Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

AKHLAK TASAWUF
Maqam Wara’, Zuhud & Faqr
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Tengah Semester (UTS)
Dosen Pengampu : Syafa'atun Almirzanah, Ph.D D.Min.

DISUSUN OLEH:
RIZAL HEMA SAPRUDIN
NIM:
14520040

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2014/ 2015

1
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ..................................................................................................... i

Kata Pengantar ....................................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 1

1.3 Tujuan Masalah .......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3

2.1 Pengertian Wara’........................................................................ 3

2.2 Klasifikasi Wara’ ........................................................................ 4

2.3 Pengertian Zuhud ....................................................................... 5

2.4 Tingkatan Zuhud ........................................................................ 7

2.5 Pengertian Faqr ......................................................................... 8

2.6 Klasifikasi Faqr .......................................................................... 9

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 10

3.1 Kesimpulan ................................................................................. 10

3.2 Penutup ....................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 11

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tasawuf merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun
kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf
adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, bukan dalil. Para sufi
mengatakan hal itu seseuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Apalagi
pengalaman tasawuf ini juga merupakkan karunia dari tuhan setalah seseorang menempuh
penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis yang berat.
Tasawuf juga mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa arab
yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai untuk
arti jalan panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah. Sebenarnya ada banyak maqamat tasawuf, namaun kali ini saya
akana memaparkan mengenai Wara’, Zuhud, dan Faqr.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang
dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Wara’?
2. Bagaimana pengklasifikasian Maqam Wara’?
3. Apa pengertian Zuhud?
4. Bagaimana tingkatan dalam Zuhud?
5. Apa pengertian Faqr?
6. Bagaimana pengklasifikasian Maqam Faqr?
.
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian Wara’
2. Mengetahui pengklafikasian Maqam Wara’
3. Mengetahui pengertian Zuhud
4. Bagaimana tingkatan dalam Zuhud
5. Mengetahui pengertian Faqr

3
6. Menegetahui Pengklasifikasian Maqam Faqr

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wara’


Secara literal(bahasa) wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa serta menahan
dari hal-hal syubhat (tidak jelas halal haramnya) dan maksiat. Sedangkan menurut
terminoligi, wara’ adalah menjauhi perkara syubhat1.
Wara’ adalah maqam yang sangat mulia dan luhur. Secara tidak langsung makna
wara’ telah tersirat dalam Al-Qur’an. Diantaranya terdapat dalam surat An-Nur ayat
15:
        
      
Artinya: “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu
katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu
yang ringan saja. padahal dia pada sisi Allah adalah besar”.

Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas r.a , Nabi mencontohkan
sendiri bagaimana perilaku seorang wira’i

‫اف أن‬ َ ِّ‫ لَوالَ أين‬: ‫ فقال‬،‫النيب صلى اهلل عليه وسلم َو َج َد مَت َر ًة يِف الطَِّر ِيق‬
ُ ‫أخ‬ ّ ‫ أ ّن‬: ‫وعن أنس رضي اهلل عنه‬
(‫ا)متفق عليه‬
ٌ ‫ألكلت َه‬ َّ ‫تَ ُكو َن ِم َن‬
ُ ‫الص َدقَة‬

Artinya: “Nabi menemukan kurma dijalan. Kemudian, beliau berkata,“Andai saja aku
tidak khawatir bahwa kurma ini merupakan bagian dari zakat, pasti aku akan
menemukannya.”(HR Bukhari & Muslim)

Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian
jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara syubhat apalagi sampai
perkara yang bersifat haram. Sehingga ketika seorang salih memang benar-benar
berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan
Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara’, niscaya
sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian yang luhur yang

1
Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), hlm. 68 

5
mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan bisa menjadi benteng yang
tangguh bagi dirinya untuk menjaga jernih, segala ucapan, tingkah laku, ide dan
kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk
orang lain.
Semuanya bisa terbukti dari berbagai riwayat yang diambil dari kaum sufi.
Sebagai contoh Syekh Bisyr Al-Hafiy ketika beliau diundang dalam jamuan makan.
Saat beliau diberi hidangan tersebut namun tidak pernah berhasil. Hal ini dilakukan
berulang-ulang sampai tiga kali. Lalu berkatalah seorang laki-laki yang
mengenalnya, “Tanganya tidak akan bisa diulurkan untuk mengambil makanan
yang haram atau syubhat”. Sehingga, percuma saja tuan rumah ini mengundang
beliau ke rumahnya.2
2.2 Klasifikasi Wara’
Menurut Imam As-Sarraj, Ahli Wara’ diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan:3
A. Tingkatan Pertama
Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam menjauhi perkara syubhat, yaitu sifat
diantara halal dan haram yang sudah bersifat mutlak kejelasannya. Artinya, apapun
yang dikonsumsi seorang hamba hanyalah perakara yang sudah jelas kehalalannya dan
tidak menyentuh sama sekali perkara yang haram murni. Tingkatan ini sebagaimana
yang diungkapkan Ibnu Sirin. “Tidak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku kecuali
tingkatan wara’ ini ketika ada sesuatu yang meragukan.”
B. Tingkatan Kedua
Wara’nya Arbab Al-qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan
mutahakqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat),yaitu menjauhi segala
hal yang bersumber dari hati yang berpotensi membuat hati menjadi gelisah dan
bergejolak ketika mengambil perkara yang syubhat. Artinya, bukan hanya
berhubungan tentang kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang
memang sudah diketahui kejelasan halal dan haramnya, bahkan bila ada sesuatu yang
memang sudah diketahui kejelasan sifat halalnya, tapi sesuatu tersebut bisa
menimbulkan keraguan dalam hati, maka perkara yang halal pun harus dia jauhi. Ini
sesuai dengan sabda Rasulullah: “Dosa adalah segala sesuatu yang mengganjal
dalam hatimu”.
C. Tingkatan Ketiga

2
Ibid, hlm. 69 
3
Ibid, hlm. 70 

6
Wara’nya arifin (ahli makrifat) dan Wajidin (golongan yang mencintai dan
merasakan menemukan Allah). Ini diungkapkan Abu sulaiman Addarani. “Segala hal
yang bisa memalingkan dari Allah merupakan kejelekan dan kesialan bagimu”.
Kedudukan ini mengindikasikan bahawa segaala macam apapun, meskipun perkara
yang halal murni, bila memiliki potensi untuk bisa memalingkan dari Allah tetap harus
diajuhi.
Dari tinga tingkatan yang telah dipaparkan di atas, kedudukan merupakan wara’
yang umum. Yang kedua, orang yang khusus. Sedangkan yang ketiga adalah khusus
al-khusus (istimewa).
2.3 Pengertian Zuhud
Zuhud secara literal adalah meninggalkan, tidak tertarik, dan tidak menyukai
sesuatu. Sedangkan menurut terminologi sufi, zuhud adalah kemampuan hati menahan
keinginan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki4.
Menurut Al-junaidi Al-baghdadi, “Zuhud adalah ketika tangan tidak memeiliki
apa-apa dan hati kosong dari cita-cita”5.
Imam Al-Ghazali membahasakan zuhud sebagai ungkapan atas ketidak sukaan pada
segala hal yang termasuk dalam bagian nafsu. Ketika seseorang membenci segala hal
yang diinginkan nafsu, ia juga akan membenci hidup kekal di dunia dan secara
otomatis ia pun tidak akan memiliki sifat panjang angan-angan pada dunia. Hal ini
disebabkan kehidupan kekal di dunia yang diinginkan oleh nafsu tujuannya hanyalah
untuk bersenang-senang atas dunia tersebut. Sehingga ketika ia telah membenci dunia,
maka ia tidak akan menginginkannya.6
Zuhud sering disebut dalam Al-Qur’an, diantaranya Q.S Al-Hadid : 20

       


        
          
         
   
Artinya:” Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu”.
4
Michael A. Seils, Terbakar Cinta Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 266 
5
Tamami HAG., Psikologi Tasawuf,(Bandung:Pustaka Setia,2011) hlm. 172 
6
Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), hlm. 71

7
Zuhud yang bersumber dari Rasulullah yang diajarkan dan dicontohkan oleh
beliau secara langsung kemudian diikuti oleh para sahabat sudah menjadi karakter dan
sifat yang melekat dalam hati serta sudah mendarah daging sehingga sangat sulit
diadopsi umat islam yang hidup setelah masa sahabat. Sampai-sampai sahabat pernah
mengungkapkan pernyataan pada golongan awal tabi’in, “Bahwa memang benar jika
para tabi’in lebih banyak amal dan kesungguhannya dalam beribadah dibanding para
sahabat, tapi dengan sifat zuhud yang dimiliki para sahabat, menjadikan mereka tetap
lebih baik daripada para tabi’in. 
Yang dikehendaki dari hakikat zuhud adalah tidak memiliki ketergantungan
atau keterikatan hati dengan harta dunia. Bukan diartikan dengan tidak memilik harta
sama sekali. Sebagaimana kepribadian Nabi Sulaiman . Kekayaan dan kemegahan
kerajaan yang dimilikinya tidak sampai mengeluarkannya dari sifat zuhud, bahkan
Nabi Sulaiman mendapatkan status Azzahad Az-zahidin (orang yang paling berzuhud
diantara golongan ahli zuhud)

2.4 Tingkatan Zuhud


Sebagaimana maqam-maqam sebelumnya, zuhud juga memiliki tingakatan.
Menurut imam Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy zuhud terbagi menjadi 3 tingkatan:7
a. Al-Mubtadiin (tingkat pemula), yaitu orang yang kosong tangan dan hatinya dari
harta kepemilikan.
b. Al-Mutahaqqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat pada Allah).
c. Golongan yang mengetahui dan meyakini bahwa jikalau dunia diberikan pada
mereka dengan status kepemilikan yang halal, dijanjikan pula ketiadaaan hisab di
akhirat atas status kepemilikan.
Selanjutnya orang yang zuhud memiliki beberapa tanda. Imam Al-Ghazali memberi 3
tanda atas sifat zuhud ditinjau dari sisi batin.8:
a. Tidak merasa bahagia dengan wujudnya harta dan tidak meras susuah atas
ketiadaan harta tersebut.
b. Tidak ada bedanya antara orang yang menecala dan memuji.
c. Hatinya merasa tenang hanya jika tertuju kepada Allah dan yang mendominasi
hatinya adalah taat.

7
Michael A. Seils, Terbakar Cinta Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 266 
8
Purna Siswa, Jejak Sufi, (Kediri: LIrboyo Press, 2011), hlm. 75

8
Karakter dasar manusia secara umum adalah memiliki rasa cinta. Cinta yang
tertanam dalam hati ada kalanya cinta kepada Allah dan cinta pada dunia, yaitu semua
hal yang berpotensi bisa memalingkan hati jauh dari-Nya. Dengan demikian, untuk
menuntaskan sifat zuhud, seseorang harus dikuasai rasa cinta pada Allah supaya tidak
ruang lagi dalam hatinya untuk cinta dunia. Maka ketika seseorang sudah memiliki
rasa cinta dan merasa tenang atas zat cintanya kepada Allah, ia akan selalu tersibukkan
dengan-Nya dan meninggalkaan yang lain (dunia & isinya).

2.5 Pengertian Faqr


Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Menurut terminologi
tasawuf, faqir adalah suatu keadaan dimana hati tidak butuh kecuali kepada Allah.9
Makna fakir tersirat dalam Al-Qur’an surat Fatir ayat 15:

‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُ ُم ۡٱلفُقَ َرٓا ُء إِلَى ٱهَّلل ۖ ِ َوٱهَّلل ُ هُ َو ۡٱل َغنِ ُّي ۡٱل َح ِمي ُد‬
Artinya: “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah dan Allah Dialah Yang
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”

Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada
hidup bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan
kehidupan mewah sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadits yang menjelaskan
keutamaan faqr adalah hadist yang merupakan doa Rasulullah ini:

‫قياء‬::‫ وإ ّن أشقى أألش‬.‫اللهم أحيين مسكينا وتوفّين مسكينا واحشرين يف زمرت املساكني‬
ّ :‫عن أيب سعيد‬
(‫من اجتمع عليه فقرالدنيا وعذاب اآلخرة )رواه حاكم‬

Artinya:“Ya Allah, berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan
miskin. Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya
orang yang celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-
Hakim).
Mayoritas para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah
dan keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua mahkluk yang ada pada
fuqara (orang-orang yang fakir). Sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup
dan tidak menguasai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi

9
Ibid, hlm. 76 

9
umatnya dalam sifat fakir,

2.6 Klasifikasi Faqr


Selanjutnya menurut Abi Nasr As-sarraj Ath-thusiy derajat fuqara
diklasifikasikan menjadi 310:
a. Golongan yang tidak memiliki sesutau, dan secara lahir batin memang tidak
meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia tidak mau
mengambil. Stara ini adalah maqam muqarrabin.
b. Golongan yang tidak memilik suatu, tidak meminta, menginginkan, atau memohon
pada siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia menerima. Ini adalah maqam Al-
shiddiqin.
c. Golongan yang tidak memilik sesuatu dan ketika membutuhkan ia mengutarakan
keinginanya pada sebagiana saudaranya yang ia ketahui bahwa saudaranya akan
senang dengan ungkapan pengaduannya tersebut. Maka, seseungguhnya
memecahkan permasalahnnya merupakan nilai shadaqah.

BAB III
PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
Perjalanan spritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan
ma’rifat tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda.
Sebagian orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia meninggalkan hal yang diragukan
halalnya karena khawatir terjerumus kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang bersifat
syubhat karena khawatir terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’, penghati-
hatiaa, sifat yang postitif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap
hal yang diragukan halal-haramnya.
Sebagian gajala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia,
tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia
10
Ibid, hlm. 77

10
singkirkan, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti istilah daerah “nyingkor
kandonyan”, menjauhi dunia hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin”
mengabdi kepada tuhan. Dan pola hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman.
Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr, tidak meminta lebih dari pada yang
menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan kewajiban-
kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

3.2  PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya paparkan tentang hukum syar’i, semoga
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pada kami pada khususnya. Dan tentunya
makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sangat kami butuhkan guna memperbaiki makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

HAG. Tamami, 2011, Psikologi Tasawuf, Bandung: PUSTAKA SETIA 

Seils, A. Michael, 2004, Terbakar Cinta Tuhan, Bandung: Mizan 

Siswa, Purna, 2011, Jejak Sufi, Kediri: Lirboyo Press 

Smith, Margaret, 2001,Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya: Risalah Gusti 

11

Anda mungkin juga menyukai