Anda di halaman 1dari 10

Pengertian KJKS BMT

Pengertian KJKS :

Koperasi Jasa Keuangan Syariah adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak di bidang
pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah).

Pengertian BMT :

BMT adalah Baitul Maal wat Tamwil yaitu  sistem intermediasi keuangan di tingkat mikro yang
didalamnya terdapat Baitul Maal dan Baitul Tamwil yang dalam operasionalnya dijalankan dengan
menerapkan prinsip-prinsip syari‘ah.

Pengertian KJKS-BMT

KJKS-BMT adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wat Tamwil yaitu sistem intermediasi
keuangan di tingkat mikro yang berbadan hukum koperasi yang didalamnya terdapat Baitul Maal
dan Baitul Tamwil yang dalam operasionalnya dijalankan dengan menerapkan prinsip-prinsip
syari‘ah.

Dari pengertian KJKS-BMT diatas diatas terdapat enam unsur yaitu :

1.   Sistem Intermediasi keuangan

Intermediasi atau disebut perantara, dimana dalam kontek ini KJKS-BMT adalah berfungsi sebagai
perantara atau penghubung antara orang yang mempunyai surplus dana (dana berlebih) orang yang
defisit dana (membutuhkan dana) dan sebagai perantara maka KJKS-BMT mempunyai tiga fungsi
yaitu menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan simpanan, mengadministrasikan dana dan
menyalurkan dananya dalam bentuk pembiayaan dan piutang, dari proses inilah kemudian KJKS-
BMT menerima dan membagikan bagi hasil dari dan untuk anggotanya atau pihak lain yang
menyimpan atau menabung di KJKS-BMT.

2.   Tingkat Mikro

Tingkat mikro memiliki pengertian bahwa KJKS-BMT harus beroperasi pada tingkat mikro ini artinya
yang menjadi nasabah untuk pembiayaan KJKS-BMT adalah mereka yang membutuhkan pembiayaan
di bawah kecil yang pada kenyataannya tidak bisa di jangkau oleh system perbankan, maka dalam
konteks ini KJKS-BMT harus mengutamakan kelompok usaha yang layak tapi tidak bankable maka
ketika KJKS-BMT beroperasi diwilayah ini menjadi mutlak perlunya proses pendampingan yang
dilakukan oleh KJKS-BMT untuk anggotanya, jadi kalau dilihat dari sistem operasinya maka KJKS-BMT
tidak dapat disamakan dengan system bank (perbankan) tetapi lebih menyerupai ventura dimana
fungsi pendampingan dan pembinaan terhadap nasabahnya menjadi hal yang mutlak untuk
dilaksanakan oleh KJKS-BMT.

3.   Berbadan Hukum Koperasi

KJKS-BMT dalam operasinya menggunakan badan hukum koperasi, oleh karenanya  dalam maka
KJKS-BMT harus  menjalankan prinsip-prinsip koperasi dan segala peraturan yang mengatur tentang
perkoperasian.

4.   Baitul Tamwil

Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil = Pengembangan Harta) melakukan kegiatan


pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi
pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan kegiatan ekonominya. Pada sisi ini BMT merupakan institusi bisnis yang harus
menjalankan usahanya demi mencapai keuntungan, dan harus menggunakan manajenen yang
profesional.

Ciri-ciri operasional Baitut Tamwil :

·    Visi dan misi pengelolaan dana adalah menggunakan prinsip-prinsip ekonomi.

·    Profit oriented (Berorientasi pada Keuntungan)

·    Dijalankan sesuai dengan prinsip Islam

·    Memiliki fungsi sebagai mediator antara pemilik kelebihan dana dan pihak yang memerlukan
dana.

5.   Baitul Maal

Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) menggalang Titipan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Pada sisi ini BMT
merupakan institusi sosial jadi BMT memerankan dirinya untuk membantu kesulitan anggotanya
yang mempunyai masalah sosial dan harus mampu meningkatkan kualitas anggotanya dan keluar
dari masalah sosial yang dihadapinya dengan mengoptimalkan dana zakat, infaq, shadaqah, wakaf
(ziswaf), Iuran Kesetiakawanan Sosial, Sumbangan/Hibah dan lainnya.

Dana-dana sosial yang berhasil dihimpun disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya dengan
ketentuan sebagai berikut :

·    Visi dan misi pengelolaan dana adalah sosial.

·    Non-profit (nirlaba).

·    Memiliki fungsi sebagai mediator antara pemberi dana sosial / zakat (Muzakki) dan penerima
dana sosial / zakat (Mustahik).

·    Tidak diperbolehkan mengambil profit apapun dalam operasionalnya.

·    Biaya operasi mengambil hak sebagai Amilin maksimal sebesar 12,5 % dari dana zakat yang
diterima.

6.   Prinsip Syari’ah

KJKS-BMT dalam segala aspek operasional harus tunduk dan tidak boleh keluar dari tatanan syari‘ah
maka dalam konteks ini menjadi suatu kewajiban bagi para pengurus dan pengelola KJKS-BMT
mengetahui dan memahami ekonomi syari‘ah dan fiqih muamalah dan setidaknya dalam setiap
KJKS-BMT wajib adanya dewan pengawas syari‘ah yang berfungsi sebagai pengawas dan pengendali
operasi KJKS-BMT agar tidak keluar dan melakukan peyimpangan dari konsep syari‘ah. Aturan utama
yang menjadi bingkai syari‘ah terdapat dalam Al Qur‘an dan hadist yang diantaranya memberikan
pembeda antara ekonomi syari‘ah dengan ekonomi konvensional yaitu : Pengharaman riba,
Penghalalan jualbeli, Keadilan, Prstetatif dan Tolong melolong, atau kalau menurut konsep yang
terdapat dalam UU Perbankan Syari‘ah yang membedakan syari‘ah dan tidaknya suatu proses
ekonomi adalah ada pada kata Magrrib ( Maisir-untung-untungan/judi-, Ghoror- sesuatu yang tidak
jelas/penipuan-, Riswah/suap, dan riba/bunga).

Jadi itulah unsur-unsur yang terdapat dalam BMT sebagai sebuah sistem, unsur-unsur tersebut juga
bisa berupakan prinsip dan kriteria pembeda antara sistem BMT dengan sistem dan lembaga
keuangan lainnya, artinya sebuah sistem kalau tidak menjalankan unsur-unsur diatas meskipun
namanya BMT tidak dapat dikatakan sebagai BMT, tetapi meskipun namanya bukan BMT akan tetapi
dalam praktek operasionalnya mejalankan unsur-unsur diatas itulah BMT.

http://www.ussisulsel.com

Landasan Hukum BMT

Keputusan Menteri Negara Koperasi dan

usaha kecil dan menengah Republik

Indonesia No.91/Kep/M.KUKM/IX/2004

tentang petunjuk pelaksanaan kegiatan

usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah

(KJKS)

http://bmt-alfurqon.blogspot.com

Dalam 2 tahun terakhir ini, UU yang terkait dengan keberadaan BMT dianataranya adalah UU no. 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dan UU no. 1
tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Selain itu berhubungan dengan semua UU
tersebut, maka UU no. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu diperhatikan
oleh BMT, mengingat dalam UU LKM mengaitkan LKM termasuk BMT dengan OJK. Selama ini BMT
harus juga dijalankan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah (KepMen) no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa
Keuangan Syariah (KJKS).

Berpedoman pada semua UU tersebut, maka perlu diketahui posisi BMT terkait pengaturan,
kelembagaan dan operasional secara hukum positif. Oleh sebab itu, analisa pada masing-masing UU
dan keterkaitan satu UU dengan UU lainnya perlu dilakukan. Dan tulisan ini ingin memberikan
gambaran umum seperti apa posisi BMT berdasarkan hukum positif di Indonesia. Tulisan ini akan
memulai diskusi berdasarkan urutan UU diatas secara waktu (dikeluarkannya UU tersebut).

BMT dan UU no 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat


Selain beroperasi sebagai lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan berupa penitipan,
investasi dan pembiayaan, berdasarkan Kep-Men no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kegiatan Usaha KJKS (pasal 24), kegiatan BMT dapat pula berupa pengelolaan dana Zakat, Infak,
Sedekah dan Wakaf (aktifitas sebagai Baitul Mal). Dan kegiatan pengelolaan dana ini merujuk pada
UU pengelolaan Zakat (pasal 25). Dengan ketentuan ini, tentu BMT harus merujuk kegiatan social-
nya (mal) pada UU pengelolaan zakat. Sementara berdasarkan UU no 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat yang menggantikan UU 38 tahun 1999, pengelolaan zakat secara nasional menjadi
wewenang Baznas (pasal 6 – 7). Dengan demikian pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BMT
seakan bertentangan dengan UU ini. Namun, berdasarkan UU ini juga BMT dapat menempatkan diri
sebagai UPZ Baznas yang melaksanakan pengelolaan zakat membantu peran dan fungsi Baznas
(pasal 16). Tetapi yang menjadi perhatian dari langkah atau strategi ini adalah ruang lingkup operasi
BMT sebagai UPZ Baznas harus disesuaikan dengan UU yang lain, khususnya UU LKM.

BMT dan UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian

Dalam UU no. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian, BMT sebagai lembaga keuangan mikro
berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, hanya disinggung pada pasal
87 ayat 3 dan 4. Ayat 3 dan 4 pada pasal tersebut menyatakan bahwa koperasi dapat menjalankan
usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah, dan ketentuan mengenai koperasi berdasarkan prinsip
ekonomi syariah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan hanya menyinggung koperasi
berdasarkan prinsip syariah melalui ayat ini tanpa ada penjelasan lebih spesifik pada teknis
operasional hal lainnya, UU Perkoperasian seakan memberikan ruang gerak yang sangat terbuka
bagi koperasi syariah (termasuk BMT) dengan meninggalkan batasan pada klausul Peraturan
Pemerintah. Beberapa penafsiran yang muncul dari UU ini terhadap posisi koperasi syariah (BMT),
diantaranya adalah:

1. Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah akan diatur lebih detil dalam peraturan
pemerintah. Dengan demikian, terkesan ada penafsiran bahwa peraturan pemerintah akan
mengatur pedoman syariah pada semua jenis koperasi; koperasi konsumen, koperasi produsen,
koperasi jasa dan koperasi simpan-pinjam.

2. Beberapa ketentuan dalam UU Perkoperasian yang tidak sesuai dengan filosofi dan prinsip-prinsip
ekonomi syariah akan diatur lebih detil dalam Peraturan pemerintah. Beberapa hal yang tidak sesuai
dengan nature ekonomi syariah ini diantaranya:
a. Jenis Koperasi Simpan-Pinjam, dimana istilah dan kegiatan usaha simpan pinjam tidak sesuai
dengan prinsip ekonomi syariah (Pasal 83). Jenis koperasi dalam UU Perkoperasian ini adalah:
koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan pinjam. Jikapun ingin
diklasifikasikan dalam jenis koperasi, maka kategori dan definisi usaha koperasi syariah yang
bergerak pada usaha keuangan (BMT) yang lebih sesuai adalah adalah koperasi pembiayaan syariah.

b. Penggunaan istilah simpan pinjam dan pengelompokan koperasi simpan pinjam sebagai
identifikasi pada koperasi yang bergerak di bidang keuangan, akan cenderung misleading dengan
istilah Koperasi Jasa yang telah dipakai dalam Kep-Men no. 91 tahun 2004 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Kegiatan Usaha KJKS yang diketahui ditujukan untuk BMT

c. Batasan bahwa kegiatan simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha koperasi simpan pinjam telah
membatasi koperasi dari jenis kegiatan lain seperti yang dilakukan oleh koperasi syariah dengan
kegiatan pembiayaan berbasis jual beli dan investasi (pasal 84 ayat 4). Kecuali ada penjelasan lebih
lanjut bahwa istilah “simpan-pinjam” ditafsirkan meliputi semua kegiatan pendanaan dan
pembiayaan yang dilakukan oleh koperasi syariah. Tetapi untuk koperasi keuangan pada umumnya,
baik konvensional maupun syariah, batasan ini membuat pelayanan jasa-jasa seperti pembayaran
listrik, air bersih, telefon dan lainnya menjadi tidak boleh lagi dilakukan.

3. Dan jika hal ini ditetapkan dalam peraturan pemerintah, maka hal-hal terkait koperasi simpan
pinjam yang diatur oleh UU perkoperasian akan detil dijelaskan dalam peraturan pemerintah. Hal ini
tentu berlaku pada aspek-aspek yang lain. Dan konsekwensinya tentu akan mempengaruhi ruang
lingkup pembahasan peraturan pemerintah yang menjadi semakin luas.

BMT dan UU no. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

Dalam UU 1 tahun 2013 tentang LKM secara eksplisit disebutkan BMT (termasuk BTM; Baitul Tamwil
Muhammadiyah) sebagai lembaga keuangan mikro yang akan diatur dan diawasi oleh OJK. Oleh
sebab itu, tentu sepenuhnya isi UU LKM ditujukan bagi BMT. Poin krusial yang menjadi perhatian
dari UU LKM ini terkait BMT adalah pengaturan cakupan wilayah usaha BMT yang dibatasi pada
wilayah kabupaten/kota saja (pasal 16). Apabila BMT sebagai LKM melakukan kegiatan usaha
melebihi satu wilayah kabupaten/kota tempat kedudukannya, maka BMT tersebut harus berubah
menjadi bank (pasal 27).
BMT dan UU no. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

UU 21 tahun 2011 mengatur tentang keberadaan dan ruang lingkup wewenang OJK. Mengingat
dalam pasal ketentuan peralihan UU 1 tahun 2013 tentang LKM disebutkan secara eksplisit bahwa
BMT akan berada dalam pengawasan OJK, maka sepatutnya BMT memahami pula kelembagaan,
wewenang dan ruang lingkup pengawasan OJK secara keseluruhan. Dalam UU OJK memang tidak
disebutkan secara eksplisit lembaga keuangan mikro termasuk BMT, namun bukan berarti UU ini
tidak perlu diperhatikan oleh komunitas BMT. Meski UU ini tidak terkait langsung dan memiliki
konsekwensi langsung, namun tetap saja keberadaan UU ini akan menjadi batasan bagi BMT pada
tingkat interaksi tertentu. Seberapa jauh cakupan batasannya tentu perlu ditelaah lebih dalam.

Mencoba menganalisa dua UU diatas yaitu UU Perkoperasian dan UU LKM, akan ada beberapa
penafsiran yang berpotensi muncul berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu. Penafsiran itu
diantaranya:

1. Terdapat opsi bagi koperasi atau LKM yang berbentuk koperasi untuk beroperasi di bawah UU
Perkoperasian atau UU LKM. Konsekwensinya, jika memilih beroperasi bersandar pada UU
perkoperasian maka yang akan menjadi regulatornya adalah Kementerian Koperasi dan UMKM
dengan pengawasan dilakukan oleh Lembaga Pengawas Koperasi Simpan-Pinjam (pasal 100).
Sementara jika memilih beroperasi berdasarkan UU LKM maka yang akan menjadi regulatornya
adalah OJK. Penafsiran ini tentu asumsinya peraturan pemerintah sebagai ketentuan teknis disusun
tanpa melakukan referensi pada UU terkait, misalnya peraturan pemerintah mengenai koperasi
berdasarkan prinsip ekonomi syariah (termasuk BMT) tidak merujuk pada UU LKM.

2. UU Perkoperasian dan UU LKM harus dikompromikan khususnya untuk pengaturan Koperasi yang
melakukan kegiatan keuangan mikro atau atau lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum
koperasi. Mengingat pada beberapa pasal dalam UU LKM mengindikasikan akan dilakukan
koordinasi pengaturan koperasi yang menjalankan kegiatan keuangan mikro baik yang beroperasi
secara konvensional maupun syariah. indikasi ini terlihat secara jelas dalam Tafsiran pertama
mungkin tidak akan menjadi kesimpulan bila beberapa pasal di UU LKM dikaitkan dengan UU
Perkoperasian. Berdasarkan beberapa pasal dalam UU LKM irisan UU Perkoperasian begitu signifikan
dengan UU LKM. Artinya kedua UU ini perlu dikompromikan dalam pengaturan Koperasi yang
melakukan kegiatan keuangan mikro atau lembaga keuangan mikro yang berbadan hukum koperasi.
3. Terdapat tafsiran ada perbedaan entitas antara KJKS dengan BMT atau bahkan dengan KSP
syariah. Tafsiran ini muncul karena UU Perkoperasian hanya menyebut Koperasi Simpan Pinjam
(KSP) saja dengan potensi mengakomodasi KJKS untuk KSP Syariah. Sementara UU LKM hanya
menyebutkan BMT. Tafsiran pembedaan ini akan menimbulkan tanda tanya besar, mengingat pada
prakteknya di lapangan ketiga istilah penamaan lembaga itu sebenarnya tertuju pada satu entitas
lembaga yang sama. Jika dilihat lebih detil UU Perkoperasian menggunakan memang tidak
menyebutkan KJKS tetapi secara tersirat KJKS inilah yang detailnya akan diatur dalam peraturan
pemerintah sebagai amanah UU Perkoperasian. Dengan kata lain koperasi syariah yang sejenis KSP
pengaturannya akan berada di bawah wewenang Kementerian Koperasi melalui lembaga baru yaitu
Lembaga Pengawas KSP.

4. Tafsiran pembedaan diatas akan berimpilasi pada fleksibilitas atau kebebasan operasi koperasi
syariah ditinjau dari sisi variasi aplikasi keuangan atau produk dan luas wilayah atau ruang lingkup
beroperasinya. Jika KJKS diklasifikasikan sebagai KSP Syariah mengikut UU Perkoperasian, maka KJKS
akan menghadapi risiko penyesuaian bentuk pelayanan mengingat usahanya saat ini bukan hanya
simpan-pinjam saja (satu-satunya) sesuai batasan yang diinginkan oleh UU perkoperasian (pasal 84).
Tapi dari sisi cakupan wilayah usaha, KJKS sepertinya tidak dibatasi pada wilayah daerah tertentu
dan hal ini akan diatur oleh Peraturan Menteri (pasal 90). Sedangkan BMT sepertinya coba
didefinisikan sebagai lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang beroperasi
berdasarkan prinsip syariah dengan bentuk pelayanan lebih luas dari sekedar simpan-pinjam saja
(pasal 1 UU LKM). Dan mengikut UU LKM, BMT harus menyesuaikan diri pada cakupan wilayah
usahanya yang dibatasi maksimal di wilayah kabupaten saja sesuai amanah UU LKM (pasal 16).

5. Tafsiran pembedaan entitas KJKS dan BMT akan berimplikasi pada peraturan kelembagaan
termasuk aspek hukumnya. KJKS akan berdiri sebagai lembaga yang berbadan hukum koperasi dan
mendapatkan izin usaha simpan pinjam dari Kementerian Koperasi (pasal 88 UU Perkoperasian).
Sementara BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang izin usahanya dikeluarkan oleh OJK
(pasal 39 ayat 2) dengan berbadan hukum koperasi, dimana badan hukum koperasi ini diberikan
oleh Kementerian Koperasi.

http://abiaqsa.blogspot.com

Tahap Pendirian BMT Syari’ah

Adapun tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam pendirian BMT adalah sebagai berikut :

a.       Pemprakarsa dan pendamping menyiapkan diri (meluangkan waktu, pemikiran dan semangat)
untuk menjadi monivator pendirian BMT. Pemrakarsa dan pendamping terlebih dahulu membaca
bahan buku ini dengan sebaik-baiknya, sehingga diharapkan lebih teliti dan lebih memahami isi dan
falsafah (visi, misi, tujuan,usaha dll)yang berada dibelakang BMT.

b.      Setelah ide ini berkembang dan direspon oleh 4-5 orang aktivis/motivator. Maka carilah
dukungan tambahan yang lebih besar misalnya dari tokoh masyarakat seperti imam masjid, atau
ulama yang paling disegani disekitar wilayah itu, dan dari pejabat yang dituakan seperti pak guru,
pak camat atau pak lurah. Kunjungilah secara bersama-sama Tim motivator untuk meyakinkan
beliau-beliau itu pada visi, misi, tujuan, usaha, cara kerja dan ide pendirian BMT ini.

c.       Dengn restu dari tokoh  paling berpengaruh itu, maka undanglah para sahabat yang telah
didaftarkan tadi 5-10 orang untuk mendiskusikan lebih lanjut mengenai BMT ini dan tindakan lebih
lanjutnya. Sasaran pertemuan ini adalah membentuk sebuah tim atau panitia penyiapan pendirian
BMT (P3B) yang ramping, misalnya 5 orqang yang benar-benar punya waktu, bersemangat, paling
aktif, berprakarsa, bersedia serta mau bekerja menggelindingkan kegiatan selanjutnya.

P3B dapat terdiri dari ketua dan wakil ketua,sekretaris dan wakil sekretaris, dan bendahara. Perlu
sekali memilih bendahara seorang tokoh yang benar-benar dipercayai oleh masyarakat , belum
pernah tercatat pengalaman tercela untuk kepentingan umum sehingga orang tidak ragu-ragu
menyerahkan (sementara) dana untuk modal BMT ini. Jika diperlukan dapat menunjukkan dan
meminta kesediaan penasehat tim yang terdiri dari tokoh-tokoh paling berpengaruh dalam
masyarakat itu.

Tugas P3B adalah sebagai berikut :

Ø  Memperluas dukungan

Ø  Mengumpulkan modal awal

Ø  Menggalang dana

Ø  Pertemuan dan komitmen

Ø  Rapat pembentukan

d.      Rapat pendiri untuk memilih pengurus BMT. Ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota bila
perlu upayakan pengurus dari orang yang maniliki pengaruh , mamiliki dasar kemampuan mencari
dukungan, diterima oleh masyarakat banyak. Khusus untuk bendahara perlu ditunjuk tokoh yang
benar-benar mendapat kepercayaan dari masyarakat dan belum pernah tercatat pengalaman hal-hal
yang tercela dalam sejarah.

e.       Pengurus yang terpilih segera mencari calon pengelola BMT  yaitu lulusan S1 atau D3 yang
selain berkemampuan intelektual memadai, juga kuat landasan iman dan akhlaknya, jujur, amanah
dan aktif, sabar, memiliki potensi untuk bekerjasama, mampu bekerja purna waktu (sepenuh waktu
dan hati). Selain itu, bertempat tinggal di sekitar lokasi BMT akan lebih baik.

f.       Tenaga ini dilatih dan dimagangkan oleh PINBUK setempat selama 2 minggu sehingga menjadi
tenaga pengelola professional BMT. Tenaga ini perlu dan disetujui oleh para pengurus serta tunduk
pada kebijakan/kekuasaan pengurus.

g.      Pengurus bersama pengelola melaksanakan persiapan-persiapan sarana kantor dan ATK (alat
tulis kantor) serta form/berkas administrasi yang diperlukan  swbagaimana yang distandarisasikan
oleh PINBUK.

h.                BMT siap beroprasi.


i.                  Pengurus bekerjasama pengelola BMT membuat naskah kerjasama kemitraan dengan
PINBUK setempat dan memproses sertifikat BMT dari PINBUK kabupaten/kota, atau PINBUK propinsi
atau PINBUK pusat.

j.                  Jika BMT tersebut  telah mencapai kekayaan /asset Rp. 75 juta, maka pengelola BMT
segera memohon badan hukum koprasi jasa keuangan syari’ah  (KJKS) kepada dinas koprasi dan
UKM setempat. (Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis, 2006:16)

http://pengetahuanhukumdanpendidikan.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai