Makalah ini disusun untuk memenuhi tuga mata kuliah “Metode Kritik Ad-
Dakhil fi at-Tafsir”
Oleh:
Dosen Pengampu:
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Metode Kritik Ad-Dakhil fi at-Tafsir. Judul pembahasan materi adalah
“Pengertian, Karakteristik, Dan Operasionalisasi Metodik Al-Ashil”, sebagai
bentuk penyelesaian tugas dan sebagai bentuk usaha untuk memperluas
wawasan. Kami sangat bersyukur dapat diberikan kesempatan untuk
memaparkan sedikit pengetahuan agar dapat dipelajari dan bermanfaat bagi
banyak orang.
Pemakalah
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................. 3
3
BAB I
PENDAHULUAN
B. Identifikasi Masalah
4
Langkah-langkah metodis dalam mengetahui sebuah sumber adalah
al-asil merupakan hal yang penting di dalam pembahasan ini. Makalah ini
memuat hal mengenai definisi, karteristik, dan operasionalisasi metodik al-
asil di daam tafsir Al-Qur’an.
C. Perumusan Masalah
D. Tujuan Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Ashil
1
Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc. MA. Metode Kritik Ad-Dakhil fit-Tafsir, (Jakarta: Qaf,
2019), h.48
2
Jamal Mushtafa Abdul Hamid Abdul Wahab An-Najar, Ushul Ad-Dakhil fii tafsir
ay At-Tanzil, h. 13.
3
Rofiq Junaidi, “AL-ASHIL WA DAKHIL FI TAFSIR,” t.t., 70.
4
Moh Alwy Amru Ghozali, “Menyoal Legalitas Tafsir ( Telaah Kritis Konsep Al-Ashil
Wa Al-Dakhil ),” Jurnal Tafsere 6, no. 2 (2018): h. 68.
6
diungkapkan didalam kamus al-Shihah, yaitu al-ashil berpengertian kuat.
Sementara, al-ashil dalam konteks ini berarti tafsir yang mempunyai dasar
menurut agama, yang mana spirit dan pijakannya berasal dari al-Qur’an,
sunah, pendapat sahabat dan tabi’in, dan sebagainya.5
5
Alwy Amru Ghozali, h. 74.
7
sumber tafsir Al-Qur’an yang berasal dari ijtihad mufassir dengan beberapa
persyaratan.
B. Karakteristik al-Ashil
“Tafsir harus dengan naql sahih atau dengan ra’yun shaib (benar).”
8
1. Macam-Macam al-Ashil
a. Al-Qur’an
9
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an biasanya datang dalam bentuk-
bentuk tafsir dengan; 1) menjelaskan yang Mujaz dengaan Mutnab, yaitu
pada kisah-kisah para Nabi seperti kisah Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, dan
yang lainnya; 2) tafsir yang Mujmal kepada Mubayyan, seperti pada
an’amta ‘alaihim salahsatunya ditafsirkan pada ayat lain yaitu para nabi,
siddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh; 3) membawa yang ‘Am kepada
yang Khas, yaitu pada ayat yang diharamkannya untuk menikah dengan
dan dibolehkannya untuk menikah dengan;
10
kalam yang dirisalahkan kepadanya untuk disampaikan kepada manusia;
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa
Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam diturunkan kepadanya al-dzikr dan
menjelaskannya kepada manusia; dan Jika Rasululllah sallallahu ‘alaihi
wa sallam menafsirkan Al-Qur’an maka tafsirnya adalah benar karena di
dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Nabi tidak berbicara
dengan hawa nafsunya akan tetapi dengan wahyu yang telah Allah
anugerahkan kepadanya.
َّ َ ه ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ ٰ َ َ َ ُ ْ ُ ُ َ ُ ْ ُ َّ ُ ُ ٰ ٰ َ َ
ۗان
ِ ومآ اتىكم الرسول فخذوه وما نهىكم عنه فانتهواۚ واتقوا اّٰلل
َ ْ ُْ َ َه
ابِ اّٰلل ش ِديد ال ِع
ق
َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َّ َ ُ ْ َ ُ
ُاّٰلل ْ َ
ِ عن عبداّٰلل بن عباس َر ِض َي اّٰلل عنه أن رسول
اّٰلل صلى
َ ُ ُ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ
إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن ت ِضلوا:علي ِه وسلم قال
َ َّ ُ َ ً
نبيه
ِ و سن، ِ كتاب اّٰلل،أبدا
ة
11
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai banyak
atau tidaknya jumlah ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Nabi Saw.
Diantaranya ada yang berpendapat bahwa Nabi Saw menafsirkan Al-
Qur’an secara keseluruhan, dan pendapat yang kedua bahwa Nabi Saw
menafsirkan Al-Qur’an dalam jumlah yang sangat sedikit.
12
penafsiran Rasul bersumber dari wahyu atau sebagian dari wahyu dan
sebagian dari ijtihad?
13
As-Suyuthi mencatat nama para mufassir dari kalangan sahabat
hanya sekitar sepuluh orang, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid bin
Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, dan
Abdullah bin Abbas. Menurut Fayed, tidak semua sahabat memiliki
kemampuan yang sama dalam menafsirkan Al-Qur’an.
14
sahabat berstatus maudu’ah (palsu). Dikatakan demikian sebab banyak data
yang membuktikan kehati-hatian sahabat dalam melansir isra'iliyat, mereka
sudah merasa cukup dengan keterangan yang didapat dari Al-Qur’an dan
sunnah Nabi saw.
15
terdahulu dan riwayat isra’iliyat, sehingga berkembanglah beragam bentuk
penafsiran dan menyebarlah berbagai model tafsir infiltratif (al-dakhil).
Terlepas dari dua pendapat di atas, tafsir tabiin yang disepakati dan
yang terkait dengan hal-hal yang tidak dapat diintervensi akal tentu boleh
16
dan bahkan harus dijadikan sumber data penafsiran. Sementara tafsir yang
diperselisihkan dan yang terkait wilayah ijtihad tentu saja tidak scara
spontan dapat dijadikan data penafsiran. Dalam konteks kedua inilah Abu
Hanifah (80-150 H) pernah mengatakan, hum rijâl wa nahnu rijâl (mereka
[tabiin] adalah generasi [yang dapat berijtihad] dan kami juga generasi
[yang mampu berijtihad]).
d. Bahasa Arab
17
kaidah dan aturan main bahasa Arab dan carilah penjelasan tentang kata-
kata yang gharib [aneh/asing/sukar]). Ibn 'Atiyah (481-541 H) mengatakan,
mengi'rab Al-Qur'an (menafsirkannya dengan kaidah dan aturan main
bahasa Arab) adalah asal usul syariat Islam, sebab hanya melalui itu makna-
makna lafazh Al-Qur'an yang darinya syariat dibangun dapat dipahami dan
dimengerti."
e. Ijtihad (Akal)
18
Penggunaan akal/rasio dalam dunia penafsiran (tafsîr bi al-ra’y)
adalah keniscayaan yang tak terelakkan. Bahkan, sejak masa-masa awal
Islam pun tradisi seperti ini sudah mulai tumbuh. Hanya saja harus diakui
bahwa tradisi penafsiran bi alra’y di era-era awal Islam masih berkutat
seputar tafsir bi al-Ma’tsûr; mulai dari penegasan (ta’kîd), penguatan
(tarjîh), pelemahan (tadh‘îf) terhadap suatu riwayat, hingga penjelasan
(syarh), istinbâth dan istisyhâd dengan sya’ir.
19
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa tafsir bi al-ra’y
itu dapat diklasifikasi menjadi dua macam; pertama tafsir yang sesuai
dengan dalil syar‘i dan kaidah bahasa Arab. Tafsir semacam ini tentu dapat
diterima dan dianjurkan untuk dikembangkan. Kedua tafsir yang tidak
sesuai dengan dalil syar‘i dan kaidah bahasa Arab. Yang semacam ini tentu
tidak dianjurkan dan tertolak. Dalam konteks ini, ilmu-ilmu terkait
20
4. Taudih al-Musykil (menjelaskan yang ambigu)
5. Bayān al-Naskh (menghapus/mengganti)
6. Bayan al-Ta’kīd (menegaskan dan menguatkan)
7. Taqrīr mā Sakata 'Anhu al-Qur'ān (menetap kan hukum
yang belum disebutkan dalam Al-Qur'an).
21
Metode yang digunakan dalam penelitian tafsir termasuk kedalam
metode kualitatif. Data yang dimaksud dalam penelitian tafsir,
mengunakan metode kualitatif adalah; Ayat-ayat Alquran, hadis-hadis dan
sunnah Nabi SAW, atsar shabah, pendapat-pendapat para ulama, riwayat
yang merupakan sejarah pada masa turunnya Alquran (asbab al-nuzul),
pengertian-pengertian bahasa dan lafaz Alquran, kaedah-kaedah bahasa,
kaedah-kaedah istinbat, dan teori-teori ilmu pengetahuan. Setelah
mengumpulkan data, langkah yang akan dilakukan berikutnya yaitu
menganalisis data. Untuk menganalisis data langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam penelitian tafsir pertama yaitu untuk menganalisa ayat
yang meliputi; kosa kata qur’ani, frase qur’ani, klausa qur’ani, ayat-ayat
Alquran, dan hubungan antara bagian-bagian tersebut.
6
Aldomi Putra, “Metodologi Tafsir Aldomi Putra Dosen Ulum Alquran Dan Tafsir
Stai Yastis Padang” Vol. 7 No. (2018): h. 63.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
23
kedalam metode kualitatif. Data yang dimaksud dalam penelitian tafsir,
mengunakan metode kualitatif adalah; Ayat-ayat Alquran, hadis-hadis dan
sunnah Nabi SAW, atsar shabah, pendapat-pendapat para ulama, riwayat
yang merupakan sejarah pada masa turunnya Alquran (asbab al-nuzul),
pengertian-pengertian bahasa dan lafaz Alquran, kaedah-kaedah bahasa,
kaedah-kaedah istinbat, dan teori-teori ilmu pengetahuan.
24
DAFTAR PUSTAKA
25