Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN LKM/LKMS

SERTA BENTURAN ATAU TUMPANG TINDIH DIANTARA


PERATURAN
Tugas ini untuk memenuhi penilaian mata kuliah lembaga keuangan mikro syariah

Di susun oleh

Daffa Albari Naufal


111404600000110

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017
A. PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO/LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH.

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro


Dalam Undang-undang ini dibahas dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
layanan keuangan terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk
memberikan landasan hukum dan kepastian hukum terhadap kegiatan lembaga keuangan
mikro.
Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 ini bertujuan untuk :
a. Mempermudah akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk
memperoleh Pinjaman/Pembayaran mikro;
b. Memberdayakan ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah;
c. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah.

Undang-Undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan lingkup LKM,


konsep Simpanan dan Pinjaman/Pembayaran dalam definisi LKM, asas dan tujuan.
Undang-Undang ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk
badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan.

Bentuk badan hukum LKM menurut Undang-Undang ini adalah Koperasi atau
Perseroan Terbatas. LKM yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan
sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha
milik desa/kelurahan,

Selain itu, Undang-Undang ini mengatur juga mengenai kegiatan usaha LKM
meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman
atau Pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan
Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha serta cakupan wilayah
usaha suatu LKM yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau
kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multi-ticensing). Untuk memberikan
kepercayaan kepada para penyimpan, dapat dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM
yang didirikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM. Dalam hal ini,
Pemerintah dapat pula ikut mendirikan emabaha penjamin simpanan LKM bersama
Pemerintah Daerah dan LKM.

Undang-Undang ini mengatur pula ketentuan mengenai tukar-menukar informasi


antar-LKM. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai penggabungan peleburan, dan
pembubaran. Di dalam Undang-Undang inim perlindungan kepada pengguna jasa LKM,
pembinaan dan pengawasan LKM, diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Otoritas Jasa Keuangan.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2014 Tentang Suku


Bunga Pinjaman Atau Imbal Hasil Pembiayaan Dan Luas Cakupan Wilayah Usaha
Lembaga Keuangan Mikro
Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, kegiatan usaha LKM meliputi 3 (tiga) hal, yaitu penyaluran Pinjaman atau
Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat. Pengelolaan
simpanan, dan pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. Sebagai langkah awal,
Pemerintah perlu menyusun regulasi untuk mendukung praktik pemberian Pinjaman atau
Pembiayaan yang lebih memperhatikan risiko manajemen, meningkatkan transparasi usaha
melalui pengungkapan dan publikasi suku bunga Pinjaman atau imbal hasil Pembiayaan,
mendorong terciptanya kompetisi yang sehat di antara LKM, serta menumbuhkan disiplin
usaha LKM dengan penentuan skala usaha dan wilayah operasional LKM.
Peraturan Pemerintah ini menegaskan arah kebijakan pengembangan sektor
keuangan dalam rangka menumbuhkembangkan perekonomian rakyar agar menjadi
tangguh, berdayam dan mandiri yang berdampak kepada peningkatan perekonomian
nasional sebagai tujuan utamanya. OJK selaku pengawas dan pembinaan lembaga
keuangan berwenang menegakan sanksi administratif kepada LKM yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 Tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2), Pasal 10, Pasal 22 ayat (3),
Pasal 27, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, ditetapkannyalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
Dalam Peraturan OJK ini dibahas mengenai bentuk badan hukum, kepemilikan,
perizainan usaha, dan permodalan yang dilakukan oleh LKM. Selain itu Peraturan OJK ini
juga membahas tentang kepengurusan dan pengawasan terhadap LKM. Lalu dibahas juga
mengenai pelaporan dalam perubahan pemegang saham, direksi dewan komisaris, DPS,
dan modal kepada OJK yang paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal
diterimanya persetujuan atau pencatatan perubahan dimaksud dari internal yang
berwenang jika LKM berbentuk badan hukum sedangkan direksi LKM yang berbentuk
badan hukum koperasi wajib melaporkan setiap perubahan direksi, dewan komisaris, dan
DPS kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal perubahan
dilakukan sebagaimana tercantum dalam rapat kerja anggota.
Dalam Peraturan OJK ini juga dibahas tentang perubahan nama yang harus direksi
laporkan paling lama 20 (dua puluh) haru kerja setelah diperolehnya surat persetujuan
perubahan nama dari internal berwenang. Lalu Peraturan OJK ini juga membahas tentang
penggabungan dan peleburan yang dilakukan oleh LKM. LKM juga dapat membuka kantor
cabang apabila LKM yang luas cakupannya di wilayah usahanya di kabupaten/kota,
perubahan cakupan wilayah akibat pemekaran, pembubaran LKM dan sanksi apabila
melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan.

4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 Tentang


Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15, Pasal 21 ayat (4), Pasal 32, dan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, ditetapkannyalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
Dalam Peraturan OJK ini dibahas tentang kegitan usaha LKM yang meliputi jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau
Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan
Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. Kegiatan usaha
tersebut dapat dilakukan secara konvensional maupun syariah.
Peraturan OJK ini membahas juga tentang sumber pendanaan LKM yang hanya
didapatkan melalui :
a. Ekuitas;
b. Simpanan;
c. Pinjaman; dan/atau
d. Hibah

Setiap LKM yang syariah dalam Peraturan OJK ini menggunakan akad yang
digunakan dalam kegiatan usaha dan sumber pendanaan berdasarkan prinsip syariah. Akad
yang digunakan dalam kegiatan usaha penyaluran pembiayaan dilakukan dengan
menggunakan akad mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istishna, (ijarah
muntahuah bit tamlik) atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta
disetujui oleh OJK. Kegiatan jasa pemberian konsultasi dan pengembangan usaha
dilakukan dengan menggunakan akad ijarah, jualah atau akad lain serta kegiatan
pendanaan melalui penerimaan pinjaman dilakukan dengan menggunakan akad qordh,
mudharabah, musyarakah atau akad lain yang semuanya tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah serta disetujui oleh OJK.

LKM dalam Peraturan OJK ini wajib memelihara tingkat kesehatan LKM melalui
pemenuhan rasion likuiditas dan solvabilitas. Peraturan OJK ini juga mengatur penempatan
dana baik LKM konvensional maupun LKM Syariah. Tata cara memperoleh informasi
tentang penyimpan dan simpanan pada LKM juga diatur sebagaimana tertera dalam
peraturan OJK ini. LKM juga wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala setiap
4 (empat) bulan untuk periode yang berakhir pada 30 April, 31 Agustus, dan 31 Desember
kepada OJK.

Dalam pertaruran OJK ini juga dimuat larangan-larangan yang harus ditaati setiap
LKM baik konvensional maupun syariah serta dijelaskan juga prosedur penyehatan LKM
yang mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang membahayakan
keberlangsungan LKM serta sanksi bagi yang melanggar aturan yang sudah dijelaskan
dalam peraturan OJK ini.

5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2014 Tentang Pembinaan


dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, ditetapkannyalah Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
Dalam peraturan OJK ini dijelaskan tentang pembinaan dan pengawasan terhadap
LKM yang dilakukan oleh OJK. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dan
pengawasan, OJK melakukan Pemeriksaan terhadap LKM. OJK juga melakukan evaluasi
aatas pembinaan dan pengawasan LKM yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk untuk periode 1 (tahun) takwim. Dan ada
juga sanksi bagi LKM baik konvensional maupun syariah yang melanggar tentang
ketentuan yang sudah ditetapkan OJK melalui peraturan OJK ini.

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian


Undang-Undang tentang perkoperasian ini merupakan pengganti Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang memuat perbaharuan hukum, sehingga
mampu mewujudkan Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang sehat, kuat, mandiri, dan
tangguh, serta terpecaya sebagai entitas bisnis, yang berdasarkan kegiatannya pada nilai
dan prinsip Koperasi. Undang-Undang ini menegaskan bahwa pemberian status dan
pengesahan perubahan Anggaran Dasar dan mengenai hal tertentu merupakan wewenang
dan tanggung jawab Menteri. Selain itu, Pemerintah memiliki peran dalam menetapkan
kebijakan serta menempuh langkah yang mendorong Koperasi sehingga dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Dalam menempuh langkah tersebut, Pemerintah wajib
menghormati jati diri, keswadayaan, otonomi dan indepedensi Koperasi tanpa melakukan
campur tangan terhadap urusan internal Koperasi.
Undang-Undang ini disusun untuk mempertegas jati diri Koperasi, Asas dan tujuan,
keanggotaan, perangkat organisasi, modal, pengawasan, perananan Gerakan Koperasi dan
Pemerintah, pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan penjaminan Simpanan Anggota
Koperasi Simpan Pinjam, serta sanksi yang dapat turut mencapai tujuan pembangunan
Koperasi. Implementasi Undang-Undang ini secara konsekuen dan konsisten akan
menjadikan Koperasi Indonesia semakin dipercaya, sehat, kuat, mandiri, dan tangguh serta
bermanfaat bagi Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

7. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Buku IV tentang Akuntansi Syariah


Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 735, Akuntansi Syariah
harus dilakukan dengan mencatat, mengelompokkan, dan menyimpulkan transaksi-
transaksi atau kejadian-kejadian yang mempunyai sifat keuangan dalam nilai mata uang
untuk dijadikan bahan informasi dan analisis bagi pihak-pihak yang secara proposional
berkepentingan. Dengan kata lain, akuntansi syariah adalah mencakup pencatatan seluruh
transaksi syariah termasuk juga transaksi yang dilakukan oleh LKM Syariah.
Kompilasi ini merupakan rujukan pendukung untuk penerapan ekonomi syariah
dari aspek hukum. Bahwa mekanisme operasiona aktivitas ekonomi syaraih memiliki
naungan hukum, termasuk aplikasi akuntansi bagi lembaga keuangan syariah dalam
kegiatan ekonomi syariah. Begitu pula perlakuan pencatatan laporan keuangan di LKM
Syariah sejatinya sesuai dengan laporan keuangan Lembaga Keuangan Syariah pada
umumnya, baik perbankan, koperasi dan lain-lainnya.

B. ANALISIS TUMPANG TINDIH/BENTURAN DIANTARA PERATURAN


Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, setiap LKM yang menjalankan usahanya wajib memiliki badan
hukum yang harus dipilih, yaitu antara badan hukum Koperasi atau badan hukum Perseroan
Terbatas (PT). Berdasarkan ketentuan tersebut berarti secara yuridis LKM yang berbadan
hukum Koperasi dengan sendirinya akan berada di bawah pengaturan 2 macam perundang-
undangan secara bersamaan, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tenang
Perkoperasian beserta peraturan pelaksanaannya dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan pelaksanaannya. Lkm syariah
atau badan usaha Koperasi yang khusus menjalanakan usaha keuangan, teridir dari
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Koperasi Jasa Keuangan
Syariah (KJKS), dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). Koperasi secara umum diatur
di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. KSP dan USP
diatur di dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan Koperasi/Unit Jasa Keuangan Syariah
diatur dengan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor :
16/Per/M.KUKM/KM/IX/2015.
Ketentuan hukum dari Pasal 5 ayat (1) tersebut telah menyebabkan terjadinya
pengaturan ganda bagi LKM Syariah. Dualisme pengaturan hukum itu berimplikasi pada
terjadinya tumpang-tindih kewenangan antara instansi yang mengatur, inkonsistensi, dan
kontradiksi-kontradiksi dalam pengaturan, pengawasan dan pembinaan terhadap LKM
Syariah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
mengatur secara umum untuk semua jenis LKM, baik skala kecil maupun skala besar,
mengatur secara ketat disertai dengan berbagai bentuk ancaman dan sanksi. Model
pengaturan yang diterapkan adalah dengan menggunakan pengaturan yang berasaskan
kehati-hatian perbankan. LKM Syariah diatur oleh Undang-Undang ini dengan pengaturan
dan pengawasan yang dikendalikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang diberlakukan
kepada seluruh LKM.
Cara pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 itu sangat bertolak-
belakang dengan cara pengaturan dalam peraturan perundang-undangan perkoperasian
yang berprinsip memberikan otonomi, kemandirian, dan kelonggaran bagi LKM Syariah.
Hal itu telah menimbulkan persoalan hukum baru bagi LKM Syariah. Adanya turan dan
pengawasan LKM Syariah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada kedua
macam peraturan perundangan. Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17
tahun 2012 tentang Perkoperasian, pembinaan terhadap Koperasi dilaksanakan oleh
Kementerian Koperasi.
Menurut Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, keigatan pembinaan, pengaturan dan pengawasan terhadap LKM
(termasuk koperasi) adalah di bawah wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun
bunyi Pasal 28 ayat (1) tersebut adalah sebagai berikut: Pembinaan, pengaturan dan
pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan kedua aturan
tersebut timbul pertanyaan siapakah yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan
pembinaan terhadap LKM Syariah? Apakah kementerian Koperasi ataukah Otoritas Jasa
Keuangan.
Dualisme peraturan perundang-undangan yag belaku bagi LKM Syariah juga
menimbulkan inkonsistensi pengaturan. Menurut peraturan perundang-undangan
perkoperasian, LKM Syariah menjalankan usaha dengan prinsip kemandirian. Pengertian
kemandirian Koperasi yaitu dapat berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak lain,
percaya pada kemampuan sendiri, otonom, swadaya, mengelola sendiri, serta berani
mempertanggung-jawabkan perbuatannya sendiri. Berdasarkan prinsip koperasi itu
Pemerintah bertugas memperkuat dan ikut menjaga terpeliharanya prinsip kemandirian
Koperasi. Hal ini diperjelas oleh Undang-Undang Perkoperasian bahwa untuk menjalankan
peranannya dalam menetapkkan kebijaksanaan pembinaan Pemerintah perlu mendorong
pertumbuhan, perkembangan, dan permasyarakatan Koperasi, Sesuai dengan prinsip
kemandirian, pembinaan tersebut dilaksanakan tanpa mencapuri urusan internal organisasi
Koperasi.
Prinsip kemandirian Koperasi itu telah memberikan otonomi kepada Koperasi,
sehingga kegiatan pengaturan dan pengawasan di dalam LKM Syariah merupakan urusan
internal organisasi yang diatur dan diawasi sendiri melalui Pengurus dan Pengawas
Koperasi sendiri. Sedangkan cara pengaturan, pengawasan dan pembinaan LKM menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, semua LKM
diperlakukan secara sama, tanpa membedakan skala usaha kecil dan besar, semua LKM
diatur dan diawasi oleh OJK secara prudent layaknya lembaga keuangan bank. Cara
pengaturan yang demikian tidak selaras dengan pengaturan dalam peraturan perundangan
perkoperasian, yang bersifat mendidik, memberdayakan dan memberikan kelonggaran.
Cara pengaturan yang prudent akan sangat membatasi ruang gerak dan pertumbuhan LKM,
terutama LKM Syariah yang lazim dimulai dari skala kecil atau yang melalui tahap
perintisan kegiatan kewirausahaan mikro.
Dualisme pengaturan bagi LKM Syariah akan menyulitkan LKM Syariah
menentukan aturan hukum mana yang harus dipatuhi. Padahal terdapat beberapa perbedaan
kontradiktif antara pengaturan dari peraturan hukum perkoperasian dengan peraturan
LKM, diantaranya pengaturan mengenai: (1) syarat pendirian, (2) ijin usaha, (3) syarat
permodalan, (4) lingkup kegiatan usaha, (5) kewajiban membuat laporan, (6) pengawasan,
(7) pengumuman laporan keuangan, dan (8) ancaman sanksi. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 membuat pengaturan tentang kelembagaan dan tata-kelola LKM secara
umum. Pengaturan terhadap LKM yang berbadan hukum Koperasi seperti yang diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro tersebut
berarti memaksakan usahanya layaknya lembaha perbankan (mikro) yang bersifat prudent.
Mengapa diatur secara demikian, dan jika itu berlaku juga untuk LKM Syariah kecil maka
bagaimanakah masa depan nasib koperasi kecil yang tersebar seantero wilayah Indonesia?
Apakah pengaturan yang demikian mengandung nilai keadilan, kemanfaatan dan
keefektifan hukum?
Berkenaan dengan cara pendirian badan hukum Koperasi sudah terdapat aturannya
secara jelas di dalam peraturan perkoperasian, yaitu dengan cara pembuatan Akta Pendirian
Koperasi yang disahkan oleh Pemerintah. Jika Akta Pendirian itu sudah disahkan, maka
dengan sendirinya akta itu akan berlaku sebagai ijin usaha, sehingga koperasi tidak perlu
lagi mengajukan ijin usaha. Akan tetapi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro hal itu diatur secara berbeda karena LKM Koperasi
harus mengajukan ijin usahanya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Perbedaan-perbedaan
tersebut merupakan pengaturan yang bersifat tumpang-tindih (ovellap) yang menyebabkan
ketidak-pastian hukum bagi LKM Syariah.
Tumpang-tindih kewenangan terjadi antara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah, dengan wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Padahal antara kedua
instansi menggunakan cara pengaturan, pengawasan, dan pembinaan yang sangat berbeda
dan bertolak-belakang. Dualisme pengaturan juga mengakibatkan inkonsistensi dalam
mengatur terhadap LKM Syariah, sebab di satu sisi LKM Syariah dikembangkan dengan
prinsip kemandirian yang bersifat mengatur-diri dan mengawasi-diri, di sisi lain diberikan
regulasi secara berlawanan, yaitu dengan pengaturan berasas kehati-hatian dan diawasi
oleh OJK dengan disertai ancaman sanksi-sanksi. Inkonsistensi pengaturan itu berimplikasi
pada ketidak-selarasan dan kontradiksi norma-norma antara regulasi dalam perkoperasian
dengan regulasi dalam LKM. Kontradiksi norma-norma itu ditemukan pada; Pertama,
adanya larangan untuk menjalankan usaha bagi semua LKM, baik skala kecil atau besar,
jika tanpa mendapat ijin dan terpenuhinya persyaratan dari OJK, adalah sebuah ketentuan
yang berlawanan dengan sistem kewirausahaan dan kemandirian usaha masyarakat mikro
dalam kegiatan Koperasi. Sebab kegiatan Koperasi dapat dimulai dari bentuk kelompok
usaha yang sederhana sejak sebelum berbadan hukum (pra koperasi). Kedua, regulasi
dalam LKM yang berlaku bagi semua LKM tanpa perbedaan skala kecil dan besar, yang
mewajibkan persyaratan permodalan minimal adalah suatu bentuk pemaksaan kepada
LKM Syariah kecil yang harus memulai usahanya dari skala modal tertentu. Pemaksaan
(kewajiban) yang demikian tidak selaras dengan tujuan Pemerintah untuk menumbuh-
kembangkan kewirausahaan masyarakat mikro yang dibina dari skala kecil sesuai dengan
kapasitas dan kemampuan modal lembaga mikro yang bersangkutan. Ketiga, regulasi
dalam LKM yang diberlakukan kepada semua LKM tanpa perbedaan skala kecil dan besar
yang sempurna diatur secara prudent adalah suatu bentuk pemaksaan kepada LKM Syariah
kecil untuk wajib berpola kerja formal-profesional layaknya usaha perbankan. Pengaturan
yang demikian bertentangan dengan regulasi dalam perkoperasian yang memperkuat
kemandirian LKM Syariah dan memberi kelonggaran serta kemudahan. Keempat,
ketentuan ancama sanksi-sanksi administratif dan pidana yang diberlakukan untuk semua
LKM Syariah, diberlakukan untuk semua LKM Syariah, adalah sangat bertolak-belakang
dengan norma-norma tentang pembinaan, pemberdayaan, perlindungan dan pengayoma
terhadap Koperasi, terutama bagi LKM Syariah kecil. Kelima, regulasi dalam
perkoperasian yang memberikan otonomi dan kemandirian bagi semua LKM Syariah,
skala kecil maupun besar, tanpa pembatasan kemandirian dan otonomi sampai batas-batas
skala tertentu, akan menumbuhkan suatu LKM Syariah yang berkapasitas bank tetapi
berada di luar pengaturan dan pengawasan OJK. Hal ini bertentangan dengan tujuan dan
regulasi LKM.
Jika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ini
bertujuan hendak mengatur secara komprehensif, memberikan kepastian hukum, dan
memenuhi kebutuhan layanan jasa keuangan mikro, maka substansi hukum yang
terkandung dalam Undang-Undang itu secara normatif maupun praktis masih belum
sinkron dan dengan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundangan perkoperasian,
serta belum harmonis dengan kebutuhan atau kendisi riil masyarakat mikro.
Keadaan lembaga-lembaga keuangan mikro pada kenyataan lebih cocok dengan
hukum yang bersifat mendidik, membina, dan melindungi seperti model pengaturan yang
diterapkan dalam hukum perkoperasian. Di sinilah letak permasalahan hukum yang
mengatur tentang LKM Syariah, sehingga diperlukan adanya kerangka pengaturan dan
pendekatan yang lebih komprehensif sebelum menyusun langkah singkronisasi pengaturan
Perundang-Undangannya. Terjadinya kesalahan dalam pendekatan dan pengaturan akan
memicu terjadinya disharmoni dan konflik-konflik dalam masyarakat, bahkan peraturan
perundangan itu berpotensi untuk tidak dapat berlaku efektif karena tidak dipatuhi oleh
warga masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai