KOPERASI BERMASALAH
OLEH :
AKBP MUJIANTO, SIK
KASUBDIT II
DIT RESKRIMSUS POLDA JABAR
BANDUNG, 10 MARET 2021
LANDASAN HUKUM PERKOPERASIAN
2. PP No. 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran
Dasar Koperasi
4. PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi
6. Permen Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2015 tentang Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi Jo. Permen Koperasi
dan UKM No. 02 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permen Koperasi dan UKM No. 15 Tahun 2015 tentang
Usaha Simpan Pinjam
7. Permen Koperasi dan UKM No. 18 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Bantuan Pemerintah
pada Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
8. Permen Koperasi dan UKM No. 11 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah oleh Koperasi
9. Permen Koperasi dan UKM No. 05 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permen Koperasi dan UKM No. 11 Tahun
2018 tentang Perizinan Usaha Simpan Pinjam Koperasi
10. Permen Koperasi dan UKM No. 6 tahun 2020 tentang Pedoman Umum Penyaluran Pemerintah bagi Pelaku
Usaha Mikro untuk mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional
KOPERASI MENURUT UU NO 25 TAHUN 1992
Unsur “barang dibawah kekuasaan pelaku”, yaitu ketika para nasabah mempercayakan dananya
untuk disimpan di Koperasi Simpan Pinjam dan akan diambil kembali pada waktu tertentu
sesuai ketentuan. Dana yang dipercayakan oleh nasabah tersebut berada dalam kekuasan
pengurus koperasi untuk dikelola sebagaimana mestinya. Namun kenyataan yang terjadi, dana
tidak dikelola sebagaimana mestinya dan bahkan digelapkan oleh pengurus dan/atau
pengelola. Hal itu mengakibatkan ketika nasabah ingin mengambil kembali dananya, pihak
koperasi tidak bisa memenuhi. Unsur “barang milik orang lain”. Dalam hal kasus penggelapan
oleh pengurus Koperasi Simpan Pinjam, unsur “barang milik orang lain” adalah dana para
nasabah yang dipercayakan untuk disimpan di Koperasi Simpan Pinjam.
TINDAK PIDANA PERBANKAN
Untuk dapat melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat luas, suatu lembaga harus memiliki
ijin dari Bank Indonesia. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun
1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998. Pasal 16 ayat (1) tersebut berbunyi “Setiap pihak yang
melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu
memperoleh ijin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari pimpinan Bank Indonesia,
kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang
tersendiri”.
Ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 16 ayat (1) tersebut diatur
dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 yang
berbunyi: Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari
Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara
sekurangkurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah). Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) menyebutkan bahwa: Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas, perserikatan, yayasan
atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu
atau terhadap kedua-duanya.
Namun yang jadi permasalahan dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam tersebut adalah
kegiatan penghimpunan dana masyarakat diluar anggota dalam bentuk simpanan. Kegiatan
tersebut selain menyimpang dari Undang-Undang Perkoperasian Simpanan adalah: dana
masyarakat yang dipercayakan masyarakat kepada Bank dan seterusnya Penyangkalan akan
timbul: Kami adalah bukan Bank Penyangkalan diteruskan dengan: “berarti kami tidak dapat
dikenakan Pasal 46 ayat (1) Barang siapa Menghimpun dana Dari masyarakat Dalam bentuk
simpanan dan seterusnya juga mengarah pada pelanggaran terhadap Undang-Undang No 7
Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998.
Pada umumnya Koperasi Simpan Pinjam tersebut melayani penghimpunan simpanan non
anggota dengan cara memperlakukannya sebagai calon anggota, namun sifat dari calon anggota
tersebut ternyata permanent atau tidak pernah dicatat sebagai anggota, sehingga praktik
seperti ini menyalahi ketentuan PP No 9 Tahun 1995 yang mengatur bahwa calon anggota
koperasi dalam jangka waktu 3 bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota.
Koperasi yang melakukan praktek perkoperasiannya yang menyimpan dari definisi dan
ketentuan-ketentuan undang-undang tentang koperasi serta melakukan bujuk rayu dengan
serangkaian kata-kata mutiaranya yang menarik dan memikat dan dengan maksud
menguntungkan dirinya dan/atau orang lain dengan melawan hukum ditambah menerima dana
simpanan dan mengkreditkan dana dari dan kepada orang seorang dan/atau badan hukum
koperasi lain yang bukan anggotanya sudah jelas dan nyata melakukan praktek kriminal bank
gelap berkedok koperasi.
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Berkaitan dengan pengaturan pidana yang dilakukan organ koperasi di dalam tubuh koperasi, UU
Perkoperasian tidak memuat ketentuan pidananya, dan yang berlaku adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) ataupun Undang-Undang diluar KUHP. Sebenarnya RUU KUHP 2004 telah
memuat syarat-syarat agar suatu tindak pidana dapat dibebankan pertanggungjawabannya dengan
atau tanpa membebankan peryanggungjawaban pidana kepada manusia yang menjadi pelakunya.
Seperti yang terdapat dalam Pasal 45 RUU KUHP, sebagai berikut : “tindak pidana dilakukan oleh
korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam
lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri sendiri atau bersama-sama.” Karena RUU KUHP belum
diberlakukan saat ini, maka untuk memberikan sanksi pidana terhadap koperasi yang melakukan
penyalahgunaan dana dari modal penyertaan yang dihimpun dari masyarakat, sehingga koperasi
dan/atau organnya dapat dipidana dapat dikenakan dengan Pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata
uang atau surat berhaga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana
Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
Ketentuan-ketentuan diatas hanya dapat dikenakan pada orang atau para pejabat koperasi yang diduga
melakukan penyalahgunaan dana modal penyertaan yang dihimpun dari masyarakat, sedangkan untuk
mpertanggungjawaban pidana pada koperasinya sendiri dapat dikenakan beberapa pasal dari Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana menganut ajaran identifikasi (doctrineof
identification), yang dapat dilihat dalam beberapa Pasal didalamnya antara lain:
a) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang :
(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal
5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang: a. Dilakukan atau
diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud
dan tujuan Korporasi c. Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. Dilakukan dengan maksud memberi manfaat bagi Korporasi
b) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang :
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. Pengumuman putusan hakim b. Pembekuan sebagian atau
seluruh kegiatan usaha Korporasi c. Pencabutan izin usaha d. Pembubaran dan/atau pelanggaran
Korporasi e. Perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau f. Pengambilalihan Korporasi oleh negara.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH