Anda di halaman 1dari 19

MAQASHID SYARIAH TERHADAP HEDGING (LINDUNG

NILAI/TAHAWUTH)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Ushul Fiqih dan
Maqashid Syariah

Oleh
Daffa Albari Naufal
2020405004

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM TAZKIA
1442 H/2021 M
ABSTRAK
Islamic hedging atau lindung nilai Islam adalah salah satu instrumen dalam
manajemen keuangan yang dipakai untuk mengurangi risiko terkait dengan
pergerakan harga dan mata uang. Namun dalam perspektif konvensional, lindung
nilai melibatkan penggunaan instrument derivatif yang kontroversi dalam
pandangan Islam. Tujuan mulia lindung nilai ini telah disalahpahami hanya untuk
mendapatkan keuntungan. Oleh sebab itu, konsep lindung nilai perlu didiskusikan
lebih lanjut karena penafsiran terhadap makna lindung nilai. Studi ini
memperlihatkan cara/proses transaksi hedging dengan mengedepankan maqashid
syariah sehingga menghilangkan hal-hal yang dilarang dan meminimalisir risiko
yang dapat timbul di masa yang akan datang.
Kata kunci : Maqashid Syariah, Hedging, Islamic Hedging

ABSTRACT
Islamic hedging is an instrument in financial management that is used to reduce
risks associated with price and currency movements. However, in the
conventional perspective, hedging involves the use of derivative instruments,
which is controversial from an Islamic point of view. The noble purpose of
hedging has been misunderstood only to seek profit. Therefore, the concept of
hedging needs to be discussed further because of the interpretation of the meaning
of hedging. This study shows the method/process of hedging transactions by
prioritizing maqashid sharia so that it can eliminate things that are prohibited
and minimize risks that may arise in the future.

Keyword: Maqashid Sharia, Hedging, Islamic Hedging

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Maqashid Syariah Terhadap
Hedging (Lindung Nilai/Tahawuth)” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dan
Maqashid Syariah. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
kesesuaian hedging terhadap prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan oleh maqashid
syariah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen penulis Dr. Ahmad Levi Fachrul
Avivy, M.A. selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih dan Maqashid Syariah.
Ucapan terima kasih juga disampaika kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membagun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 24 Juli 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. I
KATA PENGANTAR .......................................................................................... II
BAB I Pendahuluan ...............................................................................................1
Latar Belakang Masalah .......................................................................................2
Rumusan Masalah ................................................................................................3
Tujuan Penulisan ..................................................................................................3
BAB II Pembahasan ...............................................................................................4
Pengertian Maqashid Syariah Menurut Para Ahli ................................................4
Maqashid Syariah Dalam Tinjauan Hukum Islam ...............................................5
Maqashid Syariah Pada Hedging (Lindung Nilai/Tahawuth) ..............................5
BAB III Penutup ..................................................................................................14
Simpulan ...........................................................................................................14
Saran..................................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Ketidakpastian kondisi perekonomian global berdampak terhadap


kondisi perekonomian di Indonesia. Faktor yang mempengaruhi
perekenomian di dunia adalah adanya kebijakan tapering off capital
outflow dari emerging market.1

Setiap aktvitias bisnis suatu perusahaan berpotensi mendapatkan


berbagai macam risiko. Risiko di dalam suatu perusahaan terdiri dari
risiko bisnis dan risiko non bisnis. Risiko bisnis perusahaan ialah risiko
yang bersumber dari usaha meningkatkan nilai pemegang saham melalui
suatu kompetitif perusahaan. Hal tersebut jelas dipengaruhi oleh aktivitas
ekonomi, fluktuasi pendapatan, serta kebijakan moneter di suatu negara.
Sedangkan risiko non bisnis adalah risiko-risiko strategis yang bersumber
dari perubahan dalam lingkungan ekonomi dan politik yang bersifat
spontan dan tentunya sulit untuk dikendalikan.2

Salah satu cara untuk memitigasi suatu risiko ketidakpastian ini


dengan melakukan lindung nilai (hedging)3. Lindung nilai ialah salah satu
mekanisme risiko yang sangat penting. Dengan manajemen risiko ini,
sebuah perusahaan dapat menghindari suatu kerugian yang mungkin bisa
terjadi di masa yang akan datang. Namun. Tanpa adanya manajemen risiko
yang dikelola dengan baik, meskipun sebuah perusahaan mendapatkan
keuntungan, maka bisa menimbulkan potensi kerugian yang disebabkan
risiko pertukaran valuta asing atau risiko portofolio.

Hedging dalam dunia keuangan digunakan sebagai suatu investasi


yang dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir atau bahkan
menghilangkan risiko pada investasi lainnya. Lindung nilai dapat
dipahami sebagai strategi yang dilakukan untuk mengurangi risiko dalam
bisnis yang tidak terduga (force majeur) disamping tetap adanya

1
Suryani dan Muhammad Anwar Fathoni. “Lindung Nilai (Hedging) Perspektif Islam:
Komparasi Indonesia dan Malaysia”. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 11
No. 2, Desember 2017, hal. 352.
2
Suryani dan Muhammad Anwar Fathoni. “Lindung Nilai (Hedging) Perspektif Islam:
Komparasi Indonesia dan Malaysia”. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 11
No. 2. Desember 2017. hal. 352.
3
Inti Ulfi Sholichah. “AT-TAHAWWUTH AL-ISLAMI (ISLAMIC HEDGING)
PERSPEKTIF FATWA, REGULASI DAN PRAKTI DALAM PERBANKAN SYARIAH”. Madani
Syari’ah. Vol. 3, Februari 2020, hal. 28.
1
kemungkinan memperoleh keuntungan dari investasi.4 Secara sederhana,
hedging dapat dilakukan dengan cara mematok harga valuta pada kurs
tertentu untuk mengantisipasi adanya kerugian akibat dari naik atau
turunnya suatu nilai valuta asing tersebut dengan melakukan forward atau
swap atau option. Dalam bisnis, hal ini tentu menghasilkan keuntungan
yang besar, namun juga bisa menjadi suatu kerugian akibat nilai tukarnya
rendah.5

Berbeda dengan konvensional, industri syariah dituntut untuk dapat


patuh terhadap peraturan syariah. Posisi perbankan syariah tidak dapat
terlepas dari suatu kerangka pemikiran syariah, instrument-instruen
tersebut dapat diindikasikan mengandung unsur ketidaksempurnaan
informasi dalam sebuah kontrak (gharar), transaksi berbasis bunga (riba)
dan transaksi spekulatif (maysir) yang tidak diperkenankan dalam prinsip
syariah. Oleh sebab itu, perbankan syariah belum bisa
mengimplementasikan manajemen risiko yang efisien terhadap fluktuasi
nilai tukar mata uang. Hal ini mendorong upaya untuk mencarikan sebuah
solisi yang dapat digunakan untuk mengisi kekosongan dalam mengelola
risiko akibat suatu fluktuasi nilai tukar bagi perbankan syariah.6

Maqashid Syariah memiliki peran yang sangat penting dalam


kehidupan umat muslim dalam menentukan hukum syar’i. khususnya di
era zaman modern sekarang banyak sekali permasalahan dan problematika
yang dapat terjadi membuat para ulama, mufti dan pakar hukum Islam
harus berfikir hal yang lebih jauh dan mendalam, sebab setiap hukum yang
dikeluarkan memiliki sisi positif dan dampak yang dimana peran
Maqashid Syariah ketika itu sangat besar dan dibutuhkan sekali.

Mekanisme lindung nilai dapat dimanfaatkan untuk melindungi


suatu institusi.7 Hal ini penting ketika terjadinya suatu kontrak pertukaran
valuta asing yang melibatkan transaksi atau perdagangan antar negara
seperti pembayaran import dan penerimaan hasil export barang.

Salah satu cara yang sering digunakan dalam lindung nilai adalah
dengan menggunakan kontrak derivatif. Derivatif adalah instrument
keuangan yang nilainya bergantung dari nilai aset dasarnya seperti
komoditas, saham, indeks saham, dan mata uang asing. Pasar derivatif

4
Arifin Joyo, Skripsi: “Kebijakan Hedging (Lindung Nilai) Dalam Menstabilkan Harga
Komoditas Dalam Perspektif Hukum Islam” (Surabaya, Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Sunan Ampel, 2008), hal. 46.
5
Oni Sahroni, dkk. “Instrumen Hedging Dan Solusinya Menurut Syariah”. Jurnal Al-
Intaj. Vol. 2 No. 2, September 2017, hal. 71.
6
Agus Fajri Zam, dkk. “Analisis Kesesuaian Instrumen Hedge Konvensional Terhadap
Prinsip Syariah”. Media Riset Bisnis & Manajemen. Vol. 8 No. 3, Desember 2008, hal. 5.
7
Suryani dan Muhammad Anwar Fathoni. “Lindung Nilai (Hedging) Perspektif Islam:
Komparasi Indonesia dan Malaysia”. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 11
No. 2, Desember 2017, hal. 352.
2
berbeda dengan pasar komoditas sebab dalam pasar komoditas,
penyerahan barang dan pembayaran dapat dilakukan saat waktu dan
tempat transaksi dilakukan. Berbeda dengan pasar derivatif yang
dilakukan antara waktu transaksi dengan pembayaran dan penyerahan
barangnya tidaklah sama.

Adapun tujuan dari lindung nilai diperbolehkan dalam Islam, untuk


mencapai tujuan lindung nilai telah disempurnakan sehingga penggunaan
kontrak derivatif yang tidak terbuka untuk spekulan yang akan
mendominasi pasar dengan melihat penawaran pada harga. Transfer risiko
dalam Islam seharusnya tidak hanya memindahkan sebuah risiko. Tetapi
lebih menekankan terhadap pembagia risiko antara kedua belah pihak.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil sebuah


rumusan masalah bagaimana maqashid syariah mengatur tentang hedging
(lindung nilai/tahawuth) di Indonesia. Berangkat dari pokok masalah
tersebut, maka penulis akan menjelaskan konsep maqashid syariah yang
kemudian penulis akan hubungkan dengan masalah yang berkaitan dengan
hedging atau lindung nilai.

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil sebuah


rumusan masalah bagaimana maqashid syariah mengatur tentang hedging
(lindung nilai/tahawuth). Berangkat dari pokok masalah tersebut, maka
penulis akan menjelaskan konsep maqashid syariah yang kemudian
penulis akan hubungkan dengan masalah yang berkaitan dengan hedging
atau lindung nilai.

3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk melihat bagaimana kesesuaian


maqashid syariah terhadap hedging (lindung nilai/tahawuth).

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN MAQASHID SYARIAH MENURUT PARA AHLI

Secara etimologi, Maqashid Syariah terdiri dari dua suku kata yaitu
maqashid dan as-Syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid
yang berarti tujuan atau kesengajaan. As-Syari’ah diartikan sebagai ilal
maa yang berarti jalan menuju ke sumber air dan jalan menuju ke sumber
air inilah yang dapat dikatakan sebagai jalan ke arah sumber utama
kehidupan manusia.

Sedangkan maqashid syariah menurut terminologi ada beberapa


pendapat, diantaranya:

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, bahwa syariah berdasarkan


hikmah dan kemaslahatan untuk umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Perubahan hukum yang berlaku tidak akan terlepas dari perubahan
zaman, sosial dan tempat untuk menjamin syari’at yang akan
mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.8

Menurut Ibnu Asyur, bahwa maqashid syariah ialah suatu


pemahaman yang dapat ditinjau dari aspek hukum yang disyariatkan, baik
secara sebagian atau keseluruhan, menurut beliau maqashid terbaik
menjadi dua yakni maqashid al-ammah dan maqashid al-khossoh.
Maqashid al-ammah bisa dilihat dari aspek hukum yang melibatkan
seluruh individu secara umum, sedangkan maqashid al-khossoh dapat
dilihat dengan cara yang dilakukan oleh syari’ah untuk dapat
merealisasikan kepentingan umum melalui suatu tindakan seseorang.9

Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan maqashid syariah dapat dilihat


dengan makna dan tujuan yang dipelihara oleh syari’at dalam sebagian
besar hukumnya atau seluruh hukumnya, atau tujuan akhir dari syari’at
dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syari’at pada setiap hukumnya.10

Sementara itu, menurut Abdul Majid al-Najar maqashid syariah


adalah perintah dan larangan Tuhan yang berhubungan dengan metode
amaliyah kehidupan umat manusia, yang dimana dapat diterima oleh

8
Muh. Muhyiddin, dkk. “Dialektika Maqasid as-Syari’ah Dalam Metode Istinbath
Hukum Islam”. Tasamuh: Jurnal Studi Islam. Vol. 13 No. 1, April 2021. hal. 86.
9
Muh. Muhyiddin, dkk. “Dialektika Maqasid as-Syari’ah Dalam Metode Istinbath
Hukum Islam”. Tasamuh: Jurnal Studi Islam. Vol. 13 No. 1, April 2021. hal. 87.
10
Muh. Muhyiddin, dkk. “Dialektika Maqasid as-Syari’ah Dalam Metode Istinbath
Hukum Islam”. Tasamuh: Jurnal Studi Islam. Vol. 13 No. 1, April 2021. hal. 87.
4
akidah yaitu perintah dan larangan yang memiliki hubungan dengan
kebenaran dan keyakinan hati iman seseorang dengan meyakini perkara
yang ghaib.11

Dari beberapa definisi yang penulis sampaikan diatas, penulis


berpendapat bahwa yang dimaksud dengan maqashid syariah adalah segala
ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia untuk mencapai
kemaslahatan umat manusia itu sendiri.

2. MAQASHID SYARIAH DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

Pengetahuan tentang maqashid syariah, seperti yang dikatakan oleh


Abd al-Wahhab Khallaf ialah hal yang sangat urgensi yang dapat dijadikan
sebagai alat bantu untuk memahami sebuah redaksi nash (al-Qur’an dan
hadits), serta untuk menyelesaikan suatu kasus yang tidak dijelaskan oleh
nash (al-Qur’an dan sunnah) secara kajian kebahasaan.12

Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. Hukum syari’at Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Allah
SWT dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh sebab itu, suatu
hukum akan selalu berhadapat dengan perubahan sosial. Dalam posisi
seperti itu, apakah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
sunnah turun pada beberapa abad yang sudah lama dapat beradaptasi
dengan perubahan zaman dan sosial.

Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa terjawab setelah


diadakan kajian secara mendalam tentang berbagai elemen hukum
Islam, dan salah satu elemen yang terpenting ialah teori maqashid
syariah.

2. Ditinjau dari aspek historis (sejarah), sesungguhnya perhatian terhadap


teori ini sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, para sahabat,
tabi’an dan tabi’in tabi’in.

3. Pengetahuan tentang maqashid syariah merupakan kunci kesuksesan


seorang mujtahid dalam berijtihad. Abdul Wahhab Khallaf adalah
seorang pakar ushul fiqh, ia mengatakan bahwa nash-nash syariah itu
tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang sudah
mengetahui maqashid syariah (tujuan hukum).13 Pendapat ini sejalan
dengan pandagan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili mengatakan

11
Muh. Muhyiddin, dkk. “Dialektika Maqasid as-Syari’ah Dalam Metode Istinbath
Hukum Islam”. Tasamuh: Jurnal Studi Islam. Vol. 13 No. 1, April 2021. hal. 87.
12
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 237.
13
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah,
1968), hal. 198.
5
bahwa pengetahuan tentang maqashid syariah adalah persoalan
dharuri (urgen) bagi seseorang mujtahid ketika ia akan memahami
nash (al-Qur’an dan hadits) untuk menggali isntinbath hukum dengan
tujuan untuk mengetahui rahasia syariat Islam.

Terdapat tiga model bagi seorang mujtahid untuk berijtihad dalam


rangka mendalami dan menetapkan maslahat yang tetap mengacu kepada
kaidah fikih dan ushul fikih. Metode itu adalah metode bayani (analisis
substantif), metode qiyas (analisis analogi), dan metode istislahi (analisis
kemashlahatan).14

3. MAQASHID SYARIAH PADA HEDGING (LINDUNG NILAI/


TAHAWUTH)

Lindung nilai (Hedging/al-Tahawuth) ialah cara atau Teknik dalam


mengurangi risiko yang timbul maupun yang akan diperkirakan timbul
akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan. Maksudnya adalah
mengelola risiko nilai tukar pada exposure yang dihadapkan oleh lembaga
keuangan syariah (LKS) akibat dari mismatch nilai tukar antara mata uang
local (domestic currency) dan volatilitas nilai tukar mata uang asing
(foreign currency) dalam memenuhi kewajiban bank pada masa yang akan
dating (future exposure/al- hajah al mustaqbaliyah).15

Secara sederhanya, hedging dilakukan dengan mematok harga


valuta pada kurs tertentu dengan tujuan untuk mengantisipasi kerugian
akibat naik atau turunnya nilai valuta asing tersebut dengan cara forward
atau swap atau option. Bisnis itu bisa menghasilkan keuntungan yang
besar, tetapi bisa mengakibatkan kerugian juga sebab nilai tukarnya yang
rendah.

Transaksi Keuangan Untuk Tujuan Hedging Yang Menjadi Objek


Fatwa

Transaksi keuangan dengan memiliki tujuan hedging dalam


perbankan syariah akan menjadi objek fatwa terdiri dari beberapa macam
dan variasnya.

14
Muh. Muhyiddin, dkk. “Dialektika Maqasid as-Syari’ah Dalam Metode Istinbath
Hukum Islam”. Tasamuh: Jurnal Studi Islam. Vol. 13 No. 1, April 2021. hal. 88.
15
Agus Fajri Zam, dkk. “Analisis Kesesuaian Instrumen Hedge Konvensional Terhadap
Prinsip Syariah”. Media Riset Bisnis & Manajemen. Vol. 8 No. 3, Desember 2008, hal. 3-5.

6
Pertama, pendapatan. Dalam perbankan konvensional, transaksi
ini dikenal dengan swap suku bunga atau interest rate swap yang meliputi
:

a. Menukar (swap) pendapatan mengambang (floating) dengan


pedapatan tetap (fixed).

dalam perbankan konvensional praktek seperti ini akan dilakukan


dengan cara menukar (swap) suku bunga floating (mengambang)
dengan suku bunga tetap (fixed). Dengan demikian bank memperoleh
pendapatan tetap setiap bulan sebagai ganti dari pendapatan yang
memiliki fluktuasi. Untuk memperoleh pendapatan yang bersifat tetap
ini bank harus membayar sejumlah fee (premi) yang telah disepakati.
Dalam perbankan syariah (mungkin) dapat dilakukan dengan menukar
pembiayaan. Mudharabah atau Musyarakah dengan pembiayaan
Murabahah atau Ijarah. Sebab akad Ijarah bersifat fix income
sedangkan Mudharabah bersifat ploating yang memiliki risiko terkait
tingkat pendapatan yang akan didapatkan.

b. Menukar pendapatan tetap (fixed) dengan pendapatan


mengambang (floating)

Dalam perbankan konvensional dikenal dengan melakukan swap


suku bunga tetap (fixed) dengan suku bunga floating (mengambang).
Dalam perbankan syariah dapat dilakukan dengan cara menukar
pembiayaan Murabahah atau Ijarah menjadi pembiayaan Mudharabah
atau Ijarah. Menikar akad Murabahah yang sedang dilakukan antara
nasabah dengan akad Mudharabah disebabkan karena akad
Mudharabah bisa diasumsikan sebagai pendapatan besar karena
memiliki risiko besar, tetapi pilihan ini jarang menjadi suatu
alternatif.16

Kedua, Valuta Asing (Valas). Dalam perbankan, hedging valuta


asing antara lain untuk tujuan :

a. Menjaga nilai valuta asing semua dana pihak ketiga (giro,


tabungan, deposito, antar bank dan pinjaman luar negeri)

Penjagaan ini dilakukan supaya nilai valuta asing tetap pada nilai
nominalnya saat diperlukan. Hal itu dilakukan dengan cara membuat
kontrak penjualan pada hari ini (spot) dan pembelian kembali dari
pihak lain untuk pengiriman pada masa yang akan dating (forward),

16
Oni Sahroni, dkk. “Instrumen Hedging Dan Solusinya Menurut Syariah”. Jurnal Al-
Intaj. Vol. 2 No. 2, September 2017, hal. 1.
7
atau sebaliknya, membeli pada hari ini dan menjual kepada pihak lain
untuk jangka waktu tertentu. Dalam perbankan syariah, hal ini juga
dilaksanakan karena di sisi penghimpunan dana bank syariah juga
membuka rekening giro (wadiah), tabungan (Mudharabah) dan
deposito (Mudharabah) dalam waluta asing. Demikian juga
penempatan antar bank dan pinjaman luar ngeri. Seperti juga giro,
tabungan, deposito, PKLN dan i/B. misalnya giro dalam fatwa DSN
adalah qardh (pinjaman), maka bank selaku debitur berkepentingan
untuk menghedging giro agar saat pengembaliannya, harga valuta
asing tidak naik. Misalnya dalam transaksi giro valas (dollar), saat
nasabah menitipkan ke bank, harga dollar ; 12.000, tetapi harga ini
berpotensi naik ke 12.500. Maka bank menghedging giro tersebut
dengan kurs 12.000.

b. Menjaga nilai mata uang asing untuk aset pembiayaan

Pembiayaan yang diberikan dalam valuta asing umumnya


dilakukan hedging agar tetap pada nominal yang diharapkan baik
jumlah semuanya maupun cicilan pembayarannya, seperti transaksi
Murabahah, Mudharabah dan Ijarah yang menggunakan mata uang
dollar. Misal, bank A memberikan pembiayaan Murabahah kepada
nasabah berupa kredit pembelian traktor. Kemudian bank A membeli
traktor ke dealer. Biasanya traktor dijual dalam bentuk dollar. Jika
bank khawatir kurs dollar naik, maka bank melakukan transaksi
hedging dengan bank B dengan jaminan LC sebagai underlying asset
dan nasabah yang membayar premi. Pada kedua transaksi ini, swap
yang dilakukan dapat dikembangkan dengan menambahkan option
yaitu variasi syarat dalam transaksi pembelian/penjualan. Misalnya
bank akan membeli kembali valuta asing yang ia jual dengan harga
yang telah disepakati apabila di pasar harganya lebih tinggi.17

Instrument hedging pada umumnya dilakukan pada tiga jenis transaksi,


yaitu transaksi jual beli komoditas, transaksi jual beli sekuritas, atau transaksi
jual beli valuta asing. Diantara bentuk transakti hedging sebagai berikut :

1. Ekspor Impor. Bagi eksportir, dibutuhkan lindung nilai dari mata uang
yang digunakan importir sebagai pembayaran yang dikenal sebagai
lindung nilai terhadap risiko gejolak nilau tukar mata uang.

2. Simpan Pinjam. Kenaikan suku bunga pinjaman yang berisiko bagi


pinjaman dan bagi si pemberi pinjaman apabila suku bunga turun.

3. Ekuitas. Risikonya adalah jatuhnya nilai ekuitas yang dimilikinya.


17
Oni Sahroni, dkk. “Instrumen Hedging Dan Solusinya Menurut Syariah”. Jurnal Al-
Intaj. Vol. 2 No. 2, September 2017, hal. 1.

8
4. Kontrak serah dan kontrak berjangka. Adalah lindung nilai terhadap risiko
pergerakan harga pasar di pasar komoditi.

5. Lindung nilai terjadi risiko kredit macet. Dimana kredit ialah risiko dalam
bisnis perbankan, namun risiko yang tidak dikehendaki oleh para
pedagang. Maka untuk melakukan lindung nilai, pedagang menjual
obligasi yang dipegangnya dengan potongan harga.

6. Lindung nilai terhadap mata uang yang digunakan oleh para investor guna
melindungi investasinya di negara lain, ini juga oleh dunia industri yang
menggunakan berbagai mata uang dalam perdagangannya.

7. Bagi debitu, yang dikhawatirkan ialah risiko akibat naiknya kurs pokok
pinjaman, bagi penjual yang dikhawatirkan adalah turunnya kurs valuta
asing.

Instrument hedging yang banyak digunakan di industri keuangan


syariah adalah instrument forward plus swap. Sedangkan instrument forward
murni tanpa swap masih jarang digunakan.

Hedging Menurut Fikih

Risiko investasi adalah terjadi suatu hal yang tidak diinginkan (ihtimal
al-makruh) dalam investasi. Maka melakukan mitigasi terhadap risiko-risiko
tersebut dengan cara yang dibolehkan oleh syariah itu dianjurkan karena
termasuk menjaga harta/aset (hifzh al-mal) sebagai salah satu maqashid
syariah. Hifzh al-mal tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan hukum (ijra’at
wa al-ahkam al-‘ammah) seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, denda
bagi safih, kewajiban pelaku pidana untuk mengganti. Bahkan banyak dalil
dalam syariat Islam yang mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan bisnis
dengan mempertimbangkan risiko sehingga bisnisnya terjaga dan
menguntungkan.18

Mitigasi risiko sebagaimana dijelaskan di atas, itu sudah menjadi


tradisi pelaku bisnis sejak masa Rasullulah SAW dan sahabat, sebagaimana
penegasan kisah Abbas bin Abdul Muthalib dan penjelasan Ibnu Taimiyah:

a. Kisah Abbas bin Abdul Muthalib

‫فيما روي أن العباس ابن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة اشترط على صاحبه أن ال يسلك به‬
‫بحرا وال ينزل به واديا وال يشترى به دابة ذات كبد رطبة فإن فعل ذلك فهو ضامن فرفع شرطه‬
‫إلى رسول هلال صلى هلال عليه وسلم فأجازه‬.
18
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 126.

9
“Diriwayatkan, jika Ibnu Abbas menyerahkan modal Mudharabah, maka
ia memberikan syarat kepada pengelola agar tidak melewati lautan, jurang,
tidak untuk dibelikan tunggangan yang memiliki hati yang basah. Jika si
pengelola melakukan hal-hal terlarang tersebut, maka ia bertanggung
jawab. Kemudian Ibnu Abbas menanyakan syarat-syarat tersebut kepada
Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW membolehkannya”.19

b. Penjelasan Ibnu Taimiyah

‫فالمساقة والمزارعة تعتمد على أمانة العامل وقد يتعذر ذلك كثيرا‬.....: ‫قال ابن تيمية رحمه هلال‬
‫فيحتاج الناس إلى المؤاجرة التي فيها مال مضمون في الذمة ولهذا يعدل كثير من الناس في‬
‫كثير من األمكنة واألزمنة عن المزارعة إلى المؤاجرة ألجل ذلك‬

“Ibnu Taimiyah berkata: Akad musaqah dan muzara’ah diberlakukan


dengan mengandalkan komitmen (amanah) pengelola, sesuatu yang sulit
terjadi/sulit dilakukan. Maka masyarakat membutuhkan akad ijarah,
karena dengan akad ijarah, harta yang disewakan itu terjamin. Oleh sebab
itu, masyarakat di banyak tempat dan kondisi meninggalkan transaksi
muzara’ah dan memiliki ijarah agar terjamin. Oleh karena itu, masyarakat
di banyak tempat dan kondisi meninggalkan transaksi muzara’ah dan
memilih ijarah sebagai alternatif karena sebab tersebut di atas.”20

Al-Qurri menjelaskan bahwa kedua penjelasan di atas menjadi landasan


dibolehkannya mitigasi risiko. Dalam kisah Abbas bin Abdul Mutthalib, akad
muzara’ah dan akad musaqah adalah akad amanah mengandalkan komitmen
pengelola, karena itu pemilik tanah menghadapi risiko komitken pengelola (moral
risk), maka di antara solusinya adalah akad ijarah agar tanah mereka terjamin.21

Transaksi lindung nilai (Hedging/al-Tahawuth al-Islami) ialah transaksi


yang dilakukan nasabah dengan lembaga keuangan syariah dalam rangka
memitigasi risiko atau melindungi nilai suatu aset, kewajiban, pendapatan,
dan/atau beban nasabah terhadap risiko fluktuasi nilai mata uang di masa yang
akan datang.

19
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 126.
20
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 127.
21
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 127.

10
Instrumen Hedging yang Dibolehkan Menurut Fikih

Pertama, al-tahawuth ‘an thariq al-iltizam (bi ajr) bi al bai’ wa al-


syira’. ini terdiri dari dua akad yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu sebagai
berikut :

a. Akad pertama adalah akad antara dua belah pihak, pihak pertama menjual
komitmen (iltizam nya) kepada pihak kedua. Komitmen yang dimaksud adalah
komitmen untuk menjual valuta asing yang dibutuhkan pada kurs tertentu.
Kemudian pihak kedua membayar upah (rasm) kepada pihak pertama atas jasa
komitmennya tersebut. Sedangkan pihak kedua selaku pihak yang
mendapatkan manfaat (pemilik hak) itu hak khiyar; boleh membeli atau tidak
jadi membeli.
b. Akad kedua adalah akad antara untuk jual beli valuta asing sesuai dengan hak
yang diberikan pada akad pertama. Akad kedua ini adalah akad najiz, bukan
akad mu’alaq atau mudhaf ila mustaqbal karena belum ada jual beli
sebelumnya ketika masuk ke dalam iltizam ini. Iltizam tersebut boleh diperjual
belikan dengan syarat-syarat berikut :
- Iltizam bermanfaat bagi penerima hak.
- Manfaat iltizam dibolehkan pada kondisi normal.
- Iltizam itu berharga (bernilai uang) sesuai ‘urf masyarakat.
- Iltizam bisa dipenuhi oleh penjualnya.22

Kedua, dua transaksi jual beli secara tidak tunai

a. Bank membeli barang kepada pihak lain dengan mata uang dollar secara tidak
tunai dan terjadi taqabudh, kemudian bank menjual barang tersebut kepada
pihak lain dengan mata uang euro secara tidak tunai juga dan terjadi taqabudh
diantara kedua belah pihak dengan kesepakatan ; harga (uang euro) akan
dibayarkan pada tanggal/waktu yang sama dengan pembayaran transaksi
pertama. Sehingga pada tanggal pembayaran, bank mendapatkan kelebihan
euro dan kekurangan dollar.23 Atau
b. Bank membeli barang kepada pihak lain dengan mata uang dollar secara tidak
tunai dan terjadi taqabudh, kemudian bank menjual barang tersebut kepada
pihak yang sama dengan mata uang euro secara tidak tunai juga dan terjadi
taqabudh diantara kedua belah pihak dengan kesepakatan; harga (uang euro)
akan dibayarkan pada tanggal/waktu yang sama dengan pembayaran transaksi
pertama. Sehingga pada tanggal pembayaran, bank mendapatkan kelebihan
euro dan kekurangan dollar.

22
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 129.
23
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 129.

11
Transaksi ini tidak termasuk bai’ al-‘inah¸ karena bai’ al-‘inah terdiri dari
transaksi beli secara tunai dan jual secara tidak tunai dengan harga yang lebih
besar, kedua harga dalam transaksi tersebut menggunakan mata uang yang sama.
Sedangkan dalam transaksi tersebut menggunakan mata uang yang sama.
Sedangkan dalam transaksi ini kedua transaksi dilakukan secara tidak tunai dan
dengan mata uang yang berbeda, dengan syarat akad yang pertama tidak
disyaratkan harus ada akad kedua. Kecuali kalau dikatakan bahwa transaksi ini
tentu rekayasa (hilah) jual beli dollar dengan euro tanpa ada serah terima terutama
kedua mata uang tersebut.24

Ketiga, bai’ al-‘urbun

Bank membagi modal (100%) ke dalam dua bagian, bagian pertama 93


dijadikan modal transaksi murabahah dengan margin 7. Sedangkan bagian yang
kedua: 7 (tujuh) dijadikan ‘urbun untuk membeli saham sebesar 700. Jika
harganya naik, maka bank akan membeli saham, tapi jika harganya turun, maka
bank akan kehilangan ‘urbun.

Keempaat, al-wu’ud al-mutabadalah al-mukhtafilah fi mahalli al-wurud

Bank berjanji (yang sifatnya mengikat) untuk membeli barang milik pihak
tertentu pada tanggal yang telah ditentukan, dengan syarat harga yang berlaku di
pasar itu lebih kecil dari harga yang telah disepakati. Pada waktu yang
diperjanjukan, dan harga pasar lebih kecil dari harga yang disepakati, dibuatkan
akad jual beli.25

Kelima, al-tahawwuth bi al-istikhdami barnamij al-mrabahatain

Pertama, bank membeli barang dengan akad Murabahah ke satu pihak


dengan harga tidak tunai (misalnya hingga satu tahun), dengan syarat setelah satu
tahun, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan transaksi Murahabah lagi,
dengan cara bank menjual barangnya ke pihak pertama dengan margin
disesuaikan harga index saham. Dengan demikian, modal bisnis bisa dimitigasi
dari risiko kerugian.

Instrument hedging yang banyak digunakan di industri keuangan syariah


adalah instrument forward plus swap. Sedangkan instrument forward murni tanpa
swap masih jarang digunakan. Jika dianalisa aspek terlarang dalam instrument
forward dan swap itu adalah al-sharf al-ajil dan maisir (khathar/spekulasi), maka
alternatifnya adalah :

24
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 130.
25
Dr. Toha Andiko, dkk. “Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam” (DI Yogyakarta:
Penerbit Samudra Biru, 2018), hal. 131.
12
1. Forward agreement dengan cara dibuat kesepakatan penentuan harga, bukan
akad tetapi hanya agreement (janji).

2. Bai’ al-iltizam dengan cara reinterpretasi bahwa yang menjadi objek akad
bukan uang tetapi hak. Menurut Nazih Hammad, hak itu berharga bisa
diperjual belikan.

3. Bai’’urbun, premi yang biasanya dibayarkan sebagai Bungan atas jasa


hedging itu diganti dengan down payment dengan skema ‘urbun.

4. Al-bai’ bi al-syart, akadnya dengan syarat harga normal, jika tidak, maka tidak
jadi transaksi.

Dengan demikian, lindung nilai (hedging/al-Tahawuth) adalah cara atau


teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan
timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan. Saat ini instrument
hedging konvensional bisa dijadikan instrument hedging karena kontrak option
hukumnya haram yang mengandung unsur gharar (spekulasi), begitu pula kontrak
forward adalah haram karena mengandung riba al-yad. Jika dianalisa lebih dalam,
aspek terlarang (haram) dalam instrument forward dan swap itu adalah ash-sharf
al-ajil dan gharah (khathar/spekulasi). Maka jual beli valas melalui bursa
komoditi.

13
BAB III

PENUTUP

1. SIMPULAN

Maqashid syariah tercermin dalam pemeliharaan pilar


kesejahteraan umat manusia, sebagaimana dikemukakan asy-Syathibi yang
mencakup lima kemaslahatan dengan memberikan perlindungan terhadap
agama, jiwa, akan pikiran, keturunan, dan harta benda. Tujuan akhir
hukum ekonomi Islam adalah untuk menciptakan maslahat (kesejahteraan)
kehidupan manusia baik di dunia sebagaimana tujuan diturunkan syariah
Islam (maqashid al-syari’ah).

Lindung nilai atau hedging merupakan metode yang dipakai untuk


meminimalisisr risiko yang timbul di masa yang akan datang. Semangat
yang ada dalam lindung nilai pada dasarnya juga didukung oleh ajaran
Islam. Dalam salah satu tuuan syariah Islam (maqahid syari’ah) dijelaskan
bahwa menjada harta (hifz al-mal) dari kerusakan dan kemusnahan adalah
suatu kewajiban bagi umat Islam. Selain itu, perintah Rasululah SAW.
Untuk menghilangkan kemudaratan juga menguatkan akan pentingnya
manajemen potensi risiko yang muncul di masa yang akan datang. Namun,
lindung nilai syariah mensyaratkan terbebas konsep hedging dari
spekulasi, perjudian, riba dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan
semangat ekonomi Islam.

2. SARAN

Penerapan hedging di Indonesia, sistem hedging yang diterapkan


oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia masih perlu banyak evaluasi
termasuk sosialisasi implementasinya dalam kontrak perjanjuan hedging
kepada nasabah dan umumnya kepada masyarakat, hal ini tidak menutup
kemungkinan terdapat kelemahan, meskipun telah diangap lebih efisien,
namun tetap saja system hedging tersebut mengandung risiko, yaitu
adanya kemungkinan gharar yang tidak dapat dihindarkan, sehingga
belum dapat dilaksanakan secara maksimal.

14
DAFTAR PUSTAKA

Agus Fajri Zam, S. B. (2008). Analisis Kesesuaian Instrumen Hedge


Konvensional Terhadap Prinsip Syariah. Media Riset Bisnis &
Manajemen, 245-262.
Efendi, S. (2005). Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Khallaf, A. a.-W. (1968). Ilmu Ushul Al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Dawah al-
Islamiyah.
Muh. Muhyiddin, I. C. (2021). Dialektika Maqasid as-Syari'ah Dalam Metode
Instinbath Hukum Islam. Tasamuh: Jurnal Studi Islam, 84-100.
Oni Sahroni, H. C. (2016). Instrumen Hedging dan Solusinya Menurut Syariah.
Al-Intaj: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, 71-88.
Sholichah, I. U. (2020). At-Tahawuth Al-Islami (Islamic Hedging) Perspektif
Fatwa, Regulasi, dan Praktik Dalam Perbankan Syariah . Madani Syari'ah,
28-41.
Suryani, M. A. (2017). Lindung Nilai (Hedging) Perspektif Islam: Komparasi
Indonesia dan Malaysia. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, 351-372.
Toha Andiko, S. K. (2018). Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam. DI
Yogyakarta: Penerbit Samudera Biru.

Anda mungkin juga menyukai