Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FILSAFAT ISLAM

MUTAZILAH DAN ASYARIYAH

Dosen pengampu : Dr.M. Abzar D, M.Ag

Di susun oleh:
Dewi Ayu Puspita

Rizky maulana

Siti Kholifah

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

Fakultas ushuluddin adab dan dakwah

Institut Agama Islam Negeri

SAMARINDA

2017-2018
KATA
PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kami
limpahan rahmat, nikmat, karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Pemikiran Pembaharuan Modern dalam Islam ini. Sholawat
dan salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita nabi Agung Muhammad
SAW yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang.
Tujuan penyusunan makalah ini selain sebagai pemenuhan tugas mata kuliah
Filsafat Islam, juga sebagai penambah wawasan kita sebagai mahasiswa tentang
Aliran Mutazilah dan Asyariyah.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr.M. Abzar D,
M.Ag selaku dosen mata kuliah Filsafat Islam yang telah memandu dan
mengarahkan kami dalam menyusun makalah ini.
Tentunya kami menyadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karenanya, kami memohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Dan kami berharap semoga
penyampaian materi dalam makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

19 September 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta perbedaan aqidah di kalangan


kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-
golongan atau aliran-aliran adalah bermula dari persoalan-persoalan politik pasca
wafatnya nabi Muhammad SAW, dan puncaknya terjadi pada masa khalifah Ali
bin Abi Thalib pada tahun 661 M. Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah ini banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang
berambisi menjadi khalifah, diantaranya adalah Thalhah bin Zubair dan
Muawiyah.

Bermula dari persoalan politik tersebut, pada akhirnya membawa kepada


timbulnya persoalan teologi. Peristiwa arbitrase yang terjadi pada saat
pertentangan Ali dan Muawiyah pada akhirnya dibawa kepada persoalan Teologi.
Permasalahan ini terus berkembang hingga akhirnya memunculkan aliran-aliran.
Aliran-aliran yang dilatarbelakangi permasalahan politik seperti halnya Khawarij,
Syiah, Murjiah pada akhirnya memunculkan aliran Teologi seperti Mutazilah
dan Asyariyah.

Dua aliran yang disebut terakhir inilah yang sangat besar pengaruhnya dalam
dalam dunia teologi. Walaupun kemudian timbul aliran-aliran lain yang
(mungkin) berpengaruh, namun semua itu masih berdasar kepada pemikiran awal
dua aliran ini. Muatazilah dalam pembahasannya banyak menggunakan akal,
sehingga mereka mendapatkan nama kaum rasionalis Islam, sedangkan
Asyariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan metode
sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan Tuhan,
sedangkan akal ada di bawah wahyu.

Dengan melihat bahwa dua aliran ini sangat dominan menentukan pola pikir
manusia dalam hal teologi, maka penulis hendak membahas perbedaan mendasar
yang ada pada dua aliran ini, Mutazilah dan Asyariyah.

B. Rumusan Masalah
a) Apa itu aliran Mutazilah?
b) Sejarah dan metode Mutazilah
c) Apa itu aliran Asyariyah?
d) Sejarah dan metode Asyariyah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aliran Muttazilah

Sebelum Mutazilah hadir dalam kancah pemikiran Islam rasional telah ada
berbagai aliran pemikiran yang nantinya memiliki pengaruh kuat terhadap
Mutazilah.1 Orang-orang Mutazilah adalah pendiri yang sebenarnya bagi ilmu
kalam (teologi Islam). hampir setiap pemikiran penting dalam ilmu kalam
ditemukan landasannya di kalangan mereka. Mereka telah membahas sebagian
dari problematika ilmu kalam ini pada tahun-tahun pertama abad ke-2 H. memang
Mutazilah merupakan aliran rasional dalam Islam yang memiliki banyak punya
teori dan tokoh. Mereka membahas secara filosofis hal-hal yang tadinya belum
diketahui melalui metode filsafat. Mereka memberikan pemecahan atas
promblematika-promblematika petik semisal teori kammun, tafrah dan tawallud,
dengan menampilkan pemecahan-pemecahan baru. Dengan nama studi tentang
akidah, mereka membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka
membentuk suatu pemikiran filsafat yang berkonsentrasi membahas masalah
Tuhan, alam, dan manusia, yang merupakan filsafat Islam itu.

Aliran ini, selama dua atau tiga abad, telah melahirkan sejumlah tokoh.
Mereka hidup sezaman dan saling bergaul, bahkan saling bersaing dalam
melakukan penelitian secara bebas, merdeka, sehingga seorang teman bebas
mengkritik teori temannya. Murid menguji teori gurunya. Dalam argumentasi ini,
terdapat kelebihan sekaligus kelemahan meraka. Mereka melahirkan produktivitas
melimpah yang dibuktikan oleh berpuluh-puluh rujukan klasik, di mana zaman itu
nyaris tidak melestarikan sebagian karya mereka. Sampai pada dasawarsa kelima
dari abad ini, di hadapan kita hanya ada dua karya Mutazilah generasi pertama
tentang akidah.2

1 Drs. H.A.Mustofa , Teologi Jakarta, 1997, hlm 29


B. Sejarah Mutazilah

Kata Mutazilah secara etimologis berarti golongan yang mengasingkan atau


memisahkan diri. Tetapi, jika kata Mutazilah disebut dalam konteks aliran-aliran
teologi atau filsafat, maka yang dimaksud dengan kata itu yang sesungguhnya
adalah para pengikut orang yang mengasingkan atau memisahkan diri dari
gurunya, karena berbeda paham dalam sesuatu hal. Orang itu ialah Washil bin
Atha yang memisahkan diri dari gurunya Hasan Al-Bashri. Keduanya berbeda
pendapat tentang kedudukan orang mukmin yang berdosa besar, apakah masih
mukmin atau telah menjadi kafir, sebagimana pernah menjadi perbedaan
pendirian antara kaum Khawarij dan murjiah sebelumnya. Kisahnya mejelis
gurunya, Hasan Al-Bashri, mengemukakan pendapat yang berbeda dari gurunya
mengenai orang mukmin yang mengerjakan dosa besar, apakah menjadi kafir atau
tidak. Washil menegaskan pendapatnya bahwa orang itu sudah tidak mukmin,
tetapi belum sampai kafir. Ia berada di satu posisi di anatar dua posisi (manzilat
bayn manzilatain). dan posisi antara dua posisi itu adalah fasiq. Sedangkan Hasan
Al-Bashri berpendapat bahwa orang itu munafiq. Setelah mengemukakan
pendapatnya itu, Washil memisahkan diri sari majelis gurumya, yang diikuti juga
oleh orang-orang yang mendukung pendapatnya. Kemudian Washil pun bertindak
sebagai guru yang dikerumuni murid-muridnya. Dan salah satu yang bergabung
dengannya adalah Amr binUbaid. Dua tokoh inilah yang kemudian dipandang
sebagai tokoh angakatan pertama aliran Mutazilah. Melihat muridnya yang
memisahkan diri, Hasan Al-Bashri mengatakan I tazalaanna Washil (Washil
telah memisahkan diri dari kami). Dari sinilah Washil dan pengikut-pengikutnya
kemudian disebut Mu;tazilah.

Dari uraian singkat di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa nama


Mutazilah berasal bukan dari kaum Mutazilah itu sendiri, melainkan dari Hasan
Al-Bashri.
Metode Mutazilah

Ciri khas paling khusus dari Mutazilah, ialah bahwa mereka meyakini
sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum
berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh mereka berpendapat
bahwa alam punya hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan
kelompok yang paling mirip dengan Descartes dari kalangan kaum Rasional
modern. Mereka juga tidak mengingkari naql (teks Al-quran dan Hadits), tetapi
tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal. Mereka
menetapkan bahwa pikiran-pikiran (akal) adalah sebelumnya SamI. untuk itu,
mereka menakwilkan ayat-ayat mustasyabihat, menolak hadits-hadits yang tidak
diakui oleh akal. Secara global, mereka menghindari hadits ahad. Boleh jadi
dalam rangka menolak dan pembangkang agama, mereka terpaksa pertama-tama
bertumpu pada akal.

Orang-orang Mutazilah menguasai berbagai pandangan religius dan filosofis


yang melingkupi mereka. Tetapi kecenderungan rasionalisme meraka yang eksrim
itu mendorong mereka untuk menerapkan hukum-hukum akal terhadap alam
langit seperti ketika menghukumi alam bumi, sehingga menggiring mereka ke
dalam pandagan-pandangan yang begitu berani, yang akhirnya menggiring
mereka ke dalam filsafat ketuhanan yang selamanya tidak mengkonsekwensikan
semua pengertian keagungan dan kesempurnaan yang sepantasnya (bagi Allah).

Aliran Mutazilah juga menyucikan kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan


berpikir ini, mereka suci baik ketika menghadapi pihak lawan-lawan maupun ke
dalam, antar sesama mereka sendiri. Untuk mereka berkepentingan mendengarkan
pandangan-pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk dianalisa dan
dikonfimasikan kesalahannya. Mereka juga memperluas ruang gerak kajian di
kalangan mereka sendir, di mana seorang murid berhak menentang pandangan
gurunya, bahkan anak pun boleh menentang pendapat ayahnya sendiri.

Pembuktian tentang adanya Allah


Dalam rangka menghadapi pihak zindiq dan ateis, kaum Mutazilah
mendalami pembuktian adanya Allah lebih serius dibandingkan kaumSalaf.
Dalam rangka ini, Mutazilah menggunakan bukti alami dan tradisional yang
sudah dikenal sejarah modern maupun klasik. Mereka menetapkan bahwa alam
temporal, hadits. Berawal dan berakhirnya. Semua yang temporal, harus ada yang
menciptakan. Teori al-Jauhar al-Fard(teori atom). Sebenarnya dimaksudkan untuk
menyanggah teori al-Maidah al-Qadimah (materi eternal) yang dikemukakan oleh
Aristoteles, yang dapat disimpulkan bahwa alam terdiri atas bagian-bagian yang
tidak akan ada dan tidak akan kekal tanpa perhatian Tuhan. 3 Kepada al-Nazzam
lah pola pembuktian ini dikaitkan. Pembuktian ini berlandaskan pada anggapan
bahwa dia dalam alam terdapat hal-hal yang saling bertentangan, seperti panas
dan dingin dan berkumpul pada satu tempat dalam bentuk yang bukan tabiatnya.
Ini hanya berarti, bahwa ada kekuatan yang maha perkasa yang mengumpulkan
hal-hal yang saling bertentangan itu. Kekuatan itu adalah Allah SWT. Jelaslah
bahwa pembuktian ini merupakan salah satu buah diskusi yang berkelangsungan
terus dengan ada perubahan, yang dalam hal ini al-Nazzam punya andil besar.4

3 Madkour, La Place, hlm 49-57


4 Al-Khayyat, al-Intisar, hlm 46
C. Aliran AsyAriyah

Kaum asyariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap


tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum salaf dan Mutazilah.
Titik tengah yang sebenarnya, selamanya, tidak jelas dan tak terbataskan. Orang
yang melakukan perpaduan, bisa cenderung ke kanan atau kekiri. Dengan
sendirinya, ia tidak menyetujui kedua belah pihak, sebaliknya tidak terlepas dari
kritik oleh kaum Mutazilah belakangan di mana pemimpinnya adalah al-Qadi
Abdul al-jabbar maupun kaum salaf belakang di mana tokoh terdepannya adalah
Ibnu Hamz dan Ibnu Taimiyah.

Dari sisi lain, orang yang memadukan itu berusaha untuk menyelaraskan dan
menghubungkan antara pandangan-pandangan dari kedua belah kubu yang saling
berlawanan. Kaum Asyariyah puas dengan menyelaraskan antara kedua belah
pihak, mencapai pandangan tengah-tengah yang akhirnya dijadikan prinsip yang
dipegangi secara teguh oleh generasi kemudian dan menjadi mantap khususnya di
abad-abad terakhir.

D. Sejarah Aliran AsyAriyah

Gerakan al-Asyariah mulai pada abad ke-4 H, ia terlibat dalam konflik


dengan kelompok-kelompok lain, khususnya Mutazilah. Dalam konflik keras ini,
al-baqillani memberikan andil besar. Ia dianggap sebagai pendiri kedua bagi aliran
al-Asyariyah. Permusuhan ini mencapai puncaknya pada abad ke-5 H
atasprakarsa al-kundari (456 H =1064 M), yang membela Mutazilah.

Di khurasan ia mengobarkan fitnah yang berlangsung selama 10 tahun.


Tragedi ini menyebabkan Imam al-Haramain menyingkir ke Hijaz. Sejumlah
tokoh besar dari aliran Asyariyah dipenjarakan5, termasuk al-Qusyairi sang sufi
yang menulis sebuah risalah yang berjudul Syikayah Ahl al-Sunnah di Hikayah
ma Nalahum min al- Mihnah6.

Kemudian kaum Asyariyah berhasil meraih kembali kesuksesan mereka atau


prakarsa Nizam al-Muluk. Bintang merekapun mulai naik. Pendapatan-
pendapatan mereka pada abad ke-6H kira-kira menjadi mazhab satu-satunya dan
akidah yang resmi bagi daulah sunni. Tak pelak lagi bahwa orang-orang Saljuk
dan Ayubiah yang datang sesudah mereka mengakarkannya di Timur, dan Ibnu
Tumart, murid al-Gazali ini, berhasil mentransfernya ke Magrib.

5 Ibnu Khaldun, Wafiyat, Kairo, II: 103, Ibnu al-Asir, al-Kamil, I:210.
6 Al-Sukbi, Tabaqat al-Syafiiyyah al-Kubra, Kairo, II:286-288.
Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asyari meninggalkan
Mutazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asyariah, berikut
ini dipaparkan :
Al-Asyari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mutazilah,
akhirnya meninggalkan ajaran Mutazilah. Sebab yang bisa disebut, yang berasal
dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asyari bermimpi;
dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab
Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mutazilah salah7. Menurut pendapat ini
al-Asyari berbelok arah dari Mutazilah dikarenakan diberikan mimpi tentang
aliran yang benar.

Metode AsyAriyah

Mazhab Asyariyah bertumpu pada al-Quran dan al-Sunnah. Mereka amat


memegangi al-Masur, Ittiba lebih baik dari pada ibtida, (membuat bidah),
Al-Asyari mengatakan: pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami
pegangi adalah sikap berpegang teguh kepada kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya
SAW dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabiin dan imam-imam Hadits.
Kami mendukung semua itu, kami mendukung pendapat Ahmad bin Hambal,
semoga Allah mencermelangkan wajahnya, mengangkat derajatnya dan
meneguhkan kedudukannya. Sebaliknya kami menjauhi orang-orang yang
menyalahi pendapatnya8.

Kaum Asyariyah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian
rasional: Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi (Al-
Araf: 185).

Kaum Asyariyah awal menerbitkan buku-buku kalam (teologis) mereka


dengan pasal tentang Analisa Rasional dan Hukumnya, Fi al-Nazar wa
Ahkamihi9. Metode mereka diikuti oleh orang-orang yang datang kemudian10.
Pada prinsipnya kaum Asyariyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada akal seperti yang dilakukan oleh kaum Mutazilah, sehingga mereka tidak

7
Harun Nasution. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI-
Press, 1986), h.66.

8Al- asyari, al-ibanah fi Usul al-Diyanah, Heiderabad, edisi pertama, hlm, 5.


9
Imam al-Haramain, al-irsyad, kairo 950, hlm, 3-12.
memenangkan dan menempatkan akal di atas naql . akal dan naql saling
membutuhkan. Naql bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana
mata yang sehat. Dengan akal kita bisa meneguhkan naql dan membela agama11.

Al- Asyari telah memperkenalkan bagaimana cara memanfaatkan metode


rasional, yang dicanangkan oleh kaum Mutazillah itu, untuk membela dan
meneguhkan masalah-masalah keagamaan. Keberhasilan al- Asyari dalam
memaparkan dan mendebatkan metode rasional ini tidak kala dibandingkan
kesuksesan yang ia raih dalam kecenderungan sinkretisnya.12

11 Al-Gazali, al-iqtisad fi al- itiqad, kairo 1909, hlm, 2.


12 Madkour, LOrganon,hlm, 252-253.
KESIMPULAN

Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara Mutazzilah dan


Asyariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar sebagai berikut:

1. Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya


ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mutazilah dengan
kekuatan rasionalnya dan Asyariyah sebagai rivalnya, telah memberikan
keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di
samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap
rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam.
2. Perbedaan pandangan antara aliran Mutazilah dan Asyariyah sebenarnya
disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti
lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
3. Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup
optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak
orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan
nafas kita.
DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abu Bakar, Prof. Dr. H. Sejarah Filsafat Islam. Solo: Ramadhani. 1989.

Muin, Taib Tahir Abdul. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya. 1986.

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI


Press, 1986, hal. 4.

Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta 1995.

Rozak, Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: 2012

Anda mungkin juga menyukai