AKHLAK TASAWUF
Maqam Wara’, Zuhud & Faqr
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Tengah Semester (UTS)
Dosen Pengampu : Syafa'atun Almirzanah, Ph.D D.Min.
DISUSUN OLEH:
RIZAL HEMA SAPRUDIN
NIM:
14520040
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
6. Menegetahui Pengklasifikasian Maqam Faqr
4
BAB II
PEMBAHASAN
Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas r.a , Nabi mencontohkan
sendiri bagaimana perilaku seorang wira’i
اف أن َ ِّ لَوالَ أين: فقال،النيب صلى اهلل عليه وسلم َو َج َد مَت َر ًة يِف الطَِّر ِيق
ُ أخ ّ أ ّن: وعن أنس رضي اهلل عنه
(ا)متفق عليه
ٌ ألكلت َه َّ تَ ُكو َن ِم َن
ُ الص َدقَة
Artinya: “Nabi menemukan kurma dijalan. Kemudian, beliau berkata,“Andai saja aku
tidak khawatir bahwa kurma ini merupakan bagian dari zakat, pasti aku akan
menemukannya.”(HR Bukhari & Muslim)
Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian
jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara syubhat apalagi sampai
perkara yang bersifat haram. Sehingga ketika seorang salih memang benar-benar
berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan
Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara’, niscaya
sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian yang luhur yang
1
Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), hlm. 68
5
mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan bisa menjadi benteng yang
tangguh bagi dirinya untuk menjaga jernih, segala ucapan, tingkah laku, ide dan
kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk
orang lain.
Semuanya bisa terbukti dari berbagai riwayat yang diambil dari kaum sufi.
Sebagai contoh Syekh Bisyr Al-Hafiy ketika beliau diundang dalam jamuan makan.
Saat beliau diberi hidangan tersebut namun tidak pernah berhasil. Hal ini dilakukan
berulang-ulang sampai tiga kali. Lalu berkatalah seorang laki-laki yang
mengenalnya, “Tanganya tidak akan bisa diulurkan untuk mengambil makanan
yang haram atau syubhat”. Sehingga, percuma saja tuan rumah ini mengundang
beliau ke rumahnya.2
2.2 Klasifikasi Wara’
Menurut Imam As-Sarraj, Ahli Wara’ diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan:3
A. Tingkatan Pertama
Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam menjauhi perkara syubhat, yaitu sifat
diantara halal dan haram yang sudah bersifat mutlak kejelasannya. Artinya, apapun
yang dikonsumsi seorang hamba hanyalah perakara yang sudah jelas kehalalannya dan
tidak menyentuh sama sekali perkara yang haram murni. Tingkatan ini sebagaimana
yang diungkapkan Ibnu Sirin. “Tidak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku kecuali
tingkatan wara’ ini ketika ada sesuatu yang meragukan.”
B. Tingkatan Kedua
Wara’nya Arbab Al-qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan
mutahakqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat),yaitu menjauhi segala
hal yang bersumber dari hati yang berpotensi membuat hati menjadi gelisah dan
bergejolak ketika mengambil perkara yang syubhat. Artinya, bukan hanya
berhubungan tentang kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang
memang sudah diketahui kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang
memang sudah diketahui kejelasan sifat halalnya, tapi sesuatu tersebut bisa
menimbulkan keraguan dalam hati, maka perkara yang halal pun harus dia jauhi. Ini
sesuai dengan sabda Rasulullah: “Dosa adalah segala sesuatu yang mengganjal
dalam hatimu”.
C. Tingkatan Ketiga
2
Ibid, hlm. 69
3
Ibid, hlm. 70
6
Wara’nya arifin (ahli makrifat) dan Wajidin (golongan yang mencintai dan
merasakan menemukan Allah). Ini diungkapkan Abu sulaiman Addarani. “Segala hal
yang bisa memalingkan dari Allah merupakan kejelekan dan kesialan bagimu”.
Kedudukan ini mengindikasikan bahawa segaala macam apapun, meskipun perkara
yang halal murni, bila memiliki potensi untuk bisa memalingkan dari Allah tetap harus
diajuhi.
Dari tinga tingkatan yang telah dipaparkan di atas, kedudukan merupakan wara’
yang umum. Yang kedua, orang yang khusus. Sedangkan yang ketiga adalah khusus
al-khusus (istimewa).
2.3 Pengertian Zuhud
Zuhud secara literal adalah meninggalkan, tidak tertarik, dan tidak menyukai
sesuatu. Sedangkan menurut terminologi sufi, zuhud adalah kemampuan hati menahan
keinginan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki4.
Menurut Al-junaidi Al-baghdadi, “Zuhud adalah ketika tangan tidak memeiliki
apa-apa dan hati kosong dari cita-cita”5.
Imam Al-Ghazali membahasakan zuhud sebagai ungkapan atas ketidak sukaan pada
segala hal yang termasuk dalam bagian nafsu. Ketika seseorang membenci segala hal
yang diinginkan nafsu, ia juga akan membenci hidup kekal di dunia dan secara
otomatis ia pun tidak akan memiliki sifat panjang angan-angan pada dunia. Hal ini
disebabkan kehidupan kekal di dunia yang diinginkan oleh nafsu tujuannya hanyalah
untuk bersenang-senang atas dunia tersebut. Sehingga ketika ia telah membenci dunia,
maka ia tidak akan menginginkannya.6
Zuhud sering disebut dalam Al-Qur’an, diantaranya Q.S Al-Hadid : 20
7
Zuhud yang bersumber dari Rasulullah yang diajarkan dan dicontohkan oleh
beliau secara langsung kemudian diikuti oleh para sahabat sudah menjadi karakter dan
sifat yang melekat dalam hati serta sudah mendarah daging sehingga sangat sulit
diadopsi umat islam yang hidup setelah masa sahabat. Sampai-sampai sahabat pernah
mengungkapkan pernyataan pada golongan awal tabi’in, “Bahwa memang benar jika
para tabi’in lebih banyak amal dan kesungguhannya dalam beribadah dibanding para
sahabat, tapi dengan sifat zuhud yang dimiliki para sahabat, menjadikan mereka tetap
lebih baik daripada para tabi’in.
Yang dikehendaki dari hakikat zuhud adalah tidak memiliki ketergantungan
atau keterikatan hati dengan harta dunia. Bukan diartikan dengan tidak memilik harta
sama sekali. Sebagaimana kepribadian Nabi Sulaiman . Kekayaan dan kemegahan
kerajaan yang dimilikinya tidak sampai mengeluarkannya dari sifat zuhud, bahkan
Nabi Sulaiman mendapatkan status Azzahad Az-zahidin (orang yang paling berzuhud
diantara golongan ahli zuhud)
7
Michael A. Seils, Terbakar Cinta Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 266
8
Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), hlm. 75
8
Karakter dasar manusia secara umum adalah memiliki rasa cinta. Cinta yang
tertanam dalam hati ada kalanya cinta kepada Allah dan cinta pada dunia, yaitu semua
hal yang berpotensi bisa memalingkan hati jauh dari-Nya. Dengan demikian, untuk
menuntaskan sifat zuhud, seseorang harus dikuasai rasa cinta pada Allah supaya tidak
ruang lagi dalam hatinya untuk cinta dunia. Maka ketika seseorang sudah memiliki
rasa cinta dan merasa tenang atas zat cintanya kepada Allah, ia akan selalu tersibukkan
dengan-Nya dan meninggalkaan yang lain (dunia & isinya).
ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُ ُم ۡٱلفُقَ َرٓا ُء إِلَى ٱهَّلل ۖ ِ َوٱهَّلل ُ هُ َو ۡٱل َغنِ ُّي ۡٱل َح ِمي ُد
Artinya: “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah dan Allah Dialah Yang
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada
hidup bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan
kehidupan mewah sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadits yang menjelaskan
keutamaan faqr adalah hadist yang merupakan doa Rasulullah ini:
قياء:: وإ ّن أشقى أألش.اللهم أحيين مسكينا وتوفّين مسكينا واحشرين يف زمرت املساكني
ّ :عن أيب سعيد
(من اجتمع عليه فقرالدنيا وعذاب اآلخرة )رواه حاكم
Artinya:“Ya Allah, berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan
miskin. Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya
orang yang celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-
Hakim).
Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah
dan keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua mahkluk yang ada pada
fuqara (orang-orang yang fakir). Sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup
dan tidak menguasai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi
9
Ibid, hlm. 76
9
umatnya dalam sifat fakir,
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perjalanan spritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan
ma’rifat tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda.
Sebagian orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia meninggalkan hal yang diragukan
halalnya karena khawatir terjerumus kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang bersifat
syubhat karena khawatir terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’, penghati-
hatiaa, sifat yang postitif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap
hal yang diragukan halal-haramnya.
Sebagian gajala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia,
tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia
10
Ibid, hlm. 77
10
singkirkan, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti istilah daerah “nyingkor
kandonyan”, menjauhi dunia hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin”
mengabdi kepada tuhan. Dan pola hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman.
Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr, tidak meminta lebih dari pada yang
menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan kewajiban-
kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
3.2 PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya paparkan tentang hukum syar’i, semoga
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pada kami pada khususnya. Dan tentunya
makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sangat kami butuhkan guna memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
11