Anda di halaman 1dari 6

pembukuan fiqih dan ushul fiqih

 Arti Tadwin
Tadwin ialah membukukan atau mencatat segala rupa berita dan kejadian didalam suatu buku,
tidak cukup dengan lafaz saja. Orang-orang Arab Hijaz adalah ummiyun, yaitu tidak pandai membaca
dan menulis apalagi mengenal kaidah-kaidah memberi titik, memberi garis, dan lain sebagainya.
Lantaran inilah kebanyakan ulama Arab berpegangan kepada lafadz dan kekuatan ingatan sehingga
tidak membutuhkan tulisan. Dan karena itu pula Nabi SAW pada mulanya menolak untuk membaca
apa yang dikemukakan Jibril.

1. Sejarah Perkembagan Ilmu Fiqh


Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode.
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai
beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan
sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan
Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode
Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam
pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan
keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat
dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan,
seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun
wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada
akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) sampai 
dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-
Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan
pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis.
Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang
masuk ke dalam agama Islam. 
Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah
pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720-961M).
Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih
islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara
intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-
Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh. 
Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya
atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1.   Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
2.   Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama.
3.      Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah
rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad
pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab
lainnya.
Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya
menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan
abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat
tahun 1876M. 
Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada
periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin
lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon
Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam
betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan
merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana
meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan
gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan
intelektual lainnya. 
2. Sejarah Perkembagan Ilmu Ushul Fiqh
Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan
dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya
bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di
dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan.
Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan
keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq
(ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap
percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu
nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya
(aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan. Kaidah-kaidah yang
mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat
(kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu
Ushul Fiqh muncul.
Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari
banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka
menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh
didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah
ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan
dalam ijtihad mereka. 
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh
adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita
temukan.
Menurut Abdul Al-Wahab Khalaf, Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (150-102H) yang pertama
kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul Fiqh yang disertai dengan alasan-alasanya dalam
kitabnya ar-Risalah . Inilah kitab ilmu suhul fiqh pertama yang sampai kepada kita. Oleh sebab itu,
Imam Syafe’ilah yang dipandang-oleh para ulama-sebagai pencipta ilmu ushul Fiqh dan dilanjutkan
oleh pembahansan ulama-ulama generasi berikutnya
3. Pentadwinan Fiqh dan Ushulnya
Fiqh pada mulanya merupakan fatwa-fatwa dan pendapat-pedapat sahabat, hukum peristiwa-
peristiwa yang tumbuh di masa-masa mereka. Semua ini tidak didewankan dimasa sahabat sendiri.
Para sahabat tidak bermaksud supaya pendapat mereka dianut terus oleh orang-orang yang datang
sesudah mereka. Mereka terus menerus menyelami nash-nash Al-qur’an dan memahami lafadh-
lafadhnya sesuai dengan pekembangan masa dan masyarakat.
Fiqh pada masa itu belum mempunyai guru-guru tertentu untuk diajarkan di masjid-masjid
dan majelis-majelis. Masjid pada masa itu merupakan perguruan tinggi dalam mata pelajran Al-
qur’an, Al-hadits, fiqh dan lughah. Para pelajar menghafal apa yang dikuliahkan oleh gurunya. Hanya
sebagian saja dari mereka mencatat kuliah gurunya. Inilah sebagai titik tolak pembukuan fiqh.
Diantara karya-karya yang ditinggalkan pada masa Imam-imam Mujtahid ini, antara lain:
a.       Pembukuan Ilmu Fiqih dan pendapat-pendapatnya.
Fiqh telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya. Diantaranya Kitab Dhahir al-Riwayah al-
Sittahdikalangan Madzhab Hambali. Kitab Al-Mudawanah dalamMadzhab Maliki, Kitab Al-’Umm di
kalangan mazhab al-Syafi’i, dan lain sebagainya.
b.      Dibukukannya Ilmu Ushul Fiqh. Para ulama mujtahid mempunyai warna masing-masing dalam
berijtihadnya atas dasar prinsip-prinsip dan cara-cara yang ditempuhnya. Misalnya, Imam
Malik dalam kitabnya Al-Muwatha’ menunjukkan adanya prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang
digunakan dalam berijtihad. Tetapi orang yang pertama kali mengumpulkan prinsip-prinsip ini dengan
sistematis dan memberikan alasan-alasan tertentu adalahMuhammad bin Idris al-Syafi’i dalam
kitabnya Al-Risalah. Oleh karena itu beliau sebagai pencipta ilmu Ushul Hadist.
4. Pembukuan ushul fiqih
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan
yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan
menetapkan hukum.

Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad


pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa
ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu
Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita. Diterangkan oleh Abdul Wahhab
Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan
disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab
yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang
pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah
pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Pada periode ini, metode penggalian hokum juga bertambah banyak, baik corak maupun
ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis
penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya
dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad
dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan
fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam
Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam
memutuskan hukum, dan maslahah-mursalah.
              Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis
pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun
metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih.
Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang
diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai
aliran fiqih yang bermacam-macam,             
            Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah),
Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah
yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas,
yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar
dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul
Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang
diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang
mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul
Fiqih.
5.    Aliran dalam Ushul Fiqh
Ada 3 aliran dalam sejarah Ushul Fiqh. Ketiga aliraran itu ialah :
Aliran Syafi’iyah (aliran mutakallimin)
Aliran ini sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (ahli kalam), aliran ini disebut sebagai
Syafi’iyah karena Imam Syafi’i merupakan tokoh pertama yang menyusun Ushul Fiqh dengan
menggunakan system ini. Dalam metode pembahasanya didasarkan pada nazari, falsafah dan mantiq,
dan tidak terikat pada madzhab tertentu, karena itulah aliran ini disebut sebagai aliran mutakallimin.
Dalam penyusunan Ushul fiqih, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah  dengan didukung oleh
alasan yang kuat yaitu dari dalil aqli dan naqli, tanpa dipengaruhi oleh masalah furu’ dan madzhab,
dan menfokuskan perhatian pada masalah teoritis, sehingga aliran ini sering tidak dapat menyentuh
permasalahan praktis. Aliran ini membangun Ushul Fiqh secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
cabang-cabang keagamaan. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan seperti penentuan tentang
tahsin (menggangap sesuatu itu baik dan dicapai akal atau tidak). Dan taqbih (menggangap sesuatu itu
buruk dan dapat dicapai akal atau tiadak). Biasanya hal ini berkaitan dengan hakim, yang berkaitan
pula dengan masalah aqidah.

Aliran Hanafiyah
Aliran yang banyak dianut oleh ulama pengikut madzhab Hanafi ini, dalam menyusun
teorinya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Aliran ini berusaha
menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu. Apabila sulit diterapkan, mereka
mengubah atau membuat kaidah baru yang bias diterapkan dalam masalah furu’ tersebut. Inilah yang
menjadi cirri khas aliran Hanafiyah, bahwa semua kaidah Ushul Fiqh mereka, semuanya dapat
diterapkan. Ini logis karena penyusunan Ushul Fiqh mereka telah terlebih dahulu disesuaikandengan
hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka.
Aliran Muta’akhirin
Aliran ini mengabungkan antara kedua system yang dipakai dalam menyusun Ushul Fiqh oleh
aliran Syafi’iya dan Hanafiyah. Ulama’-ulama’ muta’akhirin melakukan tahqiq terahadap kaidah-
kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua alirn tersebut. Lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan
argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada furu’ fiqhiyyah.
Aliran ini diikuti oleh Ulma-ulama yang berasal dari kalangan  Syafi’iyah dan Hanafiyah.
Dan perkembangan terakhir penyesuaian Ushul Fiqh, tampak lebih banyak mengikuti cara yang
ditempuh oleh aliran ini.
TOKOH USHUL FIQH
1.      Imam Syafi’i
Imam Syafi’i merupakan orang yang pertama kali membukukan ilmu Ushul Fiqh. Ia
mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab, sehingga masuk dalam jajaran tokoh
ahli bahasa, selain merupakan seorang ahli hadis yang ternama, ia juga cakap dalam menyelesaikan
permasalahan-parmasalahan fiqh yang terjadi saat itu.
Penguasaan imam Syafi’i terhadap fiqhahli ra’yi serta pendapat-pendapatpara sahabat
dijadikan landasan dalam menetapkan kaidah-kaidah qiyas dan juga sebagai dasar untuk menetapkan
kaidah-kaidah dalam menggali hukum. Dalam hal ini bakan berati beliau yang menciptkan seluruh
kaidah tersebut, tetapi hanyalah menganalisis secara mendalam metode penetapan hukum yang telah
dipakai oleh ulama ahli fiqh yang belum sempat dibukukan. Jadi dia bukanlah yang menciptkan
metode penggalian hukum syara’ (ushul fiqh) tersebut, akan tetapi dialah orang yang pertama kali
menghimpun metode-metode tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang hubungan bagian-bagiannya
tersusun secara sistematis.
                  Pendapat yang menyatakan Imam Syafi’i sebagai pemula dalam membukukan ilmu Ushul
Fiqh ini dalah pendapat Jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu orangpun yang
mengingkarinya.
2.      Imam Baihaqi
Adalah seorang Ulama ahli fiqh, ushul fiqh, hadis dan seorang tokoh utama dalam madzhab
Syafi’i. Ia dilairkan di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naisabur Persia. Ia mempelajari Hadis dan
mendalami Fiqh Madzhab Syafi’I, dandalam hal Akidah mengikutiMadzhab Asy’ari. Dalam
pencarian ilmunya ia mendatangi para Ulama di Baghdad, Kufah, dan Makkah, sebelum akahirnya
kembali ke-Baihaqi. Imam Baihaqi kemudian mengajar di Naysabur, dan menjadi orang pertama yang
mengumpulkan naskah-naskah fiqh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus menjadi
penyebar fiqh mazhab Syafi’i.
“Tidak ada pengikut mazhab Syafi’i yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena karyanya
dalam mengembangkan mazhab dan pendapat Syafi’i”.
3.      Imam  Al-Ghazali
Abu Hamid Al-Ghazali yang selanjutnya disebut Al-Ghazali, lebih dikenal sebagai hujjat al-
Islam wa al-Muslimin, karena dedikasinya yang tinggi dan karya-karyanya dalam mengembangkan
pemikiran Islam di berbagai bidang. Lebih darilima puluh kitab hasil karyanyadalam katalogisasi
kitab klasik, baik dalam bidang teologi, filsafat,tasawuf maupun ilmu fiqih.
Karyanya dalam ilmu ushul, ada beberapa tipologi yang dikembangkan oleh Imam Al-
Ghazali dalam dua kitabnya yang pertama, Al-Mankhul min ta’liqat al-ushul dan syifaa al-ghalil fi
bayani al-syibhi wa al-mukhayah wa masalik al ta’lil.
Ada beberapa tipologi pemikiran hukum yang dikembangkan oleh al-Ghazali dalam dua
kitabnya yang pertama (al-Mankhul dan syifaa alGalil), tipologi pemikiran hukumnya mengikuti
corak pemikiran hukum gurunya, Imam Haraimain al-Juwaeni. Sedangkan pada al-Mustasyfa.
Ghazali menjadi tokoh ushul yang mandiri yang menembakkan ilmu ushul yang filosofis. Karya-
karyanya telah banyak diedit oleh para Ulama. Diantara kayanya yang telah diedit,dielaborasi atau
diringkas antara lain dalam bidang Ushul Fiqh. Karya yang sepat diperbanyaj antara lain al-Mankhul,
Syifa al-Galul, dan al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul. Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan
baru Ghazali juga karena sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam
Haramain. Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya dalam ushul fiqh
menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali berbeda dengan karya-karya
sebelumnya.
Ushul fiqh sebelum pembukuan Penarikan hukum melalui istidlal baru dilakukan generasi
sahabat setelah Nabi meninggal, dengan kaidah-kaidah, walaupun tidak mereka jelaskan secara lugas.
Kaidah-kaidah tersebut merupakan malakah yang melekat erat dengan mereka, karena kemurnian dan
kedalaman pengetahuan/penguasaan bahasa, maqashid syari’ah, asbab al wurud dan asbab al nuzul,
serta cara berpikir yang masih bersih. Apalagi mereka dididik secara langsung oleh nabi Saw. dan
mengalami masa penurunan wahyu.
Demikian pula generasi tabi’in. Malakah tersebut di atas masih menjadi bagian kehidupan
mereka, sehingga belum membutuhkan kaidah dalam bentuk tertulis. Kondisi ini berlanjut hingga
masa Syafi’ie, Abad ke 2 Hijriyyah (generasi tabi’ tabi’in).

Metode Penulisan Ushul Fiqh


Metode (Thariqah) Penulisan Ushul Fiqh Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh
mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh
yang ada yaitu;
 (1) Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl
nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah
mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini
memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al
khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar
dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan
ulma lain.
Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
 (2) Metode Fuqaha
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam
istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan
memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin
sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut
beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan
menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami
sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin.
Hal ini terlihat, misalnya, pada perkataan Abu Bakr al Jashash (w. 370 H) pada saat menyatakan
suatu kaidah ushul; “Furu (yang diriwayatkan dari) Ashabina menunjukkan kaidah ini”. Demikian
pula dengan al Bazdawy (w. 730 H)
Metode ini memiliki ciri khas antara lain;
 Kaidah ushul mengikuti (tabi’ah) furu’.
 Banyak menyebutkan furu’ dan syawahid.
 Kadang, suatu masalah fiqhiyyah memiliki kaidah ushul tersendiri, karena masalah tersebut
tidak bisa dimasukkan pada kaidah lain. Atau mereka menambahkan qayd pada kaidah agar tidak
terkesan sebagai msalah yang tidak memiliki landasan kaidah ushulnya.
Contoh kitab yang dikarang dengan metode ini; Ushul al Karkhy, karangan Abu al Husain al Karkhy
(w. 260 H); Ushul al Jashash, karangan Abu Bakr al Jashash yang ditulis sebagai mukaddimah kitab
Ahkam al Qur’an; Ta’sis al Nadzar, karangan Ubaidillah bin Umar al Dabusy (w. 430 H); Kanz al
Wushul ila Ma’rifat al Ushul, karangan Fakhr al Islam ‘Aly bin Muhmmd al Bazdawy. Kitab ini
disyarahi oleh Abdul ‘Aziz al Bukhary (w. 730 H) dalam kitabnya Kasyf al Asrar.
 (3) Metode Mutaakhirin (metode gabungan)
Metode ini menggabungkan dua metode di atas, dimana penulisan dilakukan dengan
menggunakan metode mutakallimin pada (hal-hal yang berkaitan dengan) tamhish al adillah disertai
penerapan kaidah pada furu’ fiqhiyyah.
Kitab yang dikarang dengan metode ini antara lain;
 Badi’ al Nidzam al Jami’ baina ushul al Bazdawy wa al Ihkam, karangan Ibn Sa’aty al Hanafy
(w. 694 H)
 Tanqih al Ushul dan syarahnya Al Taudlih fi Halli Ghowamidl al Tanqih, karangan Shadr al
Syari’ah Ubaidillah bin Mas’ud al Hanafy( w. 747 H)
 Jam’ al Jawami’, karangan Taj al Din Abdul Wahab bin Aly al Subky (w. 771 H).
 Al Tahrir, karangan al Kamal ibn al Humam al Hanafy (. 861 H) dn syrhny kitab al Taqrir wa
al Tahrir karangan Muhammad bin Muhammad bin Amir al Haj (w. 879H)
 Musallam al Tsubut, karangan Muhibbullah ibn Abdul Syakur (w. 1119 H) dan syarahnya
Fawatih al Rahamut, karangan Abdul ‘Aly Muhammad bin Nizamuddin al Anshary
BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai
persoalan. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan
rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
Kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga
keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut
dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad
kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh Karena
banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih
yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.

B.     DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007


Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996
Wab site:
http://bayucalongurubahasaarab.blogspot.com/

http://wikipedia.com/

Anda mungkin juga menyukai