Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM

“TUJUAN HUKUM ISLAM DENGAN NIAT DAN


PERBUATAN”

Oleh :

M.Arif.Hidayatulah :1421020096

Haris Samarga :1421020176

Ahmad Rizaldin Zamri :1421020047

Khoirul Ramadan :1421020185

Sirman Andika :1421020140

Dosen : Sucipto,Sag.,M.Ag
Jurusan : Siyasah
Kelas : A

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2016/2017
KATA PENGANNTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karna telah
memberi rahmad dah hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan tepat waktu yang bertemakan “Filsafat Hukum Islam Tentang Niat Dan
Perbuatan” dari mata kuliah filsafat hukum islam.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan
kelemahan yang perlu mendapat penyempurnaan, namun inilah usaha maksimal yang
dapat kami lakukan.  Dengan segala kerendahan hati, kami harapkan kritik dan saran
demi sempurnanya makalah ini, karena kami yakin bahwa makalah ini belum
mencapai hasil yang sempurna.

Bandar Lampung, 12 Desember 2016

penyusun,

1
1
Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................................................................................2

Daftar isi...................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................................................1


B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Filasafat Hukum Islam


a. pengertian filsafat...............................................................................................3
b. pengertian hukum dan islam..............................................................................3
c. pengertian filsafat hukum islam.........................................................................4
B. Tujuan Hukum Islam Dengan Niat Dan Perbuatan........................................................5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................................17

Daftar Pustaka

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai hukum yang bersumber pada wahyu
Allah swt. Keyakinan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sumber hukum dalam Islam
adalah Al-Qu’ran dan al sunnah, Allah dan rasulnya lazim disebut al-Syari. Namun
demikian harus diakui bahwa Al-Qur’an dan Al-Sunnah terbatas, baik dalam pristiwa
maupun waktu penetapan hukumnya; sementara itu peristiwa semakin hari semankin
banyak jumlah dan aneka ragam masalahnya. Dalam menghadapi masalah inilah
penafsiran dan upaya penemuan hukum dan ahli hukum islam sangat dituntut.Pemahaman
dan penafsiran terhadap sumber hukum Islam meniscayakan adanya penalaran yang
sistematis dan logis. Pemahaman itu dapat berupa kosa kata dan kalimat yang tertulis
dalam Al-Qur’an atau Hadits, dapat pula berupa upaya kontestualisasi nilai –nilai yang
terkandung di dalam kedua sumber hukum itu. Pembahasan tentang berbagai bentuk
pemahaman itu terdapat dalam sebuah ilmu yang disebut ilmu ushul al-Figh, yang oleh
sebagian ahli hukum Islam dianggap sebagai  ilmu filsafat Islam yang original datang dari
kalangan umat Islam, setelah menelaah isi kandungan Al-Qur’an dan Hadits.

Dalam pembahasan makalah ini, filsafat tujuan hukum islam tentang niat dan
perbuatan, dimana pengertian niat, dan perbuatan akan dibahas, lalu bagaimana
keterkaitannya dengan filsafat tujuan hukum islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian filasafat hukum islam?
2. Bagaimana tujuan hukum islam dengan niat dan perbuatan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat hukum islam
2. Untuk mengetahui tujuan hukum islam dengan niat dan perbuatan

3
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Filsafat Hukum Islam


Filsafat Hukum Islam terdiri atas 3 kata yaitu Filsafat, Hukum dan Islam. Masing-
masing dari 3 kata tersebut memiliki definisi tersendiri. Maka sebelum mengetahui
pengertian Filsafat Hukum Islam, mari kita ketahui terlebih dahulu masing-masing arti dari 3
kata tersebut :
1. Pengertian filsafat
Filsafat diambil dari bahasa arab “Falsafah”, berasal dari bahasa
yunani “philosophia” kata majemuk yang terdiri dari kata “Philos” yang artinya cinta atau
suka dan kata “Sophia” yang artinya kebijaksanaan. Dengan demikian, secara etimologi kata
filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Dan secara terminologi, filsafat
mempunyai arti yang bermacam. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tersebut.1
a. Plato (427 SM-347 SM) ia seorang filsuf yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia
sendiri berguru pada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang
segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.2
b.  Aristototeles (381 SM-322 SM). Mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang
meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
c.  Al-Farabi (wafat 950 M). seorang filsu muslim mengatakan bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.3

2.  Pengertian Hukum dan Islam


Dalam filsafat hukum dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hukum,
sumber hukum dan manfaat atau fungsi hukum dalam masyarakat. Hukum secara etimologis
seperti yang dijelaskan oleh Ibn Mandzur, berasal dari bahasa Arab, al-hukm berarti al-‘ilm

1.Juhaya S. praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta, kencana, 2005, Cet.II, hlm..2


2 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius, Jogjakarta, 1996, hlm. 15
3 M. Ash Shidiqie Hasbi, filsafat Hukum Islam,  Jakarta : Raja Wali Pers, 2002, hlm.54

4
wa al-fiqh. Juga berarti al-‘adl. Fi’il muta’addinya yaitu kata ahkama mempunyai arti atqana
(berpegang dengan teguh). Al-hukm juga berarti al-qada’ (ketetapan) dan al-man’
(pencegahan).
Sedangkan secara terminology, hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik berasal
dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai
pengikat bagi anggotanya. Oleh karena itu, hukum Islam menurut Abu Zahrah adalah titah
(khitab) pembuat shara’ yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan atau penetapan. Definisi ini lebih mendekati makana shari’ah. Sedang
menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy adalah koleksi daya upaya fuqaha’ dalam
menerapkan shari’ah Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Definisi ini lebih mendekati
makna fiqh.4
Dari beberapa penjelasan di atas dapat didefinisiskan bahwa filsafat hukum Islam
adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal muasal hukum Islam dan
prinsip penerapannya, serta fungsi dan manfaat hukum islam bagi kehidupan masyarakat
yang melaksanakannya. Dengan kata lain kajian ini berupaya menjawab persoalan-persoalan
hukum Islam secara kontemplatif, sistematif, logis dan radikal. Atau juga filsafat hukum
Islam dapat diartikan setiap kaidah, asas atau mabda’, aturan-aturan pengendalian
masyarakat   pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat berupa Alqur’an, hadist,
pendapat sahabat dan thabiin, ijma’ ulama’ dan fatwa lembaga keagamaan. Al-jurjani dalam
bukunya Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuh juga menjelaskan bahwa filsafat hukum Islam
diistilahkan hikmah at-tasyri’.5 Filsafat hukum Islam sendiri dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu: Falsafah asy-syari’ah, yang mengungkapkan masalah ibadah, muammalah,
jinayah dan ‘uqabah dari materi hukum Islam. Falsafah syari’ah mencakup asrar al-ahkam,
khasha’ilah al-ahkam, mahasin al-ahkam dan thawabi’ al-ahkam. Falsafah Tasyri’, yaitu
filsafat yang memancarkan hukum islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah tasyri’
meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam dan qawa’id al-ahkam. Hikmah at-Tasyri wa
Falsafatuh, yaitu kajian mendalam dan radikal tentang prilaku mukallaf dalam mengamalkan
hukum Islam sebagai undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus. Jika kita berbicara
tentang Hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau
seperangkat norma yang mengatur tingkah-laku manusia dalam suatu masyarakat. Baik

4Moh. Zahid , “Islam Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama Islam)” dalam 
KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006  hlm. 810
5 Tajul Arifin, “Filsafat Hukum Islam” Bandung; Pustaka Setia. 2008,  hlm. 55

5
peraturan berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun
peraturan yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Tidak ada pengertian yang sempurna mengenai Hukum. Namun para pakar berusaha
memberikan jawaban yang mendekati kebenaran. Menurut Nasrudin Rozak, Hukum adalah
peraturan-peraturan tentang perbuatan dan tingkah laku manusia didalam lalu lintas hidup.
Islam secara etimologi berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Jadi Hukum Islam
adalah Hukum yang bersumber dari agama dan menjadi bagian agama Islam.
3. Pengertian Filsafat Hukum Islam
Adapun pengertian secara terminologi, menurut Azhar Basyir : ia mengatakan bahwa
“Filsafat Hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematik, dapat dipertanggung
jawabkan dan radikal tetang Hukum Islam.” Filsafat Hukum Islam adalah pengetahuan
tentang hakikat, rahasia, dan tujun Hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun
proses penepatannya. Dan Filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan
memelihara Hukum Islam sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT
menetapkannya di muka bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Jadi Filsafat Hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam,
sumber asal-muasal hukum islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum
islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.
Dengan rumusan lain Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat,
rahasia, dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya,
atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, meguatkan, dan memelihara hukum Islam,
sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu
untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-
benar “cocok sepanjang masa di semesta alam”
Apabila kita mengikuti pendapat al-Jurjawi bahwa yang dihasilkan oleh ahli pikir
adalah filsafat dan yang dihasilkan orang yang mendapat kasyf dari Allah SWT sehingga
menemukan kebenaran adalah hikmah.

B. Tujuan Hukum Islam Dengan Niat Dan Perbuatan

Tujuan hukum Islam sejatinya adalah tujuan Pencipta hukum Islam itu sendiri. Tujuan
hukum Islam adalah arah setiap perilaku dan tindakan manusianya dalam rangka mencapai
kebahagiaan hidup dengan mentaati serta menghindari apa yang telah menjadi hukumNya.

6
Dalam FirmanNya Allah tegas memberikan segala ciptaannya pada manusia itu tidaklah sia-
sia.

Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia dan fungsi-fungsi daya fitrah
manusia. Fitrah manusia mempunyai tiga daya atau potensi yaitu : ‘aql, syahwat, gadlab. 6
Tujuan hukum Islam secara global atau bisa dikategorikan tujuan umumnya adalah untuk
kemaslahatan manusia seluruhnya baik kemaslahatan di dunia fana ini, maupun
kemashlahatandi hari yang baqa (kekal) kelak.7

keberadaan hukum tidak dapat terlepas dengan tujuan dan harapan manusia sebagai
pelaku atau subjek hukum, dan harapan manusia sebagai pelaku hukum disini dapat kita
kategorikan sebagai tujuan khusus diantaranya :
1.      Kemashlahatan hidup bagi diri dan orang lain
2.      Tegaknya Keadilan
3.      Persamaan hak dan kewajiban dalam hukum
4.      Saling control di dalam kehidupan bermasyarakat
5.      Kebebasan berekspresi, berpendapat, bertindak dengan tidak melebihi batas-batas hukum
dan norma sosial.
6.      Regenerasi sosial yang positif dan bertanggung jawab8.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalam memberikan pedoman
hidup kepada manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka muncul
pertanyaan “Dari mana kita mengetahui tujuan tersebut?”. Pada dasarnya manusia diciptakan
oleh Allah ta’ala dengan bekal untuk hidup yaitu fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi
Shalallahu Alaihi Wasalam :
 ‫كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه‬
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang
tuanya lah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi. HR Bukhari
Fitrah dalam hal ini adalah Islam, yaitu fitrah yang telah Allah tetapkan kepada setiap
manusia. Agar fitrah ini selalu terjaga maka manusia diberikan daya dan potensi yaitu
berupa : Aql, Syahwah dan Ghadlab. Daya ‘Aql berfungsi mengetahui (ma’rifat) Allah dan
mengesakannya. Daya syahwat berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek yang

6 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM Universitas Islam Bandung)hlm.101
7 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam. (Jakarta : Radar Jaya Offset)hlm.65
8 Beni Ahmad Saebani., Filasafat Hukum Islam. (Bandung : Pustaka Setia)hlm.243

7
menyenangkan dan member manfaat bagi manusia. Daya ghadlab berfungsi untuk
mempertahankan diri dan memelihara kelanggengan hidup yang menyenangkan.
Tujuan hukum Islam dilihat dari segi Pembuat Hukum dapat diketahui melalui
penalaran induktif atas sumber-sumber naqli yaitu wahyu baik dari Al-Qur’an maupun
Sunnah. Dalam hal ini ada tiga tujuan hukum Islam yaitu primer, sekunder dan tertier.
Berikut penjelasannya :
1.      Tujuan Primer
Tujuan primer hukum Islam adalah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya
kehidupan manusia. Apabila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan ketidak ajegan
kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri.
Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum
Islam yang disebut al-dlaruriyyat al-khams atau al-kulliyaat al-khams atau sering juga disebut
maqasid al-syariah yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang disepakati bukan saja oleh
ulama Islam melainkan oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama ialah : memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan harta. Tujuan hukum ibadah merujuk kepada
pemeliharaan agama, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, mengeluarkan zakat,
melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan
hukum muamalat merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan hata. Tjan
hukum pidana (jinayah) yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar merujuk kembali kepada
pemeliharaan keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.

2.      Sekunder
Tujuan hukum Islam sekunder adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang
terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan hidup sekunder itu
bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan
kesulitan hidup manusia. Namun demikian kesempitan hidup tersebut tidak akan
mengakibatkan kerusakan hidup manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat
sekunder itu terdapat dalam ibadat, adat, muamalat dan jinnayat. Terpeliharanya tujuan
sekunder hukum Islam dalam ibadat umpamanya dapat tercapai dengan adanya hukum
rukhsah yang berbentuk dispensasi untuk menjamak dan mangqashar shalat bagi mereka
yang sedang dalam perjalanan / safar atau mereka yang tengah mengalami kesulitan baik
karena sakit atau karena sebab lainnya.

8
Contoh tujuan hukum sekunder dalam adat, seperti adanya kebolehan berburu dan menikmati
segala hal yang baik-baik selama hal itu dihalalkanm baik berupa makanan, minuman,
sandang, papan dan lain sebagainya.
Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalat dapat tercapai antara lain, dengan adanya
hukum musaqah dan salam. Musaqah merupakan system kerja sama dalam pertanian, yakni
system bagi hasil yang dikenal dengan sebutan paroan sawah. Jual beli salam yaitu system
jual beli melalui pesanan dan pembayaran di muka atau di kemudian hari setelah penyerahan
barang yang diperjualbelikan.
Contoh hukum sekunder dalam bidang hukum pidana atau jinayat seperti adanya system
sumpah (al-yamin) dan denda (diyat) dalam proses pembuktian dan pemberian sanksi hukum
atas pelaku tindak pidana.   

3.      Tersier
Tujuan tertier hukum islam ialah tujuan hukum yang ditujukan untuk
menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik yang paling
layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaia
tujuan tertier hukum islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau
al-akhlaq al-karimah. Budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika
hukum ibadah, muamalah, adat, pidana atau jinayah dan muamalat keperdataan.
Etika hukum ibadah umpamanya dicerminkan dengan adanya ketetapan hukum bersuci atau
thaharah, menutup aurat, mensucikan dan membersihkan najis dari tempat ibdah berhias,
melaksanakan kebaikan dalam bentuk shadaqah dan lain sebagainya. Etika hukum dalam
hukum adat umpamanya tercermin dengan adanya hukum dan etika tentang bagaimana
seharusnya makan-minum, isyraf atau berlebihan dan sebagainya. Etika hukum dalam pidana
atau fiqh jinayah umpamanya tercermin dengan adanya ketentuan yang melarang membunuh
wanita dalam keadaan perang. Etika hukum tersebut di atas merujuk kepada kebaikan dan
keutamaan demi tercapainya tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder.
Apabila tidak tercapai tujuan hukum tertier tersebut tidak akan mengakibatkan hilangnya
esensi tujuan hukum primer dan sekunder.

Tujuan hukum dilihat dari segi Pembuat Hukum yakni hukum yan ditujukan agar
pembuatan hukum dapat dipahami oleh mukallaf. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab
itu untuk dipahami. Oleh akrena itu untuk mendalami hukum islam diperlukan kecakapan dan
kemampuan nmemahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya. Para filolog telah

9
berhasil merumuskan kaidah-kaidah kebahasaan yang digunakan untk memahami hukum-
hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Terkenallah dalam ushul fiqh ada yang disebut al-
qawaid al-lughawiyyah yaitu kaidah-kaidah hukum yang didasarkan aras produk para filolog
bahasa Arab yang kemudian menjadi bagian penting dari epistemology hukum Islam.
Berdasarkan atas kaidah-kaidah kebahassaan inilah hukum-hukum yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan sunah dapat dipahami dan digali.
Kiadah-kaidah utama atau kaidah-kaidah pokok yang disebut kaidah al-kulliyah dalam kajian
hukum Islam tidaklah sedikit. Salah satu kaidah pokok tersebut berbunyi :
‫األ صل في األمر يد ل على الوجوب‬
Hukum asal daripada perintah adalah wajib.
Hal ini berarti Pokok hukum jika dinyatakan dalam bentuk perintah (amr) adalah untuk
menunjukan hukum wajib.
Tujuan hukum Islam ketiga jika dilihat dari sisi Pembuat Hukum ialah untuk menjadikan
hukum Islam itu sebagai beban dan tanggung jawab hukum si mukallaf. Oleh karena itu,
tujuan hukum adalah mengarahkan mukallaf supaya tidak terjerumus ke dalam jurang hawa
nafsu yang menyesatkan. Akal tidak mampu menjelaskan dan merumuskan tata cara
berterima kasih kepada Allah yaitu dalam bentuk cara-cara beribadah murni (ibadah mahdlah,
seperti jumlah rakaat shalat dan sebagainya). Untuk membantu akal tersebut Allah
menurunkan hukum-hukumnya melalui wahyuNya. Namun demikian, sesuai dengan tujuan
hukum itu sendiri, yakni demi kemasalahatan dan menghindarkan kerusakan manusia, makad
igariskanlah suatu kaidah. Kaidah itu menyatakan bahwa taklif atau tanggung jawab huium
itu tidak dibebankan kepada si mukallaf apabila taklif itu merupakan sesuatu yang tidak
mungkin dapat dilaksanalan oleh si mukallaf.
Tujuan hukum yang digariskan oleh Pembuat Hukum berikutnya adalah pelaksanaan hukum
oleh si mukallaf mesti dilandasi niatnya. Tujuan dengan niat mukallaf dalam melaksanakan
hukum itu mesti sesuai pula dengan tujuan pembuat hukum. Dinukil dari buku Filsafat
Hukum Islam karya Prof. DR Juhaya S. Praja. 
Tujuan Hukum Islam Kaitannya Dengan Niat Dan Perbuatan.
Menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) katagori tingkatan kebutuhan untuk mencapai
kemashalatan, yaitu:
1.Dharuriyyat adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau yang disebut dengan
kebutuhan primer.Bila tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi,akan terancam keselamatan
umat manusia keperluan dan perlindungan al –dharuriyyat ini dalam buku ushul

10
fikih ,termasuk as-syatibi,membagi menjadi lima buah ,yaitu pemenuhan keperluan serta
perlindungan yang di perlukan untuk  
 Keselamatan agama ketaatan beribadah kepada Allah SWT
 keselamatan nyawa (perindividu)
 keselamatan akal (termasuk hati nurani)
 keselamatan atau kelangsungan keturunan (eksistensi manusia )serta terjaga dan
terliindunginya harga diri dan kehormatan seorang
 keselamatan serta perlindungan atas harta kekayaan yang di kuasai atau dimiliki seorang
.Kelima dharuriyyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia karena
nya Allah SWT menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan
kesempurnaanya .sebaliknya Allah SWT melarang melakukan perbuatan Yang dapat
menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyyat yang lima itu.segala
perbuatan yang dapat mewujudkan atu mengekalkan lima unsur pokok itu adalah
baik ,dan karena nya harus dikerjakakan.sedangkan segala perbuatan yang merusak atau
mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik , dan karena nya harus
ditinggalkan .semua itu mengandung kemashalatan bagi manusia bila salah satunya
tidak ada maa hidup manusia akan terancam ,berada dalam kesulitan yang amat besar
dan berkepanjangan ,yang akan membawanya dalam kepunahan.

Mengenai masalah urutan ada ulama berpendapat bahwa urutan sesuai dengan yang
disebutkan diatas, artinya perlindungan dan pemenuhan keperluan agama didahulukan atas
empat yang dibawahnya dan perlindungan nyawa didahulukan atas tiga dibawahnya dan
begitulah seterusnya secara berurutan. Dan ada juga ulama yang menganggap empat dari lima
keperluan diatas yaitu selain agama setingkat, artinya seorang boleh memilih mana yang akan
diutamakan dan mana yang akan ditinggalkan atau dikorbankan sesuai dengan pertimbangan
dan keadaan nyata yang dia hadapi. Dan semua ulama sepakat bahwa perlindungan agama
merupakan yang tertinggi.
2.    Kebutuhan hajiyyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana tidak terwujudkan
keperluan ini tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan
dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan
kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Jadi yang membedakan al-dharuriyah dengan al-
hjiyaha adalah pengarunya kepada keberadaan manusia namun demikian keberadaannya di
butuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam
kehidupan mukalaf .

11
3.    Al-tahsiniyyat adalah (tersier) yaitu semua keperluan dan perlindungan yang
diperlukan agar kehidupan menjadi nyaman dan lebih nyaman lagi, mudah dan lebih mudah
lagi, lapang dan lebih lapang lagi, begitu seterusnya. Dengan istilah lain adalah keperluan
yang dibutuhkan manusia agar kehidupan mereka berada dalam
kemudahan ,kenyamanan,kelapangan.
Alasan penetapan ketiga katagori tersebut.
Maqasid Syariah bereti tujuan allah dan rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum
islam tujun itu datap ditelusuri dalam ayat al-qur’an dan sunnah rasulullah sebagai alasan
logis bagi ruusan suau hukum yang berorientasi kepada kemasasalhatan umat manusia
sebagai mana dikemukakan oleh abu ishaq al-syatibi bahwa tujuan pokok dsyariatkan hukum
islam adalam untuk kemaslahatan manusia bak didunia maupun diakhirat lebih lanjut abu
ishaq al-syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat al-qur’an dan
sunnah rasulullah bahwa hukum-hukum disyariaatkan allah untuk mewujudkan kemaslahan
umat manusia, baik di dunia dan diakhirat kelak.

Niat Dan Perbuatan


Dalam hal keterkaitannya dengan niat dan perbuatan ketiga masalah pokok atau tujuan
pokok yang dikemukakan asy syatibi, niat memiliki peran untuk mengawali ketiga hal pokok
diatas sebagai mana yang tertulis di kitab hadits arba’in ann-nawawi, berikut :
ِ ‫ مَسِ عت رسو َل‬: ‫اب ر ِضي اهلل عْنه قَ َال‬ ٍ ‫َع ْن َِأمرْيِ الْ ُمْؤ ِمنِنْي َ َأيِب ْ َح ْف‬
‫اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬ ُْ َ ُ ْ ُ َ ُ َ َ ِ َّ‫ص عُ َمَر بْ ِن اخْلَط‬
ِ ‫اهلل ورسولِِه فَ ِهجرتُه ِإىَل‬
‫اهلل‬ ِ ‫ِإ‬ ِ َ‫ فَمن َكان‬. ‫ات وِإمَّنَا لِ ُكل ام ِرٍئ ما َنوى‬
ِ ِّ ِ‫ال ب‬ ْ ْ‫ ِإمَّنَا ا‬: ‫َي ُق ْو ُل‬
ُ َْ ْ ُ َ َ ‫ت ه ْجَرتُهُ ىَل‬
ْ َْ َ َ ْ ِّ َ َّ‫الني‬ ُ ‫َألع َم‬

‫اجَر ِإلَْي ِه‬ ‫ِإ‬ ِ ٍ ِ ِ ِ َ‫ ومن َكان‬،‫ورسولِِه‬. .


َ ‫ت ه ْجَرتُهُ ل ُد ْنيَا يُصْيُب َها َْأو ْامَرَأة َيْنك ُح َها فَ ِه ْجَرتُهُ ىَل َما َه‬
ْ ْ َ َ ُْ ََ
Arti Hadist: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan itu
(tergantung) niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena
dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Hadist Riwayat dua imam hadist,)

12
Kosa kata / ‫ اَْأل ْع َما ُل‬: ‫ مفردات‬: Perbuatan ‫ لنِّيَّات‬: Niat/maksud ‫ ِإنَّ َما‬: Sesungguhnya. (kata
penguat/ta’qid dan peringkas/taqshir
‫{{{{{{رٍئ‬
ِ ‫ ا ْم‬: Seseorang, manusia ُ‫ُص{{{{{{يْب‬
ِ ‫ي‬:
Mendapatkan/mencapai ‫ امرأة‬: Seorang wanita 3.
.Asbab al- wurud hadist tentang niat Rasulullah SAW mengeluarkan hadist diatas
(asbab al-wurud)-nya adalah untuk menjawb pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan
dengan peristiwa hijrahnya rasulullah SAW. Dari mekkah ke madinah, yang diikuti oleh
sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu ada salah seorang laki-laki yang turut serta
berhijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan islam melainkan hendak
menikah dengan seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya telah
bertekad akan turut hijrah, sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di
Mekkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini ditempat tujuan hijrahnya Rasulullah SAW.
yakni Madinah, sehingga laki-laki itupun ikut hijrah ke Madinah. Ketika peristiwa itu
ditanyakan kepada Rasulullah SAW,apakah hijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau
tidak, Rasullah SAW menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadist diatas 9. Dalam
hadist ini Rasulullah SAW menegaskan secara khusus, bahwa tiap-tiap perbuatan bergantung
kepada dorongan hati (kesengajaan) pelakunya. Kemudian beliau mengambil contoh berupa
perbuatan (amal) hijrah. Hijrah para sahabat dan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah adalah
atas perintah Allah. Melakukan perintah Allah adalah ibadah. Tetapi kalau di dalam
melakukan perintah Allah itu maksudnya atau kesengajaannya untuk mendapatkan
keuntungan dunia atau materi, seperti istri, harta, pangkat, kemasyuran, pujian dan lain-lain,
maka perbuatan tersebut tidak akan mendapat pahala dari Allah. Bahkan ia akan
mendapatkan dosa, sebab Allah menyatakan bahwa tiap-tiap orang dalam melekukan
perintahnya harus bersikap ikhlas, bersih dari pamrih keduniaan.10
Islam adalah agama yang tidak pernah mengajarkan adanya pekerjaan sia-sia,
sehingga tidak satu pekerjaan pun yang boleh dilakukan setengah hati. Setiap pekerjaan harus
diselesaikan secara serius dengan metodologi dan orientasi yang jelas. Dalam islam , semua
kerja (amal) memiliki nilai dan akan dicatat sebagai ibadah dihadapan Allah. Karena itu tidak
ada pekerjaan yang dilakukan tanpa niat dan perencanaan yang jelas.
Arti dan makna niat dalam setiap pekerjaan (amal) Niat atau niyyat, seperti yang
dikutip dalam bukunya teungku hasbi as shidieqy (mutiara hadist),menurut bahasa adalah

9 Rachnat Syafe’I,Al-Hadits,(Bandung:Pustaka Setia,2000),hlm.55-56


10 M. Thalib,Butir-Butir Pendidikan Dalam Hadits,(Surabaya:al-Ikhlas),hlm.9

13
tujuan hati dan kehendak hati. Menurut syara ialah bergeraknya hati kearah sesuatu pekerjaan
untuk mencapai keridhaan allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah-
Nya. Al baidhawy berkata: niat itu ialah bergeraknya hati untuk engerjakan ssuaatu yang
dipandang baik, untuk sesuattu maksud, baik untuk menarik sesuatu manfaat ataupun untuk
menolak sesuatu mudharat, dalam waktu yang cepat atau dalam waktu yan akan datang.
Syara menentukan niat dengan iradat (kehendak hati) yang mengarah kepada pekerjaan untuk
mencari keridhaan Allah dan untuk menuruti perintahnya. Kebanyakan ulama mutaakhirin
Syafi’iyah mengartikan niat syar’iyah (niat yang dipandang syara) dengan “menghendaki
sesuatu, bersamaan dengan mengerjakannya” Pengertian niat dalam ensiklopedi hukum islam
secara semantis berarti maksud, keinginan kehendak, cita-cita, tekad dan menyengaja. Secara
terminologis ulama fiqh mendifinisikan dengan “tekad hati untuk melakukan sesuatu
perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata kepada Allah. 2. Fungsi dan
peranan niat dalam setiap amal ibadah Niat merupakan unsur yang sangat menentukan dalam
keabsahan suatu amal ibadah dan menentukan keabsahan suatu ibadah dan beberapa jenis
muamalah. Menurut istilahnya ialah kehendak hati untuk melakukan perbuatan tertentu untuk
mencari keridhaan Allah dan meleksanakan hukumnya. Yang dikatakan niat menurut para
fuqaha ialah sesuatu kehendak untuk melaksanakan sesuatu perbuatan berbarengan dengan
pelaksanaannya. Yusuf Qardhawy menjelaskan dalam buku “Niat dan Ikhlas”, bahwa niat itu
merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah, maka dari itu tidak pernan dikenal dari
Rasulullah, dari sahabat dan orang-orang salaf yang mengikuti mereka tentang adanya niat
dalam ibadah yang dilafadzkan. Disepakati bahwa tempat niat adalah dalam hati dan
dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan amal kebajikan. Niat berperan
penting dalam ajaran islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan perintah syara, atau
menurut sebagian ulama,dalam perbuatan yang mengandung harapan untuk mendapatkan
pahala dari Allah. Niat akan menentukan nilai, kualitas serta hasilnya, yakni pahala yang
akan diperolehnya. Orang yang berhijrah dengan niat ingin mendapat keuntungan dunia atau
ingin mengawini seorang wanita, ia tidak akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Sebaliknya kalau orang hijrah karena ingin mendapat ridha Allah maka ia akan
mendapatkannya, bahkan keuntungan dunia pun akan diraihny. aAgama islam mensyariatkan
niat ada dua hikmah yang terkandung didalamnya: a) Untuk membedakan perbuatan-
perbuatan yang semata-mata berdasarkan kebiasaan dengan perbuatan-perbuatan ibadah. b)
Untuk membedakan martabat, nilai ibadah dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.
Pendapat para ulama mengenai hadist tentang niat. Menurut pendapat kebanyakan
ulama pensyarah hadist, hadist ini member pengertian atau bahwasanya niat itu, adalah syarat

14
syah segala amal yang dimasud (maqashid). Menurut Ash-shidieqy hadist tersebut memberi
suatu pengertian yang tegas yaitu, segala amal bedasarkan motivasi dari seesorang, kalau
motivasi karena Allah, maka dipahalai. Kalau penggeraknya bukan karena Allah tidak
dipahalai dan mungkin diganjari dengan dosa. Lebih lanjut ash-Shidieqy menjelaskan bahwa
niat adalah ruh dan amal neracanya. Sesungguhnya tidaklah terjadi sesuatu amal ikhtisyari
yang diqashadkan (yang disengajakan) melainkan dengan adanya niat. Maka yang diperoleh
oleh seorang amil dari amalannya adalah apa yang mendorongnya untuk beramal, bukan
lahiriah amalan.
Hubungan Niat dan Perbuatan Terhadap Tujuan Hukum Islam.
Seperti yang tertera diatas, maqashid syari’ah atau tujuan hukum islam, yang
memiliki pengertian untuk mencapai kemaslahatan, dibutuhkan beberapa tujuan yaitu,
dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Dimana kesemua tujuan ini menjadi satu kesatuan
yang nantinya disebut perbuatan, dalam melakukan sebuah perbuatan, bahkan dua atau lebih
perbuatan dibutuhkan sebuah niat. Niat disini memiliki pengaruh yangg begitu kuat dalam
mempengaruhi perbuatan atau tiga tujuan diatas, sebagaimana tertera dalam hadits arba’in,
segala sesuatu tergantung dari niatnya, artinya segala perbuatan bergantung pada niatnya.
Inilah yang membuat tujuan hukum islam berkaitan dengan niat dan perbuatan.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan, Filsafat diambil dari bahasa
arab “Falsafah”, berasal dari bahasa yunani “philosophia” kata majemuk yang terdiri dari
kata “Philos” yang artinya cinta atau suka dan kata “Sophia” yang artinya kebijaksanaan,
Hukum secara etimologis seperti yang dijelaskan oleh Ibn Mandzur, berasal dari bahasa
Arab, al-hukm berarti al-‘ilm wa al-fiqh. Juga berarti al-‘adl. Fi’il muta’addinya yaitu kata
ahkama mempunyai arti atqana (berpegang dengan teguh). Al-hukm juga berarti al-qada’
(ketetapan) dan al-man’ (pencegahan).
Sedangkan secara terminology, hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik berasal
dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai
pengikat bagi anggotanya. Oleh karena itu, hukum Islam menurut Abu Zahrah adalah titah
(khitab) pembuat shara’ yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan atau penetapan.
Tujuan hukum Islam sejatinya adalah tujuan Pencipta hukum Islam itu sendiri. Tujuan
hukum Islam adalah arah setiap perilaku dan tindakan manusianya dalam rangka mencapai
kebahagiaan hidup dengan mentaati serta menghindari apa yang telah menjadi hukumNya.
Seperti yang tertera diatas, maqashid syari’ah atau tujuan hukum islam, yang
memiliki pengertian untuk mencapai kemaslahatan, dibutuhkan beberapa tujuan yaitu,
dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Dimana kesemua tujuan ini menjadi satu kesatuan
yang nantinya disebut perbuatan, dalam melakukan sebuah perbuatan, bahkan dua atau lebih
perbuatan dibutuhkan sebuah nia

16
DAFTAR PUSTAKA

Juhaya S. praja, 2005,Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta, kencana, , Cet.II.


Jan Hendrik Rapar,1996,Pengantar Filsafat .Jogjakarta: Kanisius.
M. Ash Shidiqie Hasbi, 2002, filsafat Hukum Islam,  Jakarta : Raja Wali Pers.
Moh. Zahid , “Islam Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak.
Kekerasan atas nama Islam)” dalam  KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April
2006, Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006  .
Tajul Arifin, 2008, “Filsafat Hukum Islam” Bandung; Pustaka Setia
Rachnat Syafe’I,Al-Hadits,(Bandung:Pustaka Setia,2000)

M. Thalib,Butir-Butir Pendidikan Dalam Hadits,(Surabaya:al-Ikhlas)

17

Anda mungkin juga menyukai