Anda di halaman 1dari 28

MAUQUF ‘ALAIH (PENERIMA MANFAAT WAKAF)

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perwakafan


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda

Oleh :
NUR HALISA
NIM. 2220400027
SAMSUDIN
NIM. 2220400028

Dosen Pengampu:
Dr. H. Moh. Mahrus, M.H.I.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,

inayah, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini

dengan segala kemampuan kami yang ada. Makalah ini ditulis dengan kalimat yang

efektif dan sederhana sehingga diharapkan dapat memudahkan para pembaca.

Dalam makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan

kesalahan, untuk itu dengan senang hati kami mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Dengan harapan agar makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua terutama

bagi mahasiswa dan pribadi kami yang menyusun makalah ini.

Samarinda, 02 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pembagian Mauquf ‘Alaih ....................................................... 3

B. Mauquf ‘Alaih dan Syarat Mauquf ‘Alaih ...................................................... 10

C. Problematika Seputar Mauquf ‘Alaih ............................................................. 14


BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wakaf merupakan bentuk mu’amalah amaliyah (harta-benda) yang

sangat lama dan sudah dikenal oleh masyarakat sejak dahulu. Dalam hal ini

tidak lain karena Allah, yang telah menciptakan manusia dengan tujuan untuk

mencintai kebaikan dan berbuat kebaikan sejak manusia dilahirkan hingga

hidup di tengah-tengah masyarakat.

Sepanjang sejarah peradaban Islam, wakaf telah memainkan peran

penting dalam pengembangan kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya

masyarakat Islam. Salah satu contoh wakaf yang paling awal adalah masjid

Quba’ di Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw, dimana praktik

wakaf kemudian diikuti oleh para sahabat nabi dan para khalifah.

Secara syara’ yang pelaksanaanya dilakukan dengan jalan menahan

(pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku secara umum.

Sebagaimana yang dimaksud dengan menahan (pemilikan) asal ialah menahan

harta benda yang diwakafkan agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk

dijual, dihibahkan, digadai, dan sejenisnya. Sedangkan pemanfaatannya adalah

dengan menggunakannya sesuai kehendak pemberi wakif.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dan Pembagian Mauquf ‘Alaih ?

2. Bagaimana Mauquf ‘Alaih dan Syarat Mauquf ‘Alaih ?

3. Apa saja Problematika Seputar Mauquf ‘Alaih ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa saja pengertian dan pembagian mauquf alaih

2. Untuk mengetahui apa saja syarat sebagai mauquf alaih

3. Untuk mengetahui apa saja problematika yang terjadi seputar mauquf

‘alaih

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pembagian Mauquf ‘Alaih

Dalam perwakafan harta benda yang akan didonasikan atau diwakafkan

berupa jenis harta benda yang bersifat tahan lama dan dapat dimanfaatkan

dalam waktu jangka panjang. Peruntukkan harta benda yang akan diwakafkan

bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia baik berupa kepentingan umum

maupun kepentingan secara kelompok tertentu.1 Sejalan dengan jenis harta

benda yang akan diwakafkan, maka penerima manfaat atau yang disebut

dengan mauquf ‘alaih2.

Harta benda yang diwakafkan harus digunakan dalam batasan-batasan

yang sesuai dan diperbolehkan oleh hukum Islam. Karena tujuan wakaf pada

dasarnya adalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka mauquf

‘alaih harus bersumber dari pihak kebajikan. Para ulama fiqih sepakat

berpendapat bahwa infaq kepada kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai

hadiah yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun di kalangan ulama fiqih

1
Mohammad Shohibuddin, Pejuang Keadilan Agraria, (Yogyakarta: Insistpress, 2019), 318.

2
Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf
sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat 5 pengertian mauquf ‘alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk
memperoleh manfaat dari peruntukkan hata benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang
dituangkan dalam akta ikrar wakaf.

3
terdapat perbedaan mengenai jenis ibadat di sini, apakah ibadat menurut

keyakinan wakif atau keduanya, yaitu pandangan Islam dan keyakinan wakif.3

1. Mazhab hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih ditujukan untuk

ibadah dari sudung pandang Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika

salah satunya tidak terwujud maka wakaf tidak sah yaitu:

a. Sah wakaf orang Islam berlaku kepada semua syi’ar-syiar Islam dan

pihak kebajikan (sosial), seperti orang miskin, rumah sakit, tempat

penampungan dan sekolah. Untuk wakaf yang bukan digunakan

untuk syi’ar-syi’ar Islam dan pihak kebijakan hukumnya tidak sah,

seperti klub judi.

b. Sah wakaf non muslim kepada kebajikan umum seperti tempat

ibadat dalam pandangan Islam seperti pembangunan masjid,

bantuan kepada jama’ah haji dan lain-lain. Untuk hal-hal yang

bukan untuk kesejahteraan umum dan tempat ibadah menurut

pandangan agamanya saja, seperti pembangunan gereja hukumnya

tidak sah.

2. Mazhab maliki mensyaratkan agar mauquf ‘alaih untuk ibadat dari

sudut pandang wakif. Wakaf muslim sah berlaku kepada semua syi’ar

3
Maskur dan Soleh Gunawan, “Unsur dan Syarat Wakaf dalam Kajian Para Ulama dan
Undang-Undang di Indonesia”, Tazkiya: Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, Vol. 19,
No. 2, (2018), 89.

4
Islam dan badan-badan sosial umum, dan tidak sah wakaf non muslim

kepada masjid dan syari’at Islam.

3. Mazhab syafi’i dan hambali mensyaratkan agar mauquf ‘alaih adalah

ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan

wakif. Oleh karena itu, sah wakaf muslim dan non muslim kepada

lembaga sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan

kebajikan dalam Islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan

non muslim kepada badan-badan ssosial yang tidak sejalan dengan

Islam seperti gereja. Secara khusus ahli fiqih dari mazhab syafi’i

membagi tempat penyaluran wakaf kepada dua bagian yaitu orang

tertentu atau tidak tertentu.4

a. Wakaf kepada orang tertentu

Imam nawawi mengatakan bahwa satu orang atau kelompok

tertentu dengan syarat penerima wakaf dapat memiliki harta

benda yang diberika kepadanya pada saat pemberian wakaf.

Syarat tersebut membuka peluang untuk menyalurkan wakaf

kepada anggota masyarakat yang cukup luas. Namun, pada

kenyataannya terdapat perbedaan pendapat tentang beberapa

masalah dan dapat diselesaikan dengan mudah.

4
Maskur dan Soleh Gunawan, “Unsur dan Syarat Wakaf dalam Kajian, ..., 90.

5
b. Wakaf kepada orang yang tidak tertentu

Tempat kedua untuk penyaluran wakaf adalah kepada pihak

tidak tertentu (berwakaf ke pihak umum). Tujuan wakif adalah

memberikan wakaf kepada orang-orang yang menderita

kefakiran dan kemiskinan, secara umum, bukan kepada pribadi

tertentu. Contohnya adalah wakaf kepada fakir dan miskin,

mujahid, masjid, sekolah-sekolah dan lain-lain.5

Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, disebutkan

bahwa untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda hanya dapat

diperuntukkan bagi:

1. Fasilitas dan kegiatan keagamaan

2. Fasilitas dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

3. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu,

beasiswa

4. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan

dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.6

Apabila yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah orang-orang

diberi harta wakaf, maka dalam hal ini ada dibagi menjadi dua macam, yaitu:

5
Sarpini, “Telaah Mauquf ‘Alaih dalam Hukum Perwakafan”, Ziswaf: Jurnal Zakat dan Wakaf,
Vol. 6, No. 1, (2019), 24-28.

6
Maskur dan Soleh Gunawan, “Unsur dan Syarat Wakaf dalam Kajian, ..., 90.

6
1. Wakaf ahli (dzurri)

Wakaf ahli adalah wakaf yang pada awalnya ditujukan kepada

pribadi atau seseorang secara tertentu, meskipun pada akhirnya untuk

kemaslahatan dan kepentingan secara umum. Padahal, hukum

Indonesia tidak memisahkan perjanjian wakaf ahli dan khairi dan tidak

ada aturan secara khusus mengenai wakaf ahli. Ketentuan mengenai

wakaf ahli yang terdapat dalam Pasal 30 PP Nomor 42 Tahun 2006 yang

mengatur bahwa wakif berikrar wakaf untuk kepentingan keluarganya

(wakaf ahli) atau kepentingan umum (wakaf khairi). Perlu ditegaskan

lebih lanjut bahwa apabila kerabat penerima wakaf telah meninggal

dunia, maka wakaf tersebut berubah menjadi wakaf khairi.7

Pengertian ini tidak ditekankan atas dasar dalam pemberian

wakaf kepada sebagian orang atas dasar keturunan (nasab) atau kriteria

lainnya. Di satu sisi wakaf ahli ini sangat baik, karena wakif akan

mendapat dua kebaikan, yaitu manfaat dari amal ibadah wakafnya, serta

kebaikan dari silahturahmi terhadap keluarga penerima harta wakaf.

Namun disisi, lain wakaf ahli justru sering menimbulkan masalah, jika

keturunan wakif tersebut sudah meninggal, lalu siapa yang akan

mendapat manfaat dari harta benda yang diwakafkan, atau sebaliknya

7
Muhammad Maksum, Hukum Perwakafan Kontemporer Perspektif Hukum Islam dan Positif,
(Serang: A-Empat, 2017), 26.

7
jka keturunan wakif yang akan menjadi tujuan wakaf tersebut

berkembang, sehingga menyulitkan bagaimana cara pembagian harta

wakaf.

Untuk mengantisipasi meninggalnya keturunan keluarga yang

mendapat manfaat dari harta benda wakaf agar harta wakaf tetap bisa

dimanfaatkan dengan baik dan memiliki status hukum yang jelas, maka

sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf tersebut

untuk anak, cucu, kemudian fakir miskin. Sehingga apabila penerima

wakaf tersebut tidak ada, maka wakaf dapat diberikan secara langsung

kepada fakir miskin. Namun, jika untuk kasus anak cucu yang

menerima wakaf ternyata berkembang sedemikian banyaknya, hal ini

memungkinkan akan sulit untuk pembagiannya secara adil dan merata,

hal tersebut menjadikan wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang

efektif dalam memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum. Bahkan

di bebeapa negara tertentu seperti mesir, turki, maroko, wakaf ahli

sudah ditiadakan.8

2. Wakaf khairi

Wakaf khairi (lembaga amal) yaitu seseorang pertama-tama

mewakafkan kepada badan amal, meskipun untuk jangka waktu

8
Supani, Pembaharuan Hukum Wakaf di Indonesia, (Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu, 2019),
63.

8
tertentu. Kemudian diberikan kepada orang atau beberapa orang

tertentu, seperti seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk rumah

sakit atau sekolah. Dengan kata lain, wakaf khairi adalah wakaf yang

secara tegas untuk kepentingan keagamaan atau kemasyarakatan,

seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,

sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lain sebagainya. Dalam tinjauan

penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya

dibanding jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang

mengambil manfaat. Dalam jenis ini juga, wakif dapat mengambil

manfaat dari harta benda yang diwakafkan, seperti wakaf masjid maka

si wakif boleh beribadah disana.9

3. Wakaf musytarak (gabungan)

Wakaf musytarak (gabungan), yaitu wakaf yang tujuannya

memberikan kemaslahatan umum dan sekaligus kemaslahatan keluarga

secara bersamaan, misalnya wakaf berupa perkebunan yang

pendapatannya dialihkan kepada fakir msikin dan sebagian kepada

keluarganya.

Inspirasi dan asal muasal praktik wakaf musytarak berasal dari

praktik wakaf yang dilakukan oleh Umar bin Khattab yang mewakafkan

9
Agus Purnomo, Luthfi Hakim, “Implementasi Wakaf Produktif dalam Perspektif Ekonomi
Syariah”, Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan, Vol. 16, No. 2, (2019), 106.

9
tanahnya di Khaibar setelah mendapat petunjuk dari Rasulullah. Umar

bin Khattab membagikan hasil pengelolaan tanah kepada fakir miskin,

sanak kerabat, budak, sabilillah, ibnu sabil.

Secara praktik wakaf musytarak telah ada di Indonesia. Contohnya

adalah wakaf yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, yang mewakafkan

harta bendanya berupa sawah-sawah untuk keperluan keturunannya dan

pembiayaan masjid Sunan Kalijaga yang berada di Kadilangu Demak,

Jawa Tengah.10

B. Mauquf ‘Alaih dan Syarat

Dalam hal distribusi wakaf, aturan syariah tidak begitu jelas dan tegas.

Hal ini tentu berbeda dengan zakat yang menegaskan distribusi zakat untuk

ashnaf yang jelas. Yang dimaksud dengan mauquf ’alaih adalah tujuan wakaf.

Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan

syariat Islam. Syarat-syarat mauquf ’alaih adalah qurbat atau pendekatan diri

kepada Allah. Oleh karena itu yang menjadi objek atau tujuan wakaf (mauquf

’alaih)nya harus objek kebajikan yang termasuk dalam bidang qurbat kepada

Allah. Mauquf ’alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini

sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.11

10
Ahmad Mujahidin, Wakaf di Indonesia dan Proses Penanganan Sengketanya, (Jakarta:
Kencana, 2021), 77-78.

11
al-Kabisi dan Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, terj.Ahrul Sani Faturrahman dan
Kuwais, (Jakarta: Mandiri Cahaya Persada, 2004), 111.

10
Mauquf ’alaih harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori

ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang

dibolehkan atau mubah meurut nilai Islam. Selain tidak boleh bertentangan

dengan nilai-nilai ibadah, mauquf ’alaih harus jelas untuk kepentingan umum.

Maukuf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama,

dipergunakan dan murni hak milik wakif. Harta wakaf dapat berupa benda tetap

maupun benda-benda bergerak, maukuf juga tidak boleh bertentangan dengan

nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu

bagian dari ibadah.12

Dalam literatur Fiqh, menurut Wahbah al-Zuhaili, para ulama terlibat

perdebatan panjang tentang mauquf ’alaih dan syaratsyaratnya. Menurut

mereka mauquf ’alaihi dibagi menjadi mu’ayyan dan ghair muayyan. Al-

Mu’ayyan dapat berupa satu orang, dua orang, ataupun sekumpulan orang

(jamak). Sedangkan ghair al-mu’ayyan atau jihat al-waqf adalah kaum fuqara,

ulama, para qari‟, para pejuang, masjid-masjid, ka‟bah, pasukan dan

persiapannya, sekolah-sekolah, bendungan-bendungan, dan urusan merawat

jenazah.13

12
Anshori dan Abdul Ghafur, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar
Media, 2008), 120.

13
Basyir dan Ahmad Azhar, Hukum Islam Tentang Wakaf, (Bandung: Al Ma‟arif, 1987), h.187.

11
Berkenaan dengan al-mu’ayyan, para fuqaha bersepakat bahwa

syaratnya adalah kemungkinannya untuk memiliki (kaunuh ahl li al-tamalluk).

Selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang wakaf untuk al-ma’dum (yang

belum ada), almajhul (yang belum dikenal), dan untuk diri sendiri.14

Sedangkan wakaf untuk ghair al-mu‟ayyan atau jihat al-waqf (sasaran

wakaf) adalah: pertama, hendaknya sasaran itu merupakan kebaikan dan

kebajikan (jihat khair wa birr) sehingga berinfak di dalamnya dapat dianggap

bentuk taqarrub kepada Allah; kedua, Abu Hanifah dan Muhammad

menambahkan bahwa akhir dari wakaf ahli hendaknya berupa sasaran yang

tidak akan terputus selamanya. Ta‟bid menurutnya adalah syarat

dibolehkannya wakaf. Distribusi harta wakaf diperuntukkan bagi sasaran

tertentu (ghard al-waqf) dengan syarat-syarat diantaranya:15

1. Sasaran itu berupa salah satu bentuk kebajikan (al-birr) seperti subsidi

untuk lembaga pendidikan umum dan khusus, pendirian perpustakaan,

bantuan lembaga kajian keilmuan dan keislaman, pemeliharaan anak yatim,

para janda, orang lemah, dan lain-lain.

2. Di dalamnya tidak terdapat maksiat yang diharamkan syariat dan

hukumnya, atau dicela oleh akhlaq yang terpuji.

14
Mukhlisin Muzarie, Hukum Perwakafan Dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan
Masyarakat, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010), 211.

15
Siah Khosyi‟ah, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh Dan Perkembangannya di
Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 189.

12
3. Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

4. Akivitas kebajikan dalam sasaran wakaf hendaknya bersifat kontinyu.

5. Barang yang diwakafkan tidak kembali kepada si wakif.

6. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta

wakaf (al-Kabisi, 2004).

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, di dalam Pasal 22

UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 menyebutkan bahwa harta benda wakaf

hanya dapat diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan

pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim

piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan kemajuan

kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan

peraturan perundang-undangan.16

Hanya saja menurut Mondzer Kahf, sasaran-sasaran kebajikan ini

tidaklah mungkin untuk dibatasi, dan karenanya para fuqaha mengulasnya

secara detail. Yang utama adalah hendaknya ditunjukkan dalam undang-undang

sebagian bentuk-bentuk kebajikan itu, sehingga dapat diqiyaskan kepadanya

dan dijadikan pedoman. Setiap masyarakat dan negara berhak memilih

kebajikan yang lebih cocok dan diperlukan sesuai dengan keadaan masyarakat,

tingkat ekonomi, dan kontruksi sosialnya. Dengan hal ini diharapkan dan

16
Mundzif Qahaf , Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Khalifa, 2008), 256.

13
mengundang manusia mewakafkan harta untuk tujuan-tujuan yang paling

banyak manfaatnya.17

C. Problematika Seputar Mauquf ‘Alaih

Para fuqaha mempersoalkan beberapa hal yang berkaitan dengan

mauquf ‘alaih yaitu:

1. Apakah anak yang masih dalam kandungan dapat menerima wakaf.

Mewakafkan sesuatu kepada orang yang akan dilahirkan, menurut

Imamiyah, Syafi‟i, dan Hambali, wakaf tersebut tidak sah, namun menurut

Maliki sah. Dalam kitab Syarah az-Zarqani Ala Abi Dhiya, jilid VII,

dikatakan, “Wakaf untuk orang yang akan dilahirkan adalah sah, dan ia

berlaku sejak anak tersebut dilahirkan. Akan tetapi, bila tidak ada harapan

lagi akan kehamilan atau anak tersebut meninggal, wakafnya batal.18

Para ulama mazhab sepakat terhadap orang yang belum ada tetapi

merupakan kelanjutan dari orang yang sudah ada adalah sah, misalnya

mewakafkan kepada anak-anaknya dan keturunan mereka yang akan lahir.

Adapun wakaf kepada anak yang ada dalam kandungan, menurut

Imamiyah, Syafi‟i, dan Hambali, tidak sah sebab dia belum memiliki

17
al-Kabisi dan Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf…, 121.

18
Anshori dan Abdul Ghafur, Hukum dan Praktik…, 145.

14
kelayakan untuk memiliki, kecuali sesudah dilahirkan dalam keadaan

hidup.19

2. Apakah hamba sahaya dapat menerima wakaf.

Menurut Al-Rafi‟i, seorang pemuka mazhab Syafi‟i, menegaskan

tidak dapat, dengan alasan bahwa hamba sahaya adalah person yang tidak

berhak memiliki harta. Lain halnya apabila seorang hamba menerima wakaf

dengan melibatkan nama tuannya, seperti pewakaf mengatakan: wakaf ini

untuk hamba sahaya tuan A, maka wakafnya sah. Dan apabila pada suatu

saat ia dibebaskan, maka wakaf tersebut menjadi miliknya, bukan menjadi

milik tuannya. Persoalan ini lebih meruncing apabila hamba sahaya tersebut

dijual ke pihak lain, maka apakah wakafnya turut berpindah bersama

dengan kepindahan hamba tersebut atau tidak. Jawabannya tidak, karena

hamba adalah person yang tidak berhak memiliki harta. Namun demikian,

sekalipun pemberian wakaf berkaitan dengan nama tuannya, tetapi tidak

menjadi milik tuannya itu. Kemudian kemanakah harta wakaf tersebut

disalurkan. Persoalan ini sama dengan wakaf-wakaf terlantar akibat

penerimanya terputus, apabila pihak penerima adalah perorangan,

dikembalikan pada keluarga pewakaf atau disalurkan ke baitul mal.20

19
Basyir dan Ahmad Azhar, Hukum Islam…, 202.

20
Mukhlisin Muzarie, Hukum Perwakafan…, 298.

15
3. Apakah seseorang boleh mewakafkan harta untuk dirinya sendiri.

Kelompok Malikiyah menyatakan bahwa wakaf untuk diri sendiri

(‘ala nafsih) tidaklah sah meskipun diikuti dengan selain ahli waris, seperti

ungkapan “aku wakafkan harta ini untuk diriku dan untuk fulan”. Dalam

hal ini wakaf untuk diri sendiri menjadi batal, demikian pula untuk orang

lain yang bersamanya kecuali jika harta itu dikuasai oleh orang tersebut.

Jika seseorang mewakafkan hartanya untuk diri sendiri, kemudian untuk

anak-anaknya sesudahnya, maka harta itu menjadi wakaf setelah ia

meninggal, jika para anak menguasainya sebelum adanya mani’ (halangan).

Atau dapat (dikatakan) juga wakaf bagi diri sendiri menjadi batal,

sedangkan untuk yang lain tetap sah, baik wakaf untuk diri sendiri itu

mendahului, atau terlambat, atau bersamaan dengan wakaf untuk orang

lain.21

Kelompok Syafi‟iyyah menyatakan bahwa wakaf untuk diri sendiri

tidaklah dapat dibenarkan, disebabkan tidak adanya kemungkinan bagi

seseorang untuk memberikan kepemilikian apa yang sudah dimilikinya.

Madhab Hanabilah secara umum memiliki pendapat seperti Syafi‟iyyah.

Wakaf untuk diri sendiri juga batal, dikarenakan siapa yang mewakafkan

sesuatu secara sah, maka manfaat hartanya menjadi milik mauquf ‘alaih dan

sebaliknya akan hilang dari diri wakif kepemilikan terhadap harta dan

21
Siah Khosyi‟ah, Wakaf dan Hibah…, 227.

16
manfaatnya. Tidak sah baginya untuk mengambil manfaat dari harta itu,

dikarenakan wakaf adalah pemindahan kepemilikan baik bentuk ruqbah

maupun manfaat, dan keduanya tidak sah dalam hal ini. Padahal tidak

diperbolehkan bagi seseorang untuk memberikan untuk dirinya sesuatu dari

dirinya sendiri, seperti halnya menjual sesuatu untuk diri sendiri. Hanya

saja, bagi diri wakif diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari mauquf,

jika ia mewakafkan untuk orang lain seperti masjid, dalam beberapa hal:22

a) Ia mewakafkan sesuatu bagi kaum muslimin, dan ia masuk dalam

golongan mereka seperti halnya jika ia mewakafkan sebuah masjid,

maka diperbolehkan baginya untuk shalat di dalamnya, atau jika ia

mewakafkan kuburan, ia diperkenankan untuk dikubur di dalamnya.

b) Ia mensyaratkan dalam wakaf untuk mendapatkan nafkah darinya,

sebagaimana diriwayatkan Ahmad dari Hijr al-Madr bahwa dalam

sedekah Rasulullah SAW beliau memperbolehkan keluarganya untuk

makan secara ma’ruf dan tidak munkar, dan disebabkan bahwa Umar

RA ketika mewakafkan berkata “tidak mengapa bagi yang mengurus

wakaf untuk memakannya atau memberi makan teman tanpa keinginan

untuk memiliki (mutamawwil).

22
Mundzif Qahaf , Manajemen Wakaf…, 270-271.

17
c) Wakif mensyaratkan untuk memberi makan keluarganya, maka wakaf

dan syarat tersebut dibenarkan karena Nabi SAW mensyaratkan hal itu

dalam sedekahnya (al-Zuhaili, 1996).

Jika yang bertindak sebagai wali wakaf (nadzir) adalah wakif

sendiri, maka diperbolehkan baginya untuk makan dari harta wakaf itu,

memberi makan teman, dikarenakan Umar bertindak sebagai wali

sedekahnya.

Sayid sabiq menjelaskan bahwa sebagian ulama seperti Abu

Hanifah, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, dan Ahmad membolehkan wakaf

untuk diri sendiri berdasarkan petunjuk Nabi kepada orang yang bertanya

kepadanya. Yang artinya: “berikan sedekah dengan harta tersebut untuk

dirimu sendiri”.23

4. Apakah wakaf untuk binatang diperbolehkan.

Hal ini masih menjadi bahan pertanyaan karena kemungkinan yang

dimaksud adalah mewakafkan untuk pemiliknya, bukan untuk binatangnya.

Apabila yang dimaksud adalah untuk binatang hukumnya tidak sah karena

binatang tidak layak memiliki harta. Abu Said Al-Mutawalli, seperti

dikemukakan Al-Rafi‟i, menjelaskan bahwa apabila seseorang

mewakafkan lahan untuk penggemukan ternak orang lain, diperselisihkan

ulama mengenai hukumnya. Sebagian mereka memandang sah karena yang

23
al-Kabisi dan Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf… 223.

18
dimaksud adalah mewakafkan kepada pemiliknya, bukan kepada

binatangnya.24

5. Apakah diperbolehkan wakaf kepada orang yang sengaja mengabdikan

dirinya untuk memelihara ka‟bah atau untuk memelihara makam Nabi.

Sebagian ulama membolehkan dan sebagian lagi tidak

membolehkan. Menurut Al-Rafi‟i, pendapat yang benar adalah pendapat

yang membolehkan. Di masyarakat Indonesia banyak wakaf yang diberikan

kepada orang yang sengaja mengabdikan dirinya untuk mengurus masjid

atau mengurus tempat-tempat ibadah. Tujuannya agar yang bersangkutan

memperoleh kesejahteraan dari hasil wakaf dan lebih tekun dalam

mengurus lembaga tersebut.25

6. Apakah wakaf untuk kuburan diperbolehkan.

Wakaf untuk kuburan dipersoalkan karena dapat diartikan sebagai

wakaf yang ditujukan untuk orang-orang yang sudah mati. Apabila

sesorang mewakafkan hartanya untuk memelihara kuburan, maka menurut

Al-Rafi‟i hukumnya tidak boleh. Alasannya karena orang-orang mati akan

hancur dan memelihara atau merawatnya tidak sesuai dengan kepentingan

mereka, berarti amal wakaf akan sia-sia.26

24
Anshori dan Abdul Ghafur, Hukum dan Praktik…, 243.

25
Basyir dan Ahmad Azhar, Hukum Islam…, 190.

26
Mukhlisin Muzarie, Hukum Perwakafan…, 311.

19
Namun demikian para ulama membolehkan wasiat untuk

memelihara kuburan para Nabi, para Wali, dan Ulama serta orang-orang

saleh, karena memelihara dan menghidupkan kuburan mereka

diperbolehkan dengan harapan akan dapat memberikan keberkahan, berupa

semangat baru dalam memperjuangkan Islam.

7. Apakah wakaf kepada orang-orang shufi diperbolehkan.

Orang-orang shufi adalah orang-orang yang sudah berpaling dari

kehidupan duniawi dan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk

beribadah kepada Allah. Menurut Syaikh Abu Muhammad, seperti

dijelaskan Al-Rafi‟i, mewakafkan kepada orang-orang shufi tidak sah

karena tidak ada tempat untuk memanfaatkan wakaf tersebut berhubung

dengan keshufiannya itu. Namun menurut pendapat yang populer di

kalangan ulama fikih, wakaf kepada orang-orang shufi hukumnya sah,

dengan syarat yang bersangkutan berlaku adil dan sengaja meninggalkan

pekerjaan untuk menekuni ibadah kepada Allah.27

8. Apakah wakaf kepada orang kaya diperbolehkan.

Berkenaan dengan wakaf untuk orang kaya (aghniya‟), para ulama

memiliki beragam pendapat. Al-Hanafiyah menyatakan tidak sah wakaf

yang mengkhususkan orang kaya tanpa orang miskin karena hal itu

bukanlah sebuah qurbah. Syafi‟iyyah dan Malikiyah menyatakan sahnya

27
Siah Khosyi‟ah, Wakaf dan Hibah…, 276.

20
wakaf untuk sasaran yang tidak tampak sebagai qurbah dengan

mempertimbangkan bahwa wakaf adalah bentuk tamlik. Sedekah juga

diperbolehkan atas orang kaya. Kelompok Hanabilah menyatakan tidak

sahnya wakaf yang diberikan untuk orang kaya.28

9. Apakah wakaf kepada orang non muslim diperbolehkan.

Kelompok Hanafiyah berpendapat bahwa wakaf dzimmi, majusi

dapat dibenarkan karena kaum majusi termasuk ahl al-dzimmah. Sedangkan

wakaf seorang muslim atau dzimmi untuk gereja atau seorang kafir harbi

tidaklah sah disebabkan hal tersebut tidak dapat disebut sebagai qurbah.

Wakaf untuk dzimmi dikarenakan wakaf tidak merupakan qurbah bagi diri

kita dan dirinya secara bersamaan. Sedangkan wakaf bagi harbi, dikarenakan

kita telah dilarang untuk berbuat baik kepada mereka.29

Kelompok Malikiyah menyatakan bahwa wakaf yang berasal dari

seorang muslim untuk dzimmi meskipun ia bukan ahl kitab adalah sah, dan

tidah sah wakaf untuk harbi. Kelompok Syafi‟iyyah menyatakan bahwa

wakaf kepada murtad dan harbi tidaklah dapat dibenarkan disebabkan

mereka berdua rawan (‘urdat) untuk dibunuh sehingga tidak ada (jaminan)

kelanggengan hidup mereka, padahal wakaf merupakan sedekah jariyah.

Tidak ada wakaf bagi seseorang yang tidak memiliki kelanggengan apalagi

28
Mundzif Qahaf , Manajemen Wakaf…, 286.

29
al-Kabisi dan Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf…, 215.

21
dengan kekufurannya. Wakaf bagi murtad dan harbi merupakan jihat

ma‟siyat. Sedangkan wakaf dari seorang muslim atau dzimmi bagi dzimmi

mu‟ayyan, ia diperbolehkan karena merupakan qurbah tetapi

dipersyaratkan didalamnya tidak adanya maksud untuk maksiat.30

Madzhab Hanbaliah secara umum memiliki pendapat seperti

Syafi‟iyyah. Wakaf untuk murtad dan harbi tidak sah, dikarenakan harta

mereka pada asalnya adalah mubah, boleh diambil dengan penaklukan atau

paksaan. Padahal wakaf diperkenankan untuk sesuatu yang bersifat mubah

al-asl, karena ia merupakan bentuk tahbis al-asl (penahanan harta pokok).

Hukum wakaf untuk dzimmi adalah sah, dikarenakan mereka memiliki

kepemilikan yang dihormati (milk muhtaram), sebagaimana diperbolehkan

bersedekan untuk mereka seperti halnya kaum muslimin. Dalil

diperbolehkannya wakaf seorang muslim untuk dzimmi adalah yang

diriwayatkan bahwa Shafiyyah bin Huyyi istri Nabi Sallahu „alai wasallam

mewakafkan untuk saudaranya seorang yahudi.31

30
Anshori dan Abdul Ghafur, Hukum dan Praktik…, 170.

31
Basyir dan Ahmad Azhar, Hukum Islam…, 157.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peruntukkan harta benda yang akan diwakafkan bertujuan untuk

kemaslahatan umat manusia baik berupa kepentingan umum maupun

kepentingan secara kelompok tertentu. Sejalan dengan jenis harta benda yang

akan diwakafkan, maka penerima manfaat atau yang disebut dengan mauquf

‘alaih.

Apabila yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah orang-orang

diberi harta wakaf, maka dalam hal ini ada dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Wakaf ahli (dzurri) adalah wakaf yang pada awalnya ditujukan kepada

pribadi atau seseorang secara tertentu, meskipun pada akhirnya untuk

kemaslahatan dan kepentingan secara umum.

2. Wakaf khairi (lembaga amal) yaitu seseorang pertama-tama mewakafkan

kepada badan amal, meskipun untuk jangka waktu tertentu. Kemudian

diberikan kepada orang atau beberapa orang tertentu, seperti seseorang yang

mewakafkan tanahnya untuk rumah sakit atau sekolah.

Syarat-syarat mauquf ’alaih adalah qurbat atau pendekatan diri kepada

Allah. Oleh karena itu yang menjadi objek atau tujuan wakaf (mauquf

’alaih)nya harus objek kebajikan yang termasuk dalam bidang qurbat kepada

23
Allah. Mauquf ’alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini

sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.

Maukuf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama,

dipergunakan dan murni hak milik wakif. Harta wakaf dapat berupa benda tetap

maupun benda-benda bergerak, maukuf juga tidak boleh bertentangan dengan

nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu

bagian dari ibadah.

Dalam uraian pada halaman sebelumnya dapat disimpulkan bahwa

perdebatan ulama berkenaan al-mauquf ‘alaih memberikan penegasan bahwa

upaya untuk menentukan sasaran dan peruntukan wakaf sangat terbuka. Acuan

bahwa sasaran tersebut haruslah berupa qurbah atau merupakan bentuk al-birr

(kebajikan) baik menurut ukuran syari‟ah maupun wakif, merupakan pegangan

pokok yang mendasari setiap interpretasi kontemporer dalam pemberdayaan

pemanfaatan hasil wakaf.

Tentunya mempertimbangkan setiap sasaran wakaf turut membantu

dalam menentukan pilihan. Artinya peruntukan wakaf dimulai dari yang lebih

penting, baru kemudian yang penting berikutnya, dijadikan pijakan kedua

dalam distribusi hasil wakaf. Dengan mencermati hal tersebut semoga tujuan

utama wakaf serta kepentingan wakif dalam mewakafkan hartanya dapat terjaga

dan terealisasi.

24
DAFTAR PUSTAKA

al-Kabisi dan Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, terj.Ahrul Sani Faturrahman
dan Kuwais. Jakarta: Mandiri Cahaya Persada, 2004.

Anshori dan Abdul Ghafur. Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia. Yogyakarta:
Pilar Media, 2008.

Basyir dan Ahmad Azhar. Hukum Islam Tentang WakafBandung: Al Ma‟arif, 1987.

Khosyi’ah, Siah. Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh Dan Perkembangannya di
Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Maksum, Muhammad. Hukum Perwakafan Kontemporer Perspektif Hukum Islam dan


Positif. Serang: A-Empat, 2017.

Maskur dan Soleh Gunawan. “Unsur dan Syarat Wakaf dalam Kajian Para Ulama dan
Undang-Undang di Indonesia”, Tazkiya: Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan
& Kebudayaan, Vol. 19, No. 2, (2018).

Mujahidin, Ahmad. Wakaf di Indonesia dan Proses Penanganan Sengketanya. Jakarta:


Kencana, 2021.

Muzarie, Mukhlisin. Hukum Perwakafan Dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan


Masyarakat. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010.

Purnomo, Agus dan Luthfi Hakim. “Implementasi Wakaf Produktif dalam Perspektif
Ekonomi Syariah”, Nuansa: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan,
Vol. 16, No. 2, (2019).

Qahaf, Mundzif, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa, 2008.

Sarpini. “Telaah Mauquf ‘Alaih dalam Hukum Perwakafan”, Ziswaf: Jurnal Zakat dan
Wakaf, Vol. 6, No. 1, (2019).

Shohibuddin, Mohammad. Pejuang Keadilan Agraria. Yogyakarta: Insistpress, 2019.

Supani. Pembaharuan Hukum Wakaf di Indonesia. Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu,


2019.

25

Anda mungkin juga menyukai