Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Tasawuf Kontroversial dan Tasawuf Amali


Makalah ini di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Asep Sarifuloh S.Ag M.SI

Disusun Oleh,
Kelompok 2 PAI 2 D
Dini Aprianti
Novi Nurul Fajriati
Rahma Masrurotul Jannah
Abdul Mugni
M.Rifki Abdillah
Ujang Muhammad Ridwan

FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
2021/2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan
keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw. yang menjadi tauladan para umat
manusia yang merindukan keindahan syurga. Kami menulis makalah ini bertujuan untuk
mempelajari dan mengetahui Ilmu Tasawuf . Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan
kami selanjutnya adalah untuk mengetahui Tasawuf Kontroversial dan Tasawuf ‘Amali.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan
kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam
menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Kami menyadari,
sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu belajar dalam
penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya makalah yang lebih baik
lagi, serta berdayaguna di masa yang akan datang. Besar harapan, mudah-mudahan makalah
yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan maslahat bagi semua orang.

Wasalamualaikum Wr.Wb

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
Bab II Pembahasan ............................................................................................................. 3
A. Tasawuf Kontroversial ........................................................................................... 3

1. Dasar Dasar Pemikiran Abu Yazid Al-Bastami Fana Baqo dan Itthad............. 3
2. Ajaran –Ajaran Kontroversial Abu Yazid Al Bastami Syatahat dan Mi’raj .... 6
3. Prinsip-Prinsip Ajaran Mansur Al Hajj ........................................................... 9

B. Tasawuf Amali .......................................................................................................11


1. Pengertian dan Karakteristik Tasawuf Amali ...................................................11
2. Pengertian dan Penjelasan Tentang Maqomat dan Ahwal................................13
3. Prinsip Prinsip Ajaran Tasawuf dzu Al-Nun Al Mishiri...................................14

Bab II Penutup.....................................................................................................................15
A. Saran........................................................................................................................15
B. Simpulan ................................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang sempurna dan ditinjau terdiri dari bermacam
macam ukuran. Tidak hanya ukuran akidah serta syariat, terdapat pula ukuran akhlak
ataupun yang sering timbul dengan nama tasawuf. Tasawuf dalam Islam berikan arti
isoteris yang melandasi formalisme. Mengkaji tasawuf berarti mempelajarai dimensi-
dimensi isoterik dari suatu bangunan keyakinan, sehingga suatu agama (Islam) bisa
dipandang secara utuh serta umum, bukan hanya keyakinan yang mengukung tanpa
arti.
Secara histories tasawuf alami pertumbuhan yang sangat pesat, bermula dari
upaya meniru pola kehidupan Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya, setelah
itu menjadi doktrin yang bertabiat konseptual. Hingga dalam sejarah
perkembangannya, para pakar membagi tasawuf menjadi 2 arah pertumbuhan.
Terdapat tasawuf yang menuju pada teori– teori yang begitu rumit serta
membutuhkan uraian yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang
berorientasi kea rah pertama kerap disebut bagaikan tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi
ataupun tasawuf sunni (mistiko- sunni). Ada pula tasawuf yang berorientasi ke arah
kedua disebut bagaikan tasawuf falsafi. Tasawuf tipe kedua banyak dikembangkan
para sufi berlatar belakang bagaikan fisolof (mistiko filosofis).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan apa saja yang terkait dengan Tasawuf Kontroversial ?
2. Apa definsi dan apa saja yang terkait denTasawuf Amali?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Tasawuf kontroversial
2. Untuk mengetahui Tasawuf Amali

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tasawuf Kontroversial

1. Dasar Dasar Pemikiran Abu Yazid Al-Bastami Fana Baqo dan Itthad

a. al-Fana dan al-Baqa`

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah
fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut
biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala
sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.
Sedangkan Dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni
faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah tasawuf,
Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu
Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya “hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari segala perbuatan manusia,
sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat memebedakan sesuatu secara
sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepantingan ketika berbuat sesuatu”.
Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and disappear.
(mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan
mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi
dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat
lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan,
dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` adalah lenyapnya indrawi atau ke-
basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang
yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam
wujud ini, maka dikatakan ia telah fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut
istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah
baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana`
adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta`ala berada pada
segala sesuatu.
Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-Qusyairi menulis, “Fananya
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran
tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran

2
sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan
terjadilah ittihad.” Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan
kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang
tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta. Jadi seorang sufi dapat bersatu
dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih
sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuha Penghancuran diri tersebut
senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus
hidup),
Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada
Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya digunakan dengan
proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti
memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itera beriringan, sebagaiamana dinyatakan
oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada,
dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan
tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”. Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`.
Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia.
Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat
ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana` dicapai setelah meniggalkan segala
keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya. “Setelah
Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya.
Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku,
“karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan
melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…” Jalan menuju fana`
menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya,
“Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri
(Nafsu)mud an kemarilah.” Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana` pada
salah satu ucapannya “Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`,
kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” (B 132)
Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena keduanya
merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana`,
ketika itu juga ia sedang menjalani baqa`. Dalam menerangkan kaitan antara fana` dan
baqa` al-Qusyairi menyatakan, “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan
tercela, maka ia sedang fana` dari syahwatnya. Tatkala fana` dari syahwatnya, ia
baqa` dalam niat dan keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari
khidupan maka ia sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam
ketulusan inabahnya…”
Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme
sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif. Dalam
rangka memahami pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti prosedur. Dalam

3
qaul al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah (wafat 1176/1762)
merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu Qadariyyah, Chistiyyah dan
Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip yang sama, walau berbeda dalam
rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.
Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan
sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam iterature tasawuf disebutkan,
orang yang fana dari kejahatan akan baqa(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang
yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,
yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan
sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu.
Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.

a. al-Ittihad
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya
(dua benda) menjadi satu, yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam
tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan. Yang mana
tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui
tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan.
Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun
perbuatannya.
Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang
bersangkutan, karena fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan
nama tuhan. Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya
menyatakan;
Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu
dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah ydng
disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari
ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat
yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak
(Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut; Apabila
Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan
tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq). Bagi
sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia
merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas menghilang darinya
secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan Murni (al-
Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung.
Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya
sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya
mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan
kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku
adalah Tuhan”, sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa
agungnya aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai

4
Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`)
atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar
akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar
akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar
akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut
sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam
bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-
ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis).
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat
tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat[26] yang
diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi
sebelum Abu Yazid, umpamanya. “Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena
aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena
engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata: “Tuhan berkata,
”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah
aku dan aku adalah Engkau.” Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi: “Konversasi pun
terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai
engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata,
“Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah
Aku.” “Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu
Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu
Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan
Mahatinggi. Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia
dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid
ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini
kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.” Permintaan Abu
Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari
kata-kata berikut ini, “Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku.”
Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas
memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu didalam sejarah ada sufi
yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan berarti
bahwa Abu Yazid sebagai tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang
disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana`an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai tuhan seperti Fir`aun. Proses
ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan
melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang
disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat
dan menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat

5
2. Ajaran –Ajaran Kontroversial Abu Yazid Al Bastami Syatahat dan Mi’raj

Pengalaman Debu Yazid serta ucapan-ucapannya yang terkadang sulit


dipahami oleh orang awam (orang biasa), menyebabkan sebagian ulama
menentangnya.
a. Syatahat
Pada saat merasakan fana, munculah syatahat (ungkapan-ungkapan aneh) dari
lidah Debu Yazid.Debu Nashr al-Sarraj berpendapat bahwa syatahat (Inggris:
theopathical stammerings) itu menggambarkan pencapaian kondisi spiritual sang sufi
yang semakin tinggi. Berikut adalah sejumlah syatahat yang pernah dituturkannya.
"Tuhan, diri sendiri meminta-Mu menjadi satu-satunya yang telah tersedia
untukku di selang hal lain yang hampa."
"Sesungguhnya diri sendiri adalah Allah, tidak telah tersedia Tuhan kecuali
Aku, maka sembahlah Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci AKu, alangkah Maha
Mulianya kondisiku." Ini dituturkannya saat sedang menunaikan shalat shubuh
berjama'ah yang membikin orang-orang tercengang dan menganggapnya gila. "Tidak
telah tersedia Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Akbar Aku."
"Tidaklah diri sendiri heran terhadap cintaku kepada-Mu karena diri sendiri
hanyalah abdi yang hina; tetapi diri sendiri heran terhadap cinta-Mu kepadaku karena
Engkau adalah Raja yang Maha Kuasa. Allah yang Maha Mulia telah berkenan
menerimaku di dua ribu angkatan. Pada setiap angkatan, Dia menawarkan suatu
kerajaan kepadaku, tetapi diri sendiri tolak. Maka Allah berucap kepadaku, 'Hai Debu
Yazid, apa yang engku inginkan?' Diri sendiri menjawab, Diri sendiri berhasrat tidak
menginginkan." Telah tersedia juga perkataanya, "Manusia bertaubat dari dosa-dosa
mereka, sedangkan diri sendiri bertobat dari ucapanku, Tiada Tuhan selain Allah
karena diri sendiri mengucapkannya dengan alat dan huruf, padahal Tuhan tidak dapat
dijangkau dengan huruf dan alat. "Pada suatu saat diri sendiri ditingkatkan sampai ke
hadirat Allah. Maka Dia berucap, 'Hai, Debu Yazid, sesungguhnya makhluk-Ku
berhasrat melihatmu.' Diri sendiri menjawab, 'Wahai Kekasihku, diri sendiri tidak
berhasrat melihat mereka. Jika engkau menghendaki hal demikian dariku, maka
sungguh diri sendiri tidak sanggup menentang kehendak-Mu. Hiasilah diri sendiri
dengan keesaan-Mu, sehingga mereka bila melihatku, akan berucap, 'Kami telah
melihat engkau, padahal yang sebenarnya mereka lihat sebenarnya adalah Engkau,
karena di kala itu diri sendiri tidak telah tersedia di sana."
Dikisahkan bahwa pernah seseorang laki-laki mendatangi Debu Yazid di
rumahnya. Sesudah orang itu mengetuk pintu rumah, maka Debu Yazid
bertanya,"Siapa yang kamu cari?" Orang itu menjawab, "Debu Yazid".Lalu Debu
Yazid berucap, "Pergilah, tidak telah tersedia di rumah ini kecuali Allah." Di lain hari,
dia berucap, "Yang telah tersedia dalam di jubah ini hanyalah Allah."

6
"Apabila jahannam melihatku, maka dia akan menyurut."
Dari ungkapan-ungkapan syatahat Debu Yazid di atas itulah dapat dipahami
bahwa dia selalu merasakan fana. Dia dan dunia semesta telah hilang dari
kesadarannya, kendati dia dan dunia semesta itu tidaklah hilang sama sekali, tetapi
hanya dari kesadarannya.Menurut Al-Thusi, pada kondisi ketidaksadaran di atas
membikin sufi tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya. Masalah ucapan-ucapan ini
juga pernah dikaji oleh Louis Massignon, untuknya hal itu muncul karena seorang
sufi sedang tidak kekurangan di luar sadarnya, karena jika dituturkan dalam kondisi
normal, justru akan dihalau sendiri oleh orang yang mengucapkannya.

Seseorang pernah menyampaikan kepada Syekh Junaid mengenai syatahat


yang dituturkan oleh Debu Yazid ("Maha Suci Aku! Maha Suci Aku! Diri sendiri
inilah Tuhanku Yang Maha Luhur"),namun hal itu justru mendapatkan respon yang
positif. Dia berucap, "Debu Yazid begitu terpesona ketika melihat keagungan Allah,
sehingga dia mengucapkan apa yang telah membikinnya terpesona." Allah yang Maha
Akbar telah membikinnya alpa dan dia tidak menyaksikan kecuali Tuhan, maka Debu
Yazid berucap tentang-Nya.”Debu Yazid adalah seorang sufi pertama yang
melahirkan kata-kata syatahat, namun belum memiliki maqam (kedudukan) yang
tinggi menurut Syekh Junaid. Sedang Syeikh Abdul Qadir Jaelani menanggapi dengan
perkataannya, "Tidaklah hal itu divonis kecuali saat berucap itu, sufi sedang dalam
kondisi sadar. Namun jika dia dalam kondisi sadar, maka hukuman akan diberlakukan
atasnya." Alasan lain datang dari Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Ghazali yang ada
pemikiran sama, yakni bahwa kata-kata seperti “Maha Suci diri sendiri, tidak telah
tersedia dalam jubahku kecuali Allah”, dan perkataan lainnya ketika sedang mabukk
cinta pada Tuhan, sebaiknya disimpan dan tidak perlu diriwayatkan.
Jika para ulama-ulama tersebut memaklumi perkataan Debu Yazid karena
ketidak sadarannya, berlainan dengan Ibnu al-Jauzi, dia menyebut bahwa barang siapa
yang mengucapkan kata-kata tersebut, siapapun dia, maka tergolong zindiq (orang
yang kufur/ keluar dari Islam) dan harus dibunuh karena sikap yang menyepelekan
sebagai dampak dari penentangan. Menurutnya, sebaiknya lilin didekatkan ke
wajahnya dan jika dia tersulut maka beritahukan kepadanya, "Inilah bara neraka".
Selanjutnya, telah tersedia Debu al-Fadhl al-Falaki yang dalam kitabnya berjudul al-
Nur min Kalami Thaifur menuliskan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Debu
Yazid.

b. Mi'raj
Selain syatahatnya, Debu Yazid juga menuai kontroversi mengenai Mi'raj
(naik ke langit, yang mana Nabi Muhammad pernah melaksanakan perjalan dari
Jerusalem menuju langit ketujuh) yang dialaminya. Debu Yazid sangat tertarik pada
pengalaman spiritual yang tinggi dari Nabi Muhammad saw tersebut. Dia juga
memimpikan dan mendapatkannya. Kisahnya dimulai saat dia bermimpi merasakan
mi'raj, naik ke langit dengan membawa kerinduan mencari Allah, berhasrat bersatu
dan tinggal bersama-Nya untuk selamanya. Saat itu dia mendapatkan ujian, Allah

7
menunjukkannya bermacam macam karunia, menawarkan kekuasaan atas seluruh
langit, namun dia berpaling karena dia kenal bahwa seluruh itu hanyalah ujian. Lalu
dia berucap, "Wahai kekasihku hasratku bukanlah itu seluruh." Selanjutnya dia naik
ke langit kedua, di sana terlihat para malaikat bersayap yang terbang ke bumi seratus
ribu kali setiap hari untuk melihat para wali (kekasih Allah) yang mana mereka
memiliki wajah bersinar seperti matahari.

Yang belakang sekali dia terus naik dan sampai pada langit ke tujuh. Tiba-tiba
terdengar suatu sahutan, "Hai Debu Yazid, berhentilah! Kau sudah sampai pada
tujuanmu".Namun dirinya tidak mempedulikan hal tersebut dan terus terbang. Tuhan
yang melihat ketulusan dan kerinduan mencari-Nya, mengubahnya menjadi seperti
seekor burung yang dapat terbang. Dia menempuh kerajaan-kerajaan, menembus
hijab (penghalang) demi hijab sampai malu satu malaikat menemuinya dan
menyerahkan suatu pilar cahaya dan berucap, "Ambilah!". Dia berucap bahwa saat itu
langit dan seluruh pokoknya berlindung di bawah makrifatnya (pengetahuan), mencari
cahaya dalam cahaya kerinduan, dan perhatian yang totalnya untuk mencari Allah.
Dia terbang lagi sampai berjumpa dengan malaikat-malaikat yang banyaknya seperti
bintang di langit yang memancarkan sinar. Ketika Tuhan melihat ketulusannya, Dia
berucap, "Hai orang pilihan-Ku, mendekatlah pada-Ku dan naiklah ke hamparan
keindahan-Ku. Kau adalah pilihan dan kekasih-Ku di selang makhlu-Ku."Yang
belakang sekali Debu Yazid meleleh seperti melelehnya timah dalam panasnya api.
Dia menceritakan bahwa yang belakang sekali Allah mengubahnya menjadi bangun-
bangun lain yang tidak dapat dikemukakan. Tuhan membawa Debu Yazid menjadi
sangat akrab dengan-Nya melebihi akrabnya ruh dengan tubuh.

Kisah di atas dapat menunjukkan bahwa Debu Yazid memperoleh satu


pengalaman spiritual seperti apa yang didapatakan oleh Rasulullah, yakni dimi’rajkan
ke langit untuk menghadap Tuhan sekaligus menyaksikan bermacam tanda kebesaran
dan kekuasaan yang dimiliki-Nya Kendati memiliki pengalaman spiritual yang sama,
namun Debu Yazid tidak pernah menyebut memiliki kualitas keruhaniannya yang
setaraf dengan Nabi Muhammad yang diyakini umat Islam sebagai Nabi yang paling
mulia. Namun dia hanya berucap, "Tigapuluh ribu tahun diri sendiri terbang di dalam
kemuliaan-Nya (Allah), yang belakang sekali di dalam keesaan-Nya. Lalu diri sendiri
juga menjelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai ke kesudahan
penjelajahan, ternyata diri sendiri sedang tidak kekurangan di tahap awal kenabian."
Dia juga berucap bahwa karunia ilmu yang dianugerahkan kepadanya dibandingkan
dengan apa yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad, layaknya tetesan-tetesan
madu dibanding dengan sekarung akbar madu.

Kisah mi’raj dan ungkapan-ungkapan syatahat Debu Yazid seperti yang juga
dilakukan oleh Mansur Al-Hallaj (dihukum mati karena memahami wahdatul bangun-
bangun nya (penyatuan jiwa antar manusia dengan Allah) pada tahun 922 M) telah
mengundang banyak kontroversi di kalangan para ulama’ pada umumnya dan sufi

8
pada khususnya. Telah tersedia golongan yang menganggap kisah itu hanyalah
karangan saja, telah tersedia juga yang mengecam syatahatnya sebagai perkataan dari
orang yang sudah gila Sebaliknya, telah tersedia juga golongan yang dapat memahami
sekaligus menghargai mimpi dan syatahatnya, sehingga dianggap sebagai suatu
kewajaran yang muncul pada sufi yang sedang mabuk cinta pada Tuhannya dan
sedang tidak dalam kesadaran seperti kebanyakan.

3. Prinsip-Prinsip Ajaran Mansur Al Hajj

Nama lengkap al – Hallaj adalah Abu Bakar al-Mugis al-Husain ibn Mansur
ibn Muhammad al – Baidawi. Ia lahir pada tahun 244 H/858 M. di desa thur wilayah
Baida, Persia.ia menghabiskan masa kecilnya di kota Wasit bagdad. ketika usianya
menginjak 16 tahun ia mulai belajar pada guru – guru sufi secara serius. Diantara
gurunya tercatat nama Abdullah at-Tsutari, seorang sufi yang menulis tafsir
tasawufnya dinisbahkan kepada namanya, at-Tustari, seorang sufi yang menulis tafsir
tasawufnya dinisbahkan kepada namanya, at-Tustari. Dua tahun kemudian ia pergi ke
kota ilmu, Basrah. Di kota tersebut ia belajar tasawuf kepada Amr al-Makki. Tahun
berikutnya 878 M ia pergi ke bagdad dan sempat belajar tasawuf dibawah bimbingan
Junaid al – Bagdadi. Seperti kebanyakan sufi yang sejaman dengannya, banyak
bepergian dari satu kota ke kota lain, dari satu Negara ke Negara lain dalam rangka
talab-al ‘ilm dan riyadah jasadiyyah,demikian juga al hallaj dari satu kota ke kota
lain, dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Kota – kota yang pernah ia kunjungi antara
lain : Khurasan, Ahwaz, Turkistan, India, Hijaz, Makkah, dan Madinah al-
Munawwarah.

Sebagai seorang sufi yang hidup wara’ dan zuhud, banyak orang – orang yag
tertarik dan kagum dan kagum serta menjadi seorang pengikutnya. Salah seorang
sahabat dan muridnya adalah kepala rumah tangga istana bernama Nasr al – Qusyairi.
Al Hallah dan al- Qusyairi sering melontarkan kritik terhadap penyelewengan –
penyelewengan yang terjadi di kerajaan serta kesewenang-wenangan khalifah dalam
menjalankan roda pemerintahannya. Kritik yang konstruktifmenjadi bumerang bagi al
–Hallaj sehingga ia dipenjarakan selama 8 tahun, disiksa dan akhirnya dibunuh
dengan cara di Salib. Tanggal 24 Zul-Qa’dah 309 H/24 maret 922 M, al – Hallaj
dihukum gantung, sebelum digantung ia dicambuk seribu kali, tetapi ia tidak pernah
mengaduh apalagi mengeluh kesakitan, malah ia meminta izin untuk salat dua raka’at,
setelah sholat lalu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang gantungan

Pemikiran Al-Hallaj yang sangat kontroversial, menonjolkan dan dianggap sebagai


pemikiran yang ekstrim sepanjang sejarah tasawuf dalam Islam adalah ajarannya
tentang hulul. Hulul artinya Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.
Fana bagi Al-Hallaj mengandung tiga tingatan: Tingkat memfanakan semua fikiran
(tajrid taqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya
kepada Allah dan tingkat menghilangkan semua kekuatan pikiran dan kesadaran. Dari
tingkat fana dilanjutan ketingkat fana al fana, peleburan wujud jati manusia menjadi
sadar keTuhanan melarut dalam hulul hingga yang di sadarinya hanyaah Tuhan.

9
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar
pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat
dasar, yaitu Lahut (keTuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Tuhan pun, menurutnya,
mempunyai sifat kemanusiaan di samping sifat keTuhanan-Nya. Dengan dasar inilah
maka persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi. Dan persatuan inilah,
dalam ajaran Al-Hallaj, disebut Al-Hulul (mengambil tempat).

Paham Al-Hallaj di atas didasar oleh konsep penciptaan Adam. Menurutnya, sebelum
Tuhan menciptakan makhluk-Nya. Dia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam
kesendirian-Nya itu terjadi dialog antara Dia dengan diri-Nya sendiri, dialog yang
didalamnya tidak ada kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihatnya hanyalah
kemuliaan dan ketinggian Zat-Nya. Dan Dia pun cinta terhadap zat-Nya itu. Cinta
yang tak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab dari segala yang ada
(makhluk-Nya). Kemudian Dia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk dari diri-
Nya dan bentuk itu adalah Adam. Maka diri Adamlah, Tuhan muncul dalam bentuk-
Nya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancaran Tuhan
yang berasal dari Tuhan.

Teori lahut dan nasut ini mempuya mempunyai dasar yang ada di dalam Al-Quran
yakni; “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu
kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir”.

Ayat tersebut di atas di ditafsirkan sebagai diperintahkan malaikat untuk bersujud


kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam, Allah bersemayam di dalam dirinya,
kecuali iblis yang menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam karena merasa lebih
tinggi dari Nabi Adam.

Tentang sifat lahut dan nasut Tuhan, dapat di lihar dari syair Al-Hallaj berikut :

Maha suci diri Yang sifat kemanusiaan-Nya

Membukakan rahasia Cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang

Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata

Dalam bentuk manusia yang makan dan minum.

Al-Hallaj juga mempuyai banyak syair-syair, antara lainnya sebagai berikut:

Aku adalah Dia Yang kucintai,


Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
Jika engkau melihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, Engkau lihat kami.[19]
“Aku adalah rahasia Yang Maha Besar

10
Yang Maha Besar bukanlah aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami.”[20]

Bentuk-bentuk Al-Hulul
1) Al-Hulul Al-Jawari yaitu dua, keadaan dimana esensi yang satu dapat
mengambil tempat pada yang lain (tanpa ada penyatuan) sebagaimana halnya
terlihat air bertempat dalam tempayang.
2) Al-Hulul Al-Sayorani ialah menyatunya dua esensi sehingga tampat hanya
satu esensi, seperti zat cair yang telah mengalir dalam bunga. Rupanya paham
kedua inilah yang di kembangkan Al-Hallaj

B. Tasawuf Amali

1. Pengertian dan Karakteristik Tasawuf Amali

Tasawuf ‘amali disebut juga dengan tasawuf tathbīqi (terapan) yaitu tasawuf yang


membahas bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui zikir dan
wirid dengan harapan memperoleh ridha Ilahi.

Tasawuf Amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki. Jika tasawuf akhlaki
berfokus pada pensucian jiwa, tasawuf amali lebih menekankan terhadap cara-cara
mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik melalui amalan lahiriah maupun
batiniah.

Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf amali adalah ajaran
yang dianut oleh pengikut tarekat (ashhâbut turuq), yang meliputi menjauhi sifaf-
sifat tercela, mengutamakan mujâhadah, menghadap Allah dengan bersungguh-
sungguh dan memutuskan hubungan dengan lainnya. Apabila dilihat dari sudut
amalan dan ilmu yang dipelajari, terdapat 4 aspek yang harus dipelajari dalam
aliran tasawuf  amali, yaitu syaria’t, thariqat, dan ma’rifat.

Tokoh-Tokoh Tasawuf ‘Amali diantaranya Syaikh Abdu al-Qadir al-


JailaniJunaid al-Baghdadi Rabi’ah al-Adawiyah
Ajaran Tasawuf ‘Amali Ajaran-ajaran Tasawuf ‘Amali melingkupi hal-hal
dibawah ini:
Mahabbah, berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah ini merupakan sebuah
jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan)
yang harus dilalui untuk mencapai ridha Ilahi dalam beribadah.
Zuhud, yaitu mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk hal ibadah. Zuhud
merupakan suatu maqam menuju makrifat kepada Allah Swt. Orang yang
mengamalkan ajaran ini lebih mencintai urusan akhirat daripada urusan dunia.

11
Mujahadah, yaitu melawan kehendak hawa nafsu dan membelenggunya dengan
taqwa dan takut kepada Allah Swt dengan jalan muraqabah (beribadah kepada
Allah seakan-akan melihat-Nya, jika tidak mampu maka yakinilah bahwa Allah
Swt Maha Melihat).
Tawakal, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt.Syukur, yaitu
pengakuan akan nikmat Allah Swt dengan cara tunduk kepada-Nya. Seseorang
bisa dikatakan bersyukur atas nikmat Allah Swt ketika orang tersebut
mendapatkan kenikmatan banyak ataupun sedikit namun tetap selalu
berterimakasih dan selalu menerima apa yang Allah berikan.Ridha, yaitu
menerima musibah yang diberikan oleh Allah Swt dengan senang hati. Menerima
dengan senang hati dan rela dari segala sesuatu yang diberikan oleh Allah Swt
atau yang sudah ditakdirkan-Nya.Shidiq atau jujur ini adalah kesesuaian antara
isi hati dengan apa yang diucapkan. Sifat jujur ini adalah sifat yang sulit untuk
dilakukan, karena tidak semua manusi bisa berbuat jujur, pasti setiap manusia
memilihi sifat kebohongan.

Metode Tasawuf ‘Amali
Dalam pelaksanaan tasawuf ‘amali ada beberapa metode yang dilakukan oleh
seorang sufi, yaitu:
Riyaḍah yaitu latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan hal-hak yang mengotori jiwanya. Riyaḍah perlu dilakukan karena
makrifatnya dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan baik yang terus
menerus.
Tafakur, yaitu proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas
berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa).
Taẓkiyatu al-Nafs yaitu proses penyucian jiwa manusia yang melalui 3 (tiga)
tahapan yaitul takhalli, taḥalli dan tajalli.Dẓikrullah, yaitu berulang-ulang
menyebut atau mengingat nama Allah.

Nama-Nama Lain Tasawuf ‘Amali


Tasawuf Al-Quran atau Qurani, yaitu menjalankan amaliah tasawuf yang
ajaran yang bertumpu pada kegiatan, usaha dan membersihkan jiwa (tazkiyah al-
nafs), dekat kepada Allah (taqarrub ilallah), dengan bersumber pada ajaran al-
Quran.
Tasawuf Sunni, yaitu mengamalkan tasawuf dengan mengikuti sunnah
Nabi; perkataan, perbuatan, ketetapan atau persetujuan Nabi Muhammad Saw
tentang perilaku sahabat yang senantiasa dijadikan acuan.
Tasawuf Akhlaki, yaitu mengamalkan tasawuf dengan fokus utama
membina akhlak mulia dengan cara membersihkan diri dari dosa kecil dan dosa

12
besar, dari penyakit hati dan sifat-sifat tercela untuk diterapkan dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Tasawuf Salafi, yaitu mengamalkan tasawuf dengan berpedoman kepada
pemikiran, pandangan dan metodologi bertasawuf sebagaimana yang diamalkan
generasi kaum salaf yang saleh.
Ruang Lingkup Tasawuf ‘Amali

Syariat, yaitu aturan kehidupan yang meliputi segala aspek kehidupan berupa
penyembahan atau ibadah (shalat, puasa, zakat dan haji), ekonomi, politik dan
moral kemasyarakatan.

Tarekat yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam tujuan berada
sedekat mungkin dengan Allah Swt.Hakikat, yaitu ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran sejati mengenai Tuhan.

Makrifat, yaitu pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalb). Pengetahuan


yang dipelajari objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih
mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Pengetahuan itu
demikian l

2. Pengertian dan Penjelasan Tentang Maqomat dan Ahwal

a. Maqomat

Maqamat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat
dengan Allah.Dalam pandangan Ath-Thusi sebagaimana dikutip oleh Rosihon
Anwar dan M. Alfatih bahwa maqamat adalah kedudukan hamba (salik) dalam
perjalanannya menuju Allah SWT melalui ibadah, kesungguhan melawan
rintangan (al-mujahadat), dan latihanlatihan rohani (ar-Riyadhah). Di antara
tingkatan maqamat adalah: taubat, zuhud, wara’, faqir, sabar, tawakkal, dan
ridho. Secara umum pemahamannya sebagai berikut:

1) Taubat, yaitu memohon ampun disertai janji tidak akan mengulangi


lagi.
2) Zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia (dalam hal kema’siyatan)
dan mengutamakan kebahagiaan di akhirat.
3) Wara’, yaitu meninggalkan segala yang syubhat (tidak jelas halal
haramnya).
4) Faqir, yaitu tidak meminta lebih dari apa yang sudah diterima.
5) Sabar, yaitu tabah dalam menjalankan perintah Allah SWT dan tenang
menghadapi cobaan.
6) Tawakkal, yaitu berserah diri pada qada dan keputusan Allah.
7) Ridho, yaitu tidak berusaha menentang qada Allah.

Dalam konsep tasawuf, usaha mendekati Tuhan itu dilakukan melalui


beberapa maqamat (fase). Yang dimaksud di sini adalah kedudukan hamba di

13
hadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam amaliah ibadah, mujahadah, riyadhah,
dan terputus dari selain Allah. Maqamat itu menurut sebagian pendapat antara
lain : taubat, wara’i, zuhud, ridha, sabar dan tawakkal . Para ahli tasawuf
berbeda pendapat mengenai susunan tingkatantingkatan maqamat (station-
station). Dalam kaitan ini, Abu Nashr asSarraj ath-Thusi dalam kitab Al-
Luma’ fi al-Tashawwuf, menyebutkan tujuh maqam secara berurut, yaitu:
taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan ridla

b. Ahwal

Ahwal Teori lain yang hampir sama dengan maqamat yaitu hal (Pluralnya
ahwal). Yang dinamakan Hal Secara bahasa berarti keadaan. Yang dimaksud
adalah keadaan jiwa mutasawwifin sekaligus menandai tingkat pencaapaian
mereka dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, melalui riyadhah
dan mujahadah sepanjang perjalanan spiritualnya

Hal adalah apa yang didapatkan orang tanpa dicari (hibah dari Allah SWT).
Sedangkan dalam maqamat didapatkan dengan dicari (diusahakan). Dengan
kata lain hal itu bukan usaha manusia, tetapi anugerah Allah setelah seorang
berjuang dan berusaha melewati maqam tasawuf. Yang termasuk ahwal antara
lain : perasaan dekat, cinta, takut, harap, rindu, yakin, dan puas terhadap
Tuhan, serta tentram dan musyahadah (perasaan menyaksikan kehadiran
Tuhan)

Hal dimaknai sebagai sebagai tingkat derajat spiritual yang semata-mata


anugerah Allah SWT. Itulah sebabnya, ahwal lebih memiliki makna dan
fungsi tentang keadaan-kondisi kerohanian yang bersifat temporer, tanpa
ikhtiar diri, dan lebih merupakan anugerah khusus dari Allah SWT; meskupun
ia tidak bisa dilepaskan dari upaya yang sungguhsungguh untuk menjalani
kehidupan kerohanian.Keadaan inilah yang merupakan bonus dari Sang Maha
Kuasa untuk kebaikan hamba-Nya yang sholih. Dalam pandangan Harun
Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, hal merupakan keadaan
mental, seperti perasaan sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya. Oleh
karena itu ada istilah istilah lain yang termasuk kategori hal, yaitu al-
muraqabat wa al-qurb, al khouf wa al-roja (takut dan penuh harap), at-
tuma’ninah (perasaan tenang dan tentram), al-musyahadat (menyaksikan
dalam pandangan batin), al-yaqin (penuh dengan keyakinan yang mantap), al-
uns (rasa berteman), at-tawadlu’ (rendah hati dan rendah diri), at-taqwa
(patuh), al-wajd (gembira hati), asy-syukr (berterima kasih), dan ikhlas .
Dengan demikian antara maqamat dan ahwal merupakan dua prinsip dalam
kajian tasawuf yang tidak bisa dipisahkan. Maqamat dengan usaha dan kerja
keras yang maksimal; kemudian hasilnya merupakan anugerah dari Allah
SWT berupa perasaan dan keadaan-keadaan (ahwal) yang dialami oleh
seorang salik menuju Tuhannya.

3. Prinsip Prinsip Ajaran Tasawuf dzu Al-Nun Al Mishiri

Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep
ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia

14
dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat
pada tahun 246 H./856

Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai


kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah
mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas
permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun
Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan
permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya.Dzun Nun disiksa
dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam
keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil
berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah
ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa
permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu
mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak
peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.

Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun riwayatnya
sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan hidupnya
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi berbagai
daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia, dan
lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh pengalaman
yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar pada Imam
Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal,
Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh
tasawuf terkemuka pada zaman itu.

Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn Mush’ib an
Nakha’i. Sedangkan gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al Abd atau Israfil
al Maghribi sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi seorang yang ‘alim,
baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.

Dzun Nun al Mishri adalah orang pertama yang memberikan tafsiran tentang
isyarat-isyarat tasawuf, walaupun ada sejumlah guru sufi sebelum Dzun Nun. Ia
orang pertama Mesir yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang yang
pertama memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak sufistik.
Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran tasawuf. Dengan demikian
tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah
seorang peletak dasar-dasar tasawuf di dunia Islam.

Al Ma’tifat menurut Dzun Nun al Mishri

Sebagaimana diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al


Ma’rifat. Walaupun paham ma’rifat sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun
Nun al Mishri-lah yang lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini
tidaklah berlebihan karena berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi yang
kemudian dianalisis oleh Nicholson dan Abd. Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi
al Islam disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak
baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai
dengan :

15
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan
kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu
menggunakan pendekatan akal.

2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al


qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.

3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-


Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan
ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur falsafah ke
dalam tasawuf.

Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun Nun al
Mishri dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh
Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847
M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita
temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap
aqliyah dan kalam. Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :

1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan


Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan
ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah.
Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki para wali
Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya,
maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamaba-hamba yang
lain.

2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan


cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan
cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga
terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba,
bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat
dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah.

Kedua ungkapan di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat
ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan
jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari
ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Melalui pendekatan ini manusia perlahan-lahan terangkat ke atas sifat-sifatnya
yang rendah dan selanjutnya menyandang sifat-sifat yang luhur seperti yang
dilimiki Tuhan. Pandangan-pandangan seperti inilah yang nantinya diteruskan dan
dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami, al Junaid sampai al Ghazali.

Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al Ta’aruf
li Mazahid Al Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab Tasawwuf),
Dzun Nun al Mishri telah sampai kepada tingkatan ma’rifat, yaitu tingkatan
maqam (stasiun) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati maqam taubat, zuhud,
fakir, sabar, tawakkal, rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah mengetahui
Tuhan dengan sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzun Nun al
Mishri ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab, “’arafu rabbi bi

16
rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi” ,Aku mengenal Tuhan karena Tuhan,
dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui Tuhan). Kata-kata
Dzun Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu tasawuf. Menurut Abu Al
Qasim Abd Karim Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui bahwa ma’rifat
yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan
lebih merupakan anugrah yang dilimpahkan Tuhan kepada dirinya.

Dzun Nun al Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga bagian,
yaitu :

1. Pengetahuan untuk seluruh muslim


2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, jenis pengetahuan yang pertama dan kedua belum
dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum
disebut dengan al ma’rifat, tetapi disebut dengan ilmu. Adapun jenis pengetahuan
yang ketiga baru disebut dengan al ma’rifat.
Dari ketiga macam pengetahuan Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan
tingkat auliya (para wali) adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka
mencapai tingkatan musyahadah. Para ulama dan filosof tidak mampu mencapai
maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan,
sedangkan akal itu sendiri mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan
rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud
mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut :
1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak
ada usaha untuk mengenalnya.
2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai dengan
meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak mensyaratkan apa-
apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata.
3. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua macam,
yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman, sedangkan wasil
adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat.
Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa pada garis besarnya terdapat
dua jalan yang ditempuh Dzun Nun al Mishri dalam mendekati Tuhan, yaitu thariqah
yang biasa ditempuh oleh para ahli sufi melalui maqamat yang dilakukan secara
sistematis dan ketat mulai tobat. Adapun thariqah yang kedua yaitu ijtiba bersifat
personal. Untuk jalan thariqah, Dzun Nun al Mishri menceritakan secara lebih rinci
tahapan-tahapan situasi batin yang hendak menuju tingkat arif (ahli ma’rifat), yaitu :
iman, khauf, tha’ah, raja, al mahabbah, syauq, uns, thuma’ninah, dan na’im. Di
samping menggunakan thariqah seperti ini, ia juga menempuh perjalanan sufinya

17
melalui maqamat tertentu yang intinya dimulai dari taubat, wara, zuhud, tawakkal,
rida, al ma’rifat, sampai mahabbah.
Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat, dia
melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta.
Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut : “…. Ya Rabbi, aku mengenal-Mu
melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan semangat
Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah seorang
sufi besar, bapak paham al ma’rifat dalam terminologi sufisme karena
keberhasilannya dalam menampilkan corak baru kehidupan sufistik, yang lebih
menekankan pendekatan al ma’rifat qalbiyah dari pada al ma’rifat aqliyah. Inti ajaran
al ma’rifat adalah mengetahui dan melihat Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari
sempat meliha-Nya tanpa penghalang. Pengetahuan inti adalah anugrah Allah yang
diberikan kepada orang-orang tertentu.

18
BAB II
PENUTUP
A. Simpulan
Orang orang sufi berpendapat bahwa manusia dapat naik ke jenjang lebih
tinggi lagi, di atas ma’rifah, yakni persatuan dengan Tuhan yang diistilahkan dengan
ittihad, hulul, dan wahdah al-wujud. Dengan karakter tasawuf seperti ini, pembahasan
tasawuf sudah bersifat falsafi, yakni pembahasannya telah meluas kepada masalah
metafisika, seperti proses persatuan manusia dengan Tuhan, sekaligus membahas
konsep manusia dan Tuhan. Bahkan dengan adanya berbagai ajaran tasawuf yang
belum di mengerti oleh orang orang yang ‘awam akan menimbulkan kontroversi
karena mereka belum memahami terhadap ajaran tersebut.
Tasawuf ‘amali disebut dengan tasawuf tathbīqi (terapan) yaitu tasawuf yang
membahas bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui zikir dan wirid
dengan harapan memperoleh ridha Ilahi. yang meliputi menjauhi sifaf-sifat tercela,
mengutamakan mujâhadah, menghadap Allah dengan bersungguh-sungguh dan memutuskan
hubungan dengan lainnya. Apabila dilihat dari sudut amalan dan ilmu yang dipelajari,
terdapat 4 aspek yang harus dipelajari dalam aliran tasawuf  amali, yaitu syaria’t, thariqat, dan
ma’rifat.

B. Saran
Dalam penyelesai makalah ini masih banyak sekali kekurang dan masih sedit
pemahaman tentang Tasawuf untuk itu kami untuk itu penulis menminta kritik dan saran apa
bila di dalam makalah ini masih banyak kesalahan

19

Anda mungkin juga menyukai