Anda di halaman 1dari 57

PEMBAGIAN HUKUM

SYARI: TAKLIFI DAN


WADLI
Isnatin Ulfah, MHI
Makna Hukum
Secara etimologi, hukum dalam bahasa
Indonesia diserap dari bahasa Arab al
hukm ,yang secara harfiyah dalam
bahasa aslinya dipakai untuk berbagai
pengertian sesuai dengan konteksnya,
misalnya diartikan sebagai keputusan,
ketetapan, peraturan, ketentuan,
kekuasaan, pemerintahan, dekrit,
norma atau nilai hukum.
Asal mula makna hukum dalam
bahasa Arab adalah mencegah.
Hakim dinamakan hakim karena
keputusannya mencegah orang
untuk bertindak yang tidak
semestinya dan dengan keputusan
hakim itu orang tersebut tercegah
untuk menyimpang dari yang benar.
Selain itu, kata al hukm juga
berarti bijaksana (hikmah). Karena
keputusan hakim yang sifatnya
mencegah dari perilaku yang
menyimpang dari kebenaran
merupakan suatu hal yang
bijaksana. Secara umum kata al
hukm berarti al qada bi al adl
(memutuskan dengan adil).
MAKNA HUKUM SYARI
Khitab Allah (Titah Illahi) yang
berhubungan dengan perbuatan
mukallaf baik berupa tuntutan
(taklifi), pemberian pilihan
(takhyir/alternasi), maupun
penetapan (wadli).
PERINCIAN MAKNA HUKUM
SYARI
Titah Illahi (Hakim-Pencipta Hukum)
Mukallaf (Mahkum alaih-Subjek
Hukum)
Perbuatan Manusia (Mahkum Fih-
objek hukum)
Hukum Syara itu berisi:
@ Taklifi (tuntutan)
@ WadlI (penetapan)
TITAH ILAHI
Menurut para teoritisi hukum Islam
dari aliran Mutakalimin, yang dimaksud
dengan titah Ilahi di sini adalah
pernyataan mental (al kalam nafsi)
yang merupakan isi dari pernyataan
verbal (al kalam lafdzi) dan bukan
pernyataan verbal itu sendiri
Pernyataan verbal itu adalah ungkapan
dalam wujud katakata dari
pernyataan mental
Seperti ditegaskan oleh al Qarafi (684 H/1285
M), hukum adalah pernyataan mental dan
bukan pernyataan verbal, karena verbal itu
adalah dalil hukum.
Jadi yang dimaksud dengan titah Ilahi sebagai
hukum di sini adalah pengertian yang
terkandung dalam firman Allah dan sabda
Nabi yang menyapa perbuatan manusia,
sedangkan teks firman Allah atau teks Hadits
Nabi adalah dalil hukum.
Hal ini dapat dibandingkan dengan dalam
konteks hukum positif, bahwa pasal undang-
undang itu adalah sumber hukum/dalil
hukum/pernyataan verbal,
hukumnya/pernyataan mental adalah isi yang
dirumuskan dalam Undang-Undang tersebut.
Selanjutnya titah Ilahi itu bisa berwujud:
1. Mewajibkan, melarang, menganjurkan,
memakruhkan atau membolehkan
manusia sebagai subyek hukum untuk
melakukan atau tidak melakukan. Inilah
yang dimaksud dengan hukum taklif
(wajib, sunnah, haram, makruh, mubah)
2. Dan bisa berupa menetapkan hubungan
dua hal yang satu menjadi sebab, syarat
atau penghalang bagi yang lain. Inilah
yang dimaksud dengan hukum wadhi
(sebab, syarat, halangan, sah, batal,
fasid, azimah, rukhshah),
Makna Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah Titah Ilhai
(khitabullah) yang berwujud tuntutan baik
itu mewajibkan, melarang, menganjurkan,
memakruhkan atau membolehkan manusia
sebagai subyek hukum untuk melakukan
atau tidak melakukan.
Contohnya adalah berbagai firman Allah
dalam keharusan memenuhi perjanjian
yang telah dilaksanakan, pelarangan
seseorang untuk makan riba berlipat-lipat,
dll.
Paparan di atas memperlihatkan
adanya lima kategori hukum taklifi,
yaitu ijab, tahrim, nadab, karahah,
ibahah,
Apabila dihubungkan dengan
perbuatan manusia, maka perbuatan
tersebut menjadi wajib, haram,
mandub, makruh, mubah.
Ijab adalah firman yang menuntut melakukan
suatu perbuatan dengan tuntutan pasti.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah
[2]:43:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan
rukulah beserta orang-orang yang ruku.
Nadb adalah firman Allah yang menuntut
melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan
yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran
untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al-
Baqarah [2]:282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaknya kamu
menuliskannya.
Tahrim adalah firman yang menuntut untuk
tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan
tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat 3:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, dan daging babi.
Kemudian, karahah adalah firman Allah
yang menuntut untuk tidak melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti,
tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak
berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat
Al-Maidah ayat 101:
Janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu niscaya menyusahkanmu.
Sedangkan ibahah adalah firman
Allah yang memberi kebebasan
kepada mukalaf untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan. Misalnya, firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 235:
Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran.
Golongan Hanafiyah membagi hukum
taklif kepada tujuh bagian, yaitu fardlu,
ijab, tahrim, karahah tahrim, nadb dan
ibahah.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah
didasarkan dengan dalil yang qathi,
seperti dalil Al-Quran dan hadis mutawatir
maka perintah itu disebut fardhu. Namun,
bila suruhan itu berdasarkan dalil yang
zhanni, maka ia dinamakan ijab. Begitu
pula larangan. Bila larangan itu
berdasarkan dalil qathiy, maka ia disebut
tahrim, sementara kalau dasarnya dhanny
maka disebut karahah tahrim.
1. WAJIB
Para ahli ushul memberikan definisi
wajib ialah:
Wajib menurut syara ialah apa yang
dituntut oleh syara kepada mukallaf
untuk memperbuatnya dalam tuntutan
keras.
Atau menurut definisi lain ialah suatu
perbuatan jika dikerjakan akan
mendapat pahala dan jika ditinggalkan
akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau
melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang
ditunjuk melalui lafal seperti dalam
bentuk lafal amar (perintah) dalam firman
Allah:
Artinya: ... dirikanlah shalat untuk
mengingat Aku. (QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang
tercantum dalam kalimat itu sendiri yang
menunjukkan wajib seperti dalam firman-
Nya:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu .... (QS. Al-Baqarah: 183)
Pembagian Wajib
1. Dilihat dari segi tertentu atau tidak
tertentunya perbuatan yang
dituntut,wajib dapat dibagi dua:
Wajib muayyan, yaitu yang telah
ditentukan macam perbuatannya, misalnya
membaca fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih
salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya,
kifarat sumpah yang memberi tiga
alternatif, memberi makan sepuluh orang
miskin, atau memberi pakaian sepuluh
orang miskin, atau memerdekakan budak.
2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu
yang tersedia untuk mengerjakan yang
diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi
menjadi dua macam:
Wajib muwassa, waktu yang tersedia untuk
melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih
banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya
shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan
shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan
waktu yang terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur.
Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia
persis sama atau sama banyak dengan waktu
mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan
Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari
bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak
dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk
mengerjakannya.
3. Dilihat dari segi orang yang harus
mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:
Wajib ain, ialah tuntutan syara untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap
mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain,
seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa,
zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ain.
Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan
kepada sekelompok orang dan jika ada salah
seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu
dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak ada
seorangpun yang mengerjakannya, maka
berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti
amar maruf dan nahi munkar, shalat jenazah,
mendirikan rumah sakit, dan lain sebagainya.
4. Dilihat dari segi kuantitasnya dan
bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:
Wajib muhaddad, ialah kewajiban yang
telah ditentukan kadar atau jumlahnya.
Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan
hutang. Shalat lima waktu telah
ditetapkan waktunya, jumlah rakaatnya,
rukun dan syaratnya. Zakat telah
ditetapkan jenis benda yang wajib
dizakati dan jumlah zakat yang wajib
dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak
dilaksanakan maka menjadi hutang.
Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan
yang tidak ditentukan cara
pelaksanaanya dan waktunya atau
kewajiban yang tidak ditentukan batas
bilangannya, seperti infak fi sabilillah,
memberi bantuan kepada orang yang
berhajat, tolong menolong, dan lain
sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika
tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang
dan tidak boleh dipaksa
2. MANDUB
Pengertian Mandub:
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud
dengan mandub ialah:
Yang dituntut oleh syara memperbuatnya
dari mukallaf namun tnututannya tidak
begitu keras.
Atau dengan kata lain segala perbuatan
yang dilakukan akan mendapatkan pahala,
tetapi bila tidak dilakukan tidak akan
dikenakan siksa atau dosa (iqab).
Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal
yang tercantum dalam nash seperti
dicantumkan kata disunnatkan atau
dianjurkan atau dibawakan dalam bentuk
amar namun ditemui tanda yang
menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras
dari nash itu sendiri. Seperti dalam firman
Allah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah (hutang piutang) tidak
secara tunai hendaklah kamu
menulisnya ....maka tak ada dosa bagi kamu
(jika) kamu tidak menulisnya.... (QS. Al-
Baqarah 282)
Ayat tersebut dapat dipahami
bahwa menulis hutang piutang itu
hanya mandub (sunnat).
Dan juga mungkin tanda yang dapat
dipergunakan untuk memalingkan
amar yang mempunyai arti wajib ke
arti mandub, melalui kaidah umum
agama atau melalui kaidah fiqih dan
mungkin juga ditunjuk oleh urutan
hukuman bagi orang yang
meninggalkannya
Pembagian Mandub
Para ulama dalam kalangan mazhab Syafii
membagi mandub menjadi dua macam:
1)Sunat muakkad, ialah perbuatan yang
dituntut memperbuatnya namun tidak
dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya
tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang
menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti
azan, shalat berjamaah, shalat hari raya,
berkurban dan akikah, karena perbuatan-
perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat
Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali
beliau tinggalkan yang menunjukkan
perbuatan itu bukan wajib namun digemari
oleh beliau.
2)Sunat Ghairu muakkad, ialah segala
perbuatan yang dituntut
memperbuatnya namun tidak dicela
meninggalkannya karena Rasulullah
SAW. sering meninggalkannya, atau
dengan kata lain yaitu segala macam
perbuatan sunat yang tidak selalu
dikerjakan Rasul,.
3. HARAM
Pengertian Haram
Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:
apa yang dituntut oleh syara untuk tidak
melakukannya dengan tuntutan keras.
Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya
dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan
kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.

Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui


lafal nash seperti dalam firman Allah:
Artinya: diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang
disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-
Maidah 3)
Pembagian Haram
Secara garis besarnya haram dibagi
kepada dua:
1)Haram li zatihi, ialah haram karena
perbuatan itu sendiri, atau haram
karena zatnya. Haram seperti ini
pada pokoknya adalah haram yang
memang diharamkan sejak semula.
Misalnya membunuh, berzina,
mencuri, dan lain-lain.
2)Haram li gairihi, ialah Haram karena
berkaitan dengan perbuatan lain, atau
haram karena faktor lain yang datang
kemudian. Misalnya, jual beli yang
hukum asalnya mubah, berubah
menjadi haram ketika azan jumat sudah
berkumandang. Begitu juga dengan
puasa Ramadhan yang semulanya wajib
berubah berubah menjadi haram kerena
dengan berpuasa itu akan menimbulakn
sakit yang mengancam keselamatan
jiwa. Begitu juga dengan lainnya.
Para ulama dalam kalangan mazhab
Hanafi membagi haram ini menjadi dua
macam yang dilihat dari segi kekuatan
dalil yang menetapkan ialah:
1)Haram yang ditetapkan melalui dalil
qathi ialah harm dari Al quran, Sunnah
Mutawatir dan Ijma. Haram yang
ditetapkan melalui dalil qathi ini sebagi
kebalikan fardhu. Contohnya seperti
larangan berbuat zina seperti yang
diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra.
Haram yang ditetapkan melalui dalil
zanni seperti hadis Ahad dan kias dan
haram seperti ini sebagai kebalikan
wajib atau juga dinamakan karahiyatut
tahrim. Contohnya seperti larangan
bagi kaum pria memakai perhiasan
emas dan kain sutra murni yang
diterangkan dalam hadis ahad yang
diantaranya:
kedua ini haram atas umatku yang
lelaki(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai
dari Ali bin Thalib)
4. MAKRUH
PengertianMakruh
Makruh menurut para ahli ushul ialah:
apa yang dituntut syara untuk
meninggalkannya namun tidak begitu
keras.
Atau dengan kata lain sesuatu yang
dilarang memperbuatnya namun tidak
disiksa kalau dikerjakan. Misalnya merokok,
memakan makanan yang menimbulkan
bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya.
Pembagian Makruh
Pada umumnya, ulama membagi
makruh kepada dua bagian:
1)Makruh tanzih, yaitu segala
perbuatan yang meninggalkannya
lebih baik daripada mengerjakan.
2)Makruh tahrim, yaitu segala
perbuatan yang dilarang, tetapi dalil
yang melarangnya itu zhanny, bukan
qathi.
5. MUBAH
PengertianMubah
Yang dimaksud dengan mubah
menurut para ahli ushul ialah:
apa yang diberikan kebebasan
kepada para mukallaf untuk memilih
anatara memperbuat atau
meninggalkannya.
Pembagian Mubah
Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:
Yang diterangkan syara tentang
kebolehannya memilih, antara
memperbuat atau tidak memperbuat
Tidak diterangkan kebolehannya, namun
syara memberitahukan akan dapat
memberi kelonggaran dan kemudahan bagi
yang melakukannya
Tidak diterangkan sama sekali, baik
kebolehan memperbuatnya atau
meninggalkannya. yang seperti ini kembali
pada kaidah baratul ashliyah.
HUKUM WADLI
Makna Hukum Wadli
Hukum Wadli adalah Titah Ilahi
(khitabullah) yang berupa
menetapkan hubungan dua hal
yang satu menjadi sebab, syarat
atau penghalang bagi yang lain.
Contohnya pembunuhan menjadi
penghalang si pembunuh menerima
warisan dari terbunuh, dll.
Penetapan adalah bahwa Pembuat
hukum syari menetapkan kaitan atau
hubungan dua hal yang satu dijadikan
sebab, syarat atau penghalang bagi
yang lain.
Seperti hubungan peristiwa
pembunuhan sengaja dengan
peristiwa penjatuhan pidana qisas. Ia
menetapkan bahwa peristiwa
pembunuhan sengaja menjadi sebab
dijatuhkannya pidana qisas kepada
pelaku pembunuhan.
Dengan demikian hukum wadhi
terbagi kepada tiga macam, yaitu:
Sebab, Syarat, Mani
1. SEBAB
Pengertian Sebab:
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang
bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu
yang lain. Dengan lantaran adanya sebab,
wajib adanya akibat. Sebaliknya, ketiadaan
sebab menyebabkan ketiadaan akibat.
Menurut istilah ushul fiqh, sepeti yang
dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, sebab
berarti:
Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai
tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya
hukum.
Pembagian Sebab
1. Sebab, kadang-kadang menjadi sebab
pada hukum Taklif. Misalnya waktu, yang
menjadi sebab kewajiban mendirikan
shalat, karena firman Allah SWT yang
artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir. (QS.al-Isra:78)
Menyaksikan hilal Ramadhan, menjadi
sebab kewajiban berpuasa, sebagaimana
firman Allah SWT yang artinya:
Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan
itu. (QS.al-Baqarah:185)
2. Kadang-kadang sebab itu
menjadi sebab untuk menetapkan
kepemilikan, kehalalan atau
emnghilangkan keduanya.
Seperti jual beli untuk menetapkan
kepemilikan dan menghilangkan
kepemilikan, memerdekakan budak
dan wakaf untuk menggugurkan
kepemilikan, atau akad perkawinan
untuk menetapkan kehalalan.
3. Kadang-kadang sebab itu berupa
perbuatan yang mampu dilakukan mukalaf,
seperti ia membunuh secara sengaja menjadi
sebab kewajiban qishash. Akad jual beli,
perkawinan, atau lainnya menjadi sebab
adanya hukum atas perbuatan-perbuatan
tersebut.
4. Kadang-kadang sebab berupa sesuatu
yang tidak mampu dilakukan mukallaf. Seperti
masuk waktu yang menjadikan sebab
kewajiban shalat. Hubungan kerabat menjadi
sebab adanya hak waris dan pewaris. Sifat
kecil menjadi sebab keharusan perwalian atas
si kecil tersebut.

2. SYARAT
Menurut bahasa kata syarat berarti
sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain atau sebagai tanda.
Tidak adanya syarat menjadikan tidak
adanya yang disyaratkan, tetapi adanya
syarat belum tentu menjadikan adanya
yang disyaratkan.

Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti yang


dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, syarat
adalah:
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada
sesuatu yang lain, dan berada di luar dari
hakikat sesuatu itu.
Misalnya:
Wudhu adalah sebagai syarat bagi
sahnya shalat dalam arti adanya
shalat tergantung adanya wudhu,
namun pelaksanaan wudhu itu
sendiri bukan merupakan bagian dari
pelaksanaan shalat.
Pembagian Syarat
1. Syarat Syari, yaitu syarat yang datang
langsung dari syariat sendiri. Misalnya, keadaan
rusyd (kemampuan untuk mengatur
pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir)
bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat
sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta
miliknya kepadanya
2. Syarat Jaly, yaitu syarat yang datang dari
kemauan orang mukalaf itu sendiri. Misalnya,
seorang suami berkata kepada istrinya: Jika
engkau memasuki rumah si fulan, maka
jatuhlah talakmu satu, dan seperti pernyataan
seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin
untuk membayarkan utang si fulan dengan
syarat si fulan itu tidak mampu membayar
hutangnya.
3. MANI
Pengertian Mani:
Kata mani secara etimologi berarti
penghalang dari sesuatu. Secara
terminologi, seperti dikemukakan oleh
Abdul-Karim Zaidan, kata mani berarti:
Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau
penghalang bagi berfungsinya suatu
sebab.
Misalnya, seperti adanya pembunuhan
yang disengaja dan aniaya, menjadi
penghalang diterimanya warisan.
Pembagian Mani
1. Mani al-Hukm, yaitu sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang
bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haid bagi wanita
ditetapkan Allah sebagai mani bagi
kecakapan wanita itu untuk melakukan
shalat, dan oleh karena itu shalat tidak
wajib dilakukannya waktu haid.

2. Mani al-Sabab, yaitu sesuatu yang


ditetapkan syariat sebagai pengahalang
bagi berfungsinya suatu sebab sehingga
dengan demikian sebab itu tidak lagi
mempunyai akibat hukum.
Contohnya, bahwa sampainya harta satu
nisab, menjadi sebab seseorang
mengeluarkan zakat. Namun, karena orang
tersebut dalam keadaan berhutang di
mana hutang itu bila dibayar akan
mengurangi hartanya dari satu nisab,
maka dalam kajian fikih hutang itu menjadi
mani bagi wajib zakat harta itu.

Rukhsah dan Azimah
Pengertian Rukhsah
Secara bahasa rukhsah berarti kemudahan
dan kelapangan.
Secara istilah rukhsah adalah ketentuan
yang di syariatkan oleh Allah sebagai
keringanan untuk orang mukallaf dalam hal-
hal yang khusus atau kondisi-kondisi
tertentu.
Dengan demikian, rukhsah terjadi pada saat
seorang mukallaf mengalami masa-masa
yang sulit dan darurat yang dikehendaki
adanya kemudahan dari Allah Swt.
Pembagian Rukhsah
1. Membolehkan hal-hal yang haram disebabkan
kondisi darurat. Misalnya membolehkan
memakan bangkai bagi orang yang terpaksa
memakannya kaena dalam keadaan kelaparan
dan tidak ada makanan lain kecuali bangkai
itu.
2. Membolehkan meninggalkan suatu yang
wajib karena ada uzur. Misalnya diperbolehkan
tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena ada
uzur seperti sakit atau dalam keadaan
bepergian.
3. Memberikan pengecualian sebagian perikatan
karena dibutuhkan dalam muamalah.
Misanlya salam, yakni perikatan jual beli barang
yang belum ada wujudnya saat perikatan
dilakukan, tetapi harganya telah dibayar
terlebih dahulu. Perikatan itu sah, secara
rukhsah.
4. Menghilangkan beban yang berat yang berlaku
pada syariat terdahulu. Misalnya mencuci
pakaian yang kena najis dengan air yang
suci,sebagai rukhsah terhadap tata cara
mensucikan pakaian yang kena najis menurut
syariat sebelum islam, yakni dengan
memotong bagian pakaian yang kena najis
itudan melakukan taubat sebagai rukhsah
terhadap tata cara diri menyatakan penyesalan
diri dari suatu maksiatdengan membunuh diri,
sebagaimana dilakukan oleh umat terdahulu.
Pengertian Azimah
Azimah secara bahasa berarti tekad
yang kuat.
Secara istilah ulama Ushul Fiqh
mendefinisikannya dengan hukum-
hukum yang ditetapkan Allah Swt
kepada semua hamba-Nya sejak
semula. Ia merupakan peraturan
syara yang asli yang berlaku umum.
Artinya dia disyariatkan sebagai
aturan umum bagi seluruh mukallaf
dalam keadaan normal.
Misalnya bangkai, menurut asli adalah
haram dimakan oleh semua mukallaf.
Akan tetapi bagi yang keadaan
terpaksa, diperkenankan memakannya,
asal tidak berlebih-lebihan. Haramnya
bangkai adalah azimah,sedangkan
boleh memakannya dalam keadaan
terpaksa adalah rukhsah.

SHAH dan BATAL


Pengertian SHAH:
Secara etimologi, kata shah berarti baik.
Pengertian shah menurut ulama ushul
fiqh adalah tercapainya sesuatu yang
memberikan pengaruh secara syara,
karena perbuatan itu mempunyai akibat
hukum. Suatu perbuatan dinilai shah
ketika sejalan dengandenagn kehendak
syari.
Tegasnya, perbuatan mukallaf dinilai shah
apabila dipenuhi rukun dan syaratnya.
Dengan demikian, dalam hukum
Islam terdapat delapan kategori
hukum, yaitu ijab, tahrim, nadab,
karahah, ibahah, penetapan sebab,
penetapan syarat, penetapan
penghalang. Lima kategori pertama
dinamakan hukum taklifi dan tiga
terakhir hukum wadli.
Pengertian BATAL:
Sedangkan istilah bathal merupakan
lawan dari shah,yakni: terlepasnya
hukum syara dari ketentuan yang
ditetapkan dan tidak ada akibat hukum
yang ditimbulkannya.Misalnya jika
perbuatan yang dilakukan oleh orang
mukallaf itu berupa suatu kewajiban,
maka perbuatan yng dilakukan itu tidak
dapat menggugurkan kewajibandan tidak
dapat membebaskan tanggungan serta
ia tidak berhak mendapatkan pahala di
akhirat.

Anda mungkin juga menyukai