Anda di halaman 1dari 25

TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah


STUDI QUR’AN HADITS

Dosen Pengampu :
Siti Lailatul Qomariyah, M.Ag.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 6 TMT 2E

1. Anchella Rizqiany (12204183210/06)


2. Devin Anggraeni Fitri (12204183235/27)
3. Khofifah Indar Parawansa An-Nawawy (12204183217/47)
4. Syahrul Falah ( /48)

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
MARET 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan Rahmat,


Nikmat, dan Karunia-Nya sehingga penyusunan makalah yang berjudul “Tafsir,
Ta’wil dan Tarjamah” dapat selesai tepat pada waktunya.
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Studi
Qur’an Hadits yang telah membimbing dan mengarahkan kami pada saat
penyusunan makalah ini. Tak lupa ucapan terimakasih kami sampaikan kepada
teman-teman yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Selanjutnya, kami berharap semoga makalah ini bisa memperdalam
wawasan dan menambah pengetahuan kita, terlebih mengenai peran masing-masing
pihak dalam mewujudkan pendidikan yang maju. Namun, kami menyadari bahwa
masih ada banyak kekurangan dari makalah yang kami buat. Maka dari itu, kami
sangat mengharapkan kritik serta saran dari rekan-rekan yang membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Tulungagung, 25 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan masalah ..................................................................... 1
C. Tujuan masalah......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Tafsir......................................................................................... 3
B. Ta’wil ....................................................................................... 11
C. Tarjamah ................................................................................... 15
D. Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah ................................... 20
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 21
B. Saran ......................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al – Qur’an adalah sebuah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai penuntun umat Islam menuju gerbang muslim yang
seutuhnya. Dengan kata lain Al-Qur’an merupakan kitab pedoman bagi umat
Islam diseluruh penjuru Dunia hingga sekarang.
Al-Qur’an berisi firman – firman Allah yang tersusun secara sistematis,
yang diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tiga
tahun kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam setiap potongan ayatnya
memiliki ilmu yang sangat berharga tentang berbagai hal yang ada di dunia dan
akhirat. Jika kita dapat mengkaji dan memahami secara utuh, Al-Quran adalah
sebuah kitab yang berisi kumpulan Ilmu yng sangat lengkap, bahkan setiap ayat
yang tertulis merupakan ilmu yang berharga. Namun, Al-Qur’an hanya
memuatnya secara global atau umum, sehingga manusia masih perlu mengkaji
dan memahami lebih dalam lagi apa makna setiap ayat yang terkandung di
dalam Al-Qur’an. Hal inilah yang terkadang memberikan perbedaan penafsiran
persepsi antara muslim satu dengan yang lainnya tergantung pada bagaiman
cara mereka memahaminya.
Atas dasar permasalahan yang demikian ini, penulis berniat menulis
sebuah makalah mengenai bagaimana cara atau metode – metode untuk
memahami Al-Quran dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur dari
Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah Al-Qur’an. Sehingga Al – Quran dapat dipahami
secara utuh sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih banyak serta
membuat umat Islam memiliki persamaan persepsi tentang Islam, sehingga
tidak menimbulkan perdebatan antara muslim – muslimah satu dengan yang
lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir?
2. Apa yang dimaksud dengan ta’wil?

1
2

3. Apa yang dimaksud dengan tarjamah?


4. Apa perbedaan tafsir, ta’wil dan tarjamah?
C. Tujuan
1. Mengetahui maksud dari tafsir.
2. Mengetahui maksud dari ta’wil.
3. Mengetahui maksud dari tarjamah.
4. Mengetahui perbedaan tafsir, ta’wil dan tarjamah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir didefinisikan sebagai suatu keterangan atau
penjelasan tentang ayat – ayat al-qur’an agar maksudnya lebih mudah
dipahami.
Secara istilah pengertian dari tafsir ini didefinisikan oleh beberapa
ulama dengan rumusan yang berbeda-beda, namun tetap pada benang
merah yang sama. Sehingga dari beberapa pendapat para ulama ahli
mengenai tafsir dan ditarik kesimpulan bahwa tafsir adalah hasil usaha
atau karya, ilmu yang berisi pembahasan mengenai penjelasan maksud –
maksud dari al-Qur’an yang meliputi ayat-ayat dan lafal-lafal yang
terkandung di dalamnya.
Sedangkan di dalam al-Qur’an kata tafsir hanya diungkapkan satu
kali pada Qur’an surat al-Furqon ayat 33, yang artinya adalah sebagai
berikut :“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan: 33).
Dari seluruh uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa tafsir
ialah ilmu yang pembahasannya berkaitan dengan firman-firman Allah
yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang baik dan yang buruk.
Ilmu tafsir ini telah dipergunakan sejak zaman Rasulullah dan
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi hingga saat ini. Sehingga dengan adanya ilmu
tafsir ini dapat membimbing umat islam memahami tentang isi dari Al-
Qur’an.
2. Cara penafsiran
Cara menafsirkan Al-Qur’an ternyata ada banyak cara. Para Ulama
ahli tafsir pun memiliki cara masing-masing dalam menafsirkan Al-

3
4

Qur’an, yang tentunya berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dari
sekian banyak cara, di kelompokkan menjadi 3 macam garis besar yaitu:
a. Tafsir Bil Al-Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur ialah menafsirkan ayat al-qur’an dengan
menggunakan penjelasan dari ayat al-qur’an lainnya atau riwayat-
riwayat dari sunnah Nabi dan perkataan sahabat maupun tabi’in
besar.1
Riwayat-riwayat dari sahabat dan tabi’in digunakan untuk
menfsirkan al-qur’an kerena mereka dianggap tau akan latar belakang
turunnya sebuah surat atau ayat al-qur’an dan suasana disekitar saat
turunnya al-qur’an.
Contoh tafsir bil ma’tsur:
1) Dengan menggunakan ayat al-qur’an lainnya
Dalam surat Al-Baqoroh ayat 187, yang lafalnya berarti:
Benang putih dan benang hitam.
Maksud dari ayat tersebut kemudian dijelaskan oleh lafal
berikutnya yaitu:
‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط ْاْلَس َْو ِد ِمنَ ْالفَج ِْر‬ ُ ‫َو ُكلُ ْو َاوا ْش َرب ُْوا َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
ُ َ‫ط ْاْلَ ْبي‬
Artinya: Makanlah dan minumlah kamu sekalian sehingga jelas
terlihat olehmu benang putih dan benang hitam yaitu fajar.
2) Dengan hadits Rasul
Saat turunya ayat alqur’an:
َّ ‫أ َ ِق ْي ُمواال‬
َّ ُ ‫صلَوة ََواَت‬
َ ‫واالزكَوة‬
Artinya: Laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat.
Umat muslim bingung dan tidak tahu bahaimana cara
sholat dan bagaimana zakat, lalu Nabi memberi contoh
bagaimana cara menjalankan ibadah sholat dan zakat secara
terperinci melalui amaliyah Nabi sehari-hari dan juga dengan
salah satu sabda Nabi yang berbunyi:

1
Muslich Maruzi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1987),
Hal. 89.
5

َ ُ ‫ارأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


‫ص ِلي‬ َ ‫صلُّوا َك َم‬
َ ‫َو‬
Artinya: Dan sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
sholat.
3) Dengan perkataan sahabat2
Para sahabat banyak sekali meriwayatkan tafsir, sebab
mereka melihat sendiri pristiwa-peristiwa sebab turunnya ayat
tersebut. Contohnya Ibnu Abbas menafsirkan salah satu bagian
(sebagian) dari surat Al-Anbiya. ayat 30, yang berbunyi:
⧫ ⧫⧫ ⬧◆
 
◆◆ ◆❑☺
◆ ⧫⧫
 ☺⧫⬧
☺  ➔◆
⬧    
 ⧫❑⬧
Beliau menafsirkan bahwa langit yang padu adalah langit
yang tidak ada hujan, sedangkan bumi yang padu ialah bumi yang
tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Sedangkan maksud dari
“Kemudian kami pisahkan antara keduanya” adalah dengan
menurukan hujan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang paling baik jika


dibandingkan dengan tafsir lainnya. Maksudnya, jika penafsiran
disandarkan pada hadits Rasul yang shahih atau disandarkan kepada
ayat al-qur’an sendiri maka sudah tidak diragukan lagi kebenarannya.
Namun yang menjadi masalah adalah ketika tafsir ini disandarkan
pada ucapan para sahabat atau tabi’in, karena ucapan itu bertujuan
menafsirkan atau hanya pendapat pribadi semata tidak ada yang tau,

2
Muslich Maruzi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1987),
Hal. 89-90.
6

sehingga celah kelemahannya akan semakin besar dan sedikit


diragukan kebenarannya. Hal tersebut tentunya akan menambah celah
kelemahan juga pada tafsir bil ma’tsur, oleh kerena beberapa factor
berikut, antara lain:
1) Banyak riwayat-riwayat yang disisipkan oleh musuh-musuh
Islam baik orang Yahudi, Nasrani, maupun bangsa Persia yang
berkedok Islam.
2) Ada usaha-usaha dari aliran-aliran yang terlalu jauh menyimpang
dari kebenaran. Seperti yang dilakukan oleh aliran syi’ah yang
menyandarkan riwayatnya kepada Ali bin Abi Thalib. Padahal
Ali tidak meriwayatkannya.
3) Adanya percampuran antara riwayat shahih dan tidak shahih, dan
banyaknya riwayat yang tidak disebutkan sanadnya. Dalam hal
ini akan menyulitkan saat mencari tahu kwalitas riwayat tersebut.
4) Adanya riwayat yang berisi dongeng-dongeng yang dibuat-buat,
apalagi menyangkut keimanan. Seperti tentang tanda-tanda hari
kiamat, huru-hara sebelum kiamat, keadaan hari kiamat dan lain-
lain. Padahal seharusnya hanya Allah yang mengetahui hal pasti
tentang kiamat.

Contoh kitab-kitab tafsir bil ma’tsur antara lain:


1) Kitab tafsir Jamiul Bayan oleh Ibnu Jarir Al Tobari. Kitab ini
adalah kitab yang paling kuno dan paling lengkap karena
sanadnya disebut dengan sempurna. Meski beliau tidak
menunjukkan mana yang shahih mana yang tidak, orang pasti
akan tau sendiri kwalitas dari sanad yang tertera.
2) Tafsir Ibnu Katsir. Tafsir ini hanya memuat riwayat yang shahih
saja dan beliau juga mengomentari riwayat yang ditulisnya
dengan memuaskan.
3) Tafsir Al Baghawi. Kitab ini kurang memuaskan karena tidak ada
nama sanad yang tercantum.
7

4) Kitab tafsir Baqie Ibn Makhlaj. Menurut Ibnu Hazmin, kitab ini
lebih lengkap dari kitab Ibnu Jarir, namun sayangnya tidak
berkembang sampai ke generasi berikutnya.

b. Tafsir Bi Al-Rayi
Tafsir Bi Al-Rayi adalah menafsirkan ayat al-qur’an dengan
ijtihad. Maksudnya, jika hasil dari ijtihad tersebut sesuai dan
bersandar pada sesuatu yang memang wajib menjadi sandaran, maka
tafsir tersebut terpuji. Tetapi jika sebaliknya, maka tafsir tersebut
tercela. Yang dimaksud sesuatu yang wajib menjadi sandaran adalah
naqli dari Rasulullah, perkataan sahabat, pengambilan berdasar
bahasa dan ijtihad dari makna Kalam.3
Contoh tafsir Bi Al-Rayi salah satunya pada tafsir Al Manar
yang menjelaskan tentang lafal “Yuthiquunahu” dimana ketika orang-
orang tidak mampu mengerjakan puasa romadlon cukup bagi mereka
membayar fidyah sebagai ganti, termasuk salah satu di dalamnya
adalah para pekerja tambang batu bara.4
Namun, para Ulama berbeda pendapat tentang tafsir ini, ada
yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan. Alasan
utama Ulama yang memperbolehkan adalah firman Allah surat Shad
ayat 29, yang berbunyi:
⬧ ⧫ ⧫
◆ ⧫⧫
⧫⧫◆◆ ⧫◆
 ⧫ ❑
Artinya: ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepada engkau,
yang penuh keberkatan, supaya mereka memahami ayat-ayatnya dan

3
Muslich Maruzi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1987),
Hal. 92.
4
Ibid,.
8

supaya orang-orang yang berakal mengambil pelajaran dari


padanya.
Ulama mengartikan bahwa “Ulul Albab” yang berarti orang-
orang yang berakal, menunjukkan adanya kebolehan menggunakan
akal pikiran untuk menafsirkan al-qur’an. Selain itu ada alasan lain
yaitu tentang anjuran Ijtihad sebagaimana sabda Rasulullah “barang
siapa yang berijtihad kemudian keliru, maka baginya pahala satu, dan
barang siapa yang berijtihad kemudian betul ijtihadnya, maka baginya
dua pahala. Selain itu Ulama berpendapat bahwa jika tafsir ini tidak
diperbolehkan maka banyak sekali permasalahan hukum yang tida
terpecahkan dan banyak pula masalah-masalah yang tida ada
hukumnya. Hal tersebut terjadi karena hanya sedikit kitab tafsir yang
lengkap.
Sedangkan alasan Ulama yang tidak memperbolehkan adalah
sabda Rasul yang berbunyi “takutlah membicarakan atas (nama) ku,
kecuali apa yang kamu ketahui. Barang siapa yang berdusta atasku
dengan sengaja maka disuruh menyediakan tempat duduknya di
neraka, dan barang siapa yang menyatakan terhadap al-qur’an
dengan pendapatnya maka agar ia menyediakan tempat duduknya di
neraka”.
Kitab-kitab tafsir Bi Al-Rayi antara lain:
1) Tafsir Aljalalaini karya Jalaludin Muhammad Al Mahalli dan
disempurnakan oleh Jalaludin Abdurrahman As Syayuthy. Tafsir
ini bernilai tinggi, mudah dipahami walaupun uraiannya sangat
pendek. Tafsir inilah yang banyak berkembang di antara para
Ulama sekarang ini.
2) Tafsir “Anwasut Tanzil wa Asrarut Ta’wil” yang terkenal dengan
tafsir Al Badlawi karya Nasiruddin Ibn Said Al Baidlawi. Tafsir
ini bernilai tinggi dan baik kupasannya karena mengumpulkan
antara tafsir dan ta’wil berdasar kepada UU bahasa Arab serta
9

menetapkan dalil-dalil yang sesuai dengan dasar yang digunakan


ahlus sunnah.
3) Tafsir “Mafathihul Ghaibi” yang terkenal dengan tafsir Arrozy
karya Muhammad Ibn Diya’uddin. Tafsir ini berisi keterangan
untuk membela ahlus sunnah yang kadang terlalu berlebihan.
4) Tafsir “Al Khazin” karya Alauddin Ibn Muhammad Ibn Ibrahim.
Tafsir ini menafsirkan al-qur’an dengan riwayat. Namun
pengarang tidak menyebutkan sanad dari riwayat tersebut.

c. Tafsir Bi Al-Isyari
Tafsir Bi Al-Isyari adalah menta’wilkan al-qur’an tida
berdasarkan pada teksnya, karena adanya isyarat tersembunyi yang
Nampak bagi orang yang ahli suluk (menempuh ajaran agama) dan
tasawuf dan mungkin juga menghimpun antara yang tersirat dan
tersurat.5
Terhadap tafsir ini, para ulama berbeda pendapat, sebagian ada
yang memperbolehkan dan sebagian ada yang tidak memperbolehkan.
Al Zarkasyi menyatakan bahwa perkataan golongan sufi bukanlah
tafsir, namun pengertian dan perasaan yang mereka peroleh ketika
membaca al-qur’an seperti perkataan sebagian ahli tasawuf dalam
surat At Taubah “‫ ”اَلَّ ِذيْنَ يَلُ ْونَ ُك ْم‬adalah dirinya sendiri, karena orang yang
paling dekat kepada kita adalah diri sendiri. Menurut As Sayuthi, tafsir
kelompok ini dapat diterima dengan syarat:
1) Tidak mengingkari pengertian susunan al-qur’an yang secara
tekstual.
2) Tidak mengaku bahwa itulah satu-satunya maksud al-qur’an.
3) Ta’wil itu tidak terlalu jauh.
4) Tidak bertentangan dengan syar’i atau aqli.
5) Terdapat syahid syar’i yang menguatkan.

5
Muslich Maruzi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1987),
Hal. 96.
10

Kitab tafsir Bi Al-Isyari antara lain:


1) Tafsir “An Naesburi”, keistimewaannya adalah bahasanya yang
mudah dipahami serta tercetak ditepian tafsir Ibnu Jarir.
2) Tafsir “Al Alusi” karya Syibahuddin As Sayid Muhammad Al
Alusi Al Baghdady. Tafsir ini adalah tafsir besar, luas dan
lengkap. Disebutkan riwayat salaf disamping pendapat ulama
khalaf yang dapat diterima.
11

B. Ta’wil
1. Pengertian Ta’wil
Ta’wil dalam Bahasa Arab berarti menerangkan, menjelaskan.
Kata ta’wil diambil dari kata awwala-yu’awwilu-ta’wilan.
Adapun menurut arti ta’wil menurut istilah adalah:

‫التاويل تر جيع تر جيع الشء ﺇلي غايته بيان ما يراد منه‬


Artinya : “Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya
(tujuannya), yakni menerangkan apa yang dimaksud.”
Ringkasnya, pengertian ta’wil menurut istilah adalah suatu usaha
untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pemahaman
arti yang dikandung oleh lafazh itu atau dengan beberapa alternatif
kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya. Dalam
penggunaan secara mashyur, ta’wil kadang-kadang diidentikkan denngan
tafsir.
Lafazh takwil timbul beriringan dengan Lafazh tafsir dalam
pembahasan tentang Al-Qur’an di kalangan ahli tafsir. Para ahli tasir
menganggap takwil intinya sama dengan tafsir dari segi makna masing-
masing. Kedua kata tersebut (tafsir dan takwil) menunjukkan penjelasan
tentang makna suatu Lafazh tertentu dan berusaha mengungkapkan makna
Lafazh tersebut. Penulis kitab al-Qamus mengatakan, “Seseorang
menakwilkan suatu ucapan ‘ia merenungkan, mengira-ngira, dan
menafsirkannya.6
Para ahli tafsir menyatakan secara umum ada kesesuaian antara
dua kata tersebut (tafsir dan takwil). Akan tetapi, mereka juga melihat
adanya perbedaan antara kedua kata tersebut. Pendapat para ahli tafsir
terdahulu yang lebih condong mengatakan bahwa terdapat kesamaan
antara kedua kata tersebut. Kata tafsir berarti takwil dan kata takwil berarti
sama dengan tafsir. Dengan kata lain kedua kata tersebut adalah sama
kedudukannya.

6
Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2006), Hal. 337.
12

Apabila memperhatikan kata takwil dan juga pemakaiannya dalam


al-Qur’an, maka kita akan mendapatkannya memiliki makna lain yang
tidak sama dengan makna terminologis dari kata tafsir. Al-Qur’an tidak
membedakan antara kata takwil dan tafsir kecuali dalam batasan dan
perincian perincian tertentu agar kita memahami kata takwil maka kita
harus mengetahui makna terminologisnya yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. Contoh ta’wil
Kata takwil terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 7 kali yaitu:
a. Pada surah Ali Imran, firman Allah SWT: “Dialah yang menurunkan
alkitab (Al-Quran) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhammat, itulah pokok pokok isi Al-Qur’an dan yang lain
(ayat ayat) mutasyabihat. Adapun orang orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat
ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari
cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah. Dan orang orang yang mendalami ilmunya berkata,
“kami beriman kepada ayat-ayat yang mustasyabihat, semua itu dari
sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya)
melainkan orang-orang berakal”.7
b. Pada surah An-Nisa’, firman Allah SWT: Hai orang-orang beriman,
taatilah Allah, taatilah Rasulnya, dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.8
c. Pada surah Al-A’raf, Allah SWT berfirman: Dan sesungguhnya kami
telah mendatangkan sebuah kitab (al-Qur’an) kepada mereka yang
kami telah menjelaskan atas dasar pengetahuan kami, menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tiadalah mereka

7
QS. Ali Imran [3]:7.
8
QS. An-Nisa’ [4]:59.
13

menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebeneran) al-Quran itu.


Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan al-Quran itu, berkatalah
orang orang yang melupakannya sebelum itu,” sesungguhnya telah
datang rasul-rasul tuhan kami membawa yang haq,maka adakah bagi
kami pemberi syafaat yang akan memberi syafaat bagi kami, atau
dapatkah kami dikembalikan (kedunia) sehingga kami dapat beramal
yang lain dari yang pernah kami amalkan?” sungguh mereka telah
merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan
tuhan yang mereka ada adakan.9
d. Pada surah Yunus Allah SWT berfirman: bahkan yang sebenarnya,
mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan
sempurba padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.
Demikianlah orang orang yang sebelum mereka telah mendustakan
(Rasul). Maka perhatikanlah bagaiman akaibat orang orang yang
dzalim itu.10
e. Pada surah Yusuf, Allah berfirman: dan demikianlah Tuhanmu,
memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkanNya kepada
sebagian dari tabir mimpi-mimpi dan disempurnakannya nikmatNya
kepadamu dan kepada keluarga Ya’kub, sebagaimana dia telah
menyempurnakan nikmatnya kepada kedua orang bapak mu sebelum
itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq sesungguhnya Tuhanmu maha
mengetahui lagi maha bijaksana.11
f. Pada surah Al-Isra, firman Allah SWT: dan sempunakanlah takaran
apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.
Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya(ahsanu
takwila).12
g. Pada surah Al-Kahfi, firmanNya: Khidir berkata,” inilah perpisahan
antara aku dengan kamu, aku akan memberitahukan kepadamu tujuan

9
QS. Al-A’raf [7]:52-53.
10
QS. Yunus [10]:39.
11
QS. Yusuf [12]:6.
12
QS. Al-Isra [17]:35.
14

(takwil) perbuatan perbuatan yang kamu tidak dapat sabar


terhadapnya.”13

Dari penjelasan ayat diatas, kita dapat mengetahuibahwa takwil


bukan hanya bermakna tafsir dan penjelasan tentang makna suatu lafazh
tetapi makna seperti itu hanya terdapat pada ayat yang pertama saja. Hal
ini karena takwil pada ayat pertama hanya berkaitan dengan ayat-ayat yang
samar (mutasyabih). Oleh karena itu para ahli tafsir mengatakan bahwa
takwil dari ayat mutasyabih berarti adalah tafsir dan penjelasan makna ayat
tersebut. Ayat itu sendiri menunjukkan ketidakbolehan menafsirkan ayat-
ayat samar. Ada beberapa bagian al-Qur’an yang untuk memahami sangat
sulit sekali, dan tidak ada yang mampu memahaminya dengan benar
kecuali Allah dan orang-orang yang diberikan ilmudan pemahaman yang
tinggi.
Dengan memperhatikan ayat di atas, selain ayat yang pertama,
yang di dalam ayat-ayat tersebut disebutkan lafazh takwil, kita akan
mengetahui bahwa kata takwil dalam ayat tersebut berbeda dengan makna
tafsir. Kita pun tidak memiliki dalil yang menunjukkan bahwa kata takwil
dipakai di dalam al-Qur’an dengan makna yang sama dengan makna tafsir.
Makna yang sesuai dari ayat-ayat tersebut adalah yang dimaksud
dengan penakwilan sesuatu adalah sesuatu yang dapat ditakwilkan dan
akan berakhir kepadanya secara eksternal dan hakiki, sebagaimana hal itu
telah dijelaskan dalam lafazh itu sendiri. Lafazh takwil terkadang
dinisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada kitab suci yang lain,
kapada mimpi, dan kepada timbangan dan neraca yang seimbang.
Berdasarkan ayat-ayat diatas kita dapat menyimpulakannya
sebagai berikut.
a. Lafazh takwil terdapat dalam al-Qur’an dengan makna ‘segala sesuatu
yang ditakwilkan kepadanya’, dan bukan bermakna ‘tafsir’ dengan
kata lain makna ini dipergunakan damakna yang umum.

13
QS. Al-Kahfi [18]:78.
15

b. Kekhususan untuk mewakilkan ayat-ayat yang mustasyabih bagi


Allah dan orang-orang yang diberikan pemahaman ilmu. Hal ini
bukan berarti bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak memiliki makna
yang dapat dipahami, dan juga tidak berarti bahwa hanya Allah yang
mengetahui maksud lafazh ayat tersebut dan penafsirannya.

C. Tarjamah
1. Pengertian Tarjamah
Tarjamah secara etimologis berarti memindahkan lafal dari suatu
bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, memindahkan lafal ayat – ayat Al –
Quran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. 14 Secara
terminologi, tarjamah dapat didefinisikan dengan, mengungkapkan makna
sebuah perkataan dari bahasa asal ke bahasa lain dengan tetap
memerhatikan semua makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa
asalnya.
Tarjamah berasal dari bahasa Arab, tarjamah atau turjumah, yang
berarti:
a. Menyampaikan perkataan kepada orang yang belum mengetahuinya.
b. Menjelaskan perkataan dengan bahasa aslinya.
c. Menjelaskan perkataan dengan bahasa lain.
d. Mengalihkan bahasa satu kepada bahasa lain.
Tetapi secara kebiasaan tarjamah biasa dipahami dengan makna
yang keempat yakni mengalihkan bahasa satu ke bahasa lain.15
2. Bentuk Tarjamah
Pada dasarnya tarjamah memiliki dua bentuk yang berbeda:
a. Tarjamah harfiyah (Lafdhiyah)
Tarjamah harfiyah adalah mengubah pembicaraan atau
perkataan atau kalimat dari satu bahasa ke bahasa yang lain secara

14
Acep Hermawan, Ulumul Quran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Hal. 114.
15
Anshori, Ulumul Quran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), Hal. 167.
16

leterlek, dengan tetap memerhatikan struktur bahasa asal. Tarjemah


harfiyah dibagi dua macam yaitu:
1) Tarjamah harfiyah yang sangat leterlek, ketat dan apa adanya.
Tarjamah harfiyah yang leterlek dan ketat, dimana bahasa
penerjemahan sama persis susunannya dan strukturnya dengan
bahasa asal, letak kata per katanya pun sama, begitu pula
uslubnya, keindahan balaghanya juga sama. Tarjamah harfiyah
jenis ini jelas tidak mungkin dilakukan untuk menerjemahkan Al
– Quran. Karena Al – Quran diturunkan Allah SWT untuk dua
tujuan:
a) Al – Quran sebagai tanda dan bukti kebenaran Nabi
Muhammad SAW dan apa yang disampaikannya adalah dari
Allah SWT. Ini adalah keberadaan dan fungsi Al – Quran
sebagai mu’jizat yang dapat melemahkan para penantangnya.
Dan ini artinya tidak bisa dihadirkan oleh manusia, meski
manusia bekerja sama dengan jin sekali pun. Terkait dengan
tujuan tersebut, dimana Al – Quran sebagai mu’jizat dan
pembenar ajaran yang di bawah Nabi SAW, maka jelas
bahwa Al – Quran tidak bisa dihadirkan terjemahnya yang
sama persis. Karena kemu’jizatan Al – Quran tidak terlepas
dari konteks keindahan balaghah dan uslub Al – Quran yang
berbahasa Arab, yang tentu ini berarti menyangkut
spesifikasi bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan Al –
Quran. Spesifikasi ini tentu tidak akan sama dengan
spesifikasi bahasa lainnya. Meski mungkin bahasa lain itu
memiliki keindahan balaghahnya sendiri, tetapi tidak akan
sama dengan keindahan dan keelokan bahasa yang
digunakan Al – Quran. Jika Al – Quran diterjemahkan secara
harfiyah, secara leterlek sekali, maka akan hilang
keistimewaan balaghah Al – Qurannya, dan akan
menurunkan derajat bahasa Al – Quran yang penuh mu’jizat
17

menjadi sekadar bahasa yang dalam jangkauan akal manusia.


Dengan demikian, tujuan diturunkannya Al – Quran sebagai
mu’jizat menjadi terhalang.
b) Al – Quran diturunkan Allah SWT sebagai hidayah bagi
kebaikan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Agar hidayah bisa sampai kepada manusia maka Al – Quran
harus dimengerti maksud dan kandungannya. Karena itu
perlu dilakukan pengambilan dan penetapan hukum
(istinbath al – ahkam), mencari petunjuk (irsyadat) dari Al –
Quran. Dalam melakukan proses penetapan hukum dan
mengambil petunjuk – petunjuk dari Al – Quran ini, biasanya
para mujtahid tidak hanya berpegangan pada makna
harfiyah, tetapi juga acapkali menggunakan makna – makna
kedua, seperti makna dilalah an – nash, isyarah an – nash
dan seterusnya. Sedangkan penerjemahan harfiyah secara
letertek akan menghilangkan makna kedua yang sangat
penting digunakan untuk memahami kandungan Al – Quran
itu. Dengan demikian, tarjemah harfiyah yang letertek dan
ketat akan menyebabkan fungsi Al – Quran sebagai kitab
petunjuk dapat menjadi terhalang.
2) Tarjamah harfiyah yang meskipun leterlek, tetapi sangat
tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah.
Penerjemahan jenis ini, meski dibenarkan untuk
digunakan pada umumnya, tetapi tidak dibenarkan untuk
menerjemahkan Al – Quran. Karena akan membahayakan dan
dapat merusak struktur bahasa Al – Quran dan bisa merendahkan
kewibawaannya.
Kedua jenis tarjamah harfiyah di atas, tidak bisa dikatakan
sebagai tafsir Al – Quran kepada selain bahasa Arab. Karena, tarjamah
harfiyah yang leterlek dan sangat ketat, jelas tidak mungkin
dilakukan. Sementara tarjamah harfiyah yang meski leterlek, tetapi
18

tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah, juga adalah


penerjemahan yang tidak dibenarkan terhadap Al – Quran.
b. Tarjamah tafsiriyah (ma’nawiyah)
Tarjamah tafsiriyah (ma’nawiyah), yakni menerjemahkan dari
satu bahasa ke bahasa lain, dengan memahami makna bahasa asal, lalu
mengungkapkannya kembali dalam bahasa terjemahan, sesuai dengan
susunan, struktur dan uslub bahasa yang digunakan untuk
menerjemahkan.
Tarjamah ini jelas sekali berbeda dengan tarjamah harfiyah.
Sebagai contoh, untuk melihat perbedaan dua jenis tarjamah tersebut
adalah bila menerjemahkan QS Al – Isra’: 29: “Wa la taj’al yadaka
maghlulatan ila uniqika wa la tabsuthha kulla al – basth”. Jika kita
menerjemahkan potongan ayat ini dengan tarjamah harfiyah ke dalam
bahasa bukan bahasa Al – Quran, katakanlah Bahasa Indonesia, maka
akan menjadi: “janganlah engkau menjadikan tanganmu terbelenggu
ke lehermu/ tengkukmu, dan janganlah engkau terlalu
mengulurkannya.” Tarjamah seperti ini kemungkinan besar tidak bisa
dipahami, bahkan mungkin menjadi bahan tertawaan. Tetapi jika
potongan QS Al – Isra: 29 tersebut diterjemahkan secara tafsiriyah
(ma’nawiyah) maka artinya menjadi: “janganlah kalian terlalu pelit
dan jangan pula terlalu mengumbar pemberian”. Maka makna
tarjamah tafsiriyah ini lebih bisa dipahami, karena menyesuaikan
dengan struktur dan cara pengungkapan penerjemahannya.
Ini artinya, maksud Allah dalam ayat Al – Quran, bila
diterjemahkan, maka yang bisa lebih menjelaskan maksud Allah SWT
secara mudah, adalah tarjamah tafsiriyah, bukan tarjamah harfiyah.
Dengan demikian, jelaslah, bahwa tarjamah tafsiriyah
(ma’nawiyah) bisa dilakukan terhadap Al – Quran. Dan sebagaimana
para ulama sepakat memperbolehkan kegiatan penafsiran Al – Quran,
maka para ulama juga sepakat memperbolehkan kegiatan
menerjemahkan Al – Quran secara tafsiriyah.
19

Meskipun demikian, tarjamah tafsiriyah tidak bisa dikatakan


sebagai tafsir Al – Quran dengan bahasa non-Arab. Karena memang
ada perbedaan antara tarjamah dan tafsir. Diantaranya adalah bahwa
tarjamah merupakan kegiatan yang melibatkan dua bahasa yang
berbeda, sementara tafsir Al – Quran tidaklah demikian. Bahkan al –
‘Ak berpandangan bahwa baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah
tafsiriyah tidak bisa dikatakan sebagai tafsir, karena memang
melibatkan bahasa lain selain bahasa Al – Quran, untuk mengartikan
dan menjelaskan makna ayat – ayat Al – Quran.
3. Syarat menerjemahkan Al-Qur’an
Adapun syarat – syarat orang menerjemahkan Al – Quran adalah:
a. Penerjemah Al – Quran adalah seorang muslim, maka penerjemah
non-muslim tidak dibenarkan menerjemahkan Al – Quran, karena ia
tidak beriman pada kebenaran Al – Quran dan kebenaran Islam.
b. Penerjemah Al – Quran adalah orang yang ‘adalah (adil) dan tsiqah
(bisa dipercaya). Orang yang fasiq tidak dibenarkan menerjemahkan
Al – Quran.
c. Penerjemah adalah orang yang menguasai dan mahir dalam bahasa
penerjemahannya, memiliki pengetahuan luas akan pernik – pernik
bahasa tersebut.
Adz – Dzahabi, dengan redaksi yang berbeda, menjelaskan syarat
– syarat bagi penerjemahan Al – Quran, sebagai berikut:
a. Penerjemah Al – Quran hendaknya berpedoman pada syarat – syarat
sebagaimana syarat penafsiran, sehingga penerjemah tidak
mentakwilkan Al – Quran.
b. Penerjemah Al – Quran jauh dari kecenderungan akidah yang
menyimpang yang tidak sesuai dengan Al – Quran.
c. Penerjemah Al – Quran adalah orang yang menguasai dan mahir
bahasa, baik bahasa asal yang diterjemahkannya maupun bahasa
sasaran penerjemahannya.
20

Dalam menuliskan penerjemahan Al – Quran, penerjemah


hendaknya menuliskan Al – Quran terlebih dahulu, lalu tafsirnya, baru
kemudian terjemahannya. Sehingga terjemahan yang dituliskannya
bukanlah tarjamah harfiyah, tetapi tarjamah tafsiriyah.16

D. Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah


1. Tafsir dengan Ta’wil
Perbedaan antara tafsir dan ta’wil adalah jika tafsir merupakan
penjelasan yang dimaksud oleh lafadz, maka takwil merupakan penjelasan
yang dimaksud oleh makna lafadz.
2. Tafsir dengan Tarjamah
Tarjamah yang dimaksudkan disini adalah tarjamah yang memiliki
arti pengalihbahasaan al-Qur’an kebahasa non-Arab. Tarjamah, dengan
konotasi pengalih bahasaan al-Qur’an secara harfiah, dengan mengganti
kata per kata Arab dengan padanannya dalam bahasa yang digunakan
untuk menerjemahkannya adalah jelas tidak mungkin. Para ulama’ klasik
dan kotemporer juga tidak pernah menyebut terjemah harfiah seperti ini
sebagai al-Qur’an. Juga tidak boleh menyandarkan apapun dari hasil
terjemahan harfiah tersebut kepada Allah. Ini juga bisa dianggap sebagai
kebohongan dan dusta atas nama Allah. Maka, dalam konteks ini,
disamping mustahil, juga dilarang. Namun jika konteks terjemah tersebut
merupakan terjemah manawiyah, atau terjemah tafsir, tidak diragukan lagi
bahwa hukumnya adalah boleh, bahkan bisa menjadi wajib jika al-Qur’an
tidak mungkin disampaikan kecuali dengan terjemahan ini.

16
Anshori, Ulumul Quran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), Hal. 172.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk memahami Al-Qur’an, maka dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu:
1. Menafsirkan
2. Menta’wilkan
3. Mentarjamahkan
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, ada tiga macam yaitu:
1. Tafsir Bi Al-Ma’tsur
2. Tafsir Bi Al-Rayi
3. Tafsir Bi Al-Isyari
Dalam menerjemahkan Al-Qur’an ada tiga corak yaitu:
1. Terjemah Maknawiyah Tafsiriyah
2. Terjemah Harfiyyah Bi Al-Mitsli
3. Terjemah Harfiyyah Bi Dzuni Al-Mitsli
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca khususnya dan pihak
yang terkait dengan pendidikan umumnya bisa mudah dalam memahami Al-
Qur’an baik dengan metode tafsir, ta’wil maupun tarjamah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anshori. 2013. Ulumul Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Baqir, Muhammad, Hakim. 2006. Ulumul Quran. Jakarta: Al-Huda.
Hermawan, Acep. 2011. Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Maruzi, Muslich. 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Qur’an

15

Anda mungkin juga menyukai