Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ULUMUL HADIST

“HADIST MAUDHU’ , HADIST ‘AN’AN, ‘ANNAN, ‘ALI NAZIL, DAN MUSALSAL”

Mata kuliah : Ulumul Hadist


Dosen pengampu : Syarifah Rusydah M.Ag.

Disusun Oleh :
ITA FITRI MULYANI (11200340000098)
M. SHOFWAN MUHADZIB (11200340000109)
M. FARID IRSYAD (11200340000165)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puja dan Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, yang
mana berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan
baik.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahannya kepada Nabi Muhammad
SAW, yang mana berkat jerih payah beliau, kita bisa menikmati manisnya ilmu dengan
pengetahuan.

Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada ibu dosen pengampu yang telah
mempercayakan kami dalam membuat makalah ini dan memberikan kami waktu dalam
mengerjakannya.

Dalam makalah ini, kami berkesempatan untuk mengangkat pembahasan dengan tema
"hadist maudhu’, hadist ‘an’an, ‘annan, ‘ali nazil, dan hadist musalsal.", yang mana dalam
makalah ini, kami berusaha untuk menggali dan mencari tahu, serta memberi pengetahuan
baru kepada para pembaca mengenai apa itu hadist maudhu’, hadist ‘an’an, ‘annan, ‘ali nazil
dan hadist musalsal.

Tak ada manusia yang sempurna, mungkin seperti itulah kami menggambarkan
makalah yang kami buat dan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar dalam penulisan
makalah yang selanjutnya bisa lebih baik lagi.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................

DAFTAR ISI .........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................

1.3Tujuan Masalah ......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................

2.1 Hadist Maudhu......................................................................................................

2.2Hadist Mu’an’an dan muannan ...............................................................................

2.3‘Ali dan Nazil .........................................................................................................

2.4Hadist Musalsal…………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP ..............................................................................................................

3.1Kesimpulan ............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hadist merupakan pedoman ke dua setelah al-quran sebab, al-quran tidak menjelaskan
secara merinci tentang hukum-hukum syariat dan ibadah dalam ajaran islam. Melainkan
hadistlah yang menjelaskanya namun tidak semua hadist mengandung keshahihanya yang
dhabit tapi ada juga yang lemah atau dhaif sebab banyak sekali para rawi-rawi dan ulama-
ulama hadist yang meninggal terdahulu sebelum menyelesaikan hadist tersebut. Hadist dhaif
ditinjau berdasarkan kekuatan sanad, matan, dan perawinya namun hadist dhaif masih
terangkat menjadi hasan ligoirihi, namun ada yang lebih parah dari pada hadist dhaif yaitu
hadist maudhu .

Hadist maudhu secara garis besar adalah hadist yang palsu, palsu disini itu juga bisa
memalsukan nama perawi dan mempercayainya juga masih sangat diragukan bahwa banyak
sekalian dari mereka yang menganggap hadist maudhu adalah hadist yang apabila diyakini
akan mendapatkan dosa selain dari hadist maudhu itu sendiri masih banyak lagi kejanggalan
bahkan kecurangan dalam segi meriwayatkan baik itu dari segi sanad, matan, rawi, dan lain
sebagainya.

Maka dari itu kami dari kelompok 12 akan menjelaskan sekaligus memaparkan materi
kelompok kami dengan judul “HADIST MU’AN’AN, MUANNAN, ‘ALI, NAZIL, DAN
HADIST MUSALSAL”

1.2 Rumusan Masalah


 Jelaskan pengertian hadist maudhu secara bahasa dan pengertian!
 Apa yang dimaksud dengan hadist mu’an’an? Sebutkan contoh hadist tersebut!
 jelaskan hukum dari hadist muannan!
 Sebutkan macam-macam hadist ‘ali!
 Apa itu hadist musalsal?

1.3 Tujuan Penulisan

4
1) Agar para mengetahui definisi dari hadist maudhu, mu’an’an, muannan, ‘ali,
nazil, dan hadist musalsal.
2) Agar bisa membedakan antara hadist mu’an’an dan muannan, dan ‘ali, dan nazil.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hadist Maudhu’


A. Pengertian hadist maudhu’

Menurut bahasa, maudhu' merupakan isim maf'ul dari lafadz "wadha'a" ( ‫ﺿ َﻊ‬
َ ‫ ) َو‬yang
artinya adalah meletakkan, sedangkan maudhu' berarti sesuatu yang diletakkan atau sesuatu
yang tidak digunakan. Hadits Maudhu' juga dikenal dengan istilah hadits palsu.

Sedangkan menurut istilah sebagaimana dalam Kitab Minhatul Mughits, Bab Hadits
Maudhu' adalah sebagai berikut :

‫ﻚ َﻋ ْﻤﺪًا‬
َ ِ‫ﺻﻠﱠﻰ ّٰﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻣِﻦْ ﻗَﻮْ ٍل اَوْ ﻓِ ْﻌ ٍﻞ اَوْ ﺗَ ْﻘ ِﺮ ْﯾ ٍﺮ اَوْ ﻧَﺤْ ِﻮ ذٰ ﻟ‬
َ ِ‫ھُ َﻮ ا ْﻟ َﻤ ْﻜﺬُوْ بُ َﻋﻠَﻰ َرﺳُﻮْ ِل ّٰﷲ‬

"Hadits Maudhu' adalah hadits yang didustakan atas nama Rasulullah SAW, baik perkataan,
perbuatan, ketetapan, dan sebagainya secara sengaja".

Jadi, jelaslah mengapa hadits ini diistilahkan sebagai Hadits Palsu, karena memang
isinya memuat kedustaan atau kebohongan dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW dan
itu dilakukan memang secara sengaja.

Menurut terminologi Hadits Maudhu’ terdapat beberapa pengertian, diantaranya :

menurut Imam Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah:

ْ‫ َوﯾَﺤْ ُﺮ ُم ِر َواﯾَﺘُﮫُ َﻣ َﻊ ا ْﻟ ِﻌﻠْﻢِ ﺑِ ِﮫ ﻓِﻲ‬، ِ‫ﻀ ِﻌﯿْﻒ‬


‫ع َوﺷَﺮﱡ اﻟ ﱠ‬
ُ ْ‫ﻖ ا ْﻟﻤَﺼْ ﻨُﻮ‬
ُ َ‫ھُ َﻮ ا ْﻟﻤُﺨْ ﺘَﻠ‬

ً‫ي َﻣ ْﻌﻨًﻰ ﻛَﺎنَ إِﻻﱠ ُﻣﺒَﯿﱠﻨﺎ‬


‫ أَ ﱢ‬.

“Dia (Hadits Maudhu’) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhoi’f
yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk
keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan.”

[2] Ada juga yang berpendapat bahwa Hadits Maudhu’ adalah:

‫ﻣﺎﻧُﺴﺐ اﻟﻰ اﻟﺮّﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠّﻢ اﺧﺘﻼ ﻗًﺎ وﻛﺬﺑًﺎ ﻣﻤّﺎ ﻟﻢ ﯾﻘﻠْﮫ أو ﯾﻔﻌﻠﮫ أو ﯾﻘﺮّه‬

“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara mengada-


ada dan dusta yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun taqrirkan.”

[3] Sedangkan menurut sebagian ‘Ulama hadits, pengertian Hadits Maudhu’ adalah:

‫ھﻮ اﻟﻤﺨﺘﻠﻊ اﻟﻤﺼﻨﻮع اﻟﻤﻨﺼﻮب اﻟﻰ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮭﻌﻠﯿﮫ وﺳﻠّﻢ زو ًرا وﺑﮭﺘﺎ ﻧًﺎ ﺳﻮاء ﻛﺎن ﻋﻤﺪا او ﺧﻄﺎء‬

6
”Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan
kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja
maupun tidak.

1. Awal Munculnya Hadits Maudhu

Selanjutnya dalam pengertian hadits maudhu, memasak bahwa hadits maudhu 'muncul
pada tahun 41 H. Pada tahun itu orang-orang islam terpecah-belah karena kesalahan hukum,
Khawarij, dan Jumhur. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah perkara-perkara bid'ah.
Dan pengaruh-pengaruh. hawa nafsu semakin tampak. Oleh karena mereka telah terbius oleh
hawa nafsunya, kemudian mereka tidak segan-segan membuat hadits-hadits maudhu untuk
menentang madzhab mereka dan mengembangkan bid'ah-bid'ah.

Orang yang membuat hadits maudhu 'itu banyak, tetapi di antara mereka yang populer
adalah Jabir bin Yazid Al-Ju'fi, Abu Daud Al-'Ama, Ibnu Ismah, dan Nuh bin Abu Maryam.
Orang yang disebut terakhir ini adalah orang yang benar-benar alim dan agung. Dan oleh
karena banyaknya ilmu yang dimiliki, dia bergelar Al-Jami .

Dia belajar ilmu fiqh dari Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, kepada Hujjaj bin Arthah
dalam bidang ilmu hadits, kepada Al-Kalabi dan yang lainnya dia belajar dalam bidang ilmu
tafsir, sedang dalam bidang maghazi dia belajar kepada Muhammad bin Ishaq dan yang
lainnya. Tetapi, meskipun menguasai berbagai disiplin ihnu, dia membuat banyak hadits
maudhu 'sehingga sebagian ulama memberi pernyataan, bahwa dalam dirinya ada keadaan
satu-satunya, yaitu kejujuran. Selanjutnya dalam pengertian hadits maudhu, Imam Hakim
meriwayatkan yang sanadnya sampai kepada Ammar, “bahwa Nuh bin Abi Maryam pernah
ditanyai mengenai hadits maudhu 'yang dibuatnya yang berkaitan dengan maasalah
keutamaan surat-surat dalam Al-Qur'an”. Dia menjawab,

Akibat dari tindakan Nuh bin Abu Maryam ini, banyak ahli tafsir yang terkecoh dan
ditempatkan hadits-hadits maudhu 'tersebut dalam kitab tafsirnya, seperti dalam tafsir Al-
Wahidi, Al-Zumahsyari, dan Al-Baidhawi, yang banyak menyebutkan hadits-hadits maudhu'
yang dimaksud pada setiap surat akhir.

Dalam penjelasan mengenai hadits maudhu, di antara orang yang populer membuat hadits
maudhu 'selain Nuh bin Abu Maryam, yaitu Abu AI-Khaththab bin Dihyah yang telah
membuat hadits maudhu' masalah meng-qashar shalat maghrib. Dia kebiasaan ketika
memberikan fatwa mengenai suatu masalah, lalu tidak mendapatkan dalilnya dari hadits,
maka dia tidak segan-segan membuat hadits maudhu untuk menguatkan fatwanya itu. Ulama

7
yang mempunyai kebiasaan seperti itu di berita adalah Abdu Al-Aziz bin Haris Al-Taimi Al-
Hanbali. Dia termasuk ulama besar di Baghdad.

2. Ciri-ciri Hadits Maudhu

Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria untuk bisa membedakan antara
hadits shohih, hasan dan dho’if. Mereka pun menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri agar
bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits.

Berikut adalah beberapa ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang diambil dari berbagai sumber.
Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits)

Sanad adalah rangkaian perawi hadits yang menghubungkan antara pencatat hadits sampai
kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terdapat banyak hal untuk bisa mengetahui
kepalsuan sebuah hadits dari sisi sanadnya ini, diantaranya adalah:

a. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan oleh dia,
serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh (terpercaya) yang juga meriwayatkannya,
sehingga riwayatnya dihukumi palsu.

b. Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam,
bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang keutamaan al-Qur`an juga pengakuan
Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.

c. Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits, misalnya seorang


perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya atau ia
lahir setelah syekh tersebut meninggal, atau ia tidak pernah masuk ke tempat tinggal syekh.
Hal ini dapat diketahui dari sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-kitab yang khusus
membahasnya.

d. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub terhadap suatu
golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik, kemudian ia meriwayatkan sebuah hadits
yang mencela para sahabat atau mengagungkan ahlul bait

2) Dari segi Matan (Isi Hadits)

Matan adalah isi sebuah hadits. Diantara hal yang paling penting untuk bisa mengetahui
kepalsuan sebuah hadits dari sisi ini adalah:

a. Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam
adalah seorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata, karena beliau adalah

8
seseorang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul Kalim (kata pendek
yang mengandung arti luas).
b. Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti, kaidah-kaidah
akhlak yang umum, atau bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia Contohnya
adalah sebuah hadits : ‫ﺖ ﺳﺒﻌًﺎ وﺻﻠّﺖْ ﺧﻠﻒ اﻟﻤﻘﺎمِ رﻛﻌﺘﯿ ِﻦ‬
ِ ‫ح طﺎﻓﺖْ ﺑﺎﻟﺒﯿ‬
ٍ ‫“إنّ ﺳﻔﯿﻨﺔ ﻧﻮ‬Bahwasannya kapal
nabi Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali lalu shalat dua raka’at di belakang maqam
Ibrahim.”
c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti dan hadits tersebut
tidak mungkin dibawa pada makna yang benar.
Contoh Hadits Maudhu’’ yang maknanya bertentangan dengan al-Qur’an, ialah hadits: ‫َوﻟَ ُﺪ‬
‫“اﻟ ﱢﺰﻧَﺎ ﻻﯾَ ْﺪ ُﺧ ُﻞ اْﻟ َﺠﻨﱢﺔَ اِﻟَﻰ َﺳ ْﺒ َﻌ ِﺔ اَ ْﺑﻨَﺎ ٍء‬Anak zina itu,tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an : ‫“وَﻻ ﺗَ ِﺰ ُر َوا ِز َرةٌ وِزْ َر أُﺧْ َﺮى‬Dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Kandungan ayat tersebut
menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai
seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
d. Bertentangan dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam menggugurkan
kewajiban membayar jizyah atas orang yahudi Khoibar yang ditulis oleh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Padahal telah ma’ruf dalam sejarah bahwa
jizyah itu belum disyaria’tkan saat peristiwa perang Khoibar yang terjadi pada tahun ke-7
hijriyah, karena jizyah baru disyari’atkan saat perang Tabuk pada tahun ke-9 hijriyah. Juga
Sa’ad bin Mu’adz meninggal dunia ketika perang Khondaq, dua tahun sebelum peristiwa
Khoibar. Sedangkan Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu Fathu Makkah pada tahun ke-
8 hijriyah
e. Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk ‘amal yang terlalu ringan atau ancaman yang
terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak ditemukan
dalam kitab-kitab mau’izhah.
3. Contoh dan cara mengetahui hadist maudhu’

Meskipun hadits tersebut merupakan kebohongan, tetapi ada beberapa cara untuk mengetahui
sebagian hadits merupakan hadits maudhu', yaitu di antaranya :

1. Pengakuan Rawi Itu Sendiri

9
Artinya, rawi yang meriwayatkan hadits maudhu' itu sendiri telah mengaku bahwa hadits
tersebut bukan dari Nabi SAW tetapi berasal dari dirinya sendiri sebagai upaya pembohong
2. Bertentangan Dengan Kaidah Al-Qur'an
Hadits maudhu' bisa diketahui dengan cara bagaimana isi dan makna hadits itu bertentangan
dengan hukum dan kaidah-kaidah dalam Al-Qur'an, misalnya :

‫ﺳ ْﺒ َﻌ ِﺔ اَ ْﺑﻨَﺎ ٍء‬
َ ‫َوﻟَ ُﺪ اﻟ ﱢﺰﻧَﺎ َﻻ ﯾَﺪْﺧُ ُﻞ اﻟْﺠَ ﻨﱠﺔَ اِﻟَﻰ‬

"Anak hasil berzina tidak akan masuk surga sampai tujuh turunan".

Hadits maudhu di atas seolah menjelaskan bahwa kesalahan seseorang akan berakibat fatal
dengan tidak akan masuk surga sampai 7 turunan. Tentu saja hal ini bertentangan dengan
kandungan Surat Al-Qur'an :

‫َو َﻻ ﺗَ ِﺰ ُر َوا ِز َرةٌ وِزْ َر أُﺧْ ٰﺮى‬

"Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri" (Al-An'am : 164).
3. Bertentangan Dengan Kaidah Hadits Shahih
Hadits maudhu' juga bisa diketahui dengan kandungan isi dan maknanya yang bertentangan
dengan riwayat-riwayat hadits yang sudah dinilai shahih dan mutawatir, misalnya :

َ‫ﺳﻤَﺎ ِء )ﻣُﺤَ ﱠﻤ ٌﺪ َواَﺣْ َﻤﺪُ( َﻻ ﯾَﺪْﺧُ ُﻞ ا ْﻟﻨﱠﺎر‬


ْ َ‫ﺴ ّٰﻤﻰ ﺑِﮭٰ ِﺬ ِه ْاﻻ‬
َ ُ‫َواِنﱠ ُﻛ ﱠﻞ ﻣَﻦْ ﯾ‬

"Dan seseungguhnya setiap orang yang diberi nama dengan nama-nama ini (Muhammad
dan Ahmad), tidak akan masuk neraka".

Hadits itu adalah contoh hadits maudhu', di mana kandungannya bertentangan dengan
riwayat-riwayat yang shahih, yang menjelaskan bahwa keselamatan manusia bisa diukur dari
keimanan, ketaqwaan, dan akhlaqnya, bukan karena namanya.

4. Bertentangan Dengan Ijma' Ulama' Yang Bersifat Qath'i (Hukumnya Pasti)


Hadits maudhu' bisa juga diketahui dengan adanya pertentangan terhadap kesepakatan para
ulama', misalnya :

‫ َوھُ ْﻢ َرا ِﺟﻌُﻮْ نَ ﻣِﻦْ َﺣ ﱠﺠ ِﺔ‬،ْ‫ﺼ َﺤﺎﺑَ ِﺔ ُﻛﻠﱢ ِﮭﻢ‬


‫ﺿ َﻲ ّٰﷲُ َﻋ ْﻨﮫُ ﺑِ َﺤﻀْ َﺮ ٍة ﻣِﻦَ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﺐ َر‬
ٍ ِ‫ﺻﻠﱠﻰ ّٰﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اَ َﺧ َﺬ ﺑِﯿَ ِﺪ َﻋﻠِ ﱢﻲ ا ْﺑ ِﻦ اَﺑِﻲْ طَﺎﻟ‬
َ ُ‫َواَﻧﱠﮫ‬
‫ ﻓَﺎَ ْﺳ َﻤﻌُﻮْ ا َواَ ِط ْﯿﻌُﻮْ ا‬، ْ‫ﺻ ﱢﻲ َواَ ِﺧﻲْ َوا ْﻟ َﺨﻠِ ْﯿﻔَﺔُ ﺑَ ْﻌﺪِي‬
ِ ‫ ٰھﺬَا َو‬: ‫ ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل‬،ُ‫ ﻓَﺎَﻗَﺎ َﻣﮫُ ﺑَ ْﯿﻨَﮭُ ْﻢ َﺣﺘﱠﻰ َﻋ َﺮﻓَﮫُ اﻟْ َﺠ ِﻤ ْﯿﻊ‬،ِ‫ا ْﻟ َﻮدَاع‬

10
"Sesungguhnya Nabi SAW memegang tangan Sahabat Ali bin ABi Thalib ra di hadapan
semua sahabat, mereka telah kembali dari Haji Wada' (haji pertama dan terakhir yang
dilakukan Nabi SAW). Lalu Beliau menyuruh Ali berdiri di antara mereka sehingga semua
mengetahuinya. Lalu Beliau bersabda, "Ini adalah wasiatku, saudaraku, dan khalifah
sesudahku, maka dengarkalah dan taatilah".

Terlihat bahwa orang yang mengada-ada dengan hadits di atas kemungkinan berasal dari
aliran Syiah yang begitu fanatik membela Sahabat Ali bin Abi Thalib. Namun, riwayat itu
adalah maudhu' (palsu) di mana bertentangan dengan ijma umat bahwa Nabi SAW tidak
pernah menunjuk seorang sahabat untuk menggantikan khalifah sesudah Beliau wafat.

5. Dengan Melihat Haliyah Rawinya


Pada zaman dulu, kebanyakan hadits maudhu' adalah hadits yang dibuat oleh seorang karena
mengikuti keinginan hawa nafsu penguasa atau ia ingin mendekati penguasa tersebut. Nah,
dengan memperhatikan dan meneliti haliyah (prilaku dan keadaan) rawi semestinya bisa
diketahui kemaudhu'an hadits yang diriwayatkannya.

6. Kandungan Makna Hadits Ekstrim, Sangat Kaku, Dan Tidak Rasional

Rasulullah SAW adalah taudalan bagi umat, sehingga hadits-hadits yang datang dari Beliau
pasti hadits-hadits dengan nuansa kemslahatan dan kasih sayang kepada seluruh alam, karena
Nabi SAW adalah rahmatallil alamin. Untuk itulah, hadits-hadits yang berisi konten ekstrim
dan kaku hukumnya biasanya adalah hadits-hadits yang maudlu' (palsu). Contoh pada poin 2
dan 3 di atas merupakan contoh hadits maudhu yang kandungannya ekstrim, hukumnya
sangat kaku, dan tidak rasional menurut akal sehat.

7. Keterangan Dalam Riwayat dan Kitab-Kitab Hadits


Dalam beberapa kitab-kitab, khususnya kitab yang meriwayatkan hadits-hadits, biasanya
disertai dengan keterangan mengenai kemadhu'an hadits dan sebabnya. Tentu saja demikian
itu diambil dari beberapa analisa dan perkataan para ulama ahli hadits mengenai hal ihwal
rawinya.

8. Keterangan Dari Ulama Ahli Hadits

11
Untuk mengetahui sebuah hadits disebut maudhu' juga bisa dilakukan dengan bertanya pada
ulama' atau kyai yang mumpuni di dalam masalah yang berkaitan dengan hal ilwal hadits.

2.2 Hadist Mu’an’an dan Hadist Muannan


A. Hadist Mu’an’an
Walaupun pembahasan hadits mardud yang disebabkan karena terputusnya sanad
yang berjumlah enam telah selasai, tetapi dalam bagian ini akan dibahas mengenai hadits
mu’an’an dan muannan karena menurut sebagian ahli hadits, hadits mu’an’an dan muannan
merupakan salah satu bagian dari hadits dha’if yang disebabkan karena terputusnya sanad.
a.Definisi hadits mu’an’an adalah sebagai berikut
Hadits diriwayatkan oleh seorang rawi yang sanadnya menggunakan redaksi ‘an (dari)
seperti fulan dari fulan
b. Contoh Hadits Mu’an’an adalah sebagai berikut, :

‫ "ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ أﰊ ﺷﻴﺒﺔ ﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎوﻳﺔ ﺑﻦ ﻫﺸﺎم ﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ زﻳﺪ‬: ‫ﻣﺎرواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻗﺎل‬
‫ ان اﷲ‬: ‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ ﻋﺮوة ﻋﻦ ﻋﺮوة ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
"‫وﻣﻼﺋﻜﺔ ﻳﺼﻠﻮن ﻋﻠﻰ ﻣﻴﺎﻣﻦ اﻟﺼﻔﻮف‬
c. Hukum Hadits Mu’an’an

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum hadits mu’an’an pendapat-pendapat


tersebut dapat dapat dikelompokkan menjadi dua pendapat yaitu :
1. Hadits mu’an’an adalah hadits yang terputus sanadnya (dha’if) kecuali hadits mu’an’an
tersebut telah jelas kemut.t.asilannya.
2. Menurut jumhur ahli hadist, ahli fiqih dan ahli ushul hadits mu’an’an adalah termasuk hadits
shahih dan boleh diamalkan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat-syarat yang disepakati

a. Hadits mu’an’an tersebut bukan hadits mudallas


b. Antara rawi satu dan rawi lain memungkinkan saling bertemu.
2. Syarat-syarat yang diperselisihkan
a. Bertemunya antara rawi harus pasti (syarat menurut al- Bukhari dan ibn al-Madani)
b. Antara rawi yang meriwayatkan hadits tersebut harus hidup bersama dalam jangka waktu
yang lama (syarat abi Al- Mudhaffar al-Sam ‘ani).
c. Rawi yang meriwayatkan hadits mu’an’an benar-benar mengetahui riwayat hadits tersebut
(mahmud al-Thahan, t.t.:72-73).
B. Definisi hadits muannan

a. Definisi hadits muannan adalah sebagai berikut


“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan sanadnya menggunakan kata-
kata Anna (sesungguhnya) seperti kata-kata telah menceritakan kepada kami pulan
sesungguhnya pulan berkata”.

12
b. Hukum hadits

1. Menurut Asnad dan jama’ah hadits muannan adalah hadits munqhati sebelum dapat
dipastikan kemut.t.asilannya.
2. Menurut jumhur ulama hadits muannan termasuk hadits shahih dengan syarat-syarat yang
telah disebutkan dalam hadits muannan1

c. Contoh hadist muannan

‫ﺣﺪﺛﻨﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﮭﺎب ﻋﻦ ﺣﻤﯿﺪ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟ ّﺮﺣﻤﻦ ﻋﻦ اﺑﻦ ھﺮﯾﺮة رﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﮫ أنّ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠّﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠّﻢ‬
‫ ﻣﻦ ﻗﺎم رﻣﻀﺎن اﯾﻤﺎﻧﺎ واﺣﺘﺴﺎﺑﺎ ﻏﻔﺮﻟﮫ ﻣﺎﺗﻘﺪّم ﻣﻦ ذﻧﺒﮫ‬: ‫ﻗﺎل‬
Hadist muannan adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan menggunakan
kalimat haddasana fulanun anna fulanun qala... ( fulan telah bercerita kepadaku
bahwasanya sifulan berkata )
Atau

‫اﻟﺤﺪﯾﺚ اﻟﻤﺆﻧّﻦ ھﻮ ﻣﺎﯾﻘﺎل ﻓﻰ ﺳﻨﺪه ﺣﺪّث ﻓﻼن انّ ﻓﻼﻧﺎ ﺣﺪّﺛﻨﺎ ﺑﻜﺬا‬
Hadist muannan adalah hadist yang dalam mata rantai sanadnya ditemukan ucapan
fulan menceritakan hadist kepadaku, sesungguhnya ia menceritakan hadist demikian....
C.Persyaratan Mu’asharah dan Liqa’
Ulama’ ahli hadits berkomentar bahwa hadits yang dalam periwayatannya menggunakan
cara seperti hadits mu’an’an dan muannan, bisa berstatus sama dengan hadits muttasil dengan
adanya dua syarat, yaitu:
1) Isytirathul Mu’asharah (‫)اﺷﺘﺮاط اﻟﻤﻌﺎ ﺻﺮة‬
Masing-masing perawi harus hidup segenerasi dengan perawi yang menyampaikan
hadits kepadanya. Maksudnya setiap tingkatan perawi harus pernah hidup dalam satu kurun
waktu dengan tingkatan perawi di atasnya.
Suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari tingkat tabi’in, harus diteliti
terlebih dahulu apakah beliau pernah hidup semasa dengan sahabat yang dirawikan hadits
tersebut kepadanya, demikian pula perawi dari tingkat di bawahnya. Untuk itu, kita harus
melihat biografi para perawi tersebut terlebih dahulu.
Sebagai contoh, misalkan Sa’id Al-Musayyab perawi dari tingkat tabi’in
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah seorang perawi dari tingkat sahabat. Setelah diteliti,
Sa’id Al-Musayyab hidup pada tahun 13 H – 94 H dan adapun Abu Hurairah wafat pada
tahun 57 H. Dari itu maka dapat diketahui bahwa kedua perawi tersebut pernah hidup semasa,
yakni di antara tahun 13 H – 57 H.
2) Isytirathul liqa’ (‫)اﺷﺘﺮاط اﻟﻠﻘﺎء‬

1
1. http://digilib.uinsby.ac.id/7251/3/bab%202.pdf

13
Selain para perawi pernah hidup dalam satu kurun waktu yang sama, masing-masing
perawi harus benar-benar pernah bertemu dengan perawi yang menyampaikan hadist
kepadanya.
Hal ini pun perlu diteliti kembali melalui riwayat hidup para perawinya, apakah
masing-masing tingkatan para perawi tersebut pernah bertemu atau tidak. Jika setelah diteliti
dan ternya kenyataannya bahwa tidak semua perawi itu pernah bertemu, maka menurut Imam
Bukhari hadits itu dianggap cacat dan tidak dapat diterima untuk dijadikan sebagai hujjah.
Persyaratan mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan hadits sangat berkaitan dengan
ilmu rijalul hadits, yaitu suatu cabang ilmu hadits yang mempelajari keadaan setiap perawi
hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya,
negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah
perawi dan keadaan mereka.
Oleh ulama hadits, salah satu alasan mereka lebih mengutamakan keshahihan kitab
Imam Bukhari dibandingkan kitab Imam Muslim ialah Imam Bukhari mensyaratkan kedua
persyaratan di atas dalam menyeleksi hadits-hadits di dalam kitabnya, adapun Imam Muslim
mencukupkan pada syarat mu’asharahnya saja.2
2.3 ‘Aly dan Nazil
Hadis ‘ail dan nazil, ialah hadis yang dalam periwayatannya sedikit silsilah sanad-nya.
Sedangkan nazil sendiri ialah hadis yang dalam peririwayatnnya banyak silsilah sanad-nya
Suatu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pasti melalui
beberapa perawi. Semakin sedikit jumlah perawi yang menjadi mata rantai periwayatan itu,
semakin baik.

Jika suatu hadits memiliki jumlah perawi 3, itu secara umum lebih baik dibandingkan yang
jumlah perawinya 4. Karena semakin sedikit jumlah orang yang meriwayatkan, kualitas
informasi yang didapatkan akan semakin baik, tidak terdistorsi dengan kesalahan penukilan
akibat panjangnya mata rantai penyampai berita. Jumlah perawi yang lebih sedikit itu disebut
Aliy, sedangkan perawi yang lebih banyak disebut Nazil

Sebagai contoh, jika Umar bin al-Khoththob mendengar hadits langsung dari Nabi shollallahu
alaihi wasallam tanpa melalui siapapun. Ini adalah sanad yang Aliy. Sedangkan jika Umar
bin al-Khoththob mendengar hadits Nabi itu melalui Sahabat lain, itu adalah sanad yang
Nazil.

Untuk hadits yang sama, sanad riwayat dalam Muwattha’ Imam Malik adalah sanad yang
‘Aliy dibandingkan sanad riwayat dalam Sunan Abi Dawud. Hal tersebut dikarenakan Imam
Malik masa kehidupannya mendahului Imam Abu Dawud.

2
http://kutaradja92.blogspot.com

14
Mari kita perhatikan satu hadits dengan matan yang sama (semakna) namun berbeda sumber
periwayatannya. Satu riwayat dari al-Muwattha’ Imam Malik, sedangkan riwayat yang
satunya lagi terdapat dalam Sunan Abi Dawud

Berikut ini riwayat dalam Muwattha’ Imam Malik:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن إِذَا ا ْﺷﺘَﻜَﻰ‬


َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫َﲑ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ أَ ﱠن َرﺳ‬
ِْ ‫َﺎب َﻋ ْﻦ ﻋُﺮَْوةَ ﺑْ ِﻦ اﻟﱡﺰﺑـ‬
ٍ ‫َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ‬

‫ْﺖ أَﻧَﺎ أَﻗْـَﺮأُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َوأَْﻣ َﺴ ُﺢ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِ ِﻪ‬


ُ ‫َﺖ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ا ْﺷﺘَ ﱠﺪ َو َﺟﻌُﻪُ ُﻛﻨ‬
ْ ‫ِﺚ ﻗَﺎﻟ‬
ُ ‫َات َوﻳـَْﻨﻔ‬
ِ ‫ْﺴ ِﻪ ﺑِﺎﻟْ ُﻤ َﻌ ﱢﻮذ‬
ِ ‫ﻳـَ ْﻘَﺮأُ َﻋﻠَﻰ ﻧـَﻔ‬

‫َرﺟَﺎءَ ﺑـََﺮَﻛﺘِﻬَﺎ‬

(al-Imam Malik berkata) dari Ibnu Syihab dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah –semoga
Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika merasa sakit,
beliau membacakan untuk diri beliau sendiri al-Mu’awwidzaat (al-Ikhlash, al-Falaq, anNaas)
dan meniupkan (pada tangan kemudian diusapkan pada tubuh beliau). Ketika terasa semakin
berat sakit beliau, akulah yang membacakan (al-Muawwidzaat) kepada beliau dan aku
usapkan dengan tangan beliau untuk mengharapkan keberkahannya (H.R Malik dalam
Muwattha’)

Sedangkan riwayat dalam Sunan Abu Dawud adalah sebagai berikut:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ﱠن‬


َ ‫ﱠﱯ‬
‫ْج اﻟﻨِ ﱢ‬
ِ ‫َﺎب َﻋ ْﻦ ﻋُﺮَْوةَ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ زَو‬
ٍ ‫ِﻚ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ‬
ٍ ‫َﱯ َﻋ ْﻦ ﻣَﺎﻟ‬
‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ اﻟْ َﻘ ْﻌﻨِ ﱡ‬

ُ‫ُﺚ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ا ْﺷﺘَ ﱠﺪ َو َﺟﻌُﻪ‬


ُ ‫َات َوﻳـَْﻨـﻔ‬
ِ ‫ْﺴ ِﻪ ﺑِﺎﻟْ ُﻤ َﻌ ﱢﻮذ‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن إِذَا ا ْﺷﺘَﻜَﻰ ﻳـَ ْﻘَﺮأُ ِﰲ ﻧـَﻔ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫َرﺳ‬

‫ْﺖ أَﻗْـَﺮأُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َوأَْﻣ َﺴ ُﺢ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ َرﺟَﺎءَ ﺑـََﺮَﻛﺘِﻬَﺎ‬


ُ ‫ُﻛﻨ‬

(Abu Dawud berkata) telah menceritakan kepada kami al-Qo’nabiy dari Malik dari Ibnu
Syihab dari Urwah dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- istri Nabi shollallahu alaihi
wasallam, bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika merasa sakit, beliau
15
membacakan al-Muawwidzaat pada diri beliau, dan meniupkan (pada tangan kemudian
diusapkan pada tubuh beliau). Ketika sakitnya bertambah parah, akulah yang membacakan
untuk beliau dan aku usapkan dengan tangan beliau dengan mengharapkan keberkahannya
(H.R Abu Dawud

Riwayat dalam Muwattha’ Imam Malik adalah riwayat yang ‘Aliy karena antara Imam Malik
dengan Nabi hanya ada 3 perawi. Sedangkan riwayat dalam Sunan Abu Dawud memerlukan
5 perawi. Abu Dawud menggunakan jalur riwayat yang sama dengan Malik, namun dari
Malik, Abu Dawud mendengarnya melalui seorang perawi yaitu al-Qo’nabiy. 3

Secara umum, sanad ‘Aliy lebih utama dibandingkan sanad Nazil. Kecuali jika sanad yang
Nazil itu para perawinya lebih tsiqoh dengan sanad yang bersambung. 4

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:

‫ أَ ِو‬،َ‫ أ َْو أَﻓْـ َﻘﻪ‬،َ‫ أ َْو أَ ْﺣ َﻔﻆ‬،ُ‫ َﻛﺄَ ْن ﺗَﻜ ُْﻮ َن ِرﺟَﺎﻟُﻪُ أ َْوﺛَ َﻖ ِﻣْﻨﻪ‬:‫َﺖ ِﰲ اﻟْﻌُﻠُﻮﱢ‬
ْ ‫ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎ َن ِﰲ اﻟﻨﱡـﺰُوِْل َﻣ ِﺰﻳﱠﺔٌ ﻟَﻴْﺴ‬

‫ْﱃ‬
َ‫ أَو‬،ٍ‫ ِﺣْﻴـﻨَﺌِﺬ‬،‫ْل‬
َ‫ ﻓ ََﻼ ﺗﺮدﱡد أ ّن اﻟﻨﱡـﺰُو‬،ُ‫َﺎل ﻓِْﻴ ِﻪ أَﻇْ َﻬﺮ‬
ُ ‫اﻻﺗﱢﺼ‬
ِْ

Jika di dalam hadits Nazil memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hadits ‘Aliy, seperti
para perawinya lebih tsiqoh, lebih hafal (dhobith), atau lebih faqih, atau ketersambungan
sanadnya lebih nampak, tidak diragukan lagi bahwa dalam kondisi semacam itu, Nazil lebih
utama (dibandingkan ‘Aliy)(Nuzhatun Nadzhor syarh Nukhbatil Fikar karya al-Hafidz Ibnu
Hajar (1/242)

Sedangkan hadist ali itu ada lima macam:

1. Ali mutlaq

3
http://digilib.uinsby.ac.id/7251/3/bab%202.pdf
4
https://www.atsar.id/2020/02/pengertian-hadits-ali-dan-nazil-dan-contohnya.html

16
Ali mutlaq inilah kedudukanya lebih tinggi sebab dekat dengan nabi kebaikan sanadnya
yang terlepas dari kedhaifan.

2. Ketinggian sebab dekat dengan imam hadis, seperti imam Al-Auzai dan maliki,
meskipun setelah imam tersebut banyak jumlah sanadnya kepada nabi.
3. Ketinggianya dengan mengacu kepada riwayat bukhari dan muslim atau salah satu
dari keduanya atau lainya dari kitab-kitab yang mu’tamad
4. Ketinggianya sebab lebih dahulu wafat seorang rawi dari seorang guru atau wafatnya
rawi lain yang juga menerima dari guru itu, meskipun sama dalam jumlahnya.
5. Ketinggianya sebab lebih dahulu mendengar hadis dari seorang guru daripada
mendengar melalui rawi lain. Bagian ketiga dari perincian ini terbagi menjadi:
 Muwaffaqah, artinya ialah sampai kepada guru salah seorang imam hadis dengan
jumlah sanad yang lebih sedikit daripada yang diriwayatkan oleh imam hadis.
 Badal/ibdal, artinya sampainya kepada guru-gurunya imam hadis dengan jumlah
sanad yang lebih sedikit daripada sanad imam.
 Musawah, artinya jumlah sanadnya sama mulai rawi sampai akhirnya dengan
sanad salah seorang imam-imam hadis
 Mushahafahah, artinya persamaan kita dengan murid imam hadis5
2.4 Hadits Musalsal

Musalsal artinya yang terangkai atau yang berangkai. Menurut bahasa musalsal berasal dari
kata ‫ﺴ َﻞ‬
َ ‫ﺳ ْﻠ‬
َ , ٌ‫ﺴﻠَﺔ‬
َ ‫ﺳ ْﻠ‬
َ ,ُ‫ﺴﻞ‬
ِ ‫ﺴ ْﻠ‬
َ ُ‫ﯾ‬yang berarti berantai dan bertali menali. Hadis ini dinamakan musalsal
karena ada kesamaan dengan rantai (silsilah) dalam segi pertemuan pada masing-masing
perawi atau ada kesamaan dalam bagian-bagiannya.

Lebih luas Al-Iraqi memberikan definisi musalsal adalah hadis yang perawinya dalam sanad
berdatangan satu persatu dalam satu bentuk keadaan atau dalam satu sifat, baik sifat para
perawi maupun sifat penyandaran (isnad) baik terjadi pada isnad dalam bentuk penyampaian
periwayatan (ada’ ar-riwayah) maupun berkaitan dengan waktu dan tempatnya, baik keadaan
para perawi maupun sifat-sifat mereka, dan baik perkataan maupun perbuatan.

Dengan demikian hadis musalsal adalah hadis yang secara berturut-turut sanad-nya sama
dalam satu sifat atau dalam satu keadaan dan atau dalam satu periwayatan.

Musalsal dalam pembicaraan ilmu Hadits adalah “Satu Hadits yang rawi-rawinya atau jalan
meriwayatkannya berturut-turut atas satu keadaan”
5
Al-masudi, hafidz hasan “ilmu mustalah hadist” mutiara ilmu: Surabaya.h. 18-19

17
Yang dikatakan musalsal pada rawi-rawinya ialah :

a. Sama nama-namanya, tetapi berlainan orangnya. Contoh : semua rawi bernama Ahmad,
tetapi yang satu Ahmad bin Ibrahim, yang lain Ahmad bin Salim dan lainnya.

b. Sama tentang sifatnya. Contoh : semua rawi ahli fiqh atau ahli hadits, atau imam-imam.

c. Sama nasib mereka. Contoh : semua rawi orang Mekkah atau orang Madinah dan
sebagainya.

d. Berturut-turut keluarga meriwayatkan dari keluarga. Contoh : anak meriwayatkannya


dari bapak, bapak dari datuk, datuk dari saudaranya, selanjutnya sampai penghabisan sanad.

Adapun musalsal dalam jalan meriwayatkannya, adalah :

a. Lafazh-lafazh sanadnya semua sama. Contoh : semua rowi berkata: “aku telah
mendengar” atau “telah mengkhabarkan kepada kami” atau “telah menceritakan kepada
kami” atau dalam sanadnya semua pakai perkataan ( ْ‫" )ﻋَﻦ‬dari".

b. Dalam meriwayatkannya itu, semua rawi pakai sumpah. Contoh : “wallahi”, “billahil-
‘azhim” dan sebagainya.

c. Sama hari meriwayatkannya. Contoh : Nabi sabdakan satu ucapan pada hari raya, lalu
sahabat yang mendengar, sampaikannya pada hari raya juga.

d. Sama tempat meriwayatkannya. Contoh : Nabi bersabda di ‘Arafah. Sahabat yang


mendengar sampaikan sabda Nabi itu di ‘Arafah juga.Rawi yang mendengar itu,
sampaikan kepada rawi di ‘Arafah, sehingga akhir sanad.

e. Kelakuan dan keadaan yang sama, yakni semua rawi kerjakan sebagaimana yang
pertama.

A. Macam-macam Musalsal

1. Musalsal keadaan perawi (musalsal bi ahwal ar-ruwat)

Contoh musalsal qawli :

.‫ِﻚ‬
َ ‫َﻮ ُﺣ ْﺴﻨِ ِﻌﺒَﺎ َدﺗ‬
َ ‫َﻮ ُﺷ ْﻜ ِﺮﻛ‬
َ ‫ اَﻟﱠﻠ ُﻬ ﱠﻤﺄَ ِﻋﻨﱢﻴﻌَﻠَﯩ ِﺬ ْﻛ ِﺮﻛ‬: ِ‫َﻼة‬
َ ‫ ﻓَـ ُﻘﻠْ ِﻔ ْﻴ ُﺪﺑُ ِﺮُﻛﻠﱢﺼ‬,‫ﱡﻚ‬
َ ‫ُﺣﺒ‬
ِ ‫ ﻳَﺎ ُﻣﻌَﺎذُإِﻧﱢﻴﺄ‬: ُ‫ِﻮ َﺳﻠﱠ َﻤﻘَﺎﻟَﻠَﻪ‬
َ ‫ﺼﻠﱠﯩﺎﻟﻠﱠ ُﻬﻌَﻠَْﻴﻬ‬
َ ‫َﺣ ِﺪﻳْـﺜُ ُﻤﻌَﺎ ِذﺑْﻨِ َﺠﺒَِﻸَﻧﱠﺎﻟﻨﱠﺒِﻴ‬
Artinya :“Hadis Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Nabi Muhammad SAW brsabda kepadanya
: Hai Mu’adz sesungguhnya aku mencintaimu, maka katakanlah pada setiap setelah shalat :
Ya Allah Tolonglah aku untuk dzikir kepada-Mu, syukur kepada-Mu, dan baik dalam ibadah
kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud).

18
Hadis di atas musalsal pada perkataan setiap perawi ketika menyampaikan periwayatan
dengan ungkapan :sesungguhnya aku mencintaimu, maka katakan di setiap selesai shalat.
Setiap perawi yang menyampaikan perawi hadis ini selalu memulai dengan kata-kata tersebut
sebagaimana yang dilakukan Rosulullah terhadap Mu’adz. Contoh musalsal fi’li (perbuatan) :

.‫ْﺖ‬
ِ ‫ﺴﺒ‬
‫ﺿﻴـ َْﻮﻣَﺎﻟ ﱠ‬
َ ‫ُﺎﻷ ْر‬
َ ‫ َﺧﻠَﻘَﺎﻟَﻠﻬ‬: ‫َﺎل‬
َ ‫َﻮﻗ‬
َ ‫ِﻮ َﺳﻠﱠﻤ‬
َ ‫َﻼﻟﻠّ ُﻬﻌَﻠَْﻴﻬ‬
‫َﺎﺳ ِﻤﺼ ﱠ‬
ِ ‫ َﺷﺒﱠ َﻜﺒِﻴَ ِﺪﻳْﺄَﺑُﻮاﻟْﻘ‬: ‫َﺣ ِﺪﻳْـﺜُﺄَﺑِﻴ ُﻬ َﺮﻳْـ َﺮةَﻗَ َﻞ‬
Artinya :“Hadis Abu Hurairah dia berkata : Abu Al-Qasim memasukkan jari-jari tangannya
kepada jari-jari tanganku (jari jemari) bersabda : Allah menciptakan bumi pada hari sabtu”.
(HR. Al-Hakim)

Setiap perawi yang menyampaikan periwayatannya selalu jari jemari terhadap orang yang
menerima hadis tersebut sebagaimana yang dilakukan Rasulullah.

Contoh musalsal qawli dan fi’li sekaligus ialah :

,ِ‫ِﻮ َﺷ ﱠﺮﻩ‬
َ ‫َاﻹﻳْﻤَﺎﻧِ َﺤﺘﱠﯩﻴـ ُْﺆِﻣﻨَﺒِﺎﻟْ َﻘ َﺪ ِر َﺧ ْﻴ ِﺮﻫ‬
ِْ ‫َﻼ َوة‬َ ‫َﺨﺪُاﻟْ َﻌ ْﺒ ُﺪﺣ‬ِ ‫ َﻻﻳ‬: ‫ِﻮ َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ‫َﻼﻟﻠَ ُﻬﻌَﻠَْﻴﻬ‬
‫ ﻗَﺎﻟََﺮﺳُﻮُْﻻﻟﻠُﻬﺼ ﱠ‬: ‫َﺎل‬ َ ‫َﺴ ْﺒﻨِﻤَﺎﻟِﻜِﺮﺿﻴﺎﻟﻠّﻬﻌﻨﻬﻘ‬ ِ ‫َﺣ ِﺪﻳْـﺜُﺄَﻧ‬
.ِ‫ِﻮُﻣ ﱢﺮﻩ‬
َ ‫ ُﺣﻠْ ِﻮﻫ‬,ِ‫ِﻮ َﺷ ﱢﺮﻩ‬ َ ‫َﺎﻵ َﻣﻨْﺘُﺒِﺎﻟْ َﻘ َﺪ ِر َﺧ ْﻴ ِﺮﻫ‬
َ ‫ِﻮﻗ‬َ ‫ِﻮ َﺳﻠﱠ َﻤﻌَﻠَﯩﻠِ ْﺤﻴَﺘِﻬ‬
َ ‫ﺼﻠﱠﯩﺎﻟﻠً ُﻬ َﻌﻠَْﻴﻬ‬
َ ‫ﻀ َﺮﺳُﻮُْﻻﻟﻠﱠﻬ‬
َ َ‫ َوﻗَـﺒ‬,ِ‫ِﻮُﻣ ﱢﺮﻩ‬
َ ‫ُﺣ ْﻠ ِﻮﻫ‬
Artinya :“Hadis Anas bin Malik Berkata : Rasulullah bersabda : seorang hamba tidak
mendapatkan manisnya iman sehingga beriman kepada ketentuan Allah (qadar) baik dan
buruk, manis dan pahitnya. Rasulullah sambil memegang jenggot dan bersabda : Aku
beriman kepada ketentuan Allah (qadar) baik dan buruk, manis dan pahitnya.” (HR. Al-
Hakim secara musalsal)

Hadis diatas musalsal qawli dan fi’li (musalsal perkataan dan sekaligus perbuatan)
yaitu perkataan : “Aku beriman kepada ketentuan Allah (qadar) baik dan buruk, manis dan
pahitnya” dan perbuatan memegang jenggot. Semua perawi ketika menyampaikan
periwayatannya juga melakukan hal itu sebagaimana Rosulullah.

3. Musalsal dalam sifat periwayatan (musalsal bi Shifat ar-riwayah)

Dalam musalsal ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu :

a. Musalsal dalam bentuk ungkapan penyimpanan periwayatan (ada’)

Contonya seperti hadis mualsal pada perkataan setiap perawi dengan


menggunakan =‫ﺳ ِﻤ ْﻌﺘُﻔ َُﻼﻧَﺎ‬
َ Aku mendengar si Fulan atau = ٌ‫ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎﻓ َُﻼن‬, ٌ‫أَﺧْ ﺒَ َﺮﻧَﺎﻓ َُﻼن‬Memberitakan
kepada kami si Fulan dan seterusnya.

b. Musalsal pada waktu periwayatan

Contohnya :

19
: ‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬,ِ‫ ﻓَﻠَﻤﱠﺎﻓَ َﺮ َﻏ ِﻤﻨَﺎﻟﺼ َﱠﻼةِأ ْﻗﺒَﻠَ َﻌﻠَ ْﯿﻨَﺎﺑِﻮَﺟْ ِﮭﮫ‬,‫ﻄﺮِأوْ أَﺿْ ﺤَ ﻰ‬
ْ ِ‫ﺳﻠﱠ َﻤﻔِ ْﯿﯿَﻮْ ِﻣ ِﻌ ْﯿ ِﺪﻓ‬
َ ‫ﺷ ِﮭ ْﺪﺗُ َﺮﺳُﻮْ َﻻﻟﻠَﮭﺼ ﱠَﻼﻟﻠَ ُﮭ َﻌﻠَ ْﯿ ِﮭ َﻮ‬
َ : ‫ﺣَ ِﺪ ْﯾﺜُﺎِ ْﺑﻨُ َﻌﺒﱠﺎﺳِ ﻘَﺎ َل‬
‫ﺻ ْﺒﺘُﻤْﺨَ ْﯿ َﺮا‬
َ ‫ﺴﻘَﺪْأ‬
ُ ‫أَﯾُﮭﺎاﻟﻨﱠ‬

Artinya :“Hadis Ibnu Abbas berkata : aku menyaksikan Rasulullah saw pada hari raya Idul
Fitri atau Idul Adha, setelah beliau selesai shalat menghadap kita dengan wajahnya
kemudian bersabda : wahai manusia kalian telah memperoleh kebaikan....”

Hadis di atas musalsal waktu periwayatan yaitu pada hari raya IdulFitri atau Idul
Adha.Setiap perawi mengungkapkan kalimat tersebut dalam menyampaikan periwayatan
kepada muridnya.

c. Musalsal pada tempat periwayatannya

Seperti kata Ibnu Abbas tentang terijabah doa di Multazam :

ُ‫ﺳﺘَﺠَ ﺎﺑَﻠَﮫ‬
ْ ‫ َوﻣَﺎ َدﻋَﺎاﻟﻠﱠ َﮭﻔِ ْﯿ ِﮭ َﻌ ْﺒ ٌﺪ َد ْﻋ َﻮةًإ ﱠَﻻا‬, ‫ﺴﺘَﺠَ ﺎﺑُﻔِ ْﯿﮭِﺎﻟ ﱡﺪﻋَﺎ ُء‬
ْ ُ‫ﺿ ٌﻌﯿ‬
ِ ْ‫ اﻟ ُﻤ ْﻠﺘَ َﺰ ُﻣﻤَﻮ‬: ‫ﺳﻠﱠ َﻤﯿَﻘُﻮْ ُل‬
َ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌﺘُ َﺮﺳُﻮْ ُﻻﻟﻠﱠﮭﺼ ﱠَﻼﻟﻠﱠﮭ َﻌﻠَ ْﯿ ِﮭ َﻮ‬
َ

Artinya : “aku mendengar Rasulullah bersabda : Multazam adalah suatu tempat yang
diperkenankan doa padanya. Tidak ada seorang hamba yang berdoa padanya melainkan
dikabulkannya.”

ْ‫ﺳﺘَﺠَ ﺎﺑَﻠِﻲ‬
ْ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌﺘُ َﮭﺬَااﻟْﺤَ ِﺪ ْﯾﺜ ﱠَﺈﻻا‬
َ ‫ ﻓَ َﻮاﻟﻠﱠﮭﻤَﺎ َدﻋَﻮْ ﺗُﺎﻟﻠﱠﮭ َﻌ ﱠﺰوَﺟَ ﻠّﻔِ ْﯿ ِﮭﻘَﻄ ُﻤ ْﻨ ُﺬ‬: ‫س‬
ِ ‫ﻗ ََﺎﻻ ْﺑﻨُ َﻌﺒﱠﺎ‬

Artinya : “Ibnu Abbas berkata : Demi Allah, aku tidak berdoa kepada Allah padanya
padanya sama sekali sejak mendengar hadis ini melainkan Allah memperkenankan doaku.”

Hadis musalsal pada tempat periwayatannya, masing-masing periwayat mengungkapkan


sebagaimana perkataan Ibnu Abbas tersebut setelah menyampaikan periwayatan hadis kepada
orang lain.6

6
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthahalah Hadis, hlm. 308-309

20
BAB III

PENUTUPAN

1.1 Kesimpulan
Menurut bahasa, maudhu' merupakan isim maf'ul dari lafadz "wadha'a" ( ‫ﺿ َﻊ‬
َ ‫ ) َو‬yang artinya
adalah meletakkan, sedangkan maudhu' berarti sesuatu yang diletakkan atau sesuatu yang
tidak digunakan. Hadits Maudhu' juga dikenal dengan istilah hadits palsu. Menurut
terminologi Hadits Maudhu’ terdapat beberapa pengertian, diantaranya :

menurut Imam Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah:

ْ‫ َوﯾَﺤْ ُﺮ ُم ِر َواﯾَﺘُﮫُ َﻣ َﻊ ا ْﻟ ِﻌﻠْﻢِ ﺑِ ِﮫ ﻓِﻲ‬، ِ‫ﻀ ِﻌﯿْﻒ‬


‫ع َوﺷَﺮﱡ اﻟ ﱠ‬
ُ ْ‫ﻖ ا ْﻟﻤَﺼْ ﻨُﻮ‬
ُ َ‫ھُ َﻮ ا ْﻟﻤُﺨْ ﺘَﻠ‬

ً‫ي َﻣ ْﻌﻨًﻰ ﻛَﺎنَ إِﻻﱠ ُﻣﺒَﯿﱠﻨﺎ‬


‫ أَ ﱢ‬.

“Dia (Hadits Maudhu’) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhoi’f
yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk
keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan.”

Jadi, jelaslah mengapa hadits ini diistilahkan sebagai Hadits Palsu, karena memang isinya
memuat kedustaan atau kebohongan dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW dan itu
dilakukan memang secara sengaja.

Sedangkan, hadist mu’an’an Hadits diriwayatkan oleh seorang rawi yang sanadnya
menggunakan redaksi ‘an (dari), dan muannan “Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
dengan sanadnya menggunakan kata-kata Anna (sesungguhnya) seperti kata-kata telah
menceritakan kepada kami pulan sesungguhnya pulan berkata”.

Ali dan nazil ialah hadis yang dalam periwayatannya sedikit silsilah sanad-nya.
Sedangkan nazil sendiri ialah hadis yang dalam peririwayatnnya banyak silsilah sanad-nya
Suatu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pasti melalui
beberapa perawi. Semakin sedikit jumlah perawi yang menjadi mata rantai periwayatan itu,
semakin baik.
Musalsal artinya yang terangkai atau yang berangkai. Menurut bahasa musalsal
berasal dari kata ‫ﺴ َﻞ‬
َ ‫ﺳ ْﻠ‬
َ , ٌ‫ﺴﻠَﺔ‬
َ ‫ﺳ ْﻠ‬
َ ,ُ‫ﺴﻞ‬
ِ ‫ﺴ ْﻠ‬
َ ُ‫ﯾ‬yang berarti berantai dan bertali menali. Hadis ini
dinamakan musalsal karena ada kesamaan dengan rantai (silsilah) dalam segi pertemuan pada
masing-masing perawi atau ada kesamaan dalam bagian-bagiannya.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. https://makalahnih.blogspot.com/2014/06/hadits-maudhu.html
2. https://www.pelangiblog.com/2020/02/pengertian-dan-contoh-hadits-maudhu.html
3. http://digilib.uinsby.ac.id/7251/3/bab%202.pdf
4. http://digilib.uinsby.ac.id/7251/3/bab%202.pdf
5. https://www.atsar.id/2020/02/pengertian-hadits-ali-dan-nazil-dan-contohnya.html
6. Al-masudi, hafidz hasan “ilmu mustalah hadist” mutiara ilmu: Surabaya.h. 18-19
7. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthahalah Hadis, hlm. 308-309

22

Anda mungkin juga menyukai