biji besi dan logam
(QS.57:25), melakukan perubahan sosial (QS.3:140), memimpin(QS.2:124), menguasai
ruang angkasa (QS.55:33), beribadah (QS.2:21), akan dihidupkan di akhirat (QS.17:71).
Semua kegiatan yang disebutkan al-qur’an di atas, di kaitkan dengan penggunaan kata
insane di dalamnya, menunjukan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah kegiatan
yang di sadari dan berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kegiatan konkret,
yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang di timbulkan.
Berdasarkan keterangan tersebut istilah insan ternyata menunjukan kepada mahkluk yang
dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai potensi baik yang bersifat fisik,
moral, mental maupun intelektual. Manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan
tersebut itulah yang selanjutnya di sebut insan kamil. Kata insane lebih mengacu kepada
manusia yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang bersifat moral, intelektual, sosial, dan
rohaniah. Dan unsur insaniyah inilah yang selanjutnya di sebut sebagai mahkluk yang di
sebut intuisi, sifat lahut, dan sifat ini pula yang dapat baqa dan bersatu secara rohaniah
dengan tuhan dalam tasawuf.[3]
Adapun istilah basyar digunakan untuk menyebut pada semua mahkluk, mempunyai
pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu adalah
kenyataan lahiriahnya yang menepati ruang dan waktu, serta terikat oleh hokum-hukum
alamnya. Manusia seperti yang tampak pada lahiriyahnya, mempunyai bangunan tubuh yang
sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di alam ini, dan dan oleh
pertambahan usianya, kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya ajal pun
menjemputnya.
Manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan
perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan dan diminumnya.
Di dalam alqur’an kata basyar di sebut sebanyak 36 kali, dan digunakan untuk
menggambarkan dimensi fisik manusia seperti kulit tubuh manusia (QS. Al-muddatsdir
74:27), suka makan, minum, dan berjalan-jalan (QS. Al-mu’minun:23), suka berhubungan
seksual (QS. Maryam: 20), menunjukan pada proses penciptaanya dari tanah (QS. Shad:71-
76), dan menerima kematian (QS. Al-anbiya: 34-35).
Pengertian basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang
berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya.
Unsur basyariah inilah sebagai unsur yang dapat dilenyapkan dengan fana dalam rangka
mencapai ittihad, hulul, dan wahdatul wujud.
Selanjutnya istilah al-nas digunakan alqur’an untuk menyatakan adanya sekelompok
orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan
kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut,
melakukan perubahan sosial dan kepemimpinan.[4]
Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa islam dengan sumber ajarannya al-
qur’an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh dan menyeluruh.
Seluruh sisi dan aspek dari kehidupan manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan
barang kali tidak ada kitab lain di dunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu,
selain alqur’an. apa yang dikemukakan alqur’an ini jelas sangat membantu untuk
menjelaskan konsep insane kamil. Dan menunjukan bahwa insane kamil lebih mengacu
kepada manusia yang sempurna dari segi rohaniah, intelektual, intuisi, sosial, dan aktivitas
kemanusiaannya, untuk mencapai tingkat yang demikian itu, tasawuf sebagaimana telah
diuraikan di atas jelas sangat membantu. Di sinilah letak relevansinya pembahasan insane
kamil dalam kajian tasawuf.
Dengan demikian, insan kamil lebih ditunjukan kepada manusia yang sempurna dari segi
pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya
yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan
kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan
fiqih. Dengan perpaduan fiqih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun,
insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi
potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu.
Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga
dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan allah dan dengan makhluk
lainnya secara benar menurut akhlak islami. Manusia yang selamat rohaniahnya itulah yang
diharapkan dari manusia insan kamil.[5] Manusia yang demikian inilah yang akan selamat
hidupnya di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan firman allah swt:
Artinya: (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, Kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,(Qs asy’syu’ara:88-89).
Ayat itu sejalan dengan sabda rosulullah yang menyatakan:

ُ ‫اِ َّن هَّللا َ الَيَ ْنظُ ُرإِلَى‬


‫ص َو ِر ُك ْم َوالَاِلَى اَجْ َسا ِم ُك ْم َواَ ْم َوالِ ُك ْم َولَ ِك ْن يَ ْنظُ ُرإِلَى قُلُوبِ ُك ْم َواَ ْع َمالِ ُك ْم‬
“sesungguhnya allah swt. Tidak akan melihat pada rupa, tubuh dan harta kamu, tetapi allah
melihat pada hati dan perbuatan kamu”(HR. Thabrani).
Ayat dan hadits tersebut di atas menunjukan bahwa yang akan membawa keselamatan
manusia di hari pembalasan atau akhiru zaman kelak adalah batin, rohani, hati dan perbuatan
yang baik. Karena allah tidak memandang segala kecantikan maupun ketampanan, allah tidak
melihat fisik makhluknya, dialah yang menciptakan semua yang ada di dunia, Orang yang
demikian itulah (hati, rohani, dan perbuatan baik) yang dapat disebut sebagai insan kamil.
Bahwasanya allah menerangkan Pada ayat lain di kitab suci alqur’an banyak dijumpai bahwa
yang kelak akan dipanggil masuk surga adalah jiwa yang tenang (nafsu al-muthmainnah).
B. Ciri-ciri Insan Kamil
Ciri-ciri insan kamil dapat di telusuri dari berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ulama yang keilmuannya sudah diakui yang termasuk didalamnya aliran-aliran,
cirri tersebut sebagai berikut:
1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum muktazilah. Menurutnya
manusia yang akalnnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan
baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai esensinya dan merasa wajib melakukan semua itu
walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa
wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikian yang dapat mendekati
tingkat insan kamil. Dengan demikian bahwa insane kamil adalah orang yang akalnya dapat
mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
2. Berfungsi Intuisi
Insan kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi
ini dalam Pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia (rasional soul) menurutnya jika yang
berpengaruh pada manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai
malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3. Mampu Meciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan,
manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniahnya secara optimal. Menurut ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Dan
dalam hal ini beliau berpendapat bahwa kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah
lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu.
4. Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Bahwa manusia memiliki sifat ketuhanan (fitrah). Ia cendrung kepada hal-hal yang berasal
dari tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di
muka Bumi. Manusia sebagai Khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu
manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok mayarakat
maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena
memiliki daya kehendak yang bebas.[6]
5. Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat diatas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia.
Hal ini sejalan dengan pendapat Ala Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang
sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebijakan, dan keindahan. Manusia
yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki
kelembutan hati.
6. Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa manusia modern sekarang ini
tidak jauh meleset dari pandangan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek
kedalamannya, yang bersifat permanent, importal.
Jika demikian halnya, maka upaya mewujudkan insan kamil perlu diarahkan[7] melalui
pembinaan intelektual, kepribadian, akhlak, ibadah, pengamalan tasawuf, bermasyarakat,
research.
A. Pengertian Tarekat
Tarekat adalah jalan yanng ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’I, sedangkan anak jalan disebut thariq.
Kata turunan ini menunjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik
merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap
muslim.[1]
Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak
mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan
seksama.[2]
Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang
berturut-turut disebutkan:
‫ا لطر يقة هي ا لعمل با الشر يعة و ا الخذ بعزا ئعها و ا لبعد عن ا لتسا هل فيما ال ينبغي ا لتسا هل فيه‬
Artinya: “Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan
menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh
dipermudah”.[3]
‫ا لطر يقة هي ا جتنا ب ا لمنهيا ت ظا هرا و با طنا وا متثا ل ا ال وا مر ا ال لهية بقد ر ا لطا قة‬
Artinya: “Tariqat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan
kesanggupannya, baik larangan yang nyata maupun yang tidak (batin).”
‫ا لطر يقة هي ا جتنا ب ا محر ما ت و ا لمكرو ها ت و فضو ل ا لمبا حا ت و ا دا ء ا لفرا ئض فم„„ا ا س„„تطا ع من ا لن„„وا‬
‫فل تحت ر عا ية عا ر ف من ا هل ا لنها ية‬
Artinya:“Tariqat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal
mubah ( yang sifatnya mengandung ) fadilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang
disunatkan, sesuai dengan kesanggupan ( pelaksanaan ) di bawah bimbingan seorang arif
( Syekh ) dan ( Sufi ) yang mencita-citakan suatu tujuan.”[4]
B. Hubungan Tariqat Dengan Tasawuf
Dalam ilmu tasawuf istilah tarikat tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-cara tertentu
yang ditunjukan oleh seorang syaih tariqat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi
pengikut salah seorang syaih tariqat , tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam
agama islam, seperti halnya shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Ajaran tersebut
merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[5]
Di dalam tariqat yang sudah melembaga, tariqat mencakup semua aspek ajaran islam seperti
shalat, puasa, zakat, jihad, haji, dan sebagainya, telah diketahui bahwa tasawuf itu secara
umum adalah usaha unuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui
penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Dan ajaran-ajaran tasawuf yang harus
ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tariqat yang sebenarnya,
dengan demikian bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan
tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam usaha mendekatkan diri kepada
Allah.
C. Sejarah Timbulnya Tariqat
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tariqat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu
lembaga, sulit diketahui dengan pasti , namun De. Kamil Musthafa Asy-syibi dalam tasisnya
mengungkapkan tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tariqat syaih Abdul Qasiir al-
Zailani ( 561 M-1166 H ) di Bagdag, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di mesir denagan tariqat
Rifa’iyyaah, dan Jalal ad-din ar-rumi (672 H-1273 M) di Parsi.[6]
Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali memenghalalkan tasawuf yang
sebelumnya yang dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia islam, melalui tarikat. Tariqat
adalah organisasi dari pengikut-pengikut sufyn besar, yang bertujuan untuk melestarikan
ajaran-ajaran tasawuf gurunya, tariqat memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut
ribat, ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya.[7]
Pada awal kemunculannya, tariqat berkembang dari dua daerah yaitu, Khusaran ( Iran ) dan
Mesopotamia ( Irak ) pada periode ini mulai timbul beberapa diantara tariqat Yasafiyah yang
didirikan oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani.[8] (9617 H.1220 M) tariqat Naqsabandiyah
yang didirikan oleh Muhamad Badauddin an-Naqsabandi al-Awisi al-Bukhari ( 1389 M ) di
Turkistan, tariqat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (1397 M ).[9]
D. Aliran-aliran Tariqat Dalam Islam
1. Tariqat Qadiriyah, yang didirikan oleh Muhy Ad-Din abd al-Qadir al-Jailani (471
H/1078 M).
2. Tariqat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili ( 593-
656 H/ 1196-1258 M ).
3. Tariqat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Baharuddin an-Naqsabandi al-
Asisial-Bukhari (1389 M ) di Turkistan.
4. Tariqat Yasafiyah dan Khawajaqawiyah, tariqat Yasafiah didirikan oleh Ahmad al-
Yasafi ( 562 H/1169 M ) sedangkan Khawajaqawiyah didirikan oleh Abd al-Khaliq al-
Ghuzdawani ( 617 H/1220 M ).
5. Tariqat Khalwatiyah yang didirikan oleh al-Khalwati ( 1397 M ).
6. Tariqat Syatariyah yang didirikan oleh Abdullah bin Syatar ( 1485 ) di India.
7. Tariqat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’i ( 1106-1182 ).
8. Tariqat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang
bermukim dan mengajar di Mekah pada pertengahan abad ke 19.
9. Tariqat Summaniyah yang didirkan oleh Muhammad bin Abd al-Karim al-Madani Asy-
Syafi’i as-Samman ( 1130-1189/1718-1775 ).
10. Tariqat Tijaniah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhamad at-Tijani ( 11501230
H/1737-1815 M ).[10]
11. Tariqat Chistiyah yang didirikan oleh Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan.
12. Tariqat Mawlawiyah, yang didirikan oleh Syekh al-Kabir Gelminski.
13. Tariqat Ni’matullah yang didirikan oleh Syaih Ni’matullah.
14. Tariqat Sanusiyah yang didirikan oleh Sayyid Muhammad bin Ali as-Sanusi.

E. Istilah Tariqat
Ada beberapa istilah tariqat antara lain:
1. Syariat
Kata “syariat” yang berarti peraturan atau perjalanan, para ahli berpendapat berupa amalan-
amalan lahir, semisal shalat, puasa, dan lain-lain.
2. Hakikat
Kata “hakikat” yang berarti puncak atau kesudahan sesuatu atau asal sesuatu. Namun didalam
istilah tarikat berarti sebagai kebalikan syariat yakni yang menyangkut batin.
3. Ma’rifat
“Ma’rifat” berarti pengetahuan atau pengalaman. Menurut istilah Ma’rifat adalah
pengetahuan dalam mengerjakan syariat dan hakikat.
4. Tarikat
Kata “tarikat” berarti jalan. Menurut istilah, tarekat ialah jalan atau cara yang ditempuh
menuju keridaan Allah.
5. Suluk
Kata “suluk” berarti menempuh perjalanan. Dalam tasawuf suluk adalah ikhtiar ( usaha )
dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan tarekat. Orang yang menjalankan ikhtiar
tersebut dinamakan Salik.[11]
6. Manazil
Artinya tempat-tempat perhatian yang dilalui salik yang melaksanakan suluk:
 Masyahid ialah hal-hal yang terlihat pada perjalanan di tengah sedang menjalankan
suluk.
 Maqamat ialah derajat-derajat yang dipoeroleh dengan usaha sendiri.
 Kasbiyah ialah derajat-derajat yang diperoleh semata-mata dengan anugerah Allah
yang disebut “al-ahwal” atau “mauhibiyah”.
7. Zawiyah
Zawiyah adalah merupakan suatu ruang tempat mendidik calon-calon sufi.
8. Illa Zikr Nafi Isbat
Kalimat “La ilaha illallah” mengandung dua kata peri-ada-an. Pertama kata “La” dan kedua
kata “Illa”. Dan dua kata pula yang menetapkan yaitu “Ilaha” dan “Allah”. Dalam hal
tersebut di atas ahli tarekat memberi tiga tingkatan pengertian, yaitu:
 Tiada Tuhan melainkan Allah
 Tiada ma’bud melainkan Allah
 Tiada maujud melainkan Allah
9. As-Sukr
As-Sukr maksudnya sebagai salah satu sikap dalam ibadah dan khalwat. Sehingga orang itu
tidak sadar lagi akan dirinya. Al-Fana Maksudnya ialah lupa segala sesuatu ketika beribadah
kecuali yang disembahnya.[12]
10. Uslah
Uslah adalah salah satu prektek suluk dengan mengasingkan diri dari khalayak ramai yang
berbuat maksiat. Khalwat sebagai satu rangkaian dalam suluk dengan jalan menyendiri di
tempat yang sunyi atau bertapa.
11. Kasyaf
Artinya terbukanya dinding antara hamba dengan Tuhan dalam tarekat. Empat dinding
pembatas antara Khalik dengan makhluk menurut ahli tarekat yaitu:
 Najis dan hadas
 Haram dan makruh
 Akhlak dan tercela
 Kelalaian terhadap Tuhan karena dunia
12. Silsilah
Artinya nisbah ( hubungan ) guru-guru tarekat yang sambung bersambung dari bawah ke atas
yang perlu diketahui oleh pengikut-pengikut tarekat. Khirkah ialah semacam ijazah yang
diberikan kepada murid setelah mencapai suatu tahap dalam pengetahuan.
13. Wali
Wali adalah seseorang yang telah mencapat tingkat kesucian yang tinggi setelah melalui
suluk. Dia mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu sebagai bukti-bukti dari kewaliannya.
Keramat Adapun yang dimaksud dengan keramat adalah keistimewaan yang dimiliki seorang
wali tersebut.[13]
D. Tarekat yang berkembang di Indonesia
Islam masuk ke wilayah Indonesia melalui jalur perdagangan. Pedagang dari Arab, Gujarat,
dan China yang datang ke Nusantara bukan hanya menjajakan dagangan mereka, melainkan
juga menyebarkan Islam. Islam menyebar dengan pesat di Indonesia. Bahkan menurut teori
Arab milik Hamka, sudah ada perkampungan orang Arab di Sumatra sejak abad ke-7. Namun
ada yang menarik dalam penyebaran Islam di Nusantara. Masyarakat Nusantara mempunyai
wajah yang beragam dalam menghayati agama Islam itu sendiri. Tidak luput pula
penghayatan melalui tarekat. Menurut Martin van Bruinessen, ada ciri yang mencolok pada
awal penyebaran Islam di Nusantara, yaitu karya awal muslim di Nusantara sarat dengan
unsur tasawuf.
Hasil muktamar tasawuf yang diadakan di Pekalongan tahun 1960 menyatakan bahwa tarekat
masuk ke Indonesia pertama kali pada abad ke-7. Perkembangan tarekat kemudian menyebar
pesat di Nusantara setelah periode abad ke-13. Banyaknya para ulama Jawi yang belajar ke
Haramain menjadi faktor utama. Ulama Jawi yang pulang ke Nusantara membawa ijazah dari
para guru mereka di Haramain untuk menyebarkan Islam ke daerah mereka masing-masing.
Kata tarekat secara harfiah berarti jalan, baik berupa sistem latihan pembersihan diri dalam
hati maupun amalan, yang berupa wirid, dzikir, muraqabah, dan lain sebagainya, yang
dihubungkan dengan metode sufi dan organisasi yang tumbuh seputar metode ini. Tarekat
mempunyai arti penting dalam masyarakat Indonesia. Karena pada umumnya, tarekat berhasil
mengambil hati masyarakat Nusantara masa itu. Tarekat bukan hanya berkembang menjadi
organisasi keagamaan, melainkan menjadi perekat tali persaudaraan umat muslim Nusantara.
Tidak sedikit pula penguasa atau raja masa itu, menggunakan tarekat sebagai penarik
legitimasi rakyat. Namun faktor pendukung perkembangan tarekat yaitu ketertarikan rakyat
Indonesia kepada unsur mistik dalam tarekat.
Ada banyak macam tarekat yang berkembang di Indonesia. Ada beberapa tarekat besar di
Indonesia yang merupakan cabang dari tarekat sufi internasional. Diantaranya adalah tarekat
Khalwatiyah, tarekat Syattariyah, tarekat Syadziliyah, tarekat Qadiriyah, tarekat Rifa’iyyah,
Tijaniyah, Idrisiyah, dan yang terbesar adalah Naqsyabandiyah. Sedangkan tarekat lokal
diantaranya tarekat Wahidiyah, tarekat Shiddiqiyah, dan tarekat Syahadatain.
Gerakan Tarekat adalah gerakan perbaikan masyarakat. Dalam lintas sejarah tarekat, para sufi
juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan gerakan perbaikan bangsa di berbagai
negara di dunia. Sebagai contoh, tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah melakukan gerakan
perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20.
Di Indonesia banyak berkembang tarekat, hal itu berkaitan dengan teori yang telah secara
umum diterima, yaitu Islam masuk kawasan ini dengan gerakan kesufian dalam tarekat-
tarekat. Dalam sejarahnya, Islam berkembang pesat sejak jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit
pada sekitar awal abad XV, hampir bersamaan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada
tahun 1511. Oleh karena itu, peranan gerakan Kesufian dalam mengembangkan dan
mengukuhkan Islam, sesuai dengan gejala umum di dalam dunia Islam. Demikian jika diingat
bahwa tokoh-tokoh keagamaan masa lalu banyak disebut wali.
Aliran Tarekat yang berkembang di Indonesia antara lain, Tarekat Rifai’yah, Tarekat
Qadiriyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syadzaliyah, Tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Dasuqiyah, Tarekat Sathaniyah, Tarekat Samaniyah,
Tarekat Alawiyah, Tarekat al-Mu’tabarah. Namun hanya beberapa tarekat di Indonesia yang
berhasil memperoleh simpati rakyat diantaranya, tarekat Khalwatiyah, Syatariyah, Qadariyah,
Naqsabandiyah dan Alawiyah.
Kebanyakan pengikut tarekat Khalwatiyah adalah penduduk daerah Sulawesi Selatan. Yang
pertama memperkenalkan adalah Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al-Makasari, ada Syaikh Abd
Shamad al-Palimbani yang membawa tarekat Samaniyah, yang, merupakan cabang al-
Khalwatiyah di Sumatra. Kemudian Tarekat Syatariyah yang di sebarkan oleh Syaikh Abd
Rauf Sinkel di Sumatra Selatan. Sementara itu, Tarekat Qadariyah banyak tersebar di
berbagai wilayah di Indonesia dan Syaikh Fansuri dikenal sebagai orang yang pertama kali
menganutnya di Indonesia. Sedangkan tarekat Alawiyah yang didirikan oleh Imam Ahmad
Ibn Musa Muhajir tersebar di Indonesia melalui murid-muridnya, salah seorang pengikutnya
adalah Syaikh al-Raniri. Naqsabandiyah mempunyai tiga cabang yang juga tersebar di
Indonesia, Naqsabandiyah Madzhariyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Untuk tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, merupakan penggabungan dari dua tarekat yang
dilakukan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah pada 1875 M. Tarekat ini
membuktikan kemampuannya dalam memobilisasi gerakan perlawanan bangsa Indonesia
terhadap penjajahan Belanda pada akhir abad 19.
Menurut penjajah Belanda bahwa terekat di Indonesia bukan merupakan ancaman karena
mereka menganggap bangsa Indonesia bukan kaum muslim sejati. Pemahaman agama
mereka terbatas pada luarnya saja. Perhatian pemerintah penjajah justru diarahkan kepada
para haji. Menurutnya, orang-orang yang mengenakan pakaian serba putih, kopyah,
melaksanakan shalat, dzikir, mereka itulah orang yang perlu diawasi.
Tarekat yang berkembang pada abad-19 adalah Syaratriyah diganti dengan Naqsabandiyah-
Qadiriyah di sekitar tahun 1850-1855 di beberapa daerah di Indonesia. Syatariyah pada
umumnya tidak begitu mementingkan segi syari’at da juga tidak menekankan sekali
kewajiban shalat lima kali sehari. Tetapi mengajarkan shalat permanen. Sedangkan Terekat
Naqsababdiyah lebih mementingkan segi syari’at dan pada umumnya hanya mau menerima
anggota tarekat, yang sudah melaksanakan kewajiban Islam yang penting dan yang
mengetahui dasar pengetahuan tentang agama. Dalam tasawuf dan tarekat, terdapat
pembahagian segi spekulatif dan segi ritual. Segi spekulatif hanya dipelajari oleh golongan
kecil, yang mengerti tentang seluk beluk spekulatif. Sedangkn rakyat biasa hanya
mempelajari segi ritual dengan menghafal dan mengucapkan beberapa wirid saja. Sebenarnya
pelajaran spekulatif tidak hanya merupakan latar belakang untuk wirid (segi ritual). Dalam
tasawuf Syaratriyah dasar intelektual pada umumnya lebih luas dipelajari dan dipraktekan
daripada dalam tarekat Naqsabandiyah. Dasar teoritis dan spekulaif untuk tarekat Syatariyah
adalah ajaran martabat tujuh, yang sebenarnya tidak berhubungan dengan praktek ritual
terekat itu. Dasar teoritis untuk Tarekat Naqsababdiyah agak terbatas, yaitu hanya suatu teori
tentang kalimat tauhid dan kedudukan guru. Sebenarnya teori ini juga cukup erat
hubungannya dengan praktek ritual dalam tarekat ini.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan tarekat mu’tabarah yang didirikan
oleh ulama Indonesia Ahmad Khatib Sambas (kalimantan Timur). Tarekat ini menglahkan
tarekat yang sebelumnya paling populer di Indonesia yaitu Sammaniyah. Ketika ia wafat
pada tahun 1873 atau 1875, khalifahnya bernama Abd. Al-Karim dari Banten menggantikan
sebagai Syaikh tertinggi tarekat ini. Namun, Abdul al-Karim harus ke Makkah untuk
menggantikan kedudukan sang Syaikh. Dua orang khalifah utama yang lainnya adalah kiai
Thalhah dari cirebon dan seorang kiai Madura, kiai Ahmad Hasbullah. Namun sejak Abd ak-
karim wafat, tarekat ini terpecah belah, berdiri sendiri yang berasal dari ketiga khalifah
pendiri tersebut.
Tarekat satunya lagi adalah Naqsabandiyah Khalidiyah yang tersebar di Indonesia
berkat Zawiyah yang didirikan oleh khalifah dari Maulana Khalid, Abdullah al-Arzinjani di
jabal Abu Qubais, Makkah. Para pengganti Abdullah, Sulaiman al-qirimi, Sulaiman al-
Zuhdi, dan Ali Ridha mengarahkan penyebaran tarekatnya kepada orang-orang Indonesia
yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang besar selama dasawarsa terakhir
abad-19. Ribuan orang mengikuti tarekat ini dan menjalankan berkhalwat di zawiyah dan
lusinan orang Indonesia yang menerima ijazah untuk mengajar tarekat di kampung halaman.
Corak Tarekat di Indonesia
Kata tarekat, umumnya mengacu pada metode latihan atau amalan, seperti dzikir,
wirid, muroqobah, juga mengenai institusi guru dan murid yang tumbuh bersamanya.
Betapapun variasi namanya, tarekat tetap mempunyai satu tujuan, yaitu moral yang mulia.
Tidak ada perbedaan prinsipil antara satu tarekat dan tarekat lainnya. Perbedaan hanya
terletak pada jenis dzikir dan wirid dan cara pelaksanaannya. Tarekat yang berkembang pada
umumnya, terutama setelah abad ke-6, merupakan kesinambungan tasawuf Sunni al-Ghazali.
Corak ini berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Para ulama nusantara yang menuntut
ilmu di Mekkah dapat dipastikan membawa ijazah dari para gurunya dan mengajarkan tarekat
tertentu di Indonesia. Martin van Bruinessen menuliskan dalam bukunya, bahwa pada tahap
awal penulisan buku di Indonesia, ada satu segi yang sangat mencolok di Indonesia, yaitu
tulisan-tulisan paling awal ulama Indonesia bernafaskan semangat tasawuf. Seperti pendapat
orang, karena tasawuf inilah menjadi sebab utama orang Indonesia memeluk Islam.
Islamisasi di Indonesia mulai pada masa corak pemikiran tasawuf menjadi corak yang
dominan dalam dunia Islam. Tarekat di Indonesia mempunyai corak yang sama seperti
tarekat pada umumnya. Tarekat tidak hanya mempunyai fungsi keagamaan, namun juga
mempunyai sistem keterikatan kekeluargaan. Semua anggotanya menganggap diri mereka
bersaudara satu sama lain. Sebagian raja di nusantara juga menggunakan tarekat sebagai
legitimasi untuk memperoleh kekuasaan. Beberapa tarekat kecil di Indonesia, seperti tarekat
Wahidiah dan Shiddiqiyah di Jawa Timur dan tarekat Syahadatain di Jawa Tengah,
merupakan tarekat lokal yang mengembangkan ajaran-ajaran dan amalan-amalan guru
tertentu. Adapun tarekat besar lainnya, seperti tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan,
Syattariyah di Sumatra Barat dan Jawa, Syadziliyah di Jawa Tengah, Qadiriyah, Rifa’iyah,
Idrisiyah, Tijaniyah, dan Naqsyabandiyah, merupakan cabang-cabang dari gerakan sufi
internasional. Diterimanya tarekat di masyarakat Indonesia terlihat dari kebanyakan ulama
yang pulang setelah menuntut ilmu di Hijaz menganut tarekat dan berpegang teguh pada al-
Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu, seperti yang telah disinggung di atas, bentuk tarekat di
Indonesia merupakan kesinambungan dari tasawuf Sunni al-Ghazali. Tarekat seperti
Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah yang merupakan cabang gerkan sufi internasional masuk
dalam golongan ini. Perlu diperhatikan dalam hal ini mengenai perbedaan tarekat dan ilmu
kejawen. Kurangnya perhatian kepada perbedaan ini, menghasilkan pandangan negatif
terhadap tarekat.
Kemudian pada tarekat yang bersifat lokal, dalam arti tidak meruntut pada salah satu
tarekat populer di negeri lain, seperti Wahidiyyah dan Shiddiqiyah, ada yang diterima
menurut syari’at berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak sedikit pula ada yang keluar
dari jalur Islam. Walaupun mereka mengaku beragama dan berkomitmen terhadap Islam,
namun ajaran dan prinsip serta praktek mereka sebagian bertentangan dengan Islam. Tidak
sedikit dari aliran kebatinan yang membonceng kepada tarekat guna mengambil simpati
masyarakat kepada tarekat dengan mengambil nama Islam untuk kemudian menjelekkan citra
tarekat. Untuk sebab itu, para ulama di Indonesia mendirikan organisasi tarekat mu’tabaroh
yang merumuskan kriteria apa saja untuk menentukan tarekat mu’tabarah. Para ulama
berusaha membentengi agar aktivitas tarekat tidak terjerumus kepada kerancuan kebatinan.
Para ulama berusaha menghapus praktik yang menyimpang, seperti praktik khusus untuk
memperoleh kekuatan supranatural dengan melakukan hubungan dengan arwah. Beberapa
kriteria yang dirumuskan adalah, pertama, sepenuhnya berdasarkan syari’at Islam dan
pelaksanaannya. Kedua, berpegang teguh kepada salah satu mazhab fiqih empat. Ketiga,
mengikuti haluan ahlus Sunnah wal jama’ah. Keempat, memiliki ijazah dengan sanad
muttashil, yaitu silsilah guru yang terus bersambung hingga Nabi Muhammad saw.
Peran Tarekat dalam Perlawanan Melawan Kolonialisme pada Abad ke-19
Di Indonesia, keterlibatan terekat dalam gerakan politik pernah terjadi pada masa
penjajahan Belanda. Syaikh Yusuf al Makasari, salah satu pemimpin tarekat Khalwatiyah
yang berpengaruh, pernah menjadi pemimpin gerilnya melawan kompeni.
Di Banten Syaikh Yusuf sangat berpengaruh, dan menjadi penasehat utama Sultan
Agung Tirtayasa. Pengaruh yang kuat dari Syaikh Yusuf di Banten menimbulkan
ketidaksukaan Putra Mahkota, yang mendapat gelar Sultan Haji. Keadaan ini membuat Sultan
Haji melakukan maker kepada ayahnya pada tahun 1682. Dalam pemberontakan ini Sultan
Haji dibantu oleh pasukan Belanda dan berhasil melengserkan ayahnya dan ayahnya di
tawan, tetapi Syaikh Yusuf bersama pengikutnya menyingkir ke wilayah pegunungan-
pegunungan di jawa Barat. Selama hampir 2 tahun beliau berasil dari pemburuan Belanda.
Akhirnya, pada 1683 mereka dapat di tangkap, Syaikh Yusuf di asingkan Belanda ke Sri
Langka, sebagian pengikutnya diizinkan kembali ke Sulawesi Selatan. Setelah 10 tahun di Sri
Langka, Syaikh Yusuf di asingkan ke Tanjung Harapan, Cape Town, Afrika Selatan dan
meninggal pada 1899. ‘Abd al Shamad al Palimbani, seorang pemimpin tarekat Sammaniyah
yang berpengaruh di wilayah ini. Semangat jihad al palimbani sangat mempengaruhi para
muridnya yang ahli tarekat dan juga siap untuk berjihad secara fisik.
Selain perkembangan tarekat Syatariyah dikalahkan oleh Naqsabandiyah, Mulai tahun
1850-an, ada perkembangan kedua yang juga mulai pada tahun 1850an ini. Dalam Jihad
Cilegon di tahun 1888 cukup banyak orang tarekat Qadiriyah yang terlibat atau dituduh
terlibat. Motivasi pemberontakan Cilegon tersebut merupakan campuran antara motif
ekonomi, politik, sosial, dan agama. Aksi protes ini melibatkan 4 tokoh tarekat Qadiriyah
mereka adalah Haji Abd al-Karim al-Batani, seorang syaikh pengganti Syaikh Ahmad Khotib
Sambas, K.H Tabagus Ismail, seorang keturunan Sultan Banten, H Marjuki dan Haji Wasil.
Haji Wasil dengan kelompoknya meluncurkan pemberontakan bersenjata. Hal ini
diakhibatkan dilarangnya semua tarekat di beberapa daerah di Indonesia, karena pihak
kolonial merasa tidak senang denga kegiatan agama terutama terhadap Terekat. Dari pihak ini
juga didatangkan untuk mengawasi kegiatan Tarekat.
Pada tahun 1890 atas kegiatan kyai krapyak yaitu seorang guru tarekat
Naqsabandiyah dan Syatariyah yang ketika itu dilarang oleh Sultan untuk mengajar. Ia
mengajar ilmu fiqh kepada 20 murid yang semuanya berasal dari krapyak. Pada tahun 1897
dia tetap mengajar fiqh tidak menyebutkan bahwa ia mengajar sebuah tarekat, karena tarekat
dilarang di Yogyakarta. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah kolonial (residen
Yogyakarta) sangat mengawasi kegiatan pengajaran agama. Tahun 1904 oleh Sultan dan
Residen, kyai Krapyak di jatuhi hukuman pengasingan karena dianggap menjadi penyebab
kerusuhan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata: insan dan kamil. Secara harfiah,
insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Jadi insan kamil adalah manusia
yang sempurna yang memiliki cirri-ciri akalnnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui
bahwa segala perbuatan baik wajib dilakukan, jiwa manusianya mendekati sempurna, Mampu
menciptakan Budaya, dan lain-lain.
Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah ( dengan tekun ) dan
menjauhkan ( diri ) dari ( sikap ) mempermudah ( ibadah ), yang sebenarnya memang tidak
boleh dipermudah. Dan tareqat merupakan jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan
Allah.
Hubungan tasawuf dengan tareqat yaitu, tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada
Allah, sedangkan tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam usaha
mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun sejarah timbulnya tareqat, Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali
memenghalalkan tasawuf yang sebelumnya yang dikatakan sesat, tasawuf berkembang
didunia islam, melalui tarikat. Tariqat adalah organisasi dari pengikut-pengikut sufyn besar,
yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya, tariqat memakai suatu
tempat pusat kegiatan yang disebut ribat, ini merupakan tempat murid-murid berkumpul
melestarikan ajaran tasawufnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia, Jakarta:Raja Grafindo Persada,2015.
Anwar, Rosihon. 2000, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Makluf, Luis. 1986, Al-Munjid Fi Al-Lughat Wa Al-A’lam. Bairut: Dar Al-Masyrik
Mustofa, A. 2007, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Mustofa, A. 2010, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun. 1986, Perkembangan Tasawuf Di Dunia Islam. Jakarta: Depag RI
Solihin, M. 2008, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Schimel, Annemarie. 1986, Dimesti Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Rifa’i, Bachrun. Filsafat Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia, 2010
Nahrowi Tohir, Moenir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf. (Jakarta: PT As-Salam
Sejahtera,2012
Shihab, Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Iman, 2009
Sunanto, Musrifah. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Bruinessen, Martin van . Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia ‘Survey Historis, Geografis,
dan Sosiologis. Bandung: Mizan, 1995
Huda, Nor. Islam Nusantara. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2013
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: P.T
Bulan Bintang, 1984

Anda mungkin juga menyukai