Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

KATA PENAGNTAR

DAFTAR ISI ……………………………………………………… 1

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 2

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 2


B. Rumusan Masalah………………………………………………… 2
C. Tujuan Penulisan………………………………………………….. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Tasawuf…………………………………………………… 3
B. Sumber Hukum Ajaran Tasawuf………………………………….. 13

BAB III KESIMPULAN………………………………………………… 28

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 29

Page 1 of 27
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan salah satu aspek islam sebagaimana perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialaog anatar hamba dan Tuhannya ./ Esensi
Tasawuf sebenarnya sudah ada sejak jaman Rasulullah namun tasawuf sebagai ilmu
keislaman hasil budaya islam .

Didalam tasawuf, jalan untuk menjadi hamba Allah yang baik dan sempurna
diungkapkan dengan jelas, dimana manusia diajarkan untuk itiba keapada Rasulullah dan
tentunya sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al-Qur’an . Dengan jalan ini manusia akan
mampu mencapai derajat yang tertinggi, yang disebut ma’rifat .

Akan tetapi tasawuf adakalanya membawa orang jadi sesat dan musrik bila
seseorang bertasawuf tanpa tauhid dab bersyariat . Atas dasar tersebut, maka perlu dan
penting sekiranya memahami dari mana sumber tasawuf agar dalam pengamalannya tidak
dikategorikan sesat dan menyesatkan .

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Sejarah lahirnya Tasawuf ?
2. Apa Sumber Hukum Ajaran Tasawuf ?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan sejarah tasawuf dari masa ke masa
2. Untuk mengetahui sumber hukum ajaran tasawuf .

Page 2 of 27
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Tasawuf
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini
dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi
Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di
gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini
merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang
diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan
keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu
setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat
mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan
sufi di abad – abad sesudahnya.

Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I
dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa
sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan
berkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata
mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-
kelompok Bani Umayyah, Syiah, Khawarij, dan Murjiah.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total.


Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas
berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok
lawan politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka
terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala.
Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat
Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat
sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati
Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka
menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk
membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan
sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar
bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.

Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun


terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan
beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara
umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah
memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama
terjadi di kalangan istana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak
semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin
dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid
(memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dalam sejarah dikenal sebagai seorang
pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban

Page 3 of 27
menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak
tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar
al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial
dalam Islam.

Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai


melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka
mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud
menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak :
zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak :
abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak)
Kalau ditilik dari segi historis tasawuf, menurut kalangan peneliti yang
menjadi faktor penyebab munculnya antara lain:

1. Karena adanya “pious opposition” (oposisi yang bermuatan kesalehan) dari


sekelompok umat Islam terhadap praktek-praktek regementer pemerintahan Bani
Umayah di Damaskus

2. Karena ada sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin meniru
seperti pekerti Rasulullah SAW, khususnya Khulafa al-Rasyidin.[15]

Menurut Prof. Dr. H. Asmaran As, MA dalam buku beliau Pengantar Studi
Tasawuf, asal-usul dan motivasi lahirnya tasawuf adalah:

1. Beberapa asumsi orang yang melatarbelakangi lahirnya tasawuf dalam Islam


seperti adanya unsur kristen, teori filsafat, unsur India, unsur Persia.

2. Ayat-ayat Alquran yang dijadikan landasan maqamat dan ahwal dalam tasawuf.

3. Kehidupan dan sabda Rasulullah SAW

4. Kehidupan dan ucapan sahabat dan Tabi’in, serta

5. Dari gerakan zuhud menjadi tasawuf.[16]

1. Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf

a. Masa pembentukan (Abad I dan II H)

Masa ini dimulai sekitar abad I dan II Hijriyah. Tokoh-tokohnya seperti


Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham, Sufyan al-Sauri, dan Rabi’ah al-Adawiyah.
Abu al Wafa menyimpulkan bahwa karakter zuhud pada abad I dan II H yaitu
sebagai berikut;

Page 4 of 27
1) Menjauhkan diri dari dunia menuju ke akhirat yang berakar pada nas
agama yang dilatarbelakangi oleh sosio-politik, coraknya bersifat
sederhana, praktis, tujuannya untuk meningkatkan moral.

2) Masih bersifat praktis dan para pendirinya tidak menaruh perhatian


untuk menyusun prinsip-prisnip teoritis atas kezhuduannya itu.
Sementara sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan
dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum,
banyak beribadah dan mengingat Allah SWT, dan berlebih-lebihan
dalam merasa dosa, tunduk mutlak kepada kehendak-Nya dan
berserah diri kepada-Nya. Tasawuf pada masa ini mengarah pada
tujuan moral.

3) Motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari
landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada
akhir abad II Hijriyah di tangan Rabi’ah al-Adawiyah muncul motif rasa
cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya maupun
terhadap pahala-Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri, dan
abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.

4) Menjelang akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnya di


Khurasan dan rabi’ah al-Adawiyah ditandai dengan kedalaman
membuat analisa, yang bisa dipandangs ebagai fase pendahuluan
tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi abad III dan IV
Hijriyah.[17]

Pada masa ini kata zuhud lebih populer ketimbang kata tasawuf. Untuk
menjadi sufi seseorang harus menjadi zahid, tiap sufi adalah zahid, tapi bukan
setiap zahid adalah sufi. Mistisisme pada masa itu menjadi ciri mereka yang
dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang zuhud), nussak (ahli ibadah),
qurra’ (ahli baca), qushshash (ahli cerita hikmah), bukka’ (yang menangisi
dosa), urafa’ (ahli ma’rifat), darawisy (darwisy atau tunawisma).[18]

Zuhud yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah
terdiri atas berbagai aliran yaitu :

1) Aliran Madinah

Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid. Mereka
kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka
menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka
dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar
al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w.
33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan
tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn
Abdullah (w. 106 H.).

Page 5 of 27
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan
pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta
kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh
perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti
Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat
tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap
bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.

2) Aliran Bashrah

Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf,


dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua
Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di
Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang-orang Arab
yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu Tamim. Mereka terkenal
dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang
riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal-hal
nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut
aliran ahlus sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran mu’tazilah dan
qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn
Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau
Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan.

Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa
takut yang berlebih-lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi
pertama-tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah
para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang
teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih-lebihan
dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya, lebih dari
apa yang terjadi di kota-kota lain”. Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi
karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.

3) Aliran Kufah

Aliran Kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran


ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal
image dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadits. Dalam aqidah mereka
cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah dan ini tidak aneh, sebab
aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.

Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’
ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn
Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161
H.)

4) Aliran Mesir

Page 6 of 27
Pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran
zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya
bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah
aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap
Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya
Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal
kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.

Tokoh-tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya


adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-
Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang
terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam,
sebagaimana pribadi-pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah
menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H.
Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat
sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.

Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II


Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan
kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia
seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll.[19]

Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran
Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II
Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai
karakteristik sebagai berikut :

1) Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih


pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini
berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena
dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam
masyarakat Islam ketika itu.

2) Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian


buat menyusun prinsip-prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah
pada tujuan moral.

3) Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul
dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-
Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari
rasa takut terhadap adzab-Nya.

4) Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di


Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman

Page 7 of 27
membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan
tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan
keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka
dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan
Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang
paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid
ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.

Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari


gerakan zuhud dalam Islam. Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan
abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-
sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan
konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal Oleh karena itu abad II
Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

Menurut Abu al-A’la ‘Afifi pada permulaan abad kedua Hijriyah telah
terjadi pergeseran pola hidup kaum sufi dari yang semula berpangkal tolak
pada kehidupan asketis (zuhd) menjadi dengan memperbincangkan
pengalaman-pengalaman yang belum dikenal sebelumnya. Oleh karenat itu
timbullah istilah maqamat dan ahwal yang mencerminkan perkembangan
pengalaman spiritual mereka.[20]

b. Masa pengembangan (Abad III dan IV H)

Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga
ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi
mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’)
dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’). Abu Yazid al-Bushthami (261 H)
adalah seorang sufi Persia yang pertamakali menggunakan istilah fana’ sehingga dia
dibilang sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini. Nicholson mengatakan
bahwa Abu Yazid adalah dijuluki sebagai pendiri tasawuf yang berasal dari Persia
yang memasukkan ide wahdatul wujud sebagai pemikiran orisinil dari Timur
sebagaimana thesofi merupakan kekhususan pemikiran Yunani.

Sesudah Abu Yazid, muncul lagi seorang sufi kenamaan Al Hallaj (w. 309 H)
yang terkenal dengan teori hululnya (inkarnasi Tuhan). Percampuran antara roh
manusia dengan Tuhan diumpamakan al Hallaj bagaikan bercampurnya air dengan
khamer, jika ada sesuatu yang menyentuh-Nya maka mententuh aku. Di samping
teori hululnya dia juga mempunyai pandangan tentang teori nur Muhammad dan
wahdat al adyan.

Dengan demikian tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah lebih mengarahkan
pada ciri psikomoral dan perhatiannya diarahkan pada moral serta tingkah laku.
Sudah sedemikian berkembang, sehingga sudah merupakan mazhab, bahkan seolah-
olah agama yang berdiri sendiri.

Page 8 of 27
Pada abad III dan IV Hijriyah ini terdapat 2 aliran, yaitu :

1) Aliran tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan
Alquran dan al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan)
dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada kedua sumber
tersebut.

2) Aliran tasawuf semi falsafi, di mana para pengikutnya cenderung pada


ungkapan-ungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak dari keadaan fana
menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul).[21]

Tokoh-tokoh tasawuf pada abad II dan IV H lainnya seperti Ma’ruf al-Karkhi,


Abu al-Hasan Surri al-Saqti, Abu Sulaiman al-Darani, haris al-Muhasibi, Zu al- Nun al-
Misri, Junaid al-baghdadi, dan Abu Bakar al-Syibli.

c. Masa Konsolidasi (Abad V H)

Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi
dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan dan berkembang
sedemikian rupa, sedang tasawuf falsafi tenggelam dan akan kembali lagi pada abad
VI Hijriyah dalam bentuk yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan
menangnya teologi ahl as Sunnah wa al Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al Hasan al
Asy’ari (w. 324 H) yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al
Bushthami dan al-Hallaj, sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyatnya yang
nampak bertentangan dengan kaidah dan aidah Islam. Periode ini ditandai dengan
pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya Alquran dan Hadits. Tokoh-
tokohnya ialah al-Qusyairi (376-465 H), al-Harawi ( 396 H), dan al-Ghazali (450-505
H).

Al-Qusyairi adalah salah seorang sufi utama abad V H ini terkenal dengan
karyanya Risalah al-Qusyairiyah, isinya lengkap bauik secara teoritis maupun praktis.
Dia terkenal pembela theologi ahl al Sunnah wa al Jama’ah yang mampu
mengkompromikan syari’ah dan hakikat. Ada 2 hal yang dikritiknya tentang
syatahiyat yang dikatakan oleh kaum sufis emi falsafi dan cara berpakaian mereka
yang menyerupai orang miskin, sementara pada saat yang sama tindakan mereka
bertentangan dengan pakaiannya. Dia menekankan bahwa kesehatan bathin dengan
berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah lebih penting daripada pakaian lahiriah.

Al-harawy dengan karya terkenalnya Manazil al-Sairin ila Rabb al-‘Alamin, dia
dikenal sebagai penyusun teori fana dalam kesatuan, namun fananya berbeda
dengan fananya kaum sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana bukanlah fana
wujud sesuatu selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri.
Dengan kata lain ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, bahkan
juga ketidaksadaran terhadap penyaksiannya serta dirinya sendiri.

Page 9 of 27
Tokoh lainnya adalah Al Ghazali, corak tasawufnya dapat dilihat pada
karyanya ihya ulum al-Din, Bidayah al Hidayah, dan lain-lain. Al Ghazali menilai
negatif terhadap syathahiyat, karena dianggapnya mempunyai 2 kelemahan, yaitu :

1) Kurang memperhatikan amalan lahiriyah hanya mengungkapkan kata-


kata yang sulit dipahamidan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan,
tersingkapnya tirai, dan tersaksikannya Allah. Dan ini membawa dampak
negatif terhadap orang awam, lari meninggalkan pekerjaannya lalu
menyatakan ungkapan-ungkapan yang mirip dengannya.

2) Keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya diucapkan dari hasil


pikiran yang kacau, hasil imajinasi sendiri.[22]

d. Masa Falsafi (Abad VI H)

Setelah tasawuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf sunni


tersebut, maka pada abad VI Hijriyah tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang
bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau
filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan
sebagai filsafat. Karena itu disebut sebagai tasawuf falsafi, karena di satu pihak
memakai term-term filsafat, namun secara epistimologis memakai dzauq / intuisi /
wujdan (rasa).

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan bahwa tasawuf Falsafi


mempunyai 4 objek utama, dan menurut Abu al Wafa’ bisa dijadikan karakter sufi
falsafi, yaitu :

1) Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta intropeksi yang timbul darinya.

2) Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.

3) Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap


berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.

4) Penciptaan ungakapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-


samar (syathahiyat).[23]

Adapun methode pencapaian tujuan tasawuf sama dengan tasawuf


sebelumnya, baik mengenai maqamat, ahwal, riyadhah, mujahadah, dzikir,
mematikan kekuatan syahwat, maupun yang lainnya.

Tokoh-tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al wujud, Suhrawardi


al Maqtul (yang terbunuh) dengan teori isyraqiyah (pancaran), Ibnu Sabi’in dengan
teori Ittihad, Ibnu Faridh dengan teori Cinta, Fana’ dan wahdat al-syuhudnya.

Page 10 of 27
Pada abad VI H dan dilanjutkan abad VII H muncul cikal bakal orde-orde
(thariqah) sufi kenamaan. Hingga dewasa ini pondok-pondok tersebut merupakan
oasis-oasis di tengah-tengah gurun pasir duniawi. Kemudian tibalah saat mereka
berjalan dalam suatu kekerabatan para sufi yang tersebar luas yang mengakui
seorang guru dan menerapkan disiplin dan ritus yang lazim. Thariqah yang terkenal
dan berkembang sampai sekarang antara lain Thariqah Qadariyah yang diciptakan
oleh Abdul Qadir al Jailani (471-561 H), Thariqah Suhrawardiyah yang dicetuskan
oleh Syihab al-Din Umar ibn Abdillah al-Suhrawardy (539-631 H), Thariqah
Syadziliyah yang dirintis oleh Abu Hasan al-Syadzily (592-656 H), Thariqah Badawiyah
yang dicetuskan oleh Muhammad al-Badawy (596-675 H), Thariqah Naqsyabandiyah
yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H),
dan lain sebagainya.[24]

e. Masa Pemurnian

A.J. Arberry menyatakan bahwa masa Ibnu Araby, Ibnu Faridh dan Ar-Rumy
adalah masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis ataupun praktis. Pengaruh
dan praktek-praktek tasawuf kian tersebar luas melalui thariqah-thariqah dan para
sultan serta pangeran tidak segan-segan pula mengeluarkan perlindungan dan
kesetiaan peribadi mereka. Contoh paling menonjol ialah figur terhormat Dharma
Syekh, putra kaisar Mogul, Syekh Johan yang menulis sejumlah kitab di antaranya al
Majma’ al-Bahrain di dalamnya dia mencoba merujukkan teori tasawuf Vedanta.

Tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at dan
hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentengkan
diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan
menampilkan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib
ditonjolkan.

Bersamaa dengan itu muncullah pendekar ortodox, Ibnu Taimiyah yang


dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. dia
terkenal kritis, peka terhadap lingungan sosialnya, polemis dan tandas berusaha
meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali
kepada sumber ajaran Islam, Alquran dan Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang
diluruskan seperti kepercayaan kepada wali, khurafat, dan bentuk-bentuk bid’ah
pada umumnya. Menurut Ibnu Taimiyah yang disebut wali (kekasih Allah) ialah orang
yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syari’ah Islamiyyah. Sebutan yang
tepat untuk diberikan kepada orang tersebut ialah Muttaqin. Firman Allah SWT :

            
  
62. Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
63. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran Ittihad, hulul, dan wahdat
al-Wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme), meskipun keluar dari

Page 11 of 27
orang-orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai tingakatan ma’rifah), ahli
tahqiq (ahli hakikat) dan ahli tauhid (yang mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut
layak keluar dari orang Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya
sama dengan yang menyatakan, yakni kufur. Yang mengikutinya karena kebodohan,
masih dianggap beriman.[25]

Ibnu taimiyah masih mentolerer ajaran fana’, sesuatu tingkatan yang


diperoleh oleh orang yang ‘arif tatkala kesadarannya hilang, baik terhadap dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain. Fana’ yang seperti ini sering dialami oleh
sebagain muhibbin (pecinta Tuhan) dan sebagian ahli suluk (yang meniti jejak
menuju ma’rifat), namun ia bukan menjadi tujuan dan cita-citanya. Fana’ yang
ditolerer adalah yang disertai tauhid.[26]

Ibnu Taimiyah membagi fana’ menjadi 3 bagian yaitu:

1. Fana’ Ibadah, yakni fana’ dalam beribadah.

2. Fana’ Syuhud al-Qalb, yakni fana’ pandangan hati.

3. Fana’ wujud ma Siwa Allah, yakni fana’ wujud selain Allah.

Terhadap fana’ pertama dan kedua masih dalam batas kewajaran, baik
ditinjau dari segi psikologis maupun agamis. Sedang fana’ yang ketiga dianggap
menyeleweng dari ajaran Islam, dianggap kufur, karena ajaran tersebut beranggapan
bahwa “wujud Khaliq adalah wujud makhluk”, berarti tidak mengakui adanya wujud
selain Allah. Padahal dalam kenyataannya wujud ini ada 2, dan dipisah antara al-
Khaliq dan al-Makhluq. Di samping dianggap kafir, juga disebut zindiq yang patut
dijatuhi hukuman yang setimpal (hukuman mati).

Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah


diajaran Rasulullah SAW, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran
thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana
manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok dikembangkan di masa
modern seperti sekarang.

Page 12 of 27
B. Sumber Hukum Ajaran Tasawuf
Al-Qur`an dan Al-Hadits merupakan kerangka acuan pokok yang selalu
dipegang umat Islam. Kita sering mendengar pertanyaan dalam kerangka landasan
dalil naqli ini, “apa dasar Al-Qur`an dan Al-Hadits nya?” pertanyaan ini sering
terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau
menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik yang mereka
temui, termasuk dalam pembahasan tasawuf.[5] Berikut ini merupakan sumber-
sumber tasawuf.
1. Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan
Malaikat Jibril, dimulai dengan surat Al-Fatiha dan di akhiri dengan surat An-Naas,
dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir
(oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[6] Dalam Islam
Al-Qur`an adalah hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat bahwa Al-Qur`an
merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk umat manusia yang
sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya. Berikut-berikut dalil-dalil Al-
Qur`an tentang tasawuf, diantaranya:[7]
a. Taubat
Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan
maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah
kembali. Kata taba memiliki arti kembali, maka taubat maknanya juga kembali.
Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syari`at menuju sesuatu yang dipuji
dalam syari`at.

Orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip ahlus sunnah


mengatakan, agar taubat diterima diharuskan memenuhi tiga syarat utama, yaitu
menyesali atas pelanggaran-pelanggaran yang pernah diperbuatnya, meninggalkan
jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat dan berketepatan hati untuk tidak
mengulangi pelanggaran-pelanggaran serupa.[8] Allah SWT berfirman:
          
         
           
          
   
8. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami,
sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:


        

Page 13 of 27
31 dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.

Bagi Dzu Al-Nun bin Ibrahim Al-Mishri (w. 264H./861M.) taubat itu dilakukan
karena seorang salik mengingat sesuatu dan terlupakan mengingat Allah. Dia
kemudian membagi taubat menjadi taubat kelompok awam dan taubat kelompok
khash (awliya`). Kelompok orang khash melakukan pertaubatan karena dia lupa
mengingat Allah sedangkan kelompok awam bertaubat karena mengerjakan
perbuatan dosa. Baginya, hakikat taubat adalah keadaan jiwa yang merasa sempit
hidup diatas bumi karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.[9]

b. Ikhlas
Ustaz Syaikh berkata, ikhlas adalah penunggalan Al-Haqq dalam
mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan
untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata tanpa yang lain, tanpa dibuat-
buat, tanpa ditujukkan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau
makna-makna lain selain pendekatan diri kepada Allah. Bisa juga diartikan ikhlas
merupakan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau
pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.[10] Allah SWT berfirman:

          
       
29. Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu
pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".

Dalam keterangan lain Allah berfirman:


         
       
5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595],
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
Itulah agama yang lurus.

Page 14 of 27
c. Sabar
Junaid mengatakan, “perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah
dan menyenangkan bagi orang yang beriman, putusnya hubungan makhluk disisi
Allah SWT adalah berat perjalanan dari diri sendiri (jiwa) menuju Allah adalah sangat
berat, dan sabar kepada Allah tentu akan lebih berat.” Ia ditanya tentang sabar, lalu
dijawab “menelan kepahitan tanpa bermasam muka.”[11] Allah SWT berfirman:
         
45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',

Dalam ayat lain Allah berfirman:


         
 
153. Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

d. Syukur
Menurut satu pendapat, bersyukurnya Allah berarti memberikan pahala atas
perbuatan pelakunya sebagaimana ungkapan bahwa hewan yang bersyukur adalah
hewan yang gemuk karena selalu diberi makanan. Hal ini dapat dikatakan
bahwasannya hakikat syukur adalah memuji (orang) yang memberikan kebaikan
dengan mengingat kebaikannya. Syukurnya hamba kepada Allah adalah memuji
kepada-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya, sedangkan syukurnya Allah kepada
hamba berarti Allah memuji kepadanya dengan mengingat kebaikannya. Perbuatan
baik hamba adalah taat kepada Allah, sedangkan perbuatan baik Allah adalah
memberikan kenikmatan dengan memberikan pertolongan sebagai tanda syukur.
Hakikat syukur bagi hamba ialah ucapan lisan dan pengakuan hati terhadap
kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan.[12] Allah SWT berfirman:

Page 15 of 27
          


153. Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99],
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:


          
   
172. Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-
Nya kamu menyembah.

(Q.S Al-Baqarah: 172).

e. Faqr

Firman Allah SWT.


          
        
           
273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah;
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka
orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Mengatahui.
(Q.S Al-Baqarah: 273).

f. Zuhud
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tujuan Al-Qur`an menyerukan sikap zuhud
terhadap keduniaan bukanlah berpaling dari segala perhiasan dunia secara total
sebagaimana yang disalah pahami sebagian kalangan sebab harta kekayaan
merupakan sarana untuk berinfaq dijalan kebaikan, menikahi wanita merupakan
sarana menjaga kehormatan diri, mengembang biakkan keturunan, dan meramaikan
semesta, kemudian anak-anak adalah modal umat dalam kondisi damai maupun
perang, sedangkan kuda merupakan sarana untuk jihad dijalan Allah.[13] Allah SWT
berfirman:
          
      
26. Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu
(dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).
(Q.S Ar-Ra`d: 26)

Dalam keterangan yang lain, Allah SWT berfirman:


          
        
131. dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia
Page 16 of 27
untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan
lebih kekal.
(Q.S Taa-Haa: 131).

g. Waro`
As-Sariy berkata, “ada empat ahli wara` dimasa mereka, yaitu Hudzaifah Al-
Mar`asyi, Yusuf bin Asbath, Ibrahim bin Adham, Sulaiman Al-Khawwash. Mereka
mempunyai pandangan yang sama tentang wara` ketika mereka mendapatkan
berbagai persoalan yang sulit, mereka mampu meminimalkan.” Saya pernah
mendengar Syibli berkata, “wara` merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari
berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.”[14] Allah SWT berfirman:
         
      
15. (ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu
menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.
(Q.S An-Nuur: 15)
Allah juga berfirman:
   
14. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.
(Q.S Al-Fajr: 14).

h. Khowf
Menurut Ibnu Al-Jalla`, yang dimaksud orang yang takut adalah orang yang
aman dari berbagai hal yang menakutkan. Menurut satu pendapat, yang dimaksud
orang yang takut adalah bukan orang yang menangis dan mengusap kedua matanya,
tetapi yang meninggalkan sesuatu karena takut disiksa. Ibnu Iyadh telah ditanya oleh
seseorang, “mengapa saya tidak pernah melihat orang yang takut kepada Allah
SWT?” dia menjawab, “jika engkau takut kepada Allah, maka engkau akan melihat
orang yang takut kepada-Nya, karena tidak ada orang yang dapat melihat orang yang
takut kepada Allah, kecuali orang yang takut kepada-Nya. Sama halnya perempuan
yang kehilangan anaknya, akan melihat perempuan yang juga kehilangan anaknya.
[15] Allah SWT berfirman:
       
     
40. Hai Bani Israil[41], ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan
kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku[42], niscaya aku penuhi janji-Ku
kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).
(Q.S Al-Baqarah:40).

Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman:


           
          
        

150. dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang
zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah

Page 17 of 27
kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu
mendapat petunjuk.
(Q.S Al-Baqarah: 150).

i. Roja`
Raja` (harapan, berharap) adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang
dicintai yang akan terjadi di masa yang akan dating. Sebagaimana khauf (rasa takut)
yang berhubungan dengan sesuatu yang akan terjadi dimasa yang akan dating, maka
demikian juga raja` (harapan) akan membawa implikasi terhadap hal yang di cita-
citakan di masa yang akan datang. Dengan raja`, maka hati akan menjadi hidup dan
merdeka.[16] Allah SWT berfirman:
         
       
218. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S Al-Baqarah: 218).

j. Tawakal
Menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, yang dimaksud tawakal sebagaimana
yang diungkapkan oleh Abu Bakar Ad-Daqaq adalah menolak kehidupan pada masa
sekarang dan menghilangkan cita-cita pada masa yang akan dating. Hal ini sesuai
dengan apa yang diungkapkan oleh Sahl bin Abdullah bahwa yang dimaksud tawakal
adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada
Allah SWT. Menurut Abu Ya`qub Ishaq An-Nahl Jauzi, yang dimaksud tawakal adalah
menyerahkan diri kepada Allah SWT dengan sebenarnya sebagaimana yang terjadi
pada Nabi Ibrahim disaat Allah SWT berfirman kepada Malaikat Jibril a.s: Ibrahim
telah berpisah (bercerai denganmu) dirinya telah hilang bersama Allah SWT. Oleh
karena itu, tidak ada yang mengetahui orang yang bersama Allah kecuali Allah SWT.
[17] Allah SWT berfirman:
             
           
        
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246].
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(Q.S Al-Imran: 159).

k. Ridho
Rabi`ah Al-Adawiyah pernah ditanya, “kapan hamba disebut orang yang
ridho?” dia menjawab, “apabila dia senang ketika mendapatkan musibah,
sebagaimana dia senang ketika mendapatkan kenikmatan.” Menurut Abu Umar Ad-
Dimsyaqi, yang dimaksud ridho adalah menghilangkan (meninggalkan) keluh kesah
dimana saja hukum berlaku. Sedangkan menurut Harits Al-Muhasibi, yang dimaksud
ridho adalah tenangnya hati dibawah tempat-tempat berlakunya hukum.[18]

Page 18 of 27
          
        
59. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan
RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan
memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah
yang demikian itu lebih baik bagi mereka).
(Q.S At-Tauba: 59).

l. Yaqin
Menurut Abu Utsman Al-Hiri, yang dimaksud yakin adalah sedikitnya cita-cita
dimasa yang akan datang. Menurut Sahl bin Abdullah, yakin merupakan tambahan
iman dan realitas kebenaran. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yakin akan mendorong
pendeknya cita-cita, cita-cita yang pendek akan mendorong zuhud, zuhud akan
memberikan hikmah, dan hikmah akan menimbulkan pandangan kritis yang
membawa akibat baik.[19]
     
99. dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).
(Q.S Al-Hijr: 99).

m. Mahabbah
Menurut Ustadz Al-Qusyairi, mahabbah adalah suatu hal yang mulia. Allah
yang maha suci menyaksikan mahabbah hambanya dan Allah pun memberitahukan
cinta-Nya kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa dia mencintainya. Demikian
juga hamba itu menerangkan cintanya kepada Allah yang maha suci. Mahabbah
menurut istilah Ulama adalah keinginan, karena keinginan tidak berhubungan
dengan sifat Qadim. [20]
           
   
31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
(Q.S Al-Imran: 31).

n. Ma`rifatullah
Abu Thayib Al-Maraghi mengatakan, setiap unsur dalam diri seorang hamba
memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema`rifatannya kepada Allah.
Akal, menurutnya, memiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah memberi
isyarat, dan ma`rifat memberi kesaksian secara utuh. Akal menunjukkan, hikmah
mengisyaratkan dan ma`rifat mempersaksikan. Oleh karena itu, kejernihan ibadah
tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Sementara itu, Abu Bakar
Adz-Dzahir Ubadi mengungkapkan, ma`rifat adalah nama, artinya adalah keberadaan
pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap atheis dan kufur (ketiadaan
pengakuan pada Tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan).[21]
Allah SWT berfirman:

          
    

Page 19 of 27
16. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
(Q.S Qaaf: 16).

Ma`rifat dimulai dengan mengeal dan menyadari jati diri. Ma`rifat berarti
mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Ma`rifat bukan
hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan.
Ma`rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Alat
untuk memperoleh ma`rifat oleh kaum sufi disebut sirr.[22]

o. Istiqamah
Istiqamah adalah suatu derajat yang dengannya kesempurnaan dan
kelengkapan perkara kebagusan terwujud. Dengan istiqamah, berbagai kebaikan dan
koordinasi sistematika kebaikan mengada. Orang yang tidak bisa menjalankan
istiqamah dalam ibadah maka usahanya menjadi sirna dan perjuangannya dihitung
gagal.[23]
            

112. Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
(Q.S Hud: 112).
p. Tawadhu
Dalam menjalani perilaku tawadhu, kaum sufi menerapkan adab-adab Al-
Qur`an dan meng-implementasi-kan tafsir mereka atas tawadhu yang terkandung
dalam ayat:
]٢٦:٢١٥[ ‫ِين‬ َ ‫ك م َِن ْالم ُْؤ ِمن‬
َ ‫ك لِ َم ِن ا َّت َب َع‬ َ ‫اخفِضْ َج َن‬
َ ‫اح‬ ْ ‫َو‬
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu kepada orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman.
(Q.S Asy-Syu`aro: 215).
Syahdan, ketika ditanya mengenai tawadhu, Al-Junaid menjawab,
“merendahkan diri dan bersikap santun (lembut).”[24]
]٧:١٩٩[ ‫ِين‬ َ ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َو ْأمُرْ ِب ْالعُرْ فِ َوأَعْ ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهل‬
Artinya: Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf, serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh. (Q.S Al-A`rof: 199).
q. Khusyu`
Yang dimaksud khusyu` adalah mencari keselamatan diri untuk kebenaran (Allah).
Seorang ulama pernah ditanya tentang khusyu`, dia menjawab, “yang dimaksud
khusyu` adalah hati yang tenang dihadapan Allah.” Para ulama sepakat bahwa
khusyu` terletak dihati.[25] Mengenai ayat khusyu`, Allah berfirman:
ُ ِ ‫ُون فِي ْال َخي َْرا‬ َ
‫ت َو َي ْدعُو َن َنا َر َغبًا َو َر َهبًا ۖ َوكانوا‬
َ ِ ‫َفاسْ َت َج ْب َنا لَ ُه َو َو َه ْب َنا لَ ُه َيحْ َي ٰى َوأصْ لَحْ َنا لَ ُه َز ْو َج ُه ۚ إِ َّن ُه ْم َكا ُنوا ُي َس‬
َ ‫ارع‬
]٢١:٩٠[ ‫ِين‬ َ ‫لَ َنا َخاشِ ع‬
Artinya: Maka Kami kabulkan (doa) nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya,
dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera
dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh
harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (Q.S Al-
Anbiya’: 90)

Page 20 of 27
2. Al-Hadits
Hadits yang jamaknya ahadits memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari
sisi bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti
lama, abadi dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan
hal ihwal tentang Nabi Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan
Al-Qur`an yang diyakini oleh ahlus sunnah wal jama`ah sebagai firman Allah yang
qadim.[26]
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam
yang kedua. Sehingga dalam kajian ilmu keagamaan pun Al-Hadits tetap menjadi
rujukan setelah Al-Qur`an. Berikut akan diuraikan hadits-hadits mengenai tasawuf,
mengingat dalam tasawuf hadits juga tergolong sumber kedua.
a. Taubat
Sahabat Anas bin Malik r.a berkata, saya pernah dengar Rasulullah SAW
bersabda:
. ٌ‫ َوا َِذا اَ َحبَّ هللاُ َعب ًْدا لَ ْم َيضُرَّ هُ ذ ْنب‬,ُ‫ب لَه‬
َ ‫ب َك َمنْ اَل َذ ْن‬ َّ ‫ال َّتائِبُ م َِن‬
ِ ‫الذ ْن‬
Artinya: Seorang yang tobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika
Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya. (Hadits
diriwayatkan Ibnu Mas`ud dan dikeluarkan Ibnu Majah sebagaimana tersebut dalam
Al-Jami`ush-Shaghir, Al-Hakim, At-Turmudzi dari Abu Sa`id, As-Suyuthi di Al-Jami`ush-
Shaghir Juz 1, halaman 3385).[27]
b. Ikhlash
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang makna ikhlash, lalu dijawab:
‫اهو؟‬GG‫ م‬,‫زة عن االخالص‬GG‫ألت رب الع‬GG‫ س‬:‫ ما هو؟ قال‬,‫َسألت جبريل عليه السالم عن االخالص‬
‫قال سرمن سري استودعته قلب من أحببته من عبادي‬
Artinya: Saya bertanya kepada Jibril a.s tentang ikhlash, apa itu? Kemudian dia
berkata, saya bertanya kepada Tuhan tentang ikhlash, apa itu? Dan Tuhan-pun
menjawab, “yaitu rahasia dari rahasia-Ku yang aku titipkan pada hati orang yang Aku
cintai diantara hamba-hamba-Ku. (Hadits dikeluarkan oleh Al-Qazwaini dalam
Musalsalat-nya dari Khudzaifah)[28]
Atau dalam hadits lain menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‫ر الى‬GG‫ ان هللا ال ينظ‬:‫لم‬GG‫ه وس‬GG‫لى هللا علي‬GG‫ول هللا ص‬GG‫ال رس‬GG‫ ق‬:‫ال‬GG‫عن أبى هريرة رضي هللا عنه ق‬
(‫ (رواه مسل‬G‫ ولكن ينظر الى قلوبكم‬G‫أجسامكم وال الى صوركم‬
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulallah SAW bersabda, sesungguhnya
Allah SWT tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat (memperhatikan)
niat dan keikhlasan) hatimu.” (H.R Muslim).[29]
c. Sabar
Dari Aisyah r.a diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‫ان الصبر عند الصدمة االولى‬
Artinya: Sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang
pertama. (Hadits riwayat Anas bin Malik dan dikeluarkan Imam Bukhari didalam “Al-
Jana`iz” Bab Sabar 3/138, sedangkan Imam Muslim juga mengelompokkannya dalam
“Al-Jana`iz” Bab Sabar Nomor 626, Abu Dawud di nomor 3124, At-Turmudzi di
nomor 987, dan An-Nasa`I mencantumkan di 4/22).[30]
d. Zuhud
Nabi SAW bersabda:
‫ منه فانه يلقن الحكمة‬G‫اذا رايتم الرجل قداوتي زهدا في الدنيا ومن تقا فاقتربوا‬

Page 21 of 27
Artinya: Jika diantara kamu sekalian melihat orang laki-laki yang selalu zuhud dan
berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang yang
mengajarkan kebijaksanaan. (Hadits disebutkan dalam Al-Kanz Jilid 3 halaman 183
nomor 6069, diriwayatkan oleh Abu Khalad dan Abu Na`im bersama Al-Baihaqi
meriwayatkannya juga darinya, sementara As-Suyuthi menganggapnya lemah
didalam Al-Jami`ush-Shaghir Jilid 1 halaman 84 nomor 635).[31]
e. Wara`
Abu Dzar Al-Ghifari berkata, bersabda Rasulullah SAW.
‫من حسن اسالم المرء تركه ماال يعنه‬
Artinya: Sebagian dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu
yang tidak berarti. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Malik bin Anas didalam Muwatha`-
nya jilid 2 halaman 903 dalam bahasan “Kebaikan Akhlaq” di bab “Apa-apa yang
datang didalam kebaikan akhlaq.” At-Turmudzi mencantumkannya di nomor 2318-
2319 tentang zuhud di bab nomor 11 dari hadits Anas bin Malik. Ibnu Majah
mencantumkannya di nomor 3976 tentang Fitnah-Fitnah di bab “menjaga lidah
supaya tidak jatuh pada perbuatan fitnah”. At-Turmudzi mengatakan, “Hadits ini
adalah Gharib”).[32]
f. Khowf
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‫ ولبكيتم كثيرا‬,‫لو تعلمون مااعلم لضحكتم قليال‬
Artinya: Seandainya engkau mengetahui apa yang saya ketahui, pasti engkau akan
tertawa sedikit dan menangis banyak. (Hadits diriwayatkan Abu Hurairah dan
dikeluarkan Imam Bukhari 11/273 dalam bahasan Perbudakan di bab sabda Nabi
SAW yang berbunyi: “seandainya kalian mengetahui apa yang saya ketahui tentang
iman dan nazar”, juga di bab “bagaimana sumpah Nabi SAW.” At-Turmudzi
meriwayatkannya di nomor 2314 tentang zuhud).[33]
g. Ridho`
Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

‫ذاق طعم االيمان من رضي باهلل ربّا‬


Artinya: Orang yang ridho Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman.
(Hadits Riwayat Muslim dalam bab “iman” nomor 34, Turmudzi nomor 2758, dan
Ahmad dalam musnadnya 1/208).[34]
h. Mahabbah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a yang berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
‫ ومن لم يحب لقاء هللا لم يحب هللا تعالى لقائه‬,‫من أحب لقاء هللا أحب هللا لقائه‬
Artinya: Barangsiapa yang senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang
bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu Allah maka Allah-pun
juga tidak senang bertemu dengannya. (Hadits riwayat Ubadah bin Shamit,
dikeluarkan oleh Bukhari 11/308 dalam “Ar-Raqaqq” bab “orang-orang yang senang
bertemu Allah.”).[35]
i. Istiqamah
Dari Tsauban dari Nabi SAW diceritakan bahwa beliau bersabda:
.‫ ولن يحا فظ على الوضوء االّ مؤمن‬,‫ واعلموا انّ خير دينكم الصالة‬,‫استقيموا ولن تحصوا‬

Page 22 of 27
Artinya: Istiqamahlah kamu dan jangan sekali-kali menghitung-hitung (amal) mu.
Ketahuilah bahwa sebaik-baik (amalan) agamamu adalah shalat. Tidak ada yang
mampu menjaga wudhu selain orang mu`min. (Hadits riwayat Tsauban dan
dikeluarkan darinya oleh Imam Ahmad didalam Musnad-nya 5/227 dan 282. As-
Suyuthi menyebutkannya didalam Al-Jami`ush Shaghir. Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-
Baihaqi mengeluarkannya dalam As-Sunan dari Tsauban, sedangkan Ibnu Majah dan
At-Thabrani dalam Al-Kabir meriwayatkannya dari Ibnu Umar, juga diriwayatkan oleh
Thabrani dari Salamah bin Al-Akwa`, lihat Al-Jami`ush Shaghir 1/129 nomor 994).[36]
j. Khusyu`
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki yang
mempermainkan janggutnya ketika shalat. Kemudian, beliau bersabda:
‫لو خشع قلب هذا لخشعت جوارحه‬
Artinya: Seandainya hati orang ini khusyu`, niscaya akan khusyu` pula anggota
tubuhnya. (Hadits dikeluarkan oleh At-Turmudzi dalam “An-Nawadir”. Hadits diambil
dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah).[37]

3. Ijtihad Para Sufi


Ijtihad para sufi dimaksudkan untuk menguraikan pemikiran-pemikiran para
sufi mengenai tasawuf. Dan ini dapat digunakan sebagai sumber hukum ketiga dalam
tasawuf. Berikut tokoh-tokoh sufi beserta pemikiran dan pandangannya dalam kajian
tasawuf, diantaranya:
a. Dzun Nun Al-Mishri
Namanya Abul Faidh Dzun Nun Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri, wafat
pada tahun 245H./859M. ayahnya berasal dari Naubi. Dia seorang yang
sangat terhormat, paling alim, wara`, kharismatik dan sastrawan dimasanya.
Dzun Nun adalah seorang yang kurus berkulit putih kemerahan dan tidak
berjenggot putih. Salah satu mutiara nasihatnya yaitu diantara tanda-tanda
orang yang cinta Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, dalam perilaku,
perbuatan, perintah-perintah dan sunnah-sunnahnya.[38]
Beliau dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang
ma`rifat. Ma`rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda
dengan istilah `ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan
proses pembelajaran. Sedangkan ma`rifat dalam terma sufi lebih merujuk
pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai
tingkatan spiritual.
Menurutnya, ma`rifat adalah fadl (anugerah) semata dari Allah. Dan
ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang
mengenal Allah-nya, maka akan semakin dekat, khusyu dan mencintai-Nya.
Hakikat ma`rifat bagi Dzun Nun Al-Mishri adalah Al-Haq itu sendiri. Yakni,
cahaya mata hati seorang `arif dengan anugerah dari-Nya sanggup melihat
realitas sebagaimana Al-Haq melihatnya.
Pada tingkatan ma`rifat, seorang `arif akan mendapati penyingkapan
hijab (Kasyf Al-Hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerak sang `arif
senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah,
tangan dan segala macam perbuatan dari Allah. Beliau menegaskan bahwa,
Aku ma`rifat pada Allah-ku sebab Allah-ku, andaikata bukan karena Allah-ku,
niscaya aku tidak akan ma`rifat kepada-Nya.[39]

Page 23 of 27
b. Abu Yazid Al-Busthami
Namanya Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Busthami (188H.-261H./804M.-
875M.). Dia tiga bersaudara, dua lainnya Adam Thaifur dan Ali. Mereka
semua ahli zuhud dan ibadah, namun Abu Yazid (Thaifur) adalah yang paling
agung diantara ketiganya. Salah satu mutiara hikmahnya yaitu dia pernah
ditanya, “dengan apakah kamu mencapai ma`rifat ini?” jawabnya, “dengan
perut yang lapar dan tubuh yang jelek.[40]
Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai istilah fana` sebagai
kosakata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari gnostisisme hindu-
budha. Konsep muraqabah (pendekatan spiritual) yang dipahaminya
disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada puncaknya
mencapai ekstase (fana`) dimana terjadi penyatuan antara “yang mendekat”
(muraqib, yakni sufi) dan “yang didekati” (muraqab, yakni Allah).
Konsep ittihad merupakan pengembangan dari konsep fana` dan
baqa` yang dicetuskannya. Menurutnya, setelah mencapai ma`rifat,
seseorang dapat melanjutkan kepada kekelan (baqa`) dan akhirnya ittihad.
Fana` adalah penyirnaan diri dari sifat keduniawian yang dilukiskan laksana
kematian jasad dan lepasnya roh menuju kepada kekalan (baqa`) dan dari sini
dapat melangkah kepada penyatuan dengan Allah (ittihad). Pada titik ini
kerap terjadi yang diistilahkan dalam dunia sufi sebagai syathahat atau
keadaan tidak sadar karena telah menjadi penyatuan dimana dia seolah
menjadi Allah itu sendiri.[41]
c. Al-Junaid Al-Baghdadi
Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad Al-Nehawandi Al-
Baghdadi[42], wafat pada tahun 297H./910M[43]. Ia dikenal sebagai tokoh
yang mensistematisasikan beberapa kecenderungan tasawuf dan mencoba
mengislamisasi istilah-istilah tasawuf dengan istilah-istilah dari Al-Qur`an. Ia
digelari sayyid al-taifah dan juga tawus al-ulama` (burung merak para ulama).
Dia menjadi figure teladan dalam dunia ketasawufan.
Kajian menarik dari beliau adalah tentang fana` (dengan
pengembangan yang berbeda dari fana` yang dikembangkan oleh Al-
Busthami), yakni proses peleburan diri sehingga menghilang batas-batas
individual yang ada dalam diri manusia. Doktrin ini ditopang oleh dua konsep
utama, perjanjian atau kontrak azali dan fana`. Manusia telah tercipta
sebelumnya dari ke-fana`an-nya. Dan agar bisa kembali maka manusia perlu
meniadakan dirinya kembali agar suci sebagaimana ketika berada di alam
roh.
Tetapi Junaid menandaskan disini bahwa fana` bukanlah akhir dari
perjalanan spiritual manusia. Fana` hanyalah sarana menuju baqa`. Jika fana`
menimbulkan perasaan bersatu dengan Allah karena peleburan sifat diri
manusia, maka baqa` adalah perpisahan dari perasaan untuk kembali
menjadi hamba Allah, sebab tidak ada yang lebih baik dan menyenangkan
daripada menjadi hamba ditengah-tengah kehidupan sehari-hari.[44]
d. Al-Ghazali
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H. (1058M) di daerah Thus, salah satu
kota di Khurasan yang di warnai oleh perbedaan paham keagamaan.[45]

Page 24 of 27
Masa hidup Al-Ghazali berada pada akhir periode Iklasik (650-1250M.) yang
memasuki masa disintegrasi (1000-1250M.). Dimana masyarakat pada saat
itu sedang mengalami masa kemunduran.[46]
Pemikiran tasawuf Al-Ghazali adalah termasuk dalam model aliran
transendenlisme, yaitu aliran yang masih mempertahankan sendi-sendi dasar
ajaran tauhid dan membedakan adanya dua pola wujud, yakni wajib al-wujud
(Tuhan) dan mumkin al-wujud (Makhluk). Bagi aliran ini, tingkat yang
tertinggi yang dapat di capai oleh seorang hamba dalam dunia tasawuf
adalah ma’rifat kepada Allah SWT dan penghayatan kepada alam ghaib serta
mendapatkan ilmu laduniyah.
Walaupun aliran ini tidak menggunakan istilah Al-insan Al-
kamil,namun gambaran atau ide dasar tentang Al-insan Al-kamil tetap
manjadi dasar ajarannya,yakni dengan adanya sebutan “wali” atau golongan
khawwash. Oleh karena itu, konsep al-insan al-kamil menurut aliran ini
adalah wali Allah, yaitu orang-orang khawwash yang secara langsung telah
mendapat limpahan ilmi ghaib dari Lawh Mahfuzh sehingga ia dapat
berkenalan dengan para malaikat, roh nabi-nabi dan dapat memetik
pelajaran dari mereka, mengetahui suratan nasib yang ada di Lawh Mahfuzh
sehingga dapat mengetahui apa yang akan terjadi dan bahkan ma’rifat
kepada Allah.[47]
e. Ibnu `Arabi
Abu Bakar Muhammad ibn Ali Al-Khotami Al-Tho’i Al-Andalusi (1165
-1240M.). Di Timur ia di kenal dengan sebutan Ibnu’ Arabi, di Barat ia di kenal
dengan sebutan Ibnu Suraqah, Al-Syekh Al-Akbar (Doctor Maximus),
Muhyidin bahkan Neoplotinus. Ia dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai tradisi kehidupan sufistik yang kuat. Tetapi, Ibn `Arabi sendiri
dalam pertumbuhannya justru, menempuh pendidikan dengan tradisi
intelektual rasional-filosofis yang kala itu berkembang pesat di wilayah
Andalusia dengan Ibnu Rusyd sebagai tokoh besarnya kala itu.[48]
Dalam pemikiran Ibn `Arabi, Allah adalah Al-Khaliq bagi seluruh alam.
Seluruh yang ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah (ide Allah).
Inilah yang membawanya kepada sebuah simpulan yang menyatakan bahwa
alam ini adalah esensi dari Allah itu sendiri.[49]
Jalan yang ditempuh seorang salik menurut Ibn `Arabi adalah taubat,
zuhud dan khalwat (keterputusan diri dari seluruh dunia luar baik fisik
maupun pikiran dengan hanya memikirkan Allah dengan zikir dan merasakan
kebersamaan dengan-Nya. Pada konteks ini Ibn `Arabi melihat keniscayaan
seorang pembimbing spiritual (murshid) agar jalan yang ditempuh benar. Ia
pernah mengatakan bahwa barangsiapa menempuh jalan kesufian (suluk)
tanpa seorang guru, maka ketauhilah bahwa gurunya adalah setan.
Sebaliknya, bagi salik yang mampu (alim), kehadiran guru justru akan
mengurangi konsentrasi riyadhanya dan membatasi daya fantasi dan
imajinasinya tentang Allah.[50]

Page 25 of 27
BAB III

KESIMPULAN

Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam
itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul
sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau
diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan
menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak sekali
didapati dari ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf.

Adapun apa saja sumber-sumber kajian ilmu tasawuf sebagaimana yang diuraikan
diatas bahwa Al-Qur`an dan Al-Hadits selalu mempunyai kedudukan dalam setiap disiplin
ilmu keagamaan. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sumber-sumber tasawuf yaitu:

1. Al-Qur`an

2. Al-Hadits

3. Ijtihad Para Sufi, seperti:

a. Dzun Nun Al-Mishri

b. Abu Yazid Al-Busthami

c. Al-Junaid Al-Baghdadi

d. Al-Ghazali

e. Ibn `Arabi

Page 26 of 27
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an dan Terjemah. Departemen Agama RI. Edisi Tahun 2002. Jakarta: CV Daarus
Sunnah.

Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad. 1991. Studi Ilmu Al-Qur`an. Terjemahan oleh Drs. H.
Aminuddin. 1998. Bandung: Pustaka Setia.

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi. Risalah Qusyairiyah Sumber
Kajian Ilmu Tasawuf. Terjemahan oleh Umar Faruq. 2007. Cetakan II. Jakarta: Pustaka
Amani.

Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Fauqi Hajjaj, Muhammad. Tasawuf Islam dan Akhlak. Terjemahan oleh Kamran As`At Irsyadi
Fakhri Ghazali. 2011. Jakarta: Bumi Aksara.

Ibnu Pakar, Suteja. 2013. Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta: Deepublish.

Labib Mz. 2000. Memahami Ajaran Tashowuf. Surabaya: CV Cahaya Agency.

Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Cetakan V. Bandung: Pustaka Setia.

Suteja. 2008. Pengantar Tasawuf Islam Teori dan Praktek. Cirebon: Pangger Press.

Sumarna, Cecep dan Saefullah, Yusuf. 2004. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.

Syafe`i, Rachmat. 2000. Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum). Bandung: CV Pustaka
Setia.

Page 27 of 27

Anda mungkin juga menyukai