Anda di halaman 1dari 22

ALIRAN SYI’AH

DALAM ILMU KALAM


Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. Sulaeman, M.Ag

Di susun oleh :
Annida Fitriyyah
Pujiawati Astuti

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AL IHYA KUNINGAN
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, Rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa
syari’ah yang mudah, penuh rahmat dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan
akhirat.
Makalah yang berjudul Aliran Syi’ah dalam Ilmu Kalam disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Ilmu Kalam serta sebagai wawasan tambahan mengenai Aliran Syi’ah yang masih
berkembang samapi sekarang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sulaeman, M.Ag selaku dosen
pengampu mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang yang kami tekuni.
Kepada rekan mahasiswa yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, penulis
ucapkan terima kasih.
Akhirnya, kami menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih ada kekurangan
maka saran dan kritik selalu kami harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Mudah-mudahan
makalah ini memberikan manfaat dan mendapat ridha Allah swt. Aamiin.

Kuningan, 03 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB II
PEMBAHASAN 2
A. Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan Syi’ah 2
B. Tokoh-tokoh Syi’ah 3
C. Doktrin Ajaran 4
D. Pembagian Kelompok Syi’ah 8
E. Perkembangan Syi’ah Di Indonesia 14
BAB III
PENUTUP 18
A. Kesimpulan 18
B. Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas mengenai akidah dengan memakai pendekatan
logika. Ilmu ini mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi yang menjadi landasan pokok
agama Islam yaitu kemahaesaan tuhan, masalah nubuwah, akhirat dan hal yang berhubungan
dengan itu. Oleh sebab itu, ilmu ini menempati posisi sangat penting dan terhormat dalam tradisi
keilmuan Islam.
Syi’ah secara bahasa berarti pengikut, pendukung, partai atau kelompok. Sedangkan secara
terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan
keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw. atau disebut sebagai Ahl bait.
Pengertian bahasa dan terminologis diatas boleh dikatakan hanya merupakan dasar yang
membedakan syiah dan kelompok Islam yang lain. Wajar jika dari pengertian diatas belum
diperoleh penjelasan yang memadai mengenai syi’ah, tokoh dan doktrin-doktrinnya. Meskipun
demikian, pengertian diatas merupakan titik tolak penting bagi madzhab syi’ah dalam
mengembangkan dan doktrin-doktrin yang meliputi segala aspek kehidupan. Besarnya bahaya
syi’ah terhadap agama Islam, ditambah lagi kelengahan mayoritas umat Islam yang masih awam
sangat memotivasi saya untuk menulis makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian Syi’ah ?
2. Bagaimana sejarah kemunculan Syi’ah ?
3. Siapa saja para tokoh aliran Syi’ah ?
4. Apa saja sekte-sekte aliran Syi’ah ?
5. Bagaimana perkembangan Syi’ah di Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian Syi’ah
2. Mengetahui sejarah kemunculan Syi’ah
3. Mengetahui tokoh-tokoh Syi’ah
4. Mengetahui sekte-sekte aliran Syi’ah
5. Mengetahui perkembangan Syi’ah di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kemunculan Syi’ah


Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai atau kelompok sedangkan
secara terminologis adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang spiritual dan
keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw. atau orang yang disebut
sebagai ahl bait. Poin penting dalam doktrin syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk
agama itu bersumber dari ahl bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para
sahabat yang bukan ahl bait atau para pengikutnya.
Menurut Thabathbai, istilah syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali,
pemimpin pertama ahlul bait pada masa Nabi Muhammad saw.
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin
Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun
menurut Watt, syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas
penerimaan Ali diceritakan terpecah mmenjadi dua, satu kelompokenjadi dua, satu kelompok
mendukung sikap Ali -kelak disebut Syi’ah- dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak
disebut khawarij.
Ketika Ali wafat perkembangan ke-Syiah-an itu menjadi mazhab-mazhab. Sebagiannya
menyimpang dan sebagian lainnya lurus. Namun, keduanya sama-sama fanatik terhadap
keluarga Nabi.
Salah satu tokoh Syiah adalah seorang Yahudi dari Yaman, bernama Abdullah bin Saba‟. Ia
masuk Islam pada zaman khalifah ketiga Utsman bin Affan. Ia berkeinginan untuk mendapat
kepercayaan dan kedudukan istimewa dalam pemerintahan Utsman, tetapi hal itu tidak
terlaksana.
Para ahli sejarah menggambarkan bahwa Abdullah bin Saba‟ menunjukkan keheranannya
terhadap umat Islam yang percaya akan kedatangan kembali Nabi Isa ke dunia. Tetapi mereka
tidak bahwa Nabi Muhammad akan kembali hidup lagi di dunia ini, padahal Muhammad lebih
utama daripada Nabi Isa dan nabi-nabi lainnya. Sedikit sekali orang yang mengetahui tenang
Abdullah bin Saba‟ dan madzhabnya. Dalam karangan Syiah Abdullah bin Saba‟ tidak dikenal,
dan orang-orang Syiah menyatakan berlepas tangan tentang ucapan dan amalannya.
Menurut ajaran Syiah ada beberapa catatan yang mendorong timbulnya golongan ini, yaitu
kejadian-kejadian pada masa awal munculnya pertumbuhan Islam. Selanjutnya, selama dua
puluh tiga masa kenabian, telah menimbulkan berbagai keadaan yang meniscayakan munculnya
kelompok semacam kaum Syiah di antara para sahabat Nabi.

2
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan masalah
pengganti (khalifah) Nabi saw. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab
dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak
menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan
isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi saw. pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika
Muhammad saw. diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama
menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa
orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain
itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan
pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.
Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah,
disuatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih Ali sebagai penggantinya
dihadapan massa yang penuh sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya
menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat, tetapi menjadikannya sebagaimana Nabi
sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun, realitas ternyata berbicara lain.
Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum
dikuburkan, sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan
persiapan dan upacar pemakamannya, teman dan para pengikut Ali mendengar kabar adanya
kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya
pemimpin yang tiba-tiba.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada dinasti Ammawiyyah. Hal ini
menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap ahl
bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa Bani Umayyah. Yazid bin
Muawiyah, umpamanya pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ziyad untuk
memenggal kepala Husein dibawa kehadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul
kepala cucu Nabi saw. yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi saw. Kekejaman seperti ini
menyebabkan sebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab syi’ah, atau paling tidak
menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahlul bait.
Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahlul bait dihadapan
dinasti Ammawiyyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri.
Dalam Ensiklopedia Islam Indonesia ditulis perbedan antara sunni dan syi’ah terletak pada
doktrin imamah. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat
mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah
menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah.

B. Tokoh-tokoh Syi’ah
a. Abu Dzar Al Ghifari
b. Miqad bin Al Aswad
c. Ammar bin Yasir

3
d. Abdullah bin Saba
Seluruh kitab-kitab Syiah terdahulu seperti al-Kafi, al-Istibshar, al-Ihtijaj, Man La
Yahdluruhu al-Faqih dan lain-lain, memuat tenang tuduhan dan predikat “zhalim” pada Abu
Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan sahabat-sahabat pendukung kekhalifahan mereka, telah
menjadi kesepakatan diantara tokoh-tokoh Syi‟ah terdahulu maupun tokoh-tokoh Syiah
belakangan. Adapun tokoh-tokohnya diantaranya sebagai berikut:
1. Murtadla al-Asykari, menyebutkan hadits (palsu) yang menyatakan bahwa khulafa‟ tiga
sebelum Sayyidina Ali adalah “imam-imam sesat dan pelopor-pelopor yang mengajak ke
dalam neraka”, dalam kata pengantarnya pada buku ”Ashlu al-Syi‟ah wa Ushuliha” halaman
14.
2. Muhammad Ridla al-Mudzaffar di dalam kitabnya “Aqaid al-Imamiyah” pada Bab
“Aqidatuna fi al-Dakwah ila al-Wahdah al-Islamiyah”, halaman 110, menyisipkan kalimat
“Wa‟I‟tida-uhu bi Ghashbihim li Haqqihi” (S.Ali meyakini bahwa 3 Khalifah sebelum
beliau telah merampas/ merampok hak beliau).
3. Ibrahim al-Musawiy al-Zanjani, dalam bukunya “Aqaid al-Imamiyah” halaman 15-58,
penuh dengan penjelasan senada.
4. Muhammad Husein Ali Kasyif al-Ghita dalam “Ashlu al-Syi‟ah wa Ushuliha”, dengan
bahasa diplomatis, dia menulis bahwa bila Ali tidak mau berbaiat kepada khalifah-khalifah
tersebut, maka bisa berakibat timbulnya tindakan-tindakan mereka yang membahayakan
Islam bahkan menjebol Islam dari pondasinya. (Ashlu al-Syi‟ah wa Ushuliha, halaman 47)
5. Khumaini, pemimpin revolusi Syiah di Iran dan bukunya “Kasyfu Asrar”, dengan bahasanya
yang arogan, banyak melalukan kecaman-kecaman pedas khususnya terhadap S. Abu Bakar
dan S. Umar. Misalnya menuduh kedua Khalifah tersebut tidak memperhatikan Islam dan al-
Qur‟an, kecuali hanya dengan kepentingan duniawi dan kepemimpinan serta mereka telah
berani menambah dan mengurangi al-Qur‟an” (Kasyfu Asrar, halaman 131).
6. Habib Husein al-Habsyi, dalam bukunya yang berjudul “Sunnah-Syiah Dalam Ukhuwa
Islamiyah”. Merupakan sanggahan Al-Habsyi terhadap ”Dua Wajah Saling Menentang”
karya Abu Hasan Ali al-Nadwi. Al-Habsyi sangat menyayangkan pendapat-pendapat al-
Nadwi dalam bukunya tersebut.

C. Doktrin Ajaran
Dalam syi’ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu’uddin
(masalah penerapan agama). Syi’ah memiliki lima ushuluddin :
1) At Tauhid bahwa Allah swt adalah Maha Esa
2) Al Adl bahwa Allah swt adalah Maha Adil
3) An Nubuwwah bahwa kepercayaan syi’ah meyakini keberadaan para nabi sebagai
pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
4) Al Imamah bahwa syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat
sebagai penerus risalah kenabian
5) Al Ma’ad bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.

4
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menginformasikan
bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan takdir.
I’tikad tentang kenabian adalah :
1) Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000
2) Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad saw
3) Nabi Muhammad saw suci dari segala aib dan tiada cacat apapun. Ialah Nabi paling
utama dari seluruh Nabi yang ada
4) Ahlul Baitnya, yaitu Ali bin Abi Thalib ra, Fatimah binti Muhammad saw, Hasan bin Ali,
Husain bin Ali dan 9 imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
5) Al Qur’an adalah mukjizat kekal Nabi Muhammad saw

Keyakinan Syiah tentang Imam mereka


Mereka sepakat bahwa para nabi dan imam Syiah adalah ma’sum (terhindar dari perbuatan
dosa), baik dari dosa kecil maupun dosa besar. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa tawalli
(menolong para imam) dan tabarri (meninggalkan musuh-musuhnya) adalah wajib hukumnya,
baik dilakukan dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dalam hal ini, sebagian
pengikut kelompok Syiah Zaidiyyah tidak sependapat dengan mereka.
Ayatullah Khumaini (ulama Syiah) mengatakan sesungguhnya imam mempunyai kedudukan
yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpinan yang mendunia, di mana seisi alam ini
tunduk di bawah wilayah dan kekuasaannya. Dan termasuk hal yang pasti bahwa imam kita
mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin ataupun nabi yang
diutus. Bagi siapa yang tidak percaya kepada keduabelas imam mereka dianggap kapir atau
masuk neraka.
Sementara mereka mendakwakan bagi imam mereka yang ke-12 apa yang para imam itu
sendiri tidak mengakuinya, yaitu mengetahui hal yang gaib, dan bahwa para imam itu
menduduki tingkat yang paling atas diantara umat manusia, kaum Syiah mengingkari apa yang
Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad saw tentang masalah metafisika seperti soal
penciptaan langit dan bumi, sifat-sifat surga dan neraka.
Aneh sekali imam-imam mereka ini. Mereka begitu lancang berkata bahwa para imam itu
mengetahui segala hal yang gaib, padahal hal itu tidak merupakan sesuatu yang pasti dan dapat
dibuktikan. Tetapi mereka beranggapan tidak wajib mempercayai dan mengakui berita-berita
yang gaib dan metafisik, yang dapat dibuktikan dari Rasulullah saw. Secara otentik dan dalil-
dalil yang demikian kuat, seperti ayat-ayat qur-an dan hadits-hadits sahih, tentang kejadian di
langi dan bumi, dan tentang surga neraka. Padahal kita meyakini bahwa semua yang
diriwayatkan oleh Rasulullah saw. tidaklah merupakan ungkapan yang didorongan oleh hawa
nafsu melainkan firman yang diwahyukan.
Kitab-Kitab Suci Syiah
a) Al-Aqo‟id al-Islamiyah

5
b) Al-Fiqh „ala al‟Madhahib al-Khamsah
c) Al-Halaqat
d) Fiqh Istidlali
e) Al- Mantiq
f) Bidayah al-Hikmah
Nikah Mut’ah dan Keutamaannya menurut Syiah
Mut‟ah memiliki keistimewaan besar dalam aqidah Syiah. Disebut dalam Minhajus
Shadiqin, ditulis oleh Fathullah al-Kasyani, dari ash-Shadiq bahwa mut‟ah adalah bagian dari
agamaku, dan agama nenek moyangku. Barang siapa yang mengamalkannya berarti ia
mengamalkan agama kami, dan yang mengingkarinya berarti mengingkari agama kami, bahkan
ia bisa dianggap beragama dengan selain agama kami. Anak yang dilahirkan dari hasil
perkawinan mut‟ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui nikah yang tetap, dan
orang yang mengingkari nikah mut‟ah, ia kafir dan murtad.
Perkawinan mut‟ah ini merupakan akad perseorangan yang berdasar kepada persetujuan
diantara mereka berdua tanpa ada tekanan dari keluarga wanita. Dan tidak memerlukan saksi
atau pemberitahuan kepada badan hukum. Karena hal ini tergantung dari kedua pasangan
mut‟ah. Dari 1 jam misalnya sampai 99 tahun umpamanya. Pada jangka waktu yang telah
ditentukan, pasangan mut‟ah berpisah tanpa ada suata upacara perceraian.
Adapun menurut segi syariat, mut'ah adalah perkawinan seorang lakilaki dengan
perempuan hanya semata mata untuk digauli (dinikmati) dalam batas waktu tertentu atau
disepakati tanpa adanya saksi dan wali dengan membayar mahar (upah) yang disebutkan dalam
aqadnya. Apa bila telah habis masa transaksi, maka perpisahanpun terjadi tanpa ada talak
sebelumnya serta tidak berlaku hukum waris mewaris di dalamnya.
Keyakinan Syiah tentang nikah mut’ah beserta sumbernya:
a) Syiah meyakini mut‟ah sebagai salah satu dasar pokok (ushul) agama, dan orang yang
mengingkarinya dianggap sebagai orang yang ingkar terhadap agama. (Sumber: Kitab Man
Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366 dan Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, 2/495).
b) Syiah menganggap mut‟ah sebagai salah satu keutamaan agama dan dapat meredam murka
Tuhan. (Sumber: Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, karya Al-Kasyani, 2/493).
c) Menurut Syiah seorang wanita yang dimut‟ah akan diampuni dosanya. (Sumber: Kitab Man
Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366).
d) Syiah menganggap mut‟ah sebagai salah satu sebab terbesar dan utama seseorang masuk ke
dalam surga, bahkan dapat mengangkat derajat mereka hingga mereka mampu menyamai
kedudukan para nabi di surga. (Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366).
e) Syiah selalu menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari mut‟ah akan berkurang
pahalanya pada hari kiamat, mereka katakan: “Barang siapa keluar dari dunia (meninggal)
sedangkan dia belum pernah melakukan mut‟ah maka pada hari kiamat dia datang dalam
keadaan pincang yakni terputus salah satu anggota badanya.” (Sumber: Tafsir Minhaj Ash
Shadiqin, 2/495).

6
f) Tidak ada batasan jumlah wanita yang dimut‟ah, seorang laki-laki dapat melakukan mut‟ah
dengan wanita sesukanya sekalipun mencapai seribu wanita atau lebih. (Sumber: Al-
Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/143 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/259)
g) Syiah beranggapan boleh melakukan mut‟ah dengan gadis sekalipun tanpa izin dari walinya
dan tanpa ada saksi atasnya. (Sumber: Syarai’ Al-Ahkam, karya Najmuddin Al-Hulli 2/186
dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/254).
h) Dalam Syiah diperbolehkan melakukan mut‟ah dengan anak perempuan kecil yang belum
baligh, dimana umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-
Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al Quru’, 5/463).
i) Dalam Syiah diperbolehkan liwath dengannya (perempuan kecil) dengan cara
mendatanginya di bagian belakangnya (duburnya). (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi,
3/243 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/514).
j) Syiah memandang tidak perlu menanyakan terlebih dahulu kepada wanita yang akan
dinikahi secara mut‟ah, apakah wanita itu telah bersuami atau wanita pelacur. (Sumber: Al-
Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/463).
k) Mereka juga beranggapan bahwa batasan minimal dalam melakukan mut‟ah bisa dilakukan
dengan sekali tidur saja bersama wanita, mereka menamakanya dengan (meminjamkan
kemaluan). (Sumber: Al Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/151 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/460).
l) Wanita yang dinikahi secara mut‟ah tidak mendapatkan harta waris dan tidak pula dapat
mewariskan harta. (Sumber: Al-Mut’ah wa Masyru’iyatuha fi Al-Islam, karya sejumlah
ulama Syi‟ah, hal 116-121 dan Tahrir Al-Wasilah, karya Al-Khomeini, 2/288).
Tentang masa berlakunya nikah mut‟ah bisa beberapa jam, hari, bulan maupun tahun, dan
yang terpenting tegas batas waktunya. Nikah mut‟ah dengan sendirinya akan berakhir masa
berlaku pernikahan bila waktu yang telah ditentukan karena tidak mengenal talak.
Nabi Muhammad saw pernah memberikan keringanan kepada para sahabat untuk melakukan
nikah mut‟ah dengan dua sebab yang diterima pada waktu itu, sebab pertama: dalam keadaan
darurat yaitu pada masa peperangan di waktu safar. sebab kedua: dalam waktu yang sangat
singkat, diantaranya selama tiga (3) hari.
Itulah mut‟ah yag telah beliau izinkan sebanyak dua kali pada dua tempat di masa perang
dan dalam waktu yang singkat. Dari sinilah bisa diketahui bahwa nikah mut‟ah yang pernah
diizinkan oleh Nabi Muhammad saw sangat jauh berbeda dengan nikah mut‟ah yang diyakini
oleh Syiah. Nikah mut‟ah tidak halal dan telah diharamkan sampai hari kiamat.
Keyakinan Syiah tentang Taqiyyah
Taqiyyah seperti didefinisi oleh salah seorang tokoh kontemporer Syiah adalah “suatu
ucapan atau perbuatan yang anda lakukan tidak sesuai dengan keyakinan, untuk menghindari
bahaya yang mengancam jiwanya, harta, atau menjaga kehormatannya.
Bahkan orang-orang Syiah beranggapan dalam Furu’ al-Kafi kitab al-Janaiz, bahwa Nabi
pernah melakukannya, yaitu saat seorang tokoh munafiqin yang bernama Abdullah bin Ubay bin
Salul meninggal, saat Nabi datang untuk menshalatkannya, lalu Umar berkata kepadanya
“tidakkah Allah telah melarangmu untuk melakukan hal itu (berdiri diatas berdiri di atas orang

7
munafik ini), maka Nabi menjawab, “celakalah engkau, tahukah engkau apa yang aku baca?
Sesungguhnya aku mengucapkan, “Ya Allah, isilah mulutnya dengan api dan penuhilah
kuburannya dan masukkan ia dalam api”.
Tidak masuk akal jika sahabat nabi memandangnya dengan penuh kasihan sementara nabi
melaknatnya. Syiah mengatakan, taqiyyah adalah kewajiban, mazhab Syiah tidak akan tegak
tanpaknya dan mereka menyampaikan dasar-dasar taqiyyah secara terang-terangan serta
sembunyi-sembunyi dan bermuamalah dengan taqiyyah ini khususnya dalam kondisi yang
membahayakan.
Dalam konteks tersebut, taqiyyah dibolehkan dalam Islam demi untuk melindungi diri dan
Islam dari ancaman musuh demi memelihara ajaran-ajaran Islam agar dapat disampaikan dan
diterima oleh generasi berikutnya.Menurut Hamid Enayat, yang dikutip oleh Attamimy dalam
bukunya, bahwa dalam sejarah Islam, taqiyyah bukan hanya “monopoli” mazhab Syi‟ah saja,
tapi juga para imam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama‟ah ketika menghadapi situasi yang
dapat mengancam keberlangsungan mazhabnya, mereka tidak segan-segan untuk bertaqiyyah.

D. Pembagian Kelompok Syi’ah

1. Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiyah)


Asal-usul Penyebutan Imamiyah dan Syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan Syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam
dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya karena
kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nas dan pantas
menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad saw, Ide tentang hak Ali dan
keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah ada sejak Nabi wafat, yaitu dalam
perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.
Syi’ah Itsna Asyariyah sepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad seperti
yang ditunjukkan nas. Adapun Al ausiya (penerima wasiat) setelah Ali bin Thalib adalah
keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali kemudian Husain bin Ali sebagaimana yang
disepakati. Setelah Husain ada Ali Zaenal Abidin, kemudian secara berturut-turut ; Muhammad
Al Baqir, Abdullah Ja’far Ash Shadiq, Musa Al Kahzim, Ali Ar-Rida, Muhammad Al Jawwad,
Ali Al Hadi, Hasan Al Askari dan terakhir adalah Muhammad Al Mahdi sebagai imam kedua
belas.
Nama dua belas ini mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu golongan ini
terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira pada tahun 260 H/878 M. pengikut
sekte ini menganggap bahwa imam kedua belas, Muhammad Al Mahdi, dinyatakan gaibah.
Muhammad Al Mahdi bersembunyi diruang bawah tanah rumah ayahnya di Samarra dan tidak
kembali. Itulah sebabnya, kembalinya Imam Al Mahdi ini selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte
Syi’ah Itsna Asyariyah. Ciri khas kehadirannya adalah sebagai Ratu Adil yang akan turun di

8
akhir zaman. Oleh kar ena inilah, Muhammad Al Mahdi dijuluki sebagai Imam Mahdi Al-
Muntazhar (yang ditunggu).
Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna Asyariyah
Didalam sekte Syi’ah Itsna Asyariyah dikenal konsep Ushul Ad-Din. Konsep ini menjadi
akar atau fondasi pragmatism agama. Konsep ushuluddin mempunyai lima akar.
a. Tauhid (The Devine Unity)
Tuhan adalah Esa baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia
bereksitensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah qadim.
b. Keadilan (The Devine Justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadilan. Ia tidak pernah
menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Tuhan memberikan akal kepada manusiauntuk
mengetahui perkara yang benar atau salah melalui perasaan. Jadi, manusia dapat memanfaatkan
potensi berkehendak sebagai anugerah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas
perbuatannya.
c. Nubuwwah (Apostleship)
Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting, masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk
dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara
transenden diutus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk
dialaam semesta.
d. Ma’ad (The Last Day)
Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat. Setip muslim
harus yakin akan keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih dan lurus
dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan
akhirat.
e. Imamah (The Devine Guidance)
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang
dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai nabi dan
rasul terakhir.

2. Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)


Istilah Syi’ah Sab’iyah dianalogikan dengan Syi’ah Itsna Asyariyah. Istilah itu
memberikn pengertian bahwa sekte syi’ah sab’iyah hanya mengakui tujuh imam, yaitu Ali,
Hasan Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al Baqir, Ja’far Ash Shadiq dan Ismail bin Ja’far.
Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash Shadiq, syi’ah sab’iyh disebut juga
syi’ah ismailiyah.

9
Bebeda dengan syi’ah sab’iyah, syi’ah itsna asyariyah membatalkan Ismail bin Ja’far
sebagai imam ketujuh karena disamping memiliki kebiasaan tak terpuji juga karena dia wafat
mendahului ayahnya, Ja’far. Sebagai penggantinya adalah Musa Al Kadzim, adik Ismail. Syi’ah
sab’iyah menolak pematalan tersebut, berdasarkan system pengangkatan imam dalam syi’ah dan
menganggap Ismail sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua,
Muhammad bin Ismail.
Doktrin Imamah dalam Pandangan Syi’ah Sab’iyah
Para pengikut syi’ah sab’iyah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar seperti
dijelaskan Al Qadhi An Nu’man dalam Da’aim Al Islam. Tujuh pilar tersebut adalah imam,
thaharah, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad.
Berkaitan dengan pilar (rukun ) pertama, yaitu imam, Qadhi N Nu’man merincinya
sebagai berikut. Iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah;
iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman kepada hari
pengadilan; iman kepada para nabi dan rasul; liman kepada imam, percaya, mengetahui, dan
memberikan imam zaman.
Tentang imam zaman, syi’ah sab’iyah mendasarkan pada sebuahHadits Nabi saw yeng
terjemahan bahasa Inggrisnya sebagai berikut ini, “He who dies without knowing of time when
still alive dies in ignorance” (ia telah wafat dan waktu kewafatannya masiih belum diketahui
sampai kini). Hadis seperti ini juga terdapat dalam sekte sunni dan syi’ah itsna asyariyah, tetapi
dalam hadis kedua sekte ini tidak dicantumkan imam zaman.
Dalam pandangan kelompok syi’ah sab’iyah, keimanan hanya dapat diterima bila sesuai
dengan keyakinan mereka, yakni melaui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah
seseorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat). Dengan pengetahuan
tersebut, seorang muslim akan menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Untuk itu,
mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual, kehidupan format-
materil sebagai individu dan kehidupan social yang semuanya memerlukan aturan. Manusia tidak
dapat melalui kehidupan itu, kecuali dengan bimbingan, yang meliputi kepemimpinan dan
pembaharuan kehidupan, pengetahuan, aturan-aturan dan bimbingan pemerintahan yang
bedasarkan Islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan-bimbingan seperti itu adalah pribadi
yang ditunjuk oleh Allah dan rasul-Nya dan Rasul pun menunjuknya atas perintah Allah. Imam
adalah petunujuk melaui wasiat.
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan syi’ah sab’iyah adalah sebagai berikut :
a. Imam harus berasal drai keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang
kemudian dikenal dengan ahlul bait
b. Imam harus berdasarkan penunjukkan atau nas oleh imam terdahulu
c. Keimaman jatuh pada anak tertua
d. Imam harus maksum. Syi’ah sab’iyah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dari
salah satu dosa. Bahkan lebih dari itu, syi’ah sab’iyah berpendapat bahwa sungguhpun imam
berbuat salah, perbuatannya itu tidak sah.

10
e. Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik.

3. Syi’ah Zaidiyah
Asal-usul Penamaan Syi’ah Zaidiyah
Disebut syi’ah zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima,
putra imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok iniberbeda dengan sekte syi’ah lain yang
mengakui Muhammad Al Baqir putra Zainal Abidin yang lain, sebagai imam kelima. Syi’ah
zaidiyah merupakan sekte syi’ah yang moderat. Abi Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini
merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.
Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah
Imamah, sebagimana telah disebutkan merupakan doktrin fundamental dalam syi’ah
secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan syi’ah yang lain, syi’ah
zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum zaidiyah menolak pandangan
yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi saw telah ditentukan
nama dan orang nya oleh Nabi, tapi hanya ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan
sekte syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi saw. telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas
menjabat sebagai imam setelah Nabi wafat karena Ali memiliki sifat-sifat yan tidak dimiliki oleh
orang lain, seperti keturunan Bani Hasyim, wara, bertaqwa, baik,dan membaur dengan rakyat
untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.
Selanjutnya, menurut zaidiyah seorang imam paling tidak harus memiliki ciri-ciri sebagai
berikut. Pertama, ia merupakan keturunan ahl bait, baik melalui garis Hasan maupun Husain.
Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nas kepemimpinan.
Kedua,memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau
menyerang. Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu ciri sekte
syi’ah lainnya, baik yang gaib maupun yang masih dibawah umur. Bagi mereka, pemimpin yang
menegakkan kebenaran dan keadilan Mahdi. Ketiga, memiliki kecenderungan intelektualisme
yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak
kemaksuman imam, bahkan mengembangkan doktrin imamat al-mafdul. Artinya, seseorang
dapat dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama
ada yang afdal.
Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika syi’ah zaidiyah sering mengalami
krisis dalam keimaman. Hal ini karena terbukanya kesempatan bagi setiap keturuna ahlul bait
untuk menobatkan dirinya sebagai imam. Dalam sejarahnya krisis keimaman dalam syi’ah
zaidiyah ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat beberpaa pemimpin yang
memproklamirkan diri sebagai imam. Kedua, tidak seorangpun yang memproklamirkan diri atau
pantas diangkat sebagai imam. Dalam menghadapi krisis ini, zaidiyah mengembangkan
mekanisme pemecahannya, diantaranya dengan membagi tugas imam kepada dua individu,
dalam idang politik dan dalam bidang ilmu serta keagamaan.

11
Syi’ah zaidiyah memang mencita-citakan keimaman aktif, bukan keimaman pasif, seperti
Mahdi yang gaib. Menurut mereka, imam bukan saja memiliki kekuatan rohani yang diperlukan
bagi seorang pemimpin keagamaan, tetapi juga bersedia melakukan perlawanan demi cita-cita
suci sehingga dihormati oleh umatnya. Selain menolak berbagai dongeng tentang kekuatan
adikodrati para imam, mereka juga mengingkari sifat keilahian para imam. Iamam bagi mereka
adalah pemimpin dan guru bagi kaum muslim, aktif ditengah kehidupan dan bejuang terang-
terangan demi cita-citanya. Dengan demikian, imam dapat berfungsi sebagai pemimpin politik
dan keagamaan yang secara konkret berjuang demi umat, daripada sebagai tokoh adidokrati
yang suci tanpa dosa.
Doktrin-doktrin Syi’ah Zaidiyah Lainnya
Bertolak dari doktrin tentang al imamah al mafdul, syi’ah zaidiyah berpendapat bahwa
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khathab adalah sah dari sudut pandang Islam. Mereka
tidak merampas kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Dalam penadangan mereka, jika ahl
al hall wa al-aqd telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslim, meskipun ia tidak
memenuhi sifat-sifat keimaman yang ditetapkan oleh zaidiyah dan telah dibaiat oleh mereka,
keimamannya menjadi sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya. Selain itu, mereka juga tidak
mengkafirkan seorang sahabat pun sahabat.
Prinsip inilah menurut Abu Zahrah yang menyebabkan banyak orang keluar dari syi’ah
zaidiyah. Salah satu implikasinya adalah berkurangnya dukungan terhadap zaid ketika ia
berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul Malik. Hal ini wajar mengingat salah satu
doktrin syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan
menuduh mereka sebagai perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.
Penganut syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini
syi’ah zaidiyah memang dekat dengan mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil
bin Atha, salah seorang pemimpin mu’tazilah, mempunyai hubungan dengan zaid. Moojam
Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Baik Abu
Zahrah maupun Moojan Momen mengatakan bahwa dalm teologi syi’ah zaidiyah hampir
sepenuhnya mengikuti mu’tazilah. Selain itu, secara etis mereka boleh dikatakan anti murji’ah
dan berpendirian puritan dalam menyikapi tarekat. Organisasi tarekat memang dilarang dalam
pemerintahan zaidiyah.

4. Syi’ah Ghulat
Asal-usul Penamaan Syi’ah Ghulat
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan naik. Ghala bi
ad-din artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah ghulat adalah
kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim. Lebih jauh, Abu
Zahrah menjelaskan bahwa syi’ah ekstrim adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat

12
ketuhanan da nada yang mengangkat pada derajat kenabian bahkan lebih tinggi daripada
Muhammad.
Gelas ekstrim yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang
janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan juga ada beberapa
doktrin-doktrin ekstrim lainnya, seperti tanasukh, hulul, tasbih dan ibaha.
Mengenai jumlah sekte syi’ah ghulat, para mutakalimin berbeda pendapat. Syahrastani
membagi sekte ghulat menjadi 11 sekte, Al Ghurabi membaginya menjadi 15 sekte. Sekte-sekte
yang terkenal antara lain; sabahiyah, kamaliyah, albaiyah, mughriyah, mansuriyah, khattabiyah,
kayaliyah, hisamiyah, nu’miyah, yunusiyah dan nasyisiyah wa ishaqiyah.
Nama-nama sekte tersebut menggunakan nama tokoh yang membawa atau memimpinnya.
Sekte sekte ini pada awalnya hanya satu, yakni faham yang dibawa oleh Abdullah bin Saba yang
mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian karena perbedaan prinsip dan ajaran. Syi’ah
Ghulat terpecah menjadi beberapa sekte. Meskipun demikian, seluruh sekte ini pada prinsipnya
menyepakati tentang hulul dan tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama Babilonia
Kuno yang ada di Irak, seperti Zoroaster, yahudi, manikam, mazdakisme.
Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahrastani, ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrim, yaitu tamasukh,
bada’, raj’ah dan tasbih. Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan ghayba.
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain.
Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa
dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah ghulat
menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan bahwa roh
Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan
ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memerintahkan yang
sebaliknya. Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan syi’ah ghulat
mempunyai beberapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, artinya menampakkan sesuatu yang
bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak, artinya
memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkan-
Nya. Bila berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan
perintah sebelumnya.
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah ghulat mempercayai bahwa imam Mahdi
Al Muntazhar akan dating ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh
syi’ah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian
menyatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali, sedangkan sebagian lainnya menyatakan
Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad bin Al Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar Ats
Tsaqafi.

13
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah ghulat menyerupakan salah seorang
imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari
faham hululiyah dan tanasukh dengan khalik.
Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam
harus disembah.
Ghayba artinya menghilangnya Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan syi’ah bahwa
Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konsep ghayb
pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats Tsaqafi tahun 66 H/686 M di Kufa ketika
mempropagandakan Muhammad bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.
5. Syi’ah Sabaiyah
Syi’ah yang mengikuti Abdullah bin Saba.
6. Syi’ah Kaisaniyah
Syi’ah yang mengikuti Mukhtar bin Ubai As Saqafi. Golongan ini tidak mempercayai
adanya ruh Tuhan dalam tubuh Ali, tetapi mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa Imam-Imam
orang syi’ah adalah maksum (sama dengan nabi-nabi) dan masih menerima wahyu.
7. Qaramithah
Kaum syi’ah yang menafsirkan al qur’an sesuka hatinya.

E. Perkembangan Paham Syi’ah di Indonesia


Syiah mendapat pengikut yang besar terutama pada masa Dinasti Amawiyah. Hal ini
menurut Abu Zahrah merupakan akibat perlakuan kasar dan kejam Dinasti ini terhadap Ahlul
Bait sebagai contoh Yazid Ibn Mu‟awiyah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn
Ziyad, untuk memenggal kepala Ali di Karbala. Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah kepala
Ali dipenggal lalu dibawa ke hadapan Yazid Ibn Mu‟awiyah memukul-mukulkan tongkatnya
pada kepala cucu Rasulullah saw, yang pada waktu kecil sering diciumi oleh Rasulullah.
Kekejaman seperti yang digambarkan di atas, menyebabkan sebagian kaum Muslimin
menaruh simpati terhadap tragedi Ahlul Bait atau keluarga Rasul dan tertarik untuk mengikuti
mazhab Syiah, atau menaruh simpati yang mendalam terhadap tragedi yang menimpa Ahlu Al-
Bait.
Menurut para ahli sejarah, peristiwa kesyahidan Husain di Karbala inilah penyebab utama
terbentuknya Syiah secara hakiki, sejak tragedi ini sebutan Syiah tidak lagi dirangkaikan dengan
nama-nama tertentu seperti sebelummya, syiah Ali, Syi’ah Husain, tetapi cukup dengan Syiah
saja dan sebagai bukti hal tersebut timbul perlawanan terhadap penguasa seperti gerakan: At-
Tawwabut, Kaisaniah.

14
Dalam perkembangan selanjunya, Syiah selain memperjuangkan hak kekhalifahan Ahlul
Bait di hadapan Amawiyah dan Abbasiyah, juga menggambarkan doktrin-doktrinya sendiri.
Berkaian dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni Tauhid (kepercayaan
terhadap keesaan Allah); Nabuwwah (kepercayaan kepada kenabian); Ma’ad (kepercayaan akan
adanya kehidupan akhirat); Imamah (kepercayaan akan adanya imamah yang merupakan hak
ahl al-bait); dan Adl (Keadilan Ilahi).
Belum ada pendapat yang benar-benar bisa dipercaya kapan masuk paham Syiah di
Indonesia. Namun bila dilihat dari sejarah dan kejadiannya beberapa abad yang lalu paham
Syiah masuk ke Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik negara asalnya Syiah yaitu Iran.
Sejak runtuhnya Syah Reza Pahlevi pada tahun 1979 dengan melalui sebuah revolusi besar-
besaran yang dipimpin oleh Khomeini. Mulai saat itulah paham Syiah mulai menyebar ke
seluruh dunia khususnya Indonesia.
Keberhasilan seorang ulama (Khumeini) dalam menjatuhkan rezim Pahlevi yang
mempunyai kekuatan militer nomor lima di dunia hanya dengan ceramah-ceramahnya dari suatu
tempat yang jauh dari terpencil di Prancis. Sehingga menggugah para Intelektual untuk
mengetahui lebih jauh tentang mazhab Syiah tersebut.
Khomeini sebagai tokoh sentral revolusi pada saat itu mempunyai pandangan yang berbeda
tentang kekuasaan (pemerintahan) yang disebutkannya dengan istilah wilayah al-fiqih. Dalam
hal ini menurut Attamimy dalam pandangan Khomeini, islam bukan hanya agama yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga agama yang penuh dengan keadilan
dan kebenaran bagi kemanusiaan orang per orang atau masyarakat.
Bahkan menurut Khomeini, Islam juga merupakan agama yang ingin melakukan
pembebasan dari setiap bentuk penindasan yang dilakukan. Bukan seperti kebanyakan para
ulama yang membicara nikmat surga dan siksa neraka. Ia lebih banyak membicarakan tentang
kesadaran umat dalam beragama, disiplin diri dan sebab-sebab kemunduran dalam Islam.
Sebagai sebuah gerakan atau kelompok paham Syiah di Indonesia dapat disebutkan memulai
perkembangannya pasca revolusi Iran pada tahun 1979. Memanfaatkan momentum kelahiran
Iran sebagai “negara Syiah” yang menggunakan Islam sebagai dasar perjuangannya, Syiah di
dunia Islam tidak terkecuali Indonesia mulai berani menunjukkan jati dirinya.
Gerakan-gerakannya pun mulai tersusun secara sistematis dalam kerangka kelembagaan atau
organisasi-organisasi yang pahamnya berafiliasi terhadap Syiah. Hanya saja, ini tidak berarti
bahwa sebagai sebuah paham, Syiah baru ada pasca 1979. Beberapa pakar sejarah bahkan justru
meyakini bahwa orang Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara.
Jalaluddin Rahmat mengemukakan tiga teori terkait cara Syiah masuk ke Indonesia.
Pertama, Syiah dibawa oleh penyebar Islam awal yang datang ke Indonesia dan ber-taqiyyah
dengan menjalankan mazhab Syafi‟i. Mereka menampakkan Syafi‟i di luar, namun Syiah di
dalam. Asumsi ini didukung dengan ditemukannya akulturasi aspek-aspek Syiah pada mazhab
Syafi‟i di Indonesia yang tidak ditemukan di tempat lain. Kedua, Syiah tidaklah datang pada
Islam periode awal adalah ulama Sunni yang membawa Islam ke Indonesia. Syiah baru datang

15
kemudian melalui praktek-praktek mistik dan sufistik. Ketiga, Syiah baru datang ke Indonesia
setelah Revolusi Iran pada tahun 1979 melalui buku-buku tentang filsafat atau pergerakan yang
ditulis tokoh-tokoh Syiah Iran.
Aliran Syiah berpendapat bahwa kekhalifahan imamahnya berdasarkan pengangkatan, baik
secara terbuka maupun tersembunyi. Mereka juga berpendirian bahwa imamah sepeninggalan
Ali, hanya berada di tangan keluarga Ali. Penganut paham Syiah, mengakui bahwa nabi telah
menunju penggantinya yang dinilai memiliki kualifikasi pemimpin ruhani dan pemimpin umat
sekaligus. Pengganti nabi tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib dan sebelas
keturunannya.
Dengan demikian para imam dalam konsep Syiah itu adalah melanjutkan nabi yang bertugas
memberi petunjuk manusia, pemelihara dan penjelas hukum Allah. Oleh karenanya imam
adalah pilihan Tuhan yang berilmu, berakhlak tinggi dan terpelihara dari dosa.
Imamah merupakan doktrin Syiah yang paling pokok, semua paham yang lain pada dasarnya
merupakan penjelasan dari paham ini. Misalnya ketika pandangan Imamah dimunculkan sebagai
prinsip dasar dalam menunjuk dan pengangkatan imam, mereka memperkuatnya melalui
penjelasan bahwa semua nabi Allah dan para Imam pasti bebas dari dosa kecil.
Perkembangan Syiah atau yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait di Indonesia
memang cukup pesat. Sejumlah lembaga yang berbentuk pesantren maupun yayasan didirikan di
beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan luar
Jawa.17 Dan membanjirnya buku-buku tentang Syiah yang sengaja diterbitkan oleh para
penerbit yang memang berindikasi Syiah atau lewat media massa, ceramah-ceramah agama dan
lewat pendidikan dan pengkaderan di pesantren-pesantren, di majelis-majelis ta‟lim.
Dalam sejarah, kelompok Syiah terpecah menjadi tiga kelompok besar: Itsna „Asyariyah,
Ismailiyah dan Zaidiyah, dan banyak kelompok sempalan yang dipandang liar (ghulath).
Masing-masing kelompok itu tidak hanya mewakili kelompok politis, tetapi juga kelompok
pemikiran. Pemikiran Syiah tidak berhenti dengan timbulnya perpecahan itu, tetap justru
perpecahan itu merupakan bagian dari faktor-faktor kompetitif dalam memajukan pemikiran.18
Dengan demikian pemikiran Syiah senantiasa mengalami perkembangan, yang tentunya akan
lebih ekspansif dan bervariasi ketika kelompok ini menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam,
termasuk Indonesia.
Kelompok ini sebagian besar tersebar di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Bangil
Pasuruan merupakan basis dari komunitas Syiah Imamiyah. Banyak masyarakat Syiah di Bangil
Pasuruan tidak lepas dari peran dan perjuangan dari Habib Husein al-Habsyi sebagai orang
pertama kali menyebarkan paham Syiah.19 Termasuk juga di Yayasan Pesantren Islam (YAPI)
yang berada di kota Bangil Pasuruan terdapat ustad yang bermazhab Syiah Imamiyah karena
yayasan tersebut merupakan rintisan dari Habib Husein al Habsyi dengan pola pemikiran yang
lebih banyak mengarah kepada Syiah Imamiyah.
Perkembangan Syiah di Indonesia juga dapat dilihat dari banyaknya lembaga atau yayasan
yang ada atau tersebar khususnya di Jawa Timur. Salah seorang ulama Jawa Timur yang

16
berdomisili di kota Bangil Ustadz Husein al Habsyi adalah termasuk tokoh yang menjelaskan
keingintahuan masyarakat tersebut melalui ceramah-ceramahnya yang secara rutin diadakan di
masjid pada awal tahun 1980 ketika revolusi tersebut baru mencapai usia yang sangat muda.
Pada tahun ini juga tampaknya mazhab Syiah mulai mulai diperkenalkan secara terbuka kepada
masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Bangil.

17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Syi’ah adalah suatu kelompok, pengikut atau pendukung. Istilah syi’ah selanjutnya
berkembang dengan arti khusus, yaitu nama bagi sekelompok orang yang menjadi partisan atau
pengikut Ali bin Thalib dan keturunan-keturunannya.
Syi’ah sudah ada sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan. Akan tetapi baru berkembang
setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba seorang yahudi
yang masuk Islam.
Mereka mempunyai doktrin sendiri dalam alirannya, salah satunya tentang imamah. Mereka
berpendapat bahwa pengganti Nabi yang pantas menjadi pemimpin adalah seseorang yang
maksum (terhindar dari dosa). Bahkan dalam sekte yang ekstrim yaitu syi’ah ghulat, mereka
telah menuhankan Ali. Mereka menganggap bahwa Ali lebih tinggi daripada Nabi Muhammad
saw.
Kaum syi’ah memiliki lima pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya
diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwwah, al imamah dan al ma’ad. Syiah ada beberapa
macam antara lain : syi’ah itsan asyariah, syi’ah sab’iyah, syi’ah zaidiyah, syi’ah ghulat, syi’ah
sabaiyah, syi’ah kaisaniyah dan syi’ah Qaramithah.

B. SARAN
Sangatlah diperlukan bagi kita untuk mempelajari aliran syi’ah ini, karena dengan belajar
aliran ini kita bias mengetahui seluk beluk dari ajaran syi’ah. Dengan kemampuan kita berfikir
diharapkan kepada semua pihak setelah membaca makalah ini dapat meningkatkan kualitas
pemahaman yang mendalam tentang arti Asbabun Nuzul. Sehingga dapat menerapkan semua
makna yang terkandung disetiap yang ada di dalam Al Qur’an karena semua itu dapat membuat
kita semua menjadi lebih menghargai, mencintai juga memaknai setiap ayat yang ada di dalam
Al Qur’an sehingga berimbas kebaikan kedalam kehidupan kita nantinya.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. http://digilib.uinsby.ac.id
2. Hadi, Nur dkk. 2013. Ilmu Kalam. Bandung : Kementerian Agama
3. Rozaq, Abdul dan Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. Cet. Ke
IV

19

Anda mungkin juga menyukai