Anda di halaman 1dari 13

PROBLEMATIKA BAITUL MAAL WAT TAMWIL DI INDONESIA

ARTIKEL KELOMPOK 5

1. Adwitya Pesat Abinaya/20190610328


2. Mohamad Rafli Hakim A./20190610331

LATAR BELAKANG

Eksistensi Baitul Maal Wat Tamwil atau yang biasanya disingkat dengan istilah BMT
merupakan entitas atau lembaga yang hadir dalam upaya untuk pemberdayaan ekonomi
masyarakat kecil dan peningkatan akses keuangan atau dana modal bagu usaha mikro-kecil
dengan prinsip Syariah. Ini juga merypakan fungsi dari BMT yatiu menghimpun dan
menyalurkan dana kepada masyarakat atau anggotanya.

BMT merupakan lembaga yang memiliki peran sangat penting dan potensial dalam
rangka mendukung pembangunan perekonomian rakyat dengan mengumpulkan dan
menyalurkan dana masyarakat melalui kegiatan sosial atau non-profit maupun kegiatan
komersil atau kegiatan ekonomi yang menguntungkan.

BMT secara harfiah berarti rumah dana atau dalam perbankan Syariah biasa disebut
Baitul Maal dan juga rumah usaha atau biasa disebut dengan Baitul Tamwil. Pengertian ini
memberi makna bahwa BMT dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga sosial dengan
penamaan Baitul Maal dan lembaga bisnis dengan penamaan Baitut Tamwil.

Eksistensi atau Keberadaan BMT masih dipertanyakan, apakah dalam kegiatan


operasional usahanya masih menerapkan prinsip-prinsip syariah? Mengingat ide awal
pendirian BMT adalah untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum Syariah dalam kegiatan
usahanya dan menghilangkan praktik rentenir (masalah riba) - dan dari sudut pandang hukum
formal - apakah tunduk pada keuangan mikro institusi (LKM) Apakah aturan terikat oleh
tindakan atau tidak adanya tindakan? Itulah hukumnya. Tidak. Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, mengingat BMT adalah non LKM Bank. Meski sebagian besar
objek BMT harus menjadi lembaga keuangan mikro dan menerima pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan lembaga perbankan.
Ketiadaan regulasi khusus yang mengatur tentang BMT, mengakibatkan posisi BMT
dikepung sejumlah peraturan umum yang harus dipatuhi agar supaya BMT tetap bisa eksis,
di bidang Maal (Baitul Maal) misalnya, kesamaan fungsi maal dengan Lembaga Amil Zakat
(LAZ) mengakibatkan BMT harus tunduk pada ketentuan UU. No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat, namun jika tunduk pada ketentuan Undang-undang ini maka entitas BMT
akan hilang, karena pada Pasal 18 ayat (2) butir (a) Undang-undang ini dijelaskan bahwa
untuk menjadi LAZ disyaratkan terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, sehingga keberadaan aturan ini seperti
mengebiri BMT dari segi fungsi Maalnya.

Di bidang Tamwil (Baitul Tamwil), Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih


mengembangkan usahanya pada sektor keuangan yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti
usaha perbankan, yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta
menyalurkannya pada sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun, karena BMT
bukan bank, maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan.

Oleh karena itu, dalam kegiatannya BMT di Indonesia diawasi dengan adanya OJK
atau Otoritas Jasa Keuangan yang mana diorientasikan untuk tujuan meningkatkan dan
memelihara kepercayaan masyarakat atau publik seperti contohnya dalam hal urusan jasa
keuangan dan penegakkan kebijkan-kebijakan mengenai bidang jasa keuangan. Di sisi lain,
pengawasan yang menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam praktiknya
tidak mencakup lembaga keuangan berupa koperasi, lembaga keuangan mikro, dan Baitul
Mal Wa Tamwil. OJK hanya bertanggung jawab untuk mengawasi bank, BPR dan lembaga
keuangan bukan bank. Padahal otoritas OJK kemungkinan besar akan mampu menciptakan
iklim yang stabil bagi implementasi sistem keuangan syariah Baitul Mal Wa Tamwil
(lembaga keuangan berbasis syariah).

OJK sendiri secara gamblang menggambarkan kemampuan OJK sebagai pengawas


dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No./POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro. Namun, mengingat posisi interpretasi konstitusi yang tidak jelas,
kemampuan OJK tidak mendapat tempat dalam pengawasan sistem keuangan oleh organisasi
mikro seperti BMT.1

RUMUSAN MASALAH

1
Sunarto. 2019. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil. MagistER Hukum UNS: Semarang
Adapun rumusan masalah dari artikel ini yaitu:

1. Bagaimana kedudukan OJK sebagai pengawas BMT?


2. Bagaimana problematika hukum BMT di Indonesia?
3. TINJAUAN UMUM

Menurut sejarahnya eksistensi BMT merupakan awal dari munculnya atau sebagi
perintis pertama lembaga keuangan yang berdasarkan pada prinsip syariah di Indonesia yang
dimulai dari ide para aktivis Masjid Salman ITB Bandung yang mendirikan Koperasi Jasa
Keahlian Teknosa pada tahun 1980. Koperasi tersebut menjadi cikal bakal BMT yang berdiri
sejak tahun 1984. Lembaga keuangan seperti BMT diperlukan untuk menjangkau dan
mendukung pengusaha kecil dan mikro di seluruh pelosok Indonesia yang belum
mendapatkan layanan dari perbankan yang ada pada saat itu.

Bank Muamalat Indonesia (BMI) resmi didirikan pada tahun 1992. Sejak awal
berdirinya, Bank Muamalat Indonesia (BMI) telah berlandaskan nilai-nilai Syariah dalam
kegiatan operasionalnya. Setelah berdirinya BMI, bermunculan bank-bank syariah lainnya.
Dalam perkembangannya, bisnis BMI belum merambah sektor UKM. Oleh karena itu, upaya
untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan dengan mendirikan lembaga keuangan mikro
seperti Bank Daerah Syariah (BPRS) dan BMT untuk mengatasi kendala operasional di
daerah (Sudarsono, 2012: Sejak berdirinya, keberadaan payung hukum BMT telah berubah,
hal ini dikarenakan karakteristik BMT yang khusus dan berbeda dengan koperasi umum dan
lembaga keuangan sejenis lainnya. Sifat BMT yang khusus ini akan menimbulkan
permasalahan tersendiri, karena tidak ada peraturan khusus yang mengaturnya, sehingga
BMT harus banyak mematuhi peraturan-peraturan umum sesuai dengan bentuk badan hukum
yang dipilih.

Jika dikaitkan dengan badan hukum, BMT dapat dibentuk dalam 3 bentuk: pertama,
lembaga swadaya masyarakat (KSM), kedua, koperasi dan ketiga, sebagai Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS), berbentuk badan hukum koperasi atau terbatas Penanggung jawab
perusahaan, jika BMT mengadopsi bentuk KSM dan kerjasama, telah berkembang dan
memenuhi persyaratan-persyaratn BPR.

BMT dalam bentuk KSM seyogyakan mendapatkan sertifikat operasi dari Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), sementara BMT yang berbadan hukum Koperasi
dapat berbentuk:
1. Koperasi Serba Usaha (KSU) di perkotaan,
2. Koperasi Unit Desa (KUD) di pedesaan sebagaimana diatur dalam Petunjuk Menteri
koperasi dan PPK tanggal 20 Maret 1995 yang menetapkan bahwa bila di suatu
wilayah sudah ada KUD dan KUD itu telah berjalan baik dan terorganisir maka, BMT
bisa menjadi Unit Usaha Otonom (U2O) atau Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) dari
KUD tersebut. Dan bila KUD di desa itu belum berjalan dan terorganisir dengan baik
maka, KUD tersebut dapat dioperasikan sebagai BMT. Dan bila belum ada KUD
maka, dapat didirikan KUD BMT.
3. Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di lingkungan Pesantren, BMT yang
menggunakan badan hukum Kopontren maka, BMT di Kopontren tersebut dapat
berfungsi sebagai Unit Usaha (TPK) sebagaimana pada KUD. Otonom (U2O) atau
Tempat Pelayanan Koperasi2

Kedudukan OJK diorientasikan dengan tujuan Meningkatkan dan memelihara


kepercayaan public di bidang jasa keuangan, menegakkan peraturan perundangundangan di
bidang jasa keuangan, meningkatkan pemahaman public mengenai bidang jasa keuangan; dan
Melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Jika sesuai dengan Pasal 4 UU OJK,
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di sektor jasa
keuangan mulai dari terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, Serta
mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabildan
Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat menjadi peranan penting
bagaimana subtansi

kewenangan atas OJK sebagai pengawas jasa keuangan bisa diperankan dengan baik.
Salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem
keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankanfungsi intermediasi bagi
berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional,Akan tetapi pengawasal kepada
usaha mikro maupun BMT sangat lemah itulah penyebab minimnya usaha dari dinas koperasi
karena terlalu fokus kepada koperasi yang tidak sehat karena belum menyentuh secara
syariah.

PEMBAHASAN

2
Arafat, Fashihuddin. 2020. Eksistensi BMT sebagai Baitul Maal Wat Tamwil dan Problematika Hukumnya. Institut Keislaman Abdullah
Faqih: Gresik
Baitul Maal Wat – Tamwil adalah salah satu lembaga keuangan mikro yang memiliki
angka pertumbuhan sangat pesat dari tahun ke tahun, Apabila dianalisis lebih mendalam,
eksistensi kelembagaan atas status badan hukum BMT sebagai Koperasi Jasa Keuangan
Syariah (KJKS) yang tunduk kepada UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan telah
diubah menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.Namun pada sisi
lain, dalam praktiknya Pengawasan yang tercakup dalam tugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
tidak termasuk pada lembaga keuangan berbentuk koperasi, lembaga keuangan mikro, dan
Baitul Mal Wa Tamwil (lembaga keuangan berbasis syariah).3

OJK hanya ditugasi untuk mengawasi bank, bank perkreditan rakyat, dan lembaga
keuangan bukan bank.OJK sendiri dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro memberikan
deskripsi yang jelas terhadap kapasitas OJK sebagai pengawas,itulah alasan kedudukan
tersebut tidak jelas secara tafsir konstitusional yang menjadikan kepasitas OJK tidak
mendapatkan tempat dalam pengawasan sistem keuangan oleh lembaga Mikro seperti
BMT.jadi sangatlah jelas Dengan terpisahnya istitusi pengawasan tersebut, sudah dapat
dipastikan tidak ada jaringan komunikasi yang mapan antara OJK dengan Kementerian
Koperasi dan UKM, serta BMT dan lembaga keuangan mikro. 4Padahal untuk menjalankan
operasionalnya strategi pemasaran tidak hanya dibutuhkan oleh perbankan saja. Namun BMT
sebagai lembaga keuangan mikro juga penting akan adanya strategi pemasaran yang dimiliki
untuk kelangsungan hidup BMT.5

Karakteristik BMT dari prespektif operasional atau kegiatan usahanya dapat


dikelompokkan pada dua macam : pertama, yaitu sebagai baitul tamwil dan sebagai baitul
maal. Sebagai baitul tamwil, jenis kegiatan BMT adalah mengembangkan kegiatan usaha
produktif dan investasi dalam rangka meningkatkan kualitas ekonomi para pengusaha kecil-
menengah dengan mendorong kegiatan usaha menghimpun dana dan menyalurkannya kepada
para pengusaha kecil-menengah. Sementara baitul maal menghimpun titipan dana zakat,
infaq, dan shadaqoh, serta menjalankannya yang sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
BMT setidaknya mempunyai beberapa peran :

3
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
hlm. 126.

4
Wawan Andriyanto, “Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt): Lembaga Keuangan Mikro Atau Koperasi
5
David Hunger dan Thomas Wheelen,(2003) Manajemen Strategis, Yogyakarta: Penerbit
Andi, Hal. 16
1.Aktif melakukan sosialisasi ditengah masyarakat tentang pentingnya sistem ekonomi
Islami.Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara bertransaksi
yang Islami, misalnya supaya ada bukti dalam transaksi, dilarang curang dalam menimbang
barang, jujur terhadap konsumen dan sebagainya

2. Melakukan pembinaan dan pendanana usaha kecil,bersikap aktif menjalankan fungsi


sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan pendampingan, pembinaan,
penyuluhan dan pengawasan terhadap usaha-usaha nasabah atau masyarakat umum.

3.Melepaskan ketergantungan pada renternir,BMT harus mampu melayani masyarakat lebih


baik, misalnya selalu tersedia dana setiap saat, birokrasi yang sederhana dan lain sebagainya.

4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata yaitu BMT langsung
berhadapan dengan masyarakat yang kompleks dituntut harus pandai beersikap,oleh karena
itu langkah-langkah yang melakukan evaluasi dalam rangka pemetaan skala prioritas yang
harus diperhatikan, misalnya dalam masalah pembiayaan, BMT harus memperhatikan
kelayakan nasabah dalam hal golongan nasabah dan jenis pembiayaan. Dalam eksistensinya,
filosofi kegiatan operasional BMT terdapat dalam Alquran dan hadist, diantaranya adalah6 :

DASAR HUKUM

1. Surat Al-Baqarah ayat 275 Surat ini menjadi filosofi dasar bagi kegiatan operasional BMT
dalam menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi ribawi (non-syariah), yaitu yang
berbunyi :”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

2. Hadis Riwayat Bukhari No. 6525.: “Telah menceritakan kepadaku Mu`ammal bin Hisyam
Abu Hisyam telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim telah menceritakan kepada
kami 'Auf telah menceritakan kepada kami Abu Raja' telah menceritakan kepada kami
6
Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT (Baitul Maal wat Tamwil, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2010), 118.
Samurah bin Jundab radliallahu 'anhu,Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam seringkali
mengatakan kepada para sahabatnya;"Apakah diantara kalian ada yang bermimpi?" Kata
Samurah; maka ada diantara mereka yang menceritakan kisahnya. Suatu saat ketika
subuh,beliau berkata: "Semalaman aku didatangi dua orang, keduanya mengajakku pergi dan
berujar; 'Ayo kita berangkat! ' Aku pun berangkat bersama keduanya,Namun kedua orang
yang membawaku hanya berujar; 'Ayo kita berpindah ke tempat lain! Maka kami terus
berangkat, dan kami mendatangi sebuah sungai." Dan setahuku Samurah mengatakan; 'sungai
merah seperti darah-,"tak tahunya di sungai ada laki-laki yang berenang, sedang ditepi sungai
ada orang yang mengumpulkan banyak bebatuan, apabila yangberenang tadi sampai ke tepian
sungai,ke tempat orang yang mengumpulkan bebatuan, maka ia membuka mulutnya dan
orang yang di tepi tadi memasukkan batu ke mulutnya, lantas ia berenang kemudian kembali
lagi, setiap kali ia kembali ke tepi, mulutnya membuka dan orang yang di tepi menyuapinya
dengan batu itu. Saya bertanya kepada dua orang yang membawaku; 'kenapa dua orang ini? '
keduanya menjawab;Adapun laki-laki yang berenang dalam sungai dan disuapi batu besar,
mereka adalah pemakan riba”

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat Selain beroperasi


sebagai lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan berupa penitipan, investasi dan
pembiayaan BMT memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan lembaga keuangan
lainnya yaitu mengenai nilai sosial / kegiatan non profit berupa pengelolaan dana Zakat,
Infak, Sedekah dan Wakaf .

4.MK menyatakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 kembali berlaku sampai dengan
terbentuknya UU yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang
Perkoperasian,BMT sebagai lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang
beroperasi berdasarkan prinsip syariah,sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Ayat (3), bahwa
“Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah”, UU Perkoperasian
seakan memberikan ruang gerak yang sangat terbuka bagi koperasi syariah (termasuk BMT)7

Secara eksplisit tidak ada satupun produk Undang-undang yang mengatur khusus tentang
BMT,terdapat beberapa produk hukum yang menaungi lembaga BMT, diantaranya yaitu :

1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian telah dibatalkan oleh

7
Elfa Murdiana, Menggagas Payung Hukum Baitu Maal Wattanwil (BMT) Sebagai KoperasiSyari’ah dalam
Bingkai Ius Constituendum,Jurnal Penelitian,Vol.10,No.2, Edisi Agustus 2016, Hal. 289
Mahkamah Konstitusi,menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

2. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat;

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro

(LKM).

Lembaga keuangan di Indonesia secara umum dibagi menjadi dua, yaitu lembaga
keuangan bank dan nonbank. Lembaga keungan bank meliputi bank umum, bank syariah, dan
Bank Perkreditan Rakyat (umum dan syariah). Lembaga keuangan nonbank meliputi
perasuransian, pasar modal, perusahaan pegadaian, dana pension, koperasi, dan lembaga
penjaminan dan pembiayaan-perusahaan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga
pembiayaan konsumen, dan perusahaan sewa guna usaha (leasing), perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan modal ventura. Regulasi dan supervise terhadap lembaga
keuangan bank dan nonbank selama ini ditangani oleh institusi yang berbeda. Lembaga
keuangan bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesi (BI), sedangkan lembaga keuangan
nonbank seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK sebuah lembaga yang bernaung di bawah
Kementrian Keuangan. Regulasi dan supervise sector perbankan diatur dan diawasi oleh BI
karena sector tersebut memiliki pertautan erat dengan kebijakan moneter mengawasi dan
mengatur sector perbankan merupakan salah satu tugas untuk mencapai kestabilan nilai tukar
rupiah.

Hal inilah yang menjadi kendala teknis peran OJK dalam melakukan pengawasan
terhadap lembaga keuangan non bank. Pengawasan yang tercakup dalam tugas Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) tidak termasuk pada lembaga keuangan berbentuk koperasi, lembaga
keuangan mikro, dan Baitul Mal Wa Tanwil (lembaga keuangan berbasis syariah). OJK
hanya ditugasi untuk mengawasi bank, bank perkreditan, dan lembaga keuangan bukan bank.

Dalam praktik yang demikian, yang memungkinkan terjadinya kekosongan


pengawasan keuangan pada koperasi, BMT, dan lembaga keuangan mikro memiliki potensi
masalah. Dengan terpisahnya istitusi pengawasan tersebut, sudah dapat dipastikan tidak ada
jaringan komunikasi yang mapan antara OJK dengan Kementrian Koperasi dan UKM, serta
BMT dan lembaga keuangan mikro
Padahal untuk menjalankan operasionalnya strategi pemasaran tidak hanya
dibutuhkan oleh perbankan saja. Namun BMT sebagai lembaga keuangan mikro juga penting
akan adanya strategi pemasaran yang dimiliki untuk kelangsungan hidup BMT. Secara
konsep memang BMT menghendaki adanya bebas riba dan juga penerapan strategi
pemasarannya dengan sesuai syariah sehingga terciptanya keadilan. 8 Hal demikian
mengharuskan manajemen melakukan strategi khusus untuk mempertahankan keunggulan
kompetitif yakni merujuk pada kemampuan sebuah organisasi untuk memformulasikan
strategi yang menempatkannya pada suatu posisi yang menguntungkan berkaitan dengan
perusahaan lainnya. Keunggulan kompetitif juga berarti kumpulan strategi untuk menentukan
keunggulan suatu perusahaan dari persaingan diantara perusahaan yang lain. Oleh kerenanya
pengawasan secara independent melalui kelembagaan seperti OJK sangat dibutuhkan oleh
BMT dalam menjalankan aktifitas-aktifitas keuangan.

Permasalahan Yang Dihadapi kedudukan OJK dalam pengawasan BMT

Pada dasarnya pengawasan bank syariah dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan


dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari segi
finansial tergolong sehat, dan sesuai dengan ajaran Islam (DSN MUI) serta di dalam bank
tidak terkandung segi-segi yang merupakan ancaman terhadapkepentingan masyarakat yang
menyimpan dananya di bank. Hal ini tidak jauh berbeda dengan BMT sebagai lembaga
keuangan mikro Islam. Kesesuain kegiatan transaksi antara shahibul maal dengan mudharib
harus diawasi oleh pihak ketiga agar tidak terjadi perbedaan pendapat antar keduabelah
pihak. Dalam hal ini yang dimaksud pihak ketiga adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS).9

Konstruksi secara teori adanya pengawasan yang lemah bisa ditinjau dari teori
keberlakuan hukum. Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur system hukum itu terdiri dari
struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legalsubstance) dan budaya hukum (legal
culture).Lawrence Friedman. Friedman membagi sistem hukum dalam tiga (3) komponen
memberikan penjelasan yaitu:10

8
Syukron, A. Pengaturan dan Pengawasan pada Bank Syariah. Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, Vol.2(1),
22–41, 2012.
9
Widodo, H. Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wa Tamwil (BMT). Bandung: Mizan, 1999.
10
Widiyanto. Effectiveness and Sustainability of Baitul Mal Wat Tamwil Financing In The Development of
Microenterprises In Central Java, Indonesia. Phd Thesis, UPM Malaysia, 2007
1. Substansi hukum (substance rule of the law), di dalamnya melingkupi seluruh
aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik yang hokum material
maupun hukum formal.

2. Struktur hukum (structure of the law), melingkupi Pranata hukum, Aparatur


hukum dan sistem penegakkan hukum. Struktur hukum erat kaitannya dengan
sistem peradilan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dalam system
peradilan pidana, aplikasi penegakan hukum dilakukan oleh penyidik, penuntut,
hakim dan advokat.

3. Budaya hukum (legal culture), merupakan penekanan dari sisi budaya secara
umum, kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang
mengarahkan kekuatan sosial dalam masyarakat.

Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan


aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Pengadilan dalam
struktur hukum diantaranya menjalankan fungsi penegakan hukum. Dalam menegakkan
hukum ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. Banyaknya peraturan perundangan yang mengatur BMT berbadan hukum Koperasi
berpotensi menimbulkan inkonsistensi,padahal peraturan dalam sebuah kebijakan hukum,
kepastian hukum adalah salah satu dari tiga terminologi yang memiliki nilai aksiologis di
dalam hukum demi tegaknya the rule of law. Ketidak patuhan terhadap regulasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor :

a. Karena adanya pengetahuan dan pemahaman akan hakekat dan tujuan hukum.

b. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum. Mereka
benar-benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

c. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap peraturan


sebagai peraturan hukum secara rasional.

d. Karena masyarakat menghendakinya.

e. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial.


Hal Selain Ketidak Patuhan pada hukum yang berlaku mengenai BMT iala ketidak adanya
kejelasan secara regulasi itu sendiri iala :

1. Ketidakjelasan jenis lembaga BMT mempengaruhi ketidakjelasan lembaga yang berhak


menjadi regulator atau pengawas BMT.

2. Badan hukum koperasi namun dengan izin usaha berbeda (badan hukum koperasi dengan
izin usaha LKM) akan menimbulkan kebingungan pada BMT karena koperasi harus
mencantumkan jenis koperasi pada anggaran dasar, membuat koperasi tidakmungkin memilih
bentuk LKM.

3. Jika tidak ada kejelasan pada istilah KSPPS dan BMT maka berpotensi muncul regulasi
turunan yang berbeda dalam mengatur BMT, seperti halnya kedua Undang-Undang tersebut
di atas.

4. Perbedaan wilayah operasi akan menimbulkan risiko arbitrase, di mana BMT akan
memilih sektor yang memberikan ruang operasi yang lebih luas.

5. Penjaminan simpanan oleh pemerintah masih bersifat diskresi/kebijakan, belum bersifat


wajib, hal ini tentu belum memecahkan masalah keamanan dan kenyamanan menyimpan
dana di Lembaga Keuangan di BMT untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

6. Perbedaan bentuk layanan yang diizinkan oleh kedua undang-undang akan berpotensi
menimbulkan risiko arbitrase sebagaimana perbedaan ketentuan wilayah operasi.

7. Dalam Undang-undang LKM, terkesan suku bunga/nisbah akan diatur oleh pemerintah.
Sedangkan pada Undang-Undang Perkoperasian diatur oleh rapat anggota.Hal ini akan
menimbulkan kebingungan masyarakat karen apemerintah hanya melakukan kontrol suku
bunga/nisbah pada LKM tetapi tidak pada Koperasi Simpan Pinjam.

8. Perbedaan masyarakat yang dilayani akan menimbulkan risiko arbitrasi sebagaimana


perbedaan ketentuan wilayah operasi.

Dari 2 hal disini disebabkan oleh rendahnya kepengawasan baik oleh Kementerian Koperasi
dan UKM RI ataupun dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan yang menjadi korban adalah
masyarakat kita sendiri.

KESIMPULAN
BMT hadir atau eksis untuk meningatkan pemberdayaan dan membantu terutama
masyarakat kecil untuk dalam hal memberikan modal usaha mikro mereka dengan pemberian
modal yang berbasis syariah. Dalam usahanya tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa
eksistensi BMT di Indonesia juga diperlukan adanya pengawasan dari pihak yang berwajib
untuk mengawasi kegiatan keuangan dan perbankan salah satunya adalah Otoritas Jasa
Keuangan atau OJK. Namun OJK disini sebenarnya hanya berperan sebagai lembaga yang
secara harfiah hanya untuk mengawasi lembaga bank dan non bank tetapi tidak mencakup
pada lembaga keuangan yang berbentuk koperasi, lembaga keuangan mikro, dan Baitul Mal
Wa Tanwil (lembaga keuangan berbasis syariah).

DAFTAR PUSTAKA

BUKU & ARTIKEL:

Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT, Bandung, Citra Adtya Bakti, 2010
Sri Dewi Yusuf,Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat, Volume 10 No.1
Edisi Juni 2014

Noor Azis,Koperasi Syariah akan diatur UU Koperasi.28 Febuari 2008

Fadillah Mursid, Kebijakan Regulasi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT),Yogyakarta.2017

Syukron, A.Pengaturan dan Pengawasan pada Bank Syariah,2012

Widodo, H.Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wa Tamwil (BMT). Bandung:1999

Dewi, Nourma. “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Dalam Sistem
Perekonomian Di Indonesia”, Serambi Hukum, Vol. 11, No. 01, 29 Juli 2017.

UNDANG-UNDANG:

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

Anda mungkin juga menyukai