WADLI Isnatin Ulfah, MHI Makna Hukum Secara etimologi, hukum dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab al hukm ,yang secara harfiyah dalam bahasa aslinya dipakai untuk berbagai pengertian sesuai dengan konteksnya, misalnya diartikan sebagai keputusan, ketetapan, peraturan, ketentuan, kekuasaan, pemerintahan, dekrit, norma atau nilai hukum. Asal mula makna hukum dalam bahasa Arab adalah mencegah. Hakim dinamakan hakim karena keputusannya mencegah orang untuk bertindak yang tidak semestinya dan dengan keputusan hakim itu orang tersebut tercegah untuk menyimpang dari yang benar. Selain itu, kata al hukm juga berarti bijaksana (hikmah). Karena keputusan hakim yang sifatnya mencegah dari perilaku yang menyimpang dari kebenaran merupakan suatu hal yang bijaksana. Secara umum kata al hukm berarti al qada bi al adl (memutuskan dengan adil). MAKNA HUKUM SYARI Khitab Allah (Titah Illahi) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan (taklifi), pemberian pilihan (takhyir/alternasi), maupun penetapan (wadli). PERINCIAN MAKNA HUKUM SYARI Titah Illahi (Hakim-Pencipta Hukum) Mukallaf (Mahkum alaih-Subjek Hukum) Perbuatan Manusia (Mahkum Fih- objek hukum) Hukum Syara itu berisi: @ Taklifi (tuntutan) @ WadlI (penetapan) TITAH ILAHI Menurut para teoritisi hukum Islam dari aliran Mutakalimin, yang dimaksud dengan titah Ilahi di sini adalah pernyataan mental (al kalam nafsi) yang merupakan isi dari pernyataan verbal (al kalam lafdzi) dan bukan pernyataan verbal itu sendiri Pernyataan verbal itu adalah ungkapan dalam wujud katakata dari pernyataan mental Seperti ditegaskan oleh al Qarafi (684 H/1285 M), hukum adalah pernyataan mental dan bukan pernyataan verbal, karena verbal itu adalah dalil hukum. Jadi yang dimaksud dengan titah Ilahi sebagai hukum di sini adalah pengertian yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi yang menyapa perbuatan manusia, sedangkan teks firman Allah atau teks Hadits Nabi adalah dalil hukum. Hal ini dapat dibandingkan dengan dalam konteks hukum positif, bahwa pasal undang- undang itu adalah sumber hukum/dalil hukum/pernyataan verbal, hukumnya/pernyataan mental adalah isi yang dirumuskan dalam Undang-Undang tersebut. Selanjutnya titah Ilahi itu bisa berwujud: 1. Mewajibkan, melarang, menganjurkan, memakruhkan atau membolehkan manusia sebagai subyek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan. Inilah yang dimaksud dengan hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah) 2. Dan bisa berupa menetapkan hubungan dua hal yang satu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain. Inilah yang dimaksud dengan hukum wadhi (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, rukhshah), Makna Hukum Taklifi Hukum taklifi adalah Titah Ilhai (khitabullah) yang berwujud tuntutan baik itu mewajibkan, melarang, menganjurkan, memakruhkan atau membolehkan manusia sebagai subyek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan. Contohnya adalah berbagai firman Allah dalam keharusan memenuhi perjanjian yang telah dilaksanakan, pelarangan seseorang untuk makan riba berlipat-lipat, dll. Paparan di atas memperlihatkan adanya lima kategori hukum taklifi, yaitu ijab, tahrim, nadab, karahah, ibahah, Apabila dihubungkan dengan perbuatan manusia, maka perbuatan tersebut menjadi wajib, haram, mandub, makruh, mubah. Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al- Baqarah [2]:282: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya. Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi. Kemudian, karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101: Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu. Sedangkan ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. Golongan Hanafiyah membagi hukum taklif kepada tujuh bagian, yaitu fardlu, ijab, tahrim, karahah tahrim, nadb dan ibahah. Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dengan dalil yang qathi, seperti dalil Al-Quran dan hadis mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil qathiy, maka ia disebut tahrim, sementara kalau dasarnya dhanny maka disebut karahah tahrim. 1. WAJIB Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah: Wajib menurut syara ialah apa yang dituntut oleh syara kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa. Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman Allah: Artinya: ... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha:14) Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman- Nya: Artinya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu .... (QS. Al-Baqarah: 183) Pembagian Wajib 1. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,wajib dapat dibagi dua: Wajib muayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam shalat. Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak. 2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mengerjakan yang diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam: Wajib muwassa, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya. 3. Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian: Wajib ain, ialah tuntutan syara untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ain. Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar maruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, dan lain sebagainya. 4. Dilihat dari segi kuantitasnya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua: Wajib muhaddad, ialah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya. Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan waktunya, jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan jenis benda yang wajib dizakati dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka menjadi hutang. Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang tidak ditentukan cara pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi sabilillah, memberi bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong, dan lain sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan tidak boleh dipaksa 2. MANDUB Pengertian Mandub: Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah: Yang dituntut oleh syara memperbuatnya dari mukallaf namun tnututannya tidak begitu keras. Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa atau dosa (iqab). Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti dicantumkan kata disunnatkan atau dianjurkan atau dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Seperti dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah (hutang piutang) tidak secara tunai hendaklah kamu menulisnya ....maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya.... (QS. Al- Baqarah 282) Ayat tersebut dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub (sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar yang mempunyai arti wajib ke arti mandub, melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya Pembagian Mandub Para ulama dalam kalangan mazhab Syafii membagi mandub menjadi dua macam: 1)Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan akikah, karena perbuatan- perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau. 2)Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dicela meninggalkannya karena Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul,. 3. HARAM Pengertian Haram Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah: apa yang dituntut oleh syara untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras. Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.
Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui
lafal nash seperti dalam firman Allah: Artinya: diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al- Maidah 3) Pembagian Haram Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua: 1)Haram li zatihi, ialah haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain. 2)Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jumat sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu akan menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya. Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah: 1)Haram yang ditetapkan melalui dalil qathi ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qathi ini sebagi kebalikan fardhu. Contohnya seperti larangan berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra. Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya: kedua ini haram atas umatku yang lelaki(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin Thalib) 4. MAKRUH PengertianMakruh Makruh menurut para ahli ushul ialah: apa yang dituntut syara untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras. Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya. Pembagian Makruh Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian: 1)Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkannya lebih baik daripada mengerjakan. 2)Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qathi. 5. MUBAH PengertianMubah Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah: apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih anatara memperbuat atau meninggalkannya. Pembagian Mubah Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu: Yang diterangkan syara tentang kebolehannya memilih, antara memperbuat atau tidak memperbuat Tidak diterangkan kebolehannya, namun syara memberitahukan akan dapat memberi kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya Tidak diterangkan sama sekali, baik kebolehan memperbuatnya atau meninggalkannya. yang seperti ini kembali pada kaidah baratul ashliyah. HUKUM WADLI Makna Hukum Wadli Hukum Wadli adalah Titah Ilahi (khitabullah) yang berupa menetapkan hubungan dua hal yang satu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain. Contohnya pembunuhan menjadi penghalang si pembunuh menerima warisan dari terbunuh, dll. Penetapan adalah bahwa Pembuat hukum syari menetapkan kaitan atau hubungan dua hal yang satu dijadikan sebab, syarat atau penghalang bagi yang lain. Seperti hubungan peristiwa pembunuhan sengaja dengan peristiwa penjatuhan pidana qisas. Ia menetapkan bahwa peristiwa pembunuhan sengaja menjadi sebab dijatuhkannya pidana qisas kepada pelaku pembunuhan. Dengan demikian hukum wadhi terbagi kepada tiga macam, yaitu: Sebab, Syarat, Mani 1. SEBAB Pengertian Sebab: Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Dengan lantaran adanya sebab, wajib adanya akibat. Sebaliknya, ketiadaan sebab menyebabkan ketiadaan akibat. Menurut istilah ushul fiqh, sepeti yang dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, sebab berarti: Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Pembagian Sebab 1. Sebab, kadang-kadang menjadi sebab pada hukum Taklif. Misalnya waktu, yang menjadi sebab kewajiban mendirikan shalat, karena firman Allah SWT yang artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. (QS.al-Isra:78) Menyaksikan hilal Ramadhan, menjadi sebab kewajiban berpuasa, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu. (QS.al-Baqarah:185) 2. Kadang-kadang sebab itu menjadi sebab untuk menetapkan kepemilikan, kehalalan atau emnghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkan kepemilikan, memerdekakan budak dan wakaf untuk menggugurkan kepemilikan, atau akad perkawinan untuk menetapkan kehalalan. 3. Kadang-kadang sebab itu berupa perbuatan yang mampu dilakukan mukalaf, seperti ia membunuh secara sengaja menjadi sebab kewajiban qishash. Akad jual beli, perkawinan, atau lainnya menjadi sebab adanya hukum atas perbuatan-perbuatan tersebut. 4. Kadang-kadang sebab berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan mukallaf. Seperti masuk waktu yang menjadikan sebab kewajiban shalat. Hubungan kerabat menjadi sebab adanya hak waris dan pewaris. Sifat kecil menjadi sebab keharusan perwalian atas si kecil tersebut.
2. SYARAT Menurut bahasa kata syarat berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Tidak adanya syarat menjadikan tidak adanya yang disyaratkan, tetapi adanya syarat belum tentu menjadikan adanya yang disyaratkan.
Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti yang
dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, syarat adalah: Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu. Misalnya: Wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Pembagian Syarat 1. Syarat Syari, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri. Misalnya, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya 2. Syarat Jaly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar hutangnya. 3. MANI Pengertian Mani: Kata mani secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, kata mani berarti: Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab. Misalnya, seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya, menjadi penghalang diterimanya warisan. Pembagian Mani 1. Mani al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid.
2. Mani al-Sabab, yaitu sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai pengahalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta satu nisab, menjadi sebab seseorang mengeluarkan zakat. Namun, karena orang tersebut dalam keadaan berhutang di mana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fikih hutang itu menjadi mani bagi wajib zakat harta itu.
Rukhsah dan Azimah Pengertian Rukhsah Secara bahasa rukhsah berarti kemudahan dan kelapangan. Secara istilah rukhsah adalah ketentuan yang di syariatkan oleh Allah sebagai keringanan untuk orang mukallaf dalam hal- hal yang khusus atau kondisi-kondisi tertentu. Dengan demikian, rukhsah terjadi pada saat seorang mukallaf mengalami masa-masa yang sulit dan darurat yang dikehendaki adanya kemudahan dari Allah Swt. Pembagian Rukhsah 1. Membolehkan hal-hal yang haram disebabkan kondisi darurat. Misalnya membolehkan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya kaena dalam keadaan kelaparan dan tidak ada makanan lain kecuali bangkai itu. 2. Membolehkan meninggalkan suatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena ada uzur seperti sakit atau dalam keadaan bepergian. 3. Memberikan pengecualian sebagian perikatan karena dibutuhkan dalam muamalah. Misanlya salam, yakni perikatan jual beli barang yang belum ada wujudnya saat perikatan dilakukan, tetapi harganya telah dibayar terlebih dahulu. Perikatan itu sah, secara rukhsah. 4. Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syariat terdahulu. Misalnya mencuci pakaian yang kena najis dengan air yang suci,sebagai rukhsah terhadap tata cara mensucikan pakaian yang kena najis menurut syariat sebelum islam, yakni dengan memotong bagian pakaian yang kena najis itudan melakukan taubat sebagai rukhsah terhadap tata cara diri menyatakan penyesalan diri dari suatu maksiatdengan membunuh diri, sebagaimana dilakukan oleh umat terdahulu. Pengertian Azimah Azimah secara bahasa berarti tekad yang kuat. Secara istilah ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya dengan hukum- hukum yang ditetapkan Allah Swt kepada semua hamba-Nya sejak semula. Ia merupakan peraturan syara yang asli yang berlaku umum. Artinya dia disyariatkan sebagai aturan umum bagi seluruh mukallaf dalam keadaan normal. Misalnya bangkai, menurut asli adalah haram dimakan oleh semua mukallaf. Akan tetapi bagi yang keadaan terpaksa, diperkenankan memakannya, asal tidak berlebih-lebihan. Haramnya bangkai adalah azimah,sedangkan boleh memakannya dalam keadaan terpaksa adalah rukhsah.
SHAH dan BATAL
Pengertian SHAH: Secara etimologi, kata shah berarti baik. Pengertian shah menurut ulama ushul fiqh adalah tercapainya sesuatu yang memberikan pengaruh secara syara, karena perbuatan itu mempunyai akibat hukum. Suatu perbuatan dinilai shah ketika sejalan dengandenagn kehendak syari. Tegasnya, perbuatan mukallaf dinilai shah apabila dipenuhi rukun dan syaratnya. Dengan demikian, dalam hukum Islam terdapat delapan kategori hukum, yaitu ijab, tahrim, nadab, karahah, ibahah, penetapan sebab, penetapan syarat, penetapan penghalang. Lima kategori pertama dinamakan hukum taklifi dan tiga terakhir hukum wadli. Pengertian BATAL: Sedangkan istilah bathal merupakan lawan dari shah,yakni: terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.Misalnya jika perbuatan yang dilakukan oleh orang mukallaf itu berupa suatu kewajiban, maka perbuatan yng dilakukan itu tidak dapat menggugurkan kewajibandan tidak dapat membebaskan tanggungan serta ia tidak berhak mendapatkan pahala di akhirat.