Anda di halaman 1dari 25

PENGERTIAN, KARAKTERISTIK, DAN

OPERASIONALISASI METODIK AL-ASHIL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tuga mata kuliah “Metode Kritik Ad-
Dakhil fi at-Tafsir”

Oleh:

Fathia Alya Nisrina (20211394)


Fatihah Az Zahra (20211395)
Fatimah Nurul Jannati (20211398)
Indana Zulfa (20211416)

Dosen Pengampu:

Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN
JAKARTA
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan berbagai


nikmat sehingga dengan izin dan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw., beserta keluarganya, sahabatnya, dan semoga sampai
kepada umat dan pengikut sunnahnya hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Metode Kritik Ad-Dakhil fi at-Tafsir. Judul pembahasan materi adalah
“Pengertian, Karakteristik, Dan Operasionalisasi Metodik Al-Ashil”, sebagai
bentuk penyelesaian tugas dan sebagai bentuk usaha untuk memperluas
wawasan. Kami sangat bersyukur dapat diberikan kesempatan untuk
memaparkan sedikit pengetahuan agar dapat dipelajari dan bermanfaat bagi
banyak orang.

Kami mengungkapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata


kuliah Metode Kritik Ad-Dakhil fi at-Tafsir, dan juga kepada berbagai pihak
yang sudah membantu sampai makalah ini dapat terselesaikan. Dalam
penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bertujuan untuk memperbaiki
karya-karya saya selanjutnya di waktu yang akan datang. Akhir kata kami
mengucapkan terima kasih.

Ciputat, 3 Februari 2023

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. 2

DAFTAR ISI.................................................................................................. 3

BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................ 4

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 4


B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 4
C. Perumusan Masalah ............................................................................ 5
D. Tujuan Masalah ................................................................................... 5

BAB II: PEMBAHASAN ............................................................................. 6

A. Definisi Al-Ashil ................................................................................... 6


B. Karakteristik Al-Ashil......................................................................... 7
1. Macam-Macam Al-Ashil ................................................................ 9
a. Al-Qur’an .................................................................................... 9
b. Sunnah Nabi Saw ....................................................................... 12
c. Pendapat Sahabat dan Tabi’in .................................................... 13
d. Bahasa Arab ............................................................................... 17
e. Ijtihad (Akal) .............................................................................. 18
C. Operasionalisasi Metodik Al-Ashil .................................................. 21

BAB III: PENUTUP ................................................................................... 23


A. Kesimpulan ........................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan mukjizat seluruh alam yang diturunkan kepada


Rasulullah Saw. mengenai syariat dan kehidupan. Wajib bagi wtiap muslim
untuk mengetahui, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Saw. Al-Qur’an dipelajari dengan memahami ayat-ayatnya
melalui tafsir yang telah disusun oleh para ulama secara keseluruhan di
dalam sebuah karya tafsir.

Sebuah karya tafsir yang baik memiliki sumber penafsiran yang


autentik yang sudah tervalidasi benar. Berbagai sumber penafsiran yang
autentik menguatkan kebenaran yang ada di dalam tafsir Al-Qur’an
tersebut. Akan tetapi, karena tafsir merupakan karya manusia yang tidak
luput dari kekurangan dan kesalahan, berbagai sumber yang tidak autentik
dapat memungkinkan terjadi di dalamnya. Oleh karena itu diperlukan ilmu
kritik tafsir mengenai infiltrasi-infiltrasi di dalam tafsir yang dapat terjadi.

B. Identifikasi Masalah

Definisi, karakteristik, dan operasionalisasi metodik al-asil


merupakan hal yang penting untuk dibahas karena dengan ketiga hal
tersebut merupakan dasar yang perlu diketahui bagi peneliti atau pengkritik
tafsir untuk dipahami dan dimengerti agar dapat mengidentifikasi antara
sumber autentik dengan infiltrasi yang terjadi di dalam sebuah karya tafsir.
Karakteristik al-asil diperlukan untuk menjadi parameter kategori sumber
yang autentik dengan sumber yang menginfiltrasi.

4
Langkah-langkah metodis dalam mengetahui sebuah sumber adalah
al-asil merupakan hal yang penting di dalam pembahasan ini. Makalah ini
memuat hal mengenai definisi, karteristik, dan operasionalisasi metodik al-
asil di daam tafsir Al-Qur’an.

C. Perumusan Masalah

1. Apa definisi al-asil di dalam tafsir Al-Qur’an?


2. Apa saja karakteristik al-asil di daam tafsir Al-Qur’an?
3. Bagaimana operasionalisasi metodik al-asil di dalam tafsir Al-Qur’an?

D. Tujuan Masalah

1. Mengetahui definisi al-asil di dalam tafsir Al-Qur’an.


2. Apa saja karakteristik al-asil di daam tafsir Al-Qur’an.
3. Bagaimana operasionalisasi metodik al-asil di dalam tafsir Al-Qur’an.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Ashil

Secara etimologi al-ashil berasal dari bahasa Arab al-ashl yang


berarti asal, valid, dasar, pokok, dan sumber.1 Menurut sahib lisan al-‘Arab
berasal dari al-ashl yang berarti dasar dari segala sesuatu. Rajulun ashil =
Rajulun tsabit ar-Ra’yu aqilun, pria yang teguh, kuat, dan berakal sehat.
Berkata sahib misbah al-munir, asal sesuatu adalah dasarnya, pondasi
sebuah tembok adalah dasarnya.2

Di dalam bahasa Arab dikatakan syaiun ashilun, sesuatu yang


memiliki asal usul kuat. Secara bahasa al-ashil adalah segala sesuatu yang
memiliki asal usul yang pasti dan jelas, autentik, orisinal, dan valid.
Sedangkan menurut istilah, al-Ashil adalah Tafsir yang berlandaskan
kepada Al-Quran dan As-Sunnah, atau pendapat sahabat dan tabi'in dan
atau berdasarkan ijtihad dan ra'yun yang sesuai dengan kaidah bahasa arab
dan kaidah Syari'ah.3

Al-ashil ialah sumber-sumber tafsir yang dianggap valid dan dapat


dipertanggungjawabkan.4 Kata al-ashil derivasi kata al-ashlu. Bentuk
jamaknya yaitu ushul, ashal, dan ashail. Arti kata ini didalam kamus Lisan
al-Arab di gambarkan dengan “seorang laki-laki al-ashil, maksudnya yaitu
mempunyai asal-usul dan pendapat yang kuat.” Hal tersebut juga

1
Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc. MA. Metode Kritik Ad-Dakhil fit-Tafsir, (Jakarta: Qaf,
2019), h.48
2
Jamal Mushtafa Abdul Hamid Abdul Wahab An-Najar, Ushul Ad-Dakhil fii tafsir
ay At-Tanzil, h. 13.
3
Rofiq Junaidi, “AL-ASHIL WA DAKHIL FI TAFSIR,” t.t., 70.
4
Moh Alwy Amru Ghozali, “Menyoal Legalitas Tafsir ( Telaah Kritis Konsep Al-Ashil
Wa Al-Dakhil ),” Jurnal Tafsere 6, no. 2 (2018): h. 68.

6
diungkapkan didalam kamus al-Shihah, yaitu al-ashil berpengertian kuat.
Sementara, al-ashil dalam konteks ini berarti tafsir yang mempunyai dasar
menurut agama, yang mana spirit dan pijakannya berasal dari al-Qur’an,
sunah, pendapat sahabat dan tabi’in, dan sebagainya.5

Al-ashil menurut Fayed di dalam al-Dakhil diantaranya adalah tafsir


yang memiliki asal-usul, dalil-dalil, dan argumentasi yang sumbernya jelas
berasal dari sumber utama agama yang tervalidasi benar; Pengertian
lainnya adalah tafsir yang disandarkan kembali kepada sumber utama yaitu
Al-Qur’an, sunnah, pendapat para salaf al-salih yaitu para sahabat dan
tabi’in.

Kemudian menurut penulis dari terjemah al-dakhil, pendapat Fayed


perlu ditambahkan karena hanya mencakup tafsir bil ma’tsur saja, terdapat
pengertian yang mencakup keseluruhan maksud dari al-ashil adalah tafsir
yang berlandaskan atau merujuk kepada dasar yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan baik yang bersumber dari Al-Qur’an, sunnah,
pendapat para salaf al-salih yaitu para sahabat dan tabi’in, serta tafsir yang
bersumber dari ijtihad berupa akal, argumen, pendapat yang berdasarkan
rasio sehat dan memenuhi persyaratan ijtihad.

Al-Ashil di dalam tafsir Al-Qur’an terdapat dua bagian yaitu al-ashil


fi al-naql dan al-ashil fi al-ra’y. Al-ashil fi al-naql adalah adalah asal usul
atau sumber tafsir Al-Qur’an yang berasal dari nas-nas yang sahih, atau bil
ma’tsur yang berupa Al-Qur’an, sunnah, pendapat para salaf al-salih yaitu
para sahabat dan tabi’in. Sedangkan al-ashil fi al-ra’y adalah asal usul atau

5
Alwy Amru Ghozali, h. 74.

7
sumber tafsir Al-Qur’an yang berasal dari ijtihad mufassir dengan beberapa
persyaratan.

B. Karakteristik al-Ashil

Al-Asil dapat dicirikan seperti yang telah didefinisikan di awal


bahwa apa yang berdasarkan metode Al-Qur’an dan Sunnah, atau
Perkataan sahabat, atau perkataan tabi’in yang sahih dan diterima, atau
dengan al-ra’yu al-mahmud, ijtihad yang terpuji. Ciri-ciri al-ra’y al-
mahmud adalah; 1) Tidak menyelisihi Al-Qur’an; 2) Tidak menyelisihi
sunnah nabawiyah; 3) Tidak menafikan ‘urf sahih; 4) Tidak menyelisihi
kaidah bahasa Arab.

Seperti di dalam sebuah kaidah tafsir,


ْ َ
َ ٌ َ ْ َ َْ ْ َّ
‫التف ِس ْي ُر َّإما ِبنق ٍل ص ِح ْي ٍح أو رأي ص ِائ ٍب‬

“Tafsir harus dengan naql sahih atau dengan ra’yun shaib (benar).”

Berikut kesimpulan karakteristik Al-Asil di dalam Tafsir Al-


Qur’an; 1) Bersumber dari nas-nas yang sharih, yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah yang sahih; 2) bersumber dari aqwal as-shahabah yang tidak
menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, dan ‘aql; 3) bersumber dari ijma aqwal at-
tabi’in yang tidak menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, dan ‘aql; 4) berdasarkan
ra’yu atau ijtihad mufassir yang mahmud dan memenuhi persyaratan
mujtahid dan terhindar dari perkara yang wajib dihindari menurut para
ulama; 5) Tidak terdapat riwayat atau ideologi yang tidak memiliki
sandaran yang sahih.

8
1. Macam-Macam al-Ashil

Sebelum membahas al-dakhil, Fayed mengkategorikan sumber-


sumber tafsir Al-Qur’an berdasarkan autentisitas, yaitu sumber tafsir
autentik penafsiran yang terdiri dari Al-Qur’an, sunnah yang sahih,
pendapat para salaf al-salih yaitu para sahabat dan tabi’in yang sudah
divalidasi dan dipertanggungjawabkan, kaidah bahasa Arab yang sudah
disepakati oleh jumhur ahli bahasa, dan ijtihad (rasio) yang berlandaskan
pada data, kaidah, teori, dan argumentasi yang ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pengelompokkan tersebut adalah sebagai parameter bagi sumber-


sumber penafsrian lain yang tidak sesuai dengan kelima hal tersebut tidak
akan dikategorikan ke dalam al-ashil dan tafsir yang sahih, tetapi akan
dikategorikan ke dalam al-dakhil atau infiltrasi di dalam penafsiran yang
perlu diteliti, dicermati, dan dikritisi kebenarannya.

Penulis al-dakhil memaparkan mengenai cara kerja sumber autentik


penafsiran tersebut yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber penafsiran yang paling diutamakan


karena memiliki otoritas tertinggi dalam menafsirkan dirinya sendiri.
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah;

“Cara yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an yang paling


benar adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri,
apa (makna) yang lebih indah di suatu tempat (di dalam Al-Qur’an)
telah ditafsirkan di tempat (dalam Al-Qur’an) yang lain. Apa yang
singkat di suatu tempat, telah di sederhanakan di tempat lain.

9
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an biasanya datang dalam bentuk-
bentuk tafsir dengan; 1) menjelaskan yang Mujaz dengaan Mutnab, yaitu
pada kisah-kisah para Nabi seperti kisah Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, dan
yang lainnya; 2) tafsir yang Mujmal kepada Mubayyan, seperti pada
an’amta ‘alaihim salahsatunya ditafsirkan pada ayat lain yaitu para nabi,
siddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh; 3) membawa yang ‘Am kepada
yang Khas, yaitu pada ayat yang diharamkannya untuk menikah dengan
dan dibolehkannya untuk menikah dengan;

Kemudian 4) membawa yang Mutlaq kepada yang Muqayyad, yaitu


pada kata raqabah dikhususkan pada lafadz di ayat lain yaitu raqabatin
mu’minatin; serta 5) mengenal ayat-ayat nasikh dan mansukh. Serta di
dalam al-dakhil, Fayed menambahkan dengan al-taufiq bayna ma yuhim
al-ta’arud, yaitu dengan mengkompromikan ayat-ayat yang seakan-akan
berlawanan dan membedah hal yang berhubungan dengan qira’at untuk
ditafsirkan.

Jika tidak ditemukan pada Al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat Al-


Qur’an lainnya maka diteliti maknanya dari sunnah Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam, dan tidak boleh meninggalkannya untuk yang lain,
sebelum menafsirkan dengan hadis, berkata Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu ta’ala mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam,

“seluruh manusia sepakat bahwa sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi


wa sallam telah menjadi jelas baginya bahwa ia tidak berhak untuk
meninggalkannya dan merujuk pada ucapan siapapun sebelumnya.”

Sunnah Rasulullah dijadikan sumber autentik dalam penafsiran Al-


Qur’an karena beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui maksud dari

10
kalam yang dirisalahkan kepadanya untuk disampaikan kepada manusia;
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa
Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam diturunkan kepadanya al-dzikr dan
menjelaskannya kepada manusia; dan Jika Rasululllah sallallahu ‘alaihi
wa sallam menafsirkan Al-Qur’an maka tafsirnya adalah benar karena di
dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Nabi tidak berbicara
dengan hawa nafsunya akan tetapi dengan wahyu yang telah Allah
anugerahkan kepadanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

َّ َ ‫ه‬ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ ٰ َ َ َ ُ ْ ُ ُ َ ُ ْ ُ َّ ُ ُ ٰ ٰ َ َ
‫ۗان‬
ِ ‫ومآ اتىكم الرسول فخذوه وما نهىكم عنه فانتهواۚ واتقوا اّٰلل‬
َ ْ ُْ َ َ‫ه‬
‫اب‬ِ ‫اّٰلل ش ِديد ال ِع‬
‫ق‬

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang


dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat khutbah Wada’;

َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َّ َ ُ ْ َ ُ
ُ‫اّٰلل‬ ْ َ
ِ ‫عن عبداّٰلل بن عباس َر ِض َي اّٰلل عنه أن رسول‬
‫اّٰلل صلى‬
َ ُ ُ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ
‫ إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن ت ِضلوا‬:‫علي ِه وسلم قال‬
َ َّ ُ َ ً
‫نبيه‬
ِ ‫ و سن‬، ِ‫ كتاب اّٰلل‬،‫أبدا‬
‫ة‬

Artinya: “Sesungguhnya kutinggalkan pada kamu sekalian dua perkara


yang kalian tidak akan sesat apabila kalian berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.”

11
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai banyak
atau tidaknya jumlah ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Nabi Saw.
Diantaranya ada yang berpendapat bahwa Nabi Saw menafsirkan Al-
Qur’an secara keseluruhan, dan pendapat yang kedua bahwa Nabi Saw
menafsirkan Al-Qur’an dalam jumlah yang sangat sedikit.

Menengahi perbedaan kedua pendapat ini, penulis al-Dakhil, Fayed,


mengkompromikan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan
Al-Qur’an dalam jumlah yang banyak dan terdapat pada riwayat-riwayat
yang sahih, akan tetapi beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an secara keseluruhan, karena terdapat
ayat-ayat yang hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan hanya
diketahui oleh para ulama dan orang Arab yang tidak ditafsirkan oleh
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam karena para sahabat sudah mengerti
dan paham tanpa perlu ditafsirkan.

b. Sunnah Nabi Saw

Fayed menjelaskan metode menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah,


yakni bayan al-mujmal (menjelaskan ayat yang global), taqyid al-mutlaq
(membatasi yang mutlak), takhshish al-‘am (mengkhususkan yang umum),
taudhih al-musykil (menjelaskan yang ambigu), bayan al-naskh
(penjelasan dengan cara menghapus atau mengganti), bayan al-ta’kid
(penjelasan untuk menegaskan dan menguatkan), dan takrir ma sakata
‘anhu al-qur’an (menetapkan hukum yang belum disebutkan dalam Al-
Qur’an). Dalam konteks pembahasan sunnah, Fayed memiliki pertanyaan
yang cukup krusial. Apakah Rasulullah saw memiliki ruang untuk
berijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an atau tidak? Apakah semua

12
penafsiran Rasul bersumber dari wahyu atau sebagian dari wahyu dan
sebagian dari ijtihad?

Fayed lebih yakin dengan opsi kedua, yakni sebagian penafsiran


Rasul bersumber dari wahyu dan sebagian yang lain dari ijtihad beliau. Hal
ini didasarkan pada dalil dan argumentasi berikut, pertama, dalam konteks
tertentu, Rasulullah saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt. Seperti
ketika beliau memalingkan perhatiannya dari Abdullah ibn Ummi Maktum
(w.15 H/636 M) dan keputusan beliau terhadap tawanan Perang Badar. Jika
keputusan yang diambil Nabi saw berasal dari wahyu, maka Allah Swt
tidak akan menegurnya. Kedua, ada beberapa hadits Nabi saw yang
mengizinkan para sahabat untuk berijtihad ketika tidak menemukan
jawaban dari Al-Qur’an dan sunnah mengenai persoalan yang dihadapi.
Logikanya, beliau tidak mungkin mangizinkan para sahabat untuk
berijtihad jika beliau sendiri tidak melakukan ijtihad.

c. Pendapat Sahabat dan Tabi’in

Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat menjadi rujukan dalam


penafsiran Al-Qur’an, karena mereka adalah orang-orang yang tahu
mengenai hal ihwal Al-Qur’an. Dalam penafsiran, para sahabat merujuk
kepada Al-Qur’an, sunnah, dan terkadang berijtihad sendiri, jarang yang
merujuk pada israiliyat. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar
bin Khattab, perbedaan penafsiran di kalangan sahabat masih sangat
minim. Akan tetapi pada masa Utsman bin Affan, seiring terjadinya
perebutan kekuasaan antar klan Arab dan penyebaran Islam ke segenap
penjuru dunia, perbedaan pada bidang tafsir Al-Qur’an pun mulai tumbuh.
Namun, perbedaan (ikhtilaf) di zaman itu masih bersifat tanawwu’
(variatif) belum sampai kepada taḍad (kontradiktif).

13
As-Suyuthi mencatat nama para mufassir dari kalangan sahabat
hanya sekitar sepuluh orang, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid bin
Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, dan
Abdullah bin Abbas. Menurut Fayed, tidak semua sahabat memiliki
kemampuan yang sama dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Kemudian, berkaitan dengan kualitas riwayat sahabat dalam bidang


tafsir, Fayed mengklasifikasinya menjadi tiga. Pertama, riwayat tentang
hal-hal yang tidak dapat diintervensi akal, seperti riwayat mengenai
asbabun nuzul, nasikh mansukh dan muhkam mutasyabih. Riwayat seperti
ini terbagi menjadi shahih dan dha’if. Kedua, riwayat mengenai hal-hal
yang dapat diintervensi akal. Kebanyakan yang termasuk dalam kategori
kedua ini adalah riwayat tentang persoalan ayat-ayat hukum dan muamalat.
Dalam konteks ini, riwayat yang dapat dijadikan sumber data autentik
penafsiran hanya yang disepakati (ijma') saja, sementara riwayat yang
mukhtalaf fih (terjadi perbedaan) tidak dapat digunakan sebagai sumber
data autentik penafsiran Al-Qur’an.

Ketiga, riwayat tentang cerita-cerita isra’iliyat. Riwayat isra’iliyat


yang dilansir dari sahabat harus dikroscek tingkat keshahihannya. Jika mata
rantai sanadnya benar-benar tersambung dan terpercaya, maka boleh jadi
riwayat tersebut benar. Jika riwayat itu benar, tentu jumlahnya sangatlah
sedikit. Sebab sahabat sangat berhati-hati dalam melansir isra’iliyat
tersebut. Mayoritas isra’iliyat yang dilansir dari sahabat adalah riwayat
yang tidak valid karena tidak bersumber langsung dari sahabat, ia hanya
riwayat buatan yang kemudian dinisbahkan oleh perawinya kepada
sahabat. Karena itu, tidak berlebihan bila Abu Zahrah (1898-1974 M)
misalnya, menilai bahwa mayoritas riwayat isra’iliyat yang dilansir dari

14
sahabat berstatus maudu’ah (palsu). Dikatakan demikian sebab banyak data
yang membuktikan kehati-hatian sahabat dalam melansir isra'iliyat, mereka
sudah merasa cukup dengan keterangan yang didapat dari Al-Qur’an dan
sunnah Nabi saw.

Penafsiran sahabat itu kemudian dikembangkan oleh generasi tabi’in.


Berbeda dengan para sahabat yang secara umum bermukim di Madinah,
terutama pada zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab, pada masa
generasi sahabat kecil dan tabi’in, tokoh- tokoh Islam sudah tersebar luas
di berbagai kota. Di setiap kota terkemuka seperti di Madinah, Mekah, Irak
terdapat sejumlah mufasir ternama. Mufassir yang bermukim di Mekah dan
berguru kepada Abdullah bin Abbas diantaranya adalah Mujahid bin Jabr
al-Makhzumi, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, dan Ata’ bin
Abi Rabah al-Makki. Mufassir yang bermukim di Madinah yang berguru
kepada Ubay bin Ka’ab diantaranya Zaid bin Aslam, Abu al-Aliyah al-
Rayyahi, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Mufassir yang bermukim
di Kufah yang kebanyakan berguru kepada Ibnu Mas’ud diantaranya
Ibrahim al-Nakha’I, Alqamah bin Qais, dan Abu Amr al-Hamadani al-
Sya’bi.

Sumber-sumber penafsiran tabi’in adalah Al-Qur’an, sunnah,


pendapat sahabat, riwayat Ahli Kitab (isra’iliyat) dan ijtihad.
Mengomentari sumber penafsiran ini, Najm al-Din al-Tufi (w.716 H/1216
M) mengatakan bahwa keberagaman sumber penafsiran tabi’in disebabkan
antara lain, tabi’in mendapatkan sumber tafsir dari sahabat yang mereka
temui saja tanpa berusaha untuk melengkapi atau mengkonfrontasikannya
kepada sahabat lain. Kemudian mereka berijtihad sendiri untuk melengkapi
penafsiran itu dengan mengambil data dari bahasa Arab, sunnah Nabi, Al-
Qur’an dan sumber lain yang dianggap cocok seperti sejarah umat

15
terdahulu dan riwayat isra’iliyat, sehingga berkembanglah beragam bentuk
penafsiran dan menyebarlah berbagai model tafsir infiltratif (al-dakhil).

Berdasarkan fakta tersebut, dapat dicatat bahwa setidaknya ada


empat karakteristik tafsir tabiin. Pertama, variasi tafsir tabiin jauh lebih
banyak bila dibandingkan dengan tafsir sahabat. Kedua, tafsir tabiin sudah
mulai banyak terinfiltrasi oleh riwayat palsu dan isra’iliyat. Ketiga, terdapat
benih-benih tafsir sektarian, baik dalam bidang hukum (fikih) maupun
teologi. Ini merupakan konsekuensi logis dari lahir dan berkembangnya
sekte dan tradisi berijtihad kala itu. Keempat, kendati demikian, tafsir tabiin
tetap menjaga tradisi periwayatan dan transmisi secara oral sebagaimana
yang terjadi pada tafsir sahabat.

Berdasarkan data dan fakta di atas, para ulama berbeda pendapat


mengenai boleh tidaknya merujuk kepada tafsir tabiin. Satu pihak menolak
penafsiran tabiin karena setidaknya dua alasan; pertama, secara kronologis
mereka tidak mendengar langsung dari Nabi Saw atas apa yang mereka
tafsirkan. Kedua, tabiin tidak menyaksikan langsung proses penurunan
Alquran.

Sementara pihak lain menerima tafsiran tabi'in dengan alasan bahwa


mayoritas tafsir tabi'in berkaitan dan bersumber dari hasil penafsiran
sahabat. Pendapat ini merujuk pada perkataan Mujahid ibn Jabr (w. 104
H/722 M) dan Qatadah ibn Di'amah al-Sadusi al-Başri (w.117 H/736 M)
sebagaimana dilansir al-Suyuti yang menyatakan bahwa tidak ada satu ayat
pun dari Al-Qur'an, kecuali tafsirannya telah didengar dari sahabat. Akan
tetapi, apabila penafsiran itu cenderung menggunakan rasio, ia tidak wajib
dijadikan sebagai data penafsiran.

Terlepas dari dua pendapat di atas, tafsir tabiin yang disepakati dan
yang terkait dengan hal-hal yang tidak dapat diintervensi akal tentu boleh
16
dan bahkan harus dijadikan sumber data penafsiran. Sementara tafsir yang
diperselisihkan dan yang terkait wilayah ijtihad tentu saja tidak scara
spontan dapat dijadikan data penafsiran. Dalam konteks kedua inilah Abu
Hanifah (80-150 H) pernah mengatakan, hum rijâl wa nahnu rijâl (mereka
[tabiin] adalah generasi [yang dapat berijtihad] dan kami juga generasi
[yang mampu berijtihad]).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tafsir tabiin tidak dapat


dijadikan rujukan, kecuali dengan dua syarat, yakni: pertama, riwayat
mereka tidak terkait masalah ijtihadi. Kedua, tabiin yang bersangkutan
tidak dikenal sebagai tukang pelansir riwayat dari ahli kitab. Bila kedua
syarat ini terpenuhi, maka tafsiran mereka dapat diterima, jika sebaliknya,
maka pendapat mereka tidak dapat dijadikan sumber data penafsiran

d. Bahasa Arab

Bahasa Arab dijadikan salah satu sumber autentik penafsiran, sebab


Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Penafsiran Al-
Qur’an yang merujuk kepada bahasa Arab adalah keniscayaan yang tak
terbantahkan.

Yang dimaksud merujuk kepada bahasa Arab adalah merujuku


kepada syair, puisi, prosa, surat-menyurat dan dialek Arab. Penafsir juga
harus merujuk kepada kaidah dan rahasia-rahasia bahasa Arab yakni makna
kosa kata, diksi, penjelasan kalimat, gaya bahasa yang meliputi; keindahan,
ketepatan, kejelasan dan semantik serta berbagai aturan main lainnya yang
ditetapkan para ahli gramatikal dan sastra Arab.

Urgensi merujuk kepada bahasa Arab dalam penafsiran Al-Qur’an


dipertegas oleh Nabi Saw. melalui salah satu sabdanya: "A'ribu Al-Qur'an
wal-tamisú ghara'ibah" (tafsirilah Al-Qur'an dengan merujuk kepada

17
kaidah dan aturan main bahasa Arab dan carilah penjelasan tentang kata-
kata yang gharib [aneh/asing/sukar]). Ibn 'Atiyah (481-541 H) mengatakan,
mengi'rab Al-Qur'an (menafsirkannya dengan kaidah dan aturan main
bahasa Arab) adalah asal usul syariat Islam, sebab hanya melalui itu makna-
makna lafazh Al-Qur'an yang darinya syariat dibangun dapat dipahami dan
dimengerti."

Ibn 'Abbas (w. 68 H) pernah mengatakan; "Jika kalian bertanya


kepadaku tentang makna kata-kata yang gharib (asing/aneh/sukar) dalam
Al-Qur'an, maka carilah di dalam syair, sebab syair adalah diwan
(perpustakaan)nya orang Arab," Statemen Ibn 'Abbas ini menegaskan
betapa syair (bahasa Arab) adalah sumber primer tafsir Al-Qur'an.

Saking pentingnya bahasa Arab sebagai salah satu sumber


penafsiran, Mujahid ibn Jabr (21- 104 H/645-722 M) sampai melarang
orang yang beriman kepada hari akhir menafsirkan Al-Qur'an tanpa
menguasai bahasa Arab. Bahkan Imam Malik ibn Anas (93-179 H/711-
795) juga pernah berjanji untuk menghukum siapa pun yang berani
menafsirkan Al-Qur'an tanpa merujuk dan menguasai bahasa Arab.

Dari penjelasan di atas terlihat betapa Nabi, sahabat, tabi'in, dan


generasi setelahnya tidak dapat mengabaikan bahasa Arab dalam
menafsirkan Al-Qur'an. Tak berlebihan bila al-Suyuti mengatakan bahwa
penguasaan bahasa Arab bagi yang ingin menafsiri Al-Qur'an adalah salah
satu kebutuhan primer (daruriyah). Dengan demikian, jelaslah posisi dan
urgensi bahasa Arab dengan segala macam karakteristik, kaidah, dan aturan
mainnya sebagai salah satu sumber primer dan autentik penafsiran Al-
Qur'an.

e. Ijtihad (Akal)

18
Penggunaan akal/rasio dalam dunia penafsiran (tafsîr bi al-ra’y)
adalah keniscayaan yang tak terelakkan. Bahkan, sejak masa-masa awal
Islam pun tradisi seperti ini sudah mulai tumbuh. Hanya saja harus diakui
bahwa tradisi penafsiran bi alra’y di era-era awal Islam masih berkutat
seputar tafsir bi al-Ma’tsûr; mulai dari penegasan (ta’kîd), penguatan
(tarjîh), pelemahan (tadh‘îf) terhadap suatu riwayat, hingga penjelasan
(syarh), istinbâth dan istisyhâd dengan sya’ir.

Kemudian tradisi penggunaan al-ra’y (rasio) dalam dunia penafsiran


ini terus berkembang di masa-masa berikutnya, sehingga sampai pada titik
dimana tafsir bi al-ra’y tidak lagi berkelindan dengan tafsir bi al-ma’tsûr,
tapi sudah mulai masuk kepada penggunaan rasio secara liar dan subjektif.
Penafsiran seperti ini terjadi sangat kentara terutama sejak munculnya
berbagai sekte seperti Syi‘ah, Khawarij, Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah,
Murji’ah dan semacanya. Dengan mengatasnamakan Islam, tiap-tiap sekte
kemudian menafsirkan Alquran secara rasional untuk menjustifikasi
teologi dan ajaran sekte masing-masing.

Tak pelak, kondisi tersebut menimbulkan beragam reaksi dari para


pengkaji tafsir, khususnya mengenai hukum penafsiran Alquran bi al-ra’y.
Menanggapi hal ini, para ulama secara umum dapat dikelompokkan
menjadi dua. Sebagian menerima dan menyetujui panafsiran bi al-ra’y/ bi
al-ijtihâd, sementara yang lain melarang dan bahkan mengharamkannya.

Dua pendapat ini sejatinya dapat dikompromikan pada satu titik,


yakni; keduanya sama-sama membolehkan penafsiran bi al-ra’y bila
penafsirannya sesuai dengan ajaran agama dan bahasa Arab, dan keduanya
akan melarang jenis tafsir ini bila hasil penafsirannya berlawanan dengan
agama dan bahasa Arab.

19
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa tafsir bi al-ra’y
itu dapat diklasifikasi menjadi dua macam; pertama tafsir yang sesuai
dengan dalil syar‘i dan kaidah bahasa Arab. Tafsir semacam ini tentu dapat
diterima dan dianjurkan untuk dikembangkan. Kedua tafsir yang tidak
sesuai dengan dalil syar‘i dan kaidah bahasa Arab. Yang semacam ini tentu
tidak dianjurkan dan tertolak. Dalam konteks ini, ilmu-ilmu terkait

Alquran, baik yang intrinsik maupun ekstrinsik, menjadi prasyarat


yang harus dimiliki bagi penafsir bi al-ra’y. Tanpa penguasaan terhadap
ilmu-ilmu tersebut, tentu hasil penafsirannya akan sulit diterima, alih-alih
dijadikan dasar atau sumber rujukan bagi orang lain.

Sumber-Sumber Autentik Tafsir Al-Qur’an

No Sumber Autentik Cara Kerja/Bentuk


1. Al-Qur’an 1. Tafsil al-mūjaz (merinci yang ringkas/global)
2.Bayān al-mujmal (menjelaskan yang belum
jelas/mujmal);
3.Takhsis al-‘ām (mengkhususkan yang umum)
4.Taqyid al-muțlaq (membatasi yang tidak terbatas)
5.Penjelasan dengan cara naskh
(penghapusan/penggantian)
6.al-Taufiq bayna ma Yūhim al-Ta'arud
(mengkompromikan ayat-ayat yang terkesan
berlawanan)
7. Melalui qirā'āt (bacaan) Al-Qur'an.
2. Sunnah Nabi 1. Bayān al-Mujmal (menjelaskan ayat yang global)
saw. 2. Taqyid al-Mutlaq (membatasi yang mutlak)
3. Takhsīs Al-'Am (mengkhususkan yang umum)

20
4. Taudih al-Musykil (menjelaskan yang ambigu)
5. Bayān al-Naskh (menghapus/mengganti)
6. Bayan al-Ta’kīd (menegaskan dan menguatkan)
7. Taqrīr mā Sakata 'Anhu al-Qur'ān (menetap kan hukum
yang belum disebutkan dalam Al-Qur'an).

3. Pendapat 1. Pendapat yang disepakati (mujma' 'alayh)


Sahabat dan 2. Pendapat yang diperselisihkan (mukhtal)
Tabi’in 3. Pendapat mengenai hal-hal supra-rasional (la majala li
al-ra'y fih)
4. Pendapat yang terkait wilayah ijtihad (li al-ra'y fihi
majal).
4. Bahasa Arab 1. Syair, puisi, prosa, surat-menyurat dan dialek Arab
2. Kaidah dan rahasia-rahasia bahasa Arab, meliputi
antara lain: kosa kata, diksi, susunan dan penjelasan
kalimat.
3. Gaya bahasa, meliputi: keindahan (badi'), ke tepatan
(ma‘ānī), kejelasan (bayān), semantik (dalālah) dan
berbagai aturan main gramatikal dan sastra Arab lainnya.
5. ljtihad 1. Tafsir ijtihadi/ra'y yang sesuai dengan dalil syar'i dan
Ra'y/Rasio kaidah bahasa Arab (mahmūd). Tafsir semacam ini
diterima dan dijadikan rujukan autentik penafsiran.
2. Tafsir ijtihadi/ra'y yang tidak sesuai de ngan dalil syar'i
dan kaidah bahasa Arab (mażmūm). Yang semacam ini
tidak recommended dan tertolak.

C. Operasionalisasi Metodik Al-Ashil

21
Metode yang digunakan dalam penelitian tafsir termasuk kedalam
metode kualitatif. Data yang dimaksud dalam penelitian tafsir,
mengunakan metode kualitatif adalah; Ayat-ayat Alquran, hadis-hadis dan
sunnah Nabi SAW, atsar shabah, pendapat-pendapat para ulama, riwayat
yang merupakan sejarah pada masa turunnya Alquran (asbab al-nuzul),
pengertian-pengertian bahasa dan lafaz Alquran, kaedah-kaedah bahasa,
kaedah-kaedah istinbat, dan teori-teori ilmu pengetahuan. Setelah
mengumpulkan data, langkah yang akan dilakukan berikutnya yaitu
menganalisis data. Untuk menganalisis data langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam penelitian tafsir pertama yaitu untuk menganalisa ayat
yang meliputi; kosa kata qur’ani, frase qur’ani, klausa qur’ani, ayat-ayat
Alquran, dan hubungan antara bagian-bagian tersebut.

Kedua, menginterpretasi data dengan teknik teknik yang relevan


yaitu dengan mengunakan salah satu teknik yaitu menjelaskan ayat dengan
ayat, hadis, atsar sahabat, makna lughawi, kaidah bahasa Arab, munasabah
(korelasi) ayat, kenyataan sejarah, kaidah ushul fiqh, kaidah ulum al-
Qura'n, kaidah logika dan ilmu pengetahuan.

Ketiga, proses membandingkan objek yang dapat dikelompokkan;


taufiq, dilakukan terhadap konsep yang tidak mengandung pertentangan,
tarjîh untuk menguatkan salah satu konsep, dan tawaquf meninggalkan
masing-masing konsep yang bertentangan karena derajatnya seimbang.
Keempat, tansîq yaitu menyusun konsep-konsep menjadi sebuah terori atau
menyusun teori-teori menjadi sebuah pemikiran yang diperlukan dalam
pemecahan masalah didalam penelitian. Kelima yaitu penulisan laporan
penelitian."6

6
Aldomi Putra, “Metodologi Tafsir Aldomi Putra Dosen Ulum Alquran Dan Tafsir
Stai Yastis Padang” Vol. 7 No. (2018): h. 63.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologi al-ashil berasal dari bahasa Arab al-ashl yang


berarti asal, valid, dasar, pokok, dan sumber. Secara bahasa al-ashil adalah
segala sesuatu yang memiliki asal usul yang pasti dan jelas, autentik,
orisinal, dan valid. Sedangkan menurut istilah, al-Ashil adalah Tafsir yang
berlandaskan kepada Al-Quran dan As-Sunnah, atau pendapat sahabat dan
tabi'in dan atau berdasarkan ijtihad dan ra'yun yang sesuai dengan kaidah
bahasa arab dan kaidah Syari'ah.

Al-Ashil di dalam tafsir Al-Qur’an terdapat dua bagian yaitu al-ashil


fi al-naql dan al-ashil fi al-ra’y. Adapun karakteristik Al-Asil di dalam
Tafsir Al-Qur’an; 1) Bersumber dari nas-nas yang sharih, yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang sahih; 2) bersumber dari aqwal as-shahabah yang
tidak menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, dan ‘aql; 3) bersumber dari ijma
aqwal at-tabi’in yang tidak menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, dan ‘aql; 4)
berdasarkan ra’yu atau ijtihad mufassir yang mahmud dan memenuhi
persyaratan mujtahid dan terhindar dari perkara yang wajib dihindari
menurut para ulama; 5) Tidak terdapat riwayat atau ideologi yang tidak
memiliki sandaran yang sahih.

Sumber-Sumber Autentik Tafsir Al-Qur’an ada 5 yaitu Al-Qur’an,


sunnah Nabi Saw., Pendapat Sahabat dan Tabi’in, bahasa Arab, dan Ijtihad
(akal). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian tafsir termasuk

23
kedalam metode kualitatif. Data yang dimaksud dalam penelitian tafsir,
mengunakan metode kualitatif adalah; Ayat-ayat Alquran, hadis-hadis dan
sunnah Nabi SAW, atsar shabah, pendapat-pendapat para ulama, riwayat
yang merupakan sejarah pada masa turunnya Alquran (asbab al-nuzul),
pengertian-pengertian bahasa dan lafaz Alquran, kaedah-kaedah bahasa,
kaedah-kaedah istinbat, dan teori-teori ilmu pengetahuan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc. MA. Metode Kritik Ad-Dakhil fit-Tafsir,


(Jakarta: Qaf, 2019).
Jamal Mushtafa Abdul Hamid Abdul Wahab An-Najar, Ushul Ad-Dakhil fii
tafsir ay At-Tanzil.
Rofiq Junaidi, “AL-ASHIL WA DAKHIL FI TAFSIR”.
Moh Alwy Amru Ghozali, “Menyoal Legalitas Tafsir ( Telaah Kritis Konsep
Al-Ashil Wa Al-Dakhil ),” Jurnal Tafsere 6, no. 2 (2018).
Aldomi Putra, “Metodologi Tafsir Aldomi Putra Dosen Ulum Alquran Dan
Tafsir Stai Yastis Padang” Vol. 7 No. (2018).

25

Anda mungkin juga menyukai