Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

NIAT
Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Fiqih

Dosen Pengampu : Rio Romanda Hamidi, M.Pd

Oleh : Kelompok 2

Adilah Zharifah (2111020060)

Juanisa Prasipi (2111020033)

Maya Fadilla Sari (2111020039)

Nurhaliza (2111020046)

Riana Virna Mariska (2111020049)

Riantino Yusuf (2111020052)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul NIAT ini tepat pada waktunya.

Ada pun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen ustadz
Rio Romanda Hamidi,M.Pd. pada mata kuliah Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang penggunaan diksi bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ustadz Rio Romanda Hamidi,M.Pd. selaku dosen
mata kuliah Fiqih, yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangunakan saya nanti demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 15 Oktober 2021


Mengetahui

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................... i

Daftar Isi.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

Latar Belakang................................................................................................................... 1

Rumusan Masalah………..................................................................................... ………..2

Tujuan.................................................................................................................... ……….2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 3

Pengertian Niat....................................................................................................................... 3

Dasar hukum Tentang Niat...................................................................................................... 5

Pendapat Ulama Tentang Niat.................................................................................................. 6

Kaidah Hukum Tentang Niat................................................................................................... 7

BAB III PENUTUP............................................................................................................... 10

Kesimpulan....................................................................................................................... 10

Saran................................................................................................................................. 10

Daftar Pustaka................................................................................................................... 1

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Niat adalah salah satu unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh
manusia. Bahkan dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah) menghadirkan niat
hukumnya fardhu bagi setiap pelaksananya. Banyak hadis yang mencantumkan seberapa
penting arti menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat juga mengan dung makna
keikhlasan terhadap apa yang akan kita kerjakan.
Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw
bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan sesungguhnya masing-masing
orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” Jadi pada intinya setiap niat yang baik pasti
menghasilkan perbuatan yang baik pula dan sebaliknya, setiap niat yang buruk akan
menghasilkan perbuatan yang buruk pula.
Tetapi pada salah satu ibadah fardhu, yaitu salat. Masalah menghadirkan niat menjadi
suatu objek pertentangan di antara beberapa mahzab. Hal yang menjadi titik pusat
permasalahan bukanlah harus atau tidaknya niat itu dihadirkan. Karena memang niat itu
harus dihadirkan pada setiap perbuata. Tapi masalahnya terletak pada cara menghadirkan
niat dalam salat. Apakah cukup dalam hati saja? Atau harus diucapkan? Dan masih banyak
masalah lainnya.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut.
1. Apa pengertian niat?
2. Apa saja dasar hukum niat?
3. Bagaimana pendapat ulama tentanf niat?
4. Apa saja kaidah hukum niat?

C. TUJUAN
Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui pendapat para ulama dalam pengertian niat.

2. Memahami dalil dari Al qur’an dan Hadits tentang niat

3. Memahami kaidah niat dalam ibadah.

4. Memahami niat dalam urusan muamalah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN UMUM TENTANG NIAT

1. Pengertian niat

Kata niat ُ‫ النِّیَّة‬dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk mashdar dari kata kerja -‫ن ََوى‬
‫ يَ ْن ِوى‬.pendapat inilah yang masyhur dikalangan ahli bahasa. Ada juga yang membaca
niat dengan ringan, tanpa tasydid, menjadi niat (‫)النِّيَة‬. AlJauhari berpendapat bahwa
ungkapan ‫ْت‬ ُ ‫ َوي‬U‫ ا ْن‬mempunyai kesamaan arti, yaitu aku berniat. Niat sendiri
ُ ‫نَ َوي‬atau‫ْت‬
berarti kesengajaan atau maksud al-qasd, sebab ia sesuatu yang dilakukan dengan
sengaja‫نَ َوى ال ّشيئ يَ ْن ِويْه‬verb dari kata pecahan merupakan diyakininya. 2 Imam Qulyubi
memberikan pengetian secara bahasa dengan pengertian sebagai berikut.

‫َحقِ ْيقَة النّيّ ِة لُ َغةُ ال َع ْز ُم او القَصْ د‬

Artinya: “Niat menurut bahasa adalah al-azam atau al-qasd”

Disebutkan dalam Lisan al-‘Arabipada bab Nun, orang yang berniat adalah orang
yang bertekad bulat atau berketetapan hati untuk mengarah pada sesuatu, yaitu
bermaksud untuk melakukan suatu tindakan dan arah yang dituju. Imam Suyuthi dan
Ibnu Nujaim sependapat dengan pengertian niat menurut bahasa yaitu ‫ القصد‬artinya
menyengaja. Berdasarkan analisis linguistik di atas, dapat disimpulkan bahwa kata
niat menurut pengertian etimologis adalah “maksud melakukan sesuatu dan ketetapan
hati untuk melakukannya.

Sedangkan secara terminologi menurut beberapa pendapat sebagai berikut:

1. Ibrahim Al-bajuri

‫يئ ُمقَت َِرنا ً بِفِ ْعلِ ِه‬


ِ ‫قَصْ ُد ال ّش‬
Artinya:”Qasd kepada sesuatu beriringan dengan perbuatan”.

2. Menurut Ibnu Nujaim

‫ب إِلَى هّللا ِ تَ َعلَى فِى إ ْي َجا ِد الفِع ِْل‬


ِ ‫قَصْ ُد الطَّا َع ِة َو التَقَ َّر‬

Artinya:”Qasd mematuhi perintah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’la

Dalam melakukan perbuatan”.

3. Menurut Qulyubi

‫ار ِن لِ ْلفِع ِْل‬


ِ َ‫القَصْ ُد ال ُمق‬

3
Artinya:”Qasd yang beriringan bagi perbuatan”.

4. Ibnu Qudamah

‫القَصْ ُد بِالقَ ْلب َويَ ِجبُ أن تَ ُكونَ النِّية ُمقَا َرنَة للتَ َكبِير‬

Artinya:”Bermaksud dalam hati dan wajib niat disertai takbiratul ihram”.

5. Hasan Ayyub

‫ال َع ْز ُم َعلَى ال َّشيئ َم َع ال ُّد ُخو ِل فِى فِ ْعلِه‬

Artinya:”Berniat sesuatu beserta waktu pelaksanaan nya”.

Dari pengertian yang dibuat oleh para ‘ulama diatas dapat disimpulkan bahwa
niatadalah kehendak hati untukta’at terhadap perintah Allah melakukan sesuatu
perbuatanbersamaan dengan pelaksanaannya.Jika niat itu ditafsirkan dengan
pengertian menurut pendapat masing-masing, maka niat itu bisa menjadi rukun dan
bisa juga hanya sebagai syarat atau penyempurna.Perbedaan pengertian itu disebabkan
berbedanya ‘ulama dalam memahami hadits tentang niat yaitu:

ِ ‫إ َّن َما األَعْ َمل ِبال ّن َيا‬


ِ ‫ َو إ َّن َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬, ‫ت‬
‫ئ َما َن َوى‬

Imam suyuthi berpendapat hadits ini ditafsirkan dengan ‫ص َّحتُهَا‬ِ ‫ إِنَّ َما‬sedangkan menurut
pengikut imam Hanafi tafsiran mereka adalah ‫ َك َما لُهَا‬dan kata ‫ بِالنِّيَات‬ba yang ada dalam
hadits ini menurut Ibnu Hajar al-Asqalani memiliki makna ‫ت‬ ِ َ‫صا َحب‬
َ ‫( لِل ُم‬bersamaan). Dari
perbedaan pemahaman inilah para ‘ulama memiliki pendapat dalam membuat
pengertian niat.

2. Hukum niat

Dalam Alqur’an maupun hadits terdapat dalil yang dijadikan dasar niat oleh para
‘ulama, dalil tersebut adalah antara lain :

Dari al-Qur’an

QS. al-Bayyinah (98):5

َ ِ‫َو َما أ ُ ِمرُوا إِالَّ لِ َیعْ ُبدُوا هللاَّ َ م ُْخلِص‬


َ ‫ین َله ال ِّد‬
‫ین ُح َنفاء‬

Artinya;” Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah, dengan ikhlas


menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) Agama”.

Tafsiran ayat ini menurut Imam al-Syaukani dalam buku tafsirnya, mengatakan bahwa
ayat ini menunjukkan wajibnya ada niat disetiap ibadah

ِ ‫ص ِم ْن َع َم َل القَ ْل‬
‫ب‬ َ ‫اإلحال‬
ِ ‫ت أِل ن‬ ِ ‫َو هَ ِذه آليَةُ ِمنَ أل ِدلَّ ِة الدَالَة َعلَى ُوجُو‬
ِ ‫ب النِّيَّة فِى ال ِعبَاد‬

4
Artinya: “Ayat ini termasuk dalil yang menunjukkan atas wajibnya niat dalam ibadah,
karena ikhlas adalah amalul qalbi”.

Ayat inilah alasan Imam Syuyuthi dan Ibnu Nujaim mengatakan niat dalam ibadah
mahdhahada, tapi mereka berbeda dalam pelaksanaannya Suyuthi harus muqarin, Ibnu
Nujaim tidak harus muqarin. Ibnu Nujaim juga berpendapat niat wudhu’ dan
tayamum tidak mesti ada, karena dia memasukkannya dalam ibadah ghairu mahdhah.

Dari Hadits

HR. Bukhari Muslim:

ٍ ‫ َوإِ َّن َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬،ِ‫إِ َّن َما األَعْ َما ُل ِبال ِّنیَّات‬
‫ئ َما َن َوى‬

Artinya: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap seseorang itu
akan mendapatkan balasan ssuai dengan apa apa yang diniatkannya”. (HR. Bukhari)

3. Tempat niat

Semua ulama bersepakat bahwa tempat niat adalah hati. Niat dengan hanya
melafalkannya.  Imam Al-Baidhawi berkata, "Niat adalah perasaan hati yang
terdorong oleh sesuatu yang ia anggap cocok baik sesuatu itu, berbentuk datangnya
suatu manfaat atau tertolaknya suatu kerusakan, baik pada waktu sekarang maupun
yang akan datang. Niat menurut syara' dikhususkan untuk menunjuk
kepada keinginan yang mengarah kepada perbuatan untuk mendapatkan rida Allah
Ta’ala, dan untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya.”

4. Waktu niat

Secara umum waktu niat adalah di awal melakukan ibadah, kecuali dalam beberapa
kasus. Seperti sholat,puasa,haji,zakat dan ibadah lainnya.
Niat tidak disyaratkan langgeng hingga akhir ibadah, karena hal itu menyulitkan.
Begitu juga, tidak wajib niat ibadah bagi setiap bagian-bagian ibadah tersebut,
melainkan cukup niat melakukan amalan-amalan ibadah itu secara keseluruhan. Oleh
sebab itu, niat dalam ibadah yang mempunyai banyak amal perbuatan (al-af'al) cukup
dilakukan di awal ibadah saja, tidak perlu berniat ketika melakukan perbuatan-
perbuatan yang ada dalam ibadah tersebut seperti wudhu dan shalat. Begitu juga haji,
sehingga tidak perlu menyendirikan niat untuk thawaf, sa'i, dan wukuf, Dalam shalat
tidak boleh membagi-bagi niat (tafriq an-niyah), yaitu berniat setiap kali melakukan
rukun-rukunnya.

5. Cara niat

Dalam ilmu fiqih tentang cara niat para ulama memiliki 2 pendapat yaitu pertama
dilafalkan dengan pengucapan mulut kedua diucapkan didalam hati.

5
 Melafalkan niat
Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca
“Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”
(Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap
kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada
menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya
menjadi asing dan sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak
sepemahaman dengan warga nahdliyin.
 Niat dalam hati
Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati.
Ibnu Taimiyah v mengatakan,“Niat itu letaknya di hati berdasarkan
kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan
dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan
para ulama.” 

6. Ragu dalam niat

Para ulama menetapkan bahwa ragu dalam asal niat atau dalam syarat niat dapat
membatalkan ibadah. Apabila seorang yang sedang shalat ragu apakah dia shalat
zhuhur atau shalat asar maka dia tidak diakui melakukan kedua-dua shalat tersebut
sebagaimana ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm.

Adapun amalan yang memang tidak disyaratkan niat, apabila muncul keraguan di
tengah-tengah melakukannya, maka tidaklah berpengaruh apa pun. Menghadirkan niat
secara terus-menerus selama menjalankan shalat tidaklah disyaratkan. Kalau
seandainya ada orang shalat Zhuhur dan pada rakaat kedua dia menyangka bahwa dia
sedang melakukan shalat Ashar; namun pada rakaat ketiga dia ingat, maka sah shalat
Zhuhurnya. Munculnya dugaan bahwa dia melakukan shalat Ashar tidaklah
memengaruhi apapun. Karena niat yang memang asalnya tidak wajib, maka
melakukan kesalahan dalam niat tersebut adalah tidak mengapa. Kalau seandainya
seseorang ragu pada asal niatnya, kemudian melakukan shalat dalam keadaan ragu,
maka batallah shalatnya.
Ragu pada syarat niat adalah sama dengan ragu pada asal niat. Kalau seandainya ada
orang terlewat tidak melakukan dua shalat dan dia mengetahui jenis dua shalat
tersebut, kemudian dia melakukan salah satu dari dua shalat tersebut dengan niat,
kemudian ragu; shalat yang manakah yang dia niati, namun dia masih terus
melakukan shalat, maka tidaklah sah shalatnya tersebut hingga dia yakin atau
mempunyai dugaan yang kuat akan shalat yang diniati tersebut.

7. Syarat niat

Niat dalam semua bentuk ibadah mempunyai beberapa syarat, namun niat dalam
masing-masing ibadah juga mempunyai syarat-syarat tersendiri. Syarat niat dalam
semua bentuk ibadah adalah sebagai berikut

6
 Islam
Niat yang dapat menghasilkan pahala dan dapat menyebabkan sahnya suatu
amalan adalah niat yang dilakukan oleh orang Muslim.
 Tamyiz
Ulama bersepakat bahwa, ibadah yang dilakukan oleh anak kecil yang
belum mumayyiz (belum dapat membedakan yang baik dan yang buruk) dan
orang gila adalah tidak sah. Namun menurut madzhab Syafi'i, seorang wali
yang mewudhukan anaknya untuk keperluan thawaf  -yaitu ketika dia
melakukan ihram untuk anaknya-  adalah sah. 
 Mengetaui Perkara Yang Diniati
Barangsiapa tidak mengetahui kewajiban melaksanakan shalat lima waktu,
maka niatnya tidak sah. Begitu juga orang yang hanya mengetahui bahwa yang
wajib hanyalah beberapa shalat saja dari shalat lima waktu. Namun syarat ini
tidak berlaku dalam ibadah haji, karena haji berbeda dengan shalat.
 Tidak Melakukan Perkara Yang Dapat Merusak Niat atau Merusak Perkara
Yang Diniati
Oleh sebab itu, orang yang berniat harus memegang teguh konsekuensi niat
tersebut. Atas dasar ini juga, maka ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan
tayamum, akan menjadi batal apabila ketika melakukan ibadah tersebut orang
yang melakukannya murtad –semoga Allah melindungi kita dari kemurtadan.

8. Tujuan niat

Dalam Islam, setiap orang yang hendak melakukan ibadah harus mempunyai maksud
sebelum melakukannya. Inilah syarat agar perbuatan tersebut dianggap sah. Secara
bahasa, arti niat sama dengan al qasdu (bermaksud), al-azimah (tekad), al-
iradah (keinginan), dan al-himmah (menyengaja).

Menurut al-Muhasibi, niat berarti keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu


atau pekerjaan tertentu, baik karena perintah Allah SWT atau hal lainnya. Sedangkan,
menurut Ibnu Abidin, niat berarti kehendak untuk taat dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT dalam melakukan suatu pekerjaan.

Para ulama Mazhab Syafi'i mendefinisikan niat dengan adanya maksud terhadap
sesuatu yang diikuti dengan mengerjakannya. Atau, kehendak hati untuk mengerjakan
suatu pekerjaan, baik yang wajib maupun yang sunah. Ada pula yang mendefinisikan
dengan kehendak hati terhadap suatu pekerjaan untuk mencari ridha Allah SWT
dengan mengikuti aturannya. 

7
9. Laa tsawaba ilaa binniyati (tidak ada pahala kecuali dengan niat)

Lafal niat merupakan bentuk mashdar dari kata nawaa secara bahasa artinya


“bermaksud atas sesuatu” seperti ucapan nawaitu (saya bermaksud/sengaja). Secara
terminologi fiqh, niat adalah kesengajaan untuk melakukan ketaatan dan pendekatan
kepada Allah dengan cara melakukan perbuatan atau dengan cara
meninggalkannya. Niat merupakan pembahasan yang mendominasi dalam bab-bab
fiqh, bahkan Ibn Nujaim menjadikan pembahsan tentang niat untuk amal akhirat,
sebagai kaidah pertama yaitu kaidah ‫وب اال بالنيّة‬UUU‫الث‬, namun jika dicermati cara
mendalam akan terlihat jelas bahwa kaidah tentang niat ini, dari sisi fokusnya
terhadap pembahasan pada urusan ukhrawi, tetapi sebenarnya sudah termuat dalam
kaidah al-Umuru bi maqashidiha, karena lafazd al-Umuru menunjukanarti yang
umum yang mencakup amal-amal duniawi dan ukhrawi.

Dari kaidah yang telah dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa kaidah
tentang tiada pehala kecuali dengan niat, kaidah ini berkaitan erat dengan kaidah
kulli yang berbunyi “setiap perkara tergantung kepada maksud
mengerjakannya” yang mana kaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal
perbuatan manusia, baik yang berbentuk perkataan maupun perbuatan diukur menurut
niat pelakunya. Sehinga dari kaidah tesebut kemudian dikemukakanlah kaidah ‫الثوب اال‬
‫بالنيّة‬  “Tiada pahala kecuali dengan niat (terhadap perbuatan yang dilakukan)”.
Karena itu dapat kita pahami bahwa kaidah “La tsawaba illa bi Al-niyah”  bersumber
karena adanya kaidah pokok yaitu “Al Umuuru Bi Maqashidiha

B. PENDAPAT ULAMA TENTANG NIAT

Melihat adanya perbedaan pengertian yang dikemukan oleh ‘ulama madzhab maka
timbullah pertanyaan prihal status niat apakah niat itu merupakan unsur (rukun) yang
harus ada di dalam ibadah ataukah termasuk syarat?Hal ini ‘ulama berbeda pendapat,
dimana perbedaan tersebut berawal dari adaya perbedaan sudut pandang dan latarbelakang
masalah yang sedang mereka hadapi, yaitu:Pertama, jika dilihat dari sisi penyebutan niat
itu harus dilakukan pada permulaan ibadah, maka niat berstatus sebagai suatu rukun.
Kedua, jika dilihat dari sisi bahwa niat itu harus tetap ada, artinya tidak ada perbuatan
yang bertentangan, atau ada hal-hal yang memutuskan niat menurut syara’, maka niat
berstatus sebagai suatu syarat.

Kedua sudut pandang tersebut, dapat dilihat dari adanya komentar para ahli hukum Islam
(fuqoha') sebagai berikut:

8
a) Sebagian ‘Ulama berpendapat bahwa niat itu termasuk salah satu unsur yang harus
ada di dalam ibadah, sebab niat masuk kedalam zatiyahnyaibadah,22 misalnya
ibadah sholat atau puasa.
b) Sebagian lagi seperti al-Qodhi Abu Thoyib dan Ibnu al-Shibagh, berpendapat
bahwa niat itu termasuk salah satu syarat yang harus ada di dalam ibadah, sebab
jika dimasukkan kedalam unsur atau rukun, maka yang dibutuhkan unsur adalah
niat, karena unsur atau rukun itu memang butuh untuk diniati. sehingga niat itu
harus diniati lagi, akibatnya terjadilah matarantai yang tidak pernah ada
kesudahannya (tasalsul).
c) Imam al-Ghozali berpendapat bahwa untuk menentukan apakah niat itu termasuk
rukun ataukah syarat, maka hal ini harus, ditafsil dengan melihat adanya beberapa
kemungikinan, yaitu sebagai berikut:

Jika dalam ibadah puasa, maka niat puasanya termasuk unsur yang harus ada didalamnya
(rukun).Jika dalam ibadah sholat, maka niat sholatnya termasuk salah satu syarat yang
harus ada didalamnya.Imam Rofi'i dan Imam Nawawi berkomentar terhadap pendapat
Imam Ghozali dengan sebaliknya, yaitu: jika dalam ibadah Puasa, maka niatnya termasuk
syarat yang harus ada didalamnya.Jika dalam ibadah sholat, maka niatnya termasuk rukun
atau unsur yang harus ada didalamnya.

Dari beberapa pendapat para ahli hukum Islam diatas itu, Taqiyuddin al- Hisni berusaha
untuk mengkompromikannya dengan rnengatakan bahwa:Pertama, jika keabsahan setiap
perbuatan itu tergantung pada niat, maka niat merupakan rukun yang harus ada didalam
perbuatan tersebut. Misalnya sholat, ibadah ini tidak akan bisa dianggap sah jika dalam
pelaksanaannya tidak menggunakan niat.Kedua, jika keabsahan niat itu tidak tergantung
pada niat, tetapi untuk mendapatkan pahala, maka niat merupakan syarat, dalam artian
syarat untuk mendapatkan suatu pahala, misalnya perbuatan-perbuatan yang status
hukumnya mubah, atau perbuatan untuk meninggalkan kemaksiatan yang tujuannya hanya
bertaqarrub

C. KAIDAH HUKUM TENTANG NIAT

Kaidah niat ini adalah termasuk lima atau enam kaidah hukum yang asasi (Lima kaidah
asasi adalah pendapat Jalaluddin al-Suyuthi, sedangkan yang berpendapat bahwa kaidah
asasi enam adalah Ibnu Nujaim). Dalam kaitan niat, ada beberapa kaidah lainyang
berkaitan dengan kaidah niat seperti niat dalam ibadah, muamalah, dan kaidah niat dalam
jinayat (tindak pidana). Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kaidah niat dalam ibadah

Secara umum, niat sangat dibutuhkan dalam ibadah-ibadah yang memiliki bentuk dan
jenis yang bermacam-macam, seperti shalat dan puasa. Shalat misalnya, ada yang
wajib, seperti shalat zhuhur, ashar, maghrib, isya, dan shubuh, dan ada yang sunnah,
seperti shalat rawatib, dhuha, witir, tahajjud, dan lainnya.Karena itulah, dalam hal ini,

9
peran niat sangat dibutuhkan untuk menentukan bentuk dan jenis shalat yang hendak
dilakukan. Demikian pula dengan ibadah-ibadah lainnya yang memiliki keserupaan.

Di bawah ini diuraikan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam menentukan
niat, khususnya dalam hal ibadah:

1. Niat tidak disyaratkan dalam ibadah yang tidak memiliki keserupaan.


Di antara ibadah yang tidak memiliki keserupaan dengan ibadah lainnya adalah
seperti beriman kepada Allah, membaca al-Qur’an, zikir dan membaca
shalawat. Bentuk-bentuk ibadah tersebut tidak sama dengan bentuk ibadah yang
lainnya, sehingga dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan niat untuk tujuan
membedakan dengan ibadah lainnya. Artinya, tanpa niatpun perbuatan-
perbuatan tersebut sudah bisa teridentifikasi bentuk dan tujuannya.

2. Niat harus di tentukan dalam ibadah yang memiliki keserupaan.


Di depan telah dijelaskan bahwa di antara ibadah yang memiliki keserupaan
adalah shalat. Shalat zhuhur misalnya, sama dengan shalat ashar, baik dari segi
bentuk maupun rangkaiannya. Karena itu, penetapan niat dalam konteks ini
merupakan suatu keharusan. Demikian juga dengan ibadah-ibadah lain yang
memeliki keserupaan.

3. Disyaratkan harus menegaskan kata-kata fardhu dalam ibadah yang memiliki


kesamaan antara yang fardhu dengan yang bukan fardhu, seperti shalat dan
mandi.
Ibadah shalat meliputi ibadah wajib dan selain wajib (sunah). Begitu juga
dengan mandi besar. Sebab, bentuk mandi semacam ini sangat beragam, seperti
mandi junub, mandi haid dan nifas, mandi untuk menghadiri shalat jum’at,
mandi untuk mmbersihkan badan, dan lain-lain. Masing-masing memiliki
rangkaian perbuatan yang sama, sehingga ibadah yang wajib harus ditentukan
kefardhuannya.

4. Menegaskan kata ada’ dan qadha’


‫صلَوةَ فَا ْنتَ ِشرُوْ ا فِى ْاألرْ ض‬
َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فَإ َذا ق‬
ِ َ‫ضي‬
Artinya: “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dibumi”.
(QS. al-Jum’at (62):10)

5. Tidak disyaratkan menyebut kalimat lillahi ta’ala (karena Allah Ta’ala) dalam
setiap perbuatan ibadah.
Menurut Kurdi Fadal dalam bukunya kaidah-kaidah fikih, setiap orang yang
melakukan ibadah tidak harus menyatakan lillahi ta’ala. Sebab, setiap ibadah
akan menjadi syirik jika ditujukan kepada selain Allah. Jadi, meski seseorang
tidak menyatakan karena Allah ketika beribadah, ibadah yang dilakukannya
tetap sah dan mendapatkan pahala dari Allah swt.

10
2. Niat dalam muamalah

Niat dalam urusan muamalah atau transaksi lain pada umumnya tercakup dalam satu
kaidah berikut:

‫ص ِد َو ال َم َعانِى لألَ ْلفَاظ َو ال َمبَانِى‬


ِ ‫ال ِع ْب َرةُ فِى ال ُعقُو ِد ْلل َمقَا‬

Artinya: “Hal yang dipertimbangkan dalam akad-akad (transaksi-transaksi) adalah


maksud dan maknanya, bukan pada ucapan dan rangkaian kata-katanya”.

Maksud transaksi (‘akad) pada kaidah ini adalah transaksi muamalah, seperti jual beli,
persewaan (ijarah), pegadaian (rahn), dan urusan muamalah lainnya. Pertimbangan
utama dalam sebuah transaksi adalah tujuan dilakukannya transaksi tersebut, bukan
pada ungkapan atau rangkaian kata yang diucapkan. Apabila kalimat yang diungkapkan
seseorang tertuju kepada akad tertentu, tetapi yang dimaksudkannya adalah akad yang
lain, maka yang dijadikan pijakan adalah transaksi yang dimaksudkannya, dan bukan
akad yang disebutkan dalam ucapannya.

Apabila sesuatu yang lahir dari niat lebih rendah derajatnya daripada makna lahiriyah
yang diucapkan, maka niat tersebut tidak diperhitungkan.Misalnya, seseorang berkata,
aku hibahkan komputer ini kepadamu dua juta rupiah. Dengan ucapan tersebut, yang
berlaku adalah transaksi jual beli dan bukan hibah, meskipun niatnya adalah hibah.
Alasannya, kepemilikan melalui cara hibah lebih rendah status hukumnya daripada
kepemilikan melalui transaksi jual beli. Sebab, hibah (pemberian secara cuma- cuma)
dapat dibatalkan oleh pihak pemberi sebelum barang diserah terimakan meski tanpa ada
alasan yang jelas. Adapun transaksi jual beli bersifat paten dan tidak bisa ditarik
kembali ketika barang sudah diserahterimakan, kecuali ada alasan yang dapat
dibenarkan.

3. Peradilan dan hukum acara

َ ‫ين تُ َجصِّ صُ اللَ ْفظَ ال َعا َم َو الَ تُ َع َم ُّم ال َج‬


‫اص‬ ِ ‫النَّيَّةُ فِى اليَ ِم‬
Artinya: “Niat dalam sumpah mengkhususkan lafazh umum, dan tidak pula munjadikan
umum pada lafazh yang khusus”.

Dari teori ini, maka niat yang harus ada didalam masalah yamin (sumpah) itu, harus
dilakukan dengan cara menghususkannya terhadap keumuman ucapan atau lafazhnya,
bukan mengumumkannya terhadap kekhususan ucapan atau lafazhnya, sebab seseorang
bisa saja menggunakan berbagai ungkapan umum atau ungkapan khusus dalam
bersumpah. Hanya saja karena masalah sumpah ini termasuk salah satu kasus yang
bersifat spekulatif, maka syari'at Islam memberikan aturan main khusus didalamnya.

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati. Wajib bagi seorang
muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah
amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam
hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang
disyariatkan. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin
(ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya
shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau
ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah,
puasa qadha atau yang lainnya.
Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau
maksiat. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat
niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf
(kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.

B. SARAN

Mengingat kompleksitas kehidupan yang dihadapi masyarakat dewasa ini, mengkaji


kembali nilai-nilai positif, mengkaji kembali hadis-hadis Nabi SAW, untuk dijadikan
sumber ajaran, memperoleh ide moral ajaran islam, dengan mengetahui validitas serta
otentitas sesuatu yang dijadikan sumber hukum atau Hujjah.

kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karna itu diharapkan
Kritik dan saran untuk meningkatkan kualitas skripsi ini, dan penulis berharap agar karya
tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Semoga
penulisan ini dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan Khazanah intelektual
para pemerhati hadis pada umumnya, untuk senantiasa menumbuhkan nilai-nilai positif
dalam melakukan suatu perbuatan.

12
DAFTAR PUSTAKA

abdillah, A. (2015, Oktober 30). Pengertian Dan Hakikat Niat. Dipetik Oktober 16, 2021, dari Risalah
Islam: https://www.risalahislam.com/2015/10/pengertian-hakikat-niat-dalam-islam.html

Budianto, E. W. (2019, Agustus 22). Prespektif Fiqih 4 madzhab. Bait Syariah.

Rizqa, H. (2019, April 15). Niat Dan Kedudukannya Dalam Islam. Dipetik Oktobwr 16, 2021, dari
Republika: https://www.republika.co.id/berita/ppho33458/niat-dan-kedudukannya-dalam-
islam

Salmiyah, U. (2008, November 7). Penerapan Kaidah Fiqih Niat. STIE Dharma Putra, 1(2).

11

Anda mungkin juga menyukai