id
KEUANGAN MIKRO
BAB 1: RUANG LINGKUP
Telah menjadi kesadaran umum bahwa jenis usaha yang dapat bertahan pada krisis moneter
di Indonesia tahun 1998 adalah usaha mikro dan kecil (UMK). Dan setelah 19 tahun berlalu,
tampaknya kenyataan tersebut tetap tidak berubah. Hal ini terkonfirmasi dari Begitulah
gambaran utama hasil sensus ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 yang dirilis pada
bulan April 2017. Dilihat dari skala usaha, dari 26,7 juta usaha (di luar sektor pertanian), 98,33
persennya merupakan usaha yang berskala UMK. Sementara itu usaha berskala menengah
dan besar hanya 0,45 juta usaha, atau hanya sekitar 1,6 persen dari total 26,7 juta usaha atau
perusahaan non pertanian di Indonesia.
Walaupun jenis usaha mikro ini merupakah usaha yang paling kuat bertahan dalam masa krisis
moneter, namun demikian, masih banyak permasalahan yang perlu segera dituntaskan pada
jenis usaha ini. Permasalahan tidak hanya masalah akses permodalan, kesulitan pemasaran,
keterbatasan sumber daya manusia, masalah bahan baku namun juga permasalahan
keterbatasan tehnologi. Masalah akses permodalan dan kesulitan pemasaran menjadi masalah
yang sering kali muncul sedangkan masalah sumber daya manusia, bahan baku serta
permasalahan keterbatasan tehnologi bukanlah menjadi masalah yang utama. Salah satu cara
untuk mengatasi segala permalahan tersebut tentunya diperlukan paying hukum yang
memadai untuk dapat mengatur dan menumbuhkan industri lembaga keuangan mikro
sehingga dapat berkembang lebih cepat dalam rangka turut serta perpartisipasi dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan disaat yang sama akan dapat meningkatkan
pemerataan pembangunan karena sasaran yang dituju oleh Lembaga Keuangan Mikro adalah
masyarakat kelas bawah, bukan kelas menengah apalagi kelas atas. Dengan diundangkannya
Undang-undang No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan juga dikeluarkannya
aturan aturan pelaksanaannya, sudah barang tentu dapat meningkatkan peran LKM dalam
pembangunan di Indonesia.
a. Lembaga Keuangan Bank Lembaga Keuangan Bank adalah Bank. Bank merupakan
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya. Bank terdiri
BAB 1: Pendahuluan LKM 1
dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Pada pelaksanaan usahanya baik Bank
Umum maupun BPR diperbolehkan dengan cara konvensional dan atau berdasarkan
prinsip syari’ah. Sementara dalam konteks perbankan syari’ah pada UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syari’ah bahwa bank syari’ah terdiri dari Bank Umum Syari’ah,
Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS), dan Unit Usaha Syari’ah (UUS). Bank
Perkreditan Rakyat maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah tidak diperkenankan untuk
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank Pengertian Lembaga Keuangan Bukan Bank menurut
Sunaryo ialah; Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan-kegiatan di bidang keuangan, secara langsung atau tidak langsung,
menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke
dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini
Lembaga Keuangan Bukan Bank tidak diperkenankan menerima dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan, baik itu berupa giro, tabungan maupun deposito. Namun,
berdasarkan kebijakan Pakto 27, 1988, LKBB dapat menerbitkan sertifikat deposito
sebagai sumber dana dan dapat mendirikan kantor cabang di daerah-daerah. LKBB
meliputi; Usaha Perasuransian, Perum Pegadaian, Dana Pensiun, Pasar Modal, dan
Perusahaan Penjaminan. Lembaga Keuangan Bukan Bank diatur dengan undang-undang
yang mengatur masing-masing bidang jasa keuangan bukan bank. Lembaga Keuangan
Bukan Bank terdiri dari, sebagai berikut;
1. Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Perusahaan Asuransi maupun Reasuransi
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang Usaha Perasuransian
2. Pegadaian Perum Pegadaian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1990 jo. PP No. 103 tahun 2000 tentang Perum Gadai.
3. Dana Pensiun Dana Pensiun diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun sebagai dasar penyelenggaraan dana pensiun
4. Pasar Modal Pasar Modal termuat dalam peraturan Undang-Undang nomor 8 tahun
1995 tentang Pasar Modal.
5. Perusahaan Penjaminan Pengaturan hukum Perusahaan Penjaminan diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan.
c. Lembaga Pembiayaan Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009,
yang menyebutkan pengertian lembaga pembiayaan ialah; Lembaga pembiayaan adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana
dan/atau barang modal. Pada Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009
mengenal tiga jenis lembaga pembiayaan yang meliputi:
Perusahaan Pembiayaan (PP), yaitu Badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan
sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau usaha kartu kredit.
Perusahaan Modal Ventura ialah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan
modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu
tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi,
dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.
BAB 1: Pendahuluan LKM 2
Perusahaan Pembiayaan Insfrastruktur, yaitu; badan usaha yang didirikan khusus untuk
melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. Pada Pasal
9 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan melarang lembaga
pembiayaan menarik dana secara langsung berupa giro, deposito, dan tabungan.
Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam termasuk pada lembaga keuangan lainnya
(bukan bank). Koperasi mempunyai karakteristik seperti lembaga keuangan yang melakukan
menghimpun dana dan menyalurkannya, walaupun hanya sebatas dari dan untuk anggota
koperasi, calon anggota, atau anggota koperasi lainnya. Yang dimaksudkan calon anggota di
sini ialah telah mendaftarkan diri pada koperasi, namun belum melunasi setoran simpanan
pokok dan kewajiban lainnya. Apabila dalam waktu 3 bulan belum terpenuhi kewajibannya,
maka harus dihapus dari keanggotaan koperasi. Koperasi Simpan Pinjam mengacu pada
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP No. 9 Tahun 1995 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Peraturan tersebut diadakan agar
tidak berbenturan dengan UU Perbankan dan menunjukkan eksitensi Koperasi.
Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga Keuangan Mikro dalam kategori Bank Indonesia dibagi
dua, yaitu LKM Bank dan LKM non Bank. LKM Bank terdiri dari BRI Unit Desa, BPR, dan
Badan Kredit Desa (BKD). Sedangkan LKM non Bank terdiri dari Koperasi Simpan Pinjam
(KSP), lembaga dana kredit pedesaan, Baytul Maal wat Tamwil (BMT), lembaga swadaya
masytarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan grameen, pola pembiayaan ASA, credit union,
kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan lain-lain.
Namun dari sudut pengaturan, Otoritas Jasa Keuangan membagi lembaga Jasa Keuangan
menjadi 3 bagian yaitu Pasar Modal, Perbankan dan Industri Keuangan Non-Bank terdiri atas
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Sedangkan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya terdiri atas: Lembaga Keuangan Mikro (LKM),
Pergadaian, Lembaga Penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI),
Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) dan
Peer to Peer Lending.
BAB 1: Pendahuluan LKM 3
1.3 Sejarah Microfinance di Indonesia
Lembaga keuangan Mikro di Indonesia mempunyai sejarah yang lebih panjang dibandingkan
dengan umur Negara ini. LKM telah melintasi perjalanan panjang bangsa indonesi sejak jaman
penjajahan sampai era revolusi digital akhir-akhir ini. Untuk membahas sejarah LMK di
Indonesia, berikut ini akan disampaikan pemaparan yang dilakukan oleh IGK Baskara (2013).
Kajian historis keberadaan keuangan mikro berdasarkan catatan dapat dibagi menjadi dua
periode, yakni jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan. Selama masa penjajahan Belanda,
sistem keuangan dikontrol oleh pemerintah Hindia Belanda melalui beberapa bank yang
mereka dirikan. Pada akhir abad ke-19, sekitar bulan Desember 1895 atas prakarsa
perorangan didirikan semacamLembaga Perkreditan Rakyat, tercatat Raden Bei Wiriaatmadja
seorang pribumi yang menjabat patih Purwokerto mendirikan “Hulp en Spaarbank der
Inlandsche Bestuurs Ambtenaren” atau Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai. Selanjutnya
institusi tersebut diperbaiki oleh seorang Belanda bernama De Wolf van Westerrode yang
mengubahnya menjadi Bank Kredit Rakyat atau Bank Rakyat. Pendirian Bank Rakyat ini
kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain di Pulau Jawa.
Pada periode yang hampir bersamaan yakni sekitar tahun 1898, desa-desa di Jawa terutama
sentra penghasil beras mendirikan Lumbung Desa yang merupakan lembaga simpan pinjam
dengan menggunakan komoditas padi sebagai instrument simpan pinjam. Seiring
berkembangnya wilayah pedesaan dan juga peredaran uang semakin dikenal oleh masyarakat
desa, pada tahun 1904 didirikan Bank Desa, yang selanjutnya dikenal sebagai Badan Kredit
Desa (BKD). Bank Rakyat pada tahun 1934 digabung kedalam “Algemene Volkscredietbank”
(AVB) yang bertujuan disamping meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan melalui
BAB 1: Pendahuluan LKM 4
bantuan kredit, namun juga mencari keuntungan. Setelah kemerdekaan Indonesia AVB inilah
yang berubah menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan beroperasi sebagai bank komersial
yang tetap melayani masyarakat pedesaan dengan menyalurkan kredit mikro serta membuka
unit-unit di pedesaan. Sehingga tidak mengherankan melihat BRI menjadi bank besar dengan
cakupan jangkauan wilayah yang luas serta tetap berkomitmen dalam pemberian kredit mikro,
jika kita melihat sejarah panjang pendirian bank tersebut.
Penggabungan Bank Rakyat menjadi AVB tidak membuat Badan Kredit Desa menghentikan
usahanya, namun tetap berkembang seiring dengan perkembangan jaman, namun selama
masa kemerdekaan Badan Kredit Desa yang terdiri dari Bank Desa dan Lumbung Desa
bertransformasi menjadi lembaga-lembaga perkreditan rakyat seperti Lembaga Perkreditan
Kecamatan dan Bank Karya Produksi Desa di Jawa Barat, Badan Kredit Kecamatan di Jawa
Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil di Jawa Timur. Beberapa lembaga bertransformasi menjadi
lembaga keuangan yang berdasarkan ikatan adat seperti Lembaga Perkreditan Desa di Bali
dan Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat.
Peran pemerintah Indonesia dalam pengembangan kredit mikro selama masa presiden
Sukarno tidak banyak, karena pada masa-masa tersebut terjadi pergolakan politik dan juga
Republik Indonesia mengalami masa perang mempertahankan kemerdekaan. Pada kurun
periode 1957 sampai 1965, sistem keuangan formal sangat dikekang dengan kebijakan yang
berhasil menghapuskan segala kepemilikan atau keterlibatan orang asing dalam sistem
perbankan dan nasonalisasi bank-bank yang dulu menjadi milik Belanda.
Pada masa Presiden Suharto, setelah mulai stabilnya kondisi politik, maka pemerintah mulai
menaruh perhatian besar pada pembangunan pedesaan. Di awal periode 1970an pemerintah
mendirikan bank di setiap propinsi, yang pada saat itu terdapat 27 propinsi. Pemerintah juga
memberikan keleluasaan dalam mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sehingga di awal
periode tersebut terdapat sekitar 300 BPR di seluruh Indonesia. Pada periode awal orde baru
ini juga mulai terdapat suatu jenis layanan keuangan mikro berupa bantuan dana subsidi yang
diberikan oleh pemerintah sebagai bagian dari program intensifikasi beras. Program ini disebut
Bimbingan Massal (Bimas). Bimas dijadikan proyek percontohan pada tahun 1964 yang
ditandai dengan dibentuknya Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD)
serta BRI Unit Desa dalam upaya memperluas input produksi dan kredit bagi petani
(Martowijoyo, 2007).
Bimas untuk para petani padi segera diperluas cakupannya untuk jenis usaha pertanian yang
lain seperti tebu, kapas dan juga sektor perikanan. Untuk membantu para petani kecil,
pemerintah pada saat itu mengucurkan program kredit untuk investasi dan modal kerja yang
dinamakan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP).
Untuk segmen usaha mikro di luar pertanian, menteri keuangan pada saat itu memperkenalkan
Kredit Mini dan Kredit Midi yang disalurkan melalui BRI Unit Desa, serta Kredit Candak Kulak
(KCK) yang penyalurannya melalui KUD. Di samping program bantuan subsidi dan kredit
mikro, pemerintah juga mengupayakan terbentuknya sebuah lembaga kredit mandiri di tingkat
desa. Adalah Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) yang didirikan awal periode 1970 untuk
BAB 1: Pendahuluan LKM 5
mengelompokkan lembaga keuangan mikro non-bank yang terdapat di setiap propinsi (Holloh,
2001). LDKP merupakan istilah generik untuk beberapa jenis lembaga kredit dan simpanan
kecil yang ada, sesuai dengan daerah masing-masing, di banyak propinsi. Pada akhir periode
1970an, sebanyak hamper 300 lembaga kredit seperti ini terdapat di Indonesia. Pada saat itu
lembaga-lembaga ini diperlakukan sebagai lembaga keuangan non-bank, dan berdasarkan
Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 tidak memenuhi per syaratan untuk memperoleh
kredit likuiditas dari Bank Indonesia (BI), dan oleh sebab itu dana dari lembaga ini harus
dihimpun dari sumber lain. Lembaga-lembaga ini juga tidak diijinkan untuk memobilisasi dana
dalam bentuk simpanan dan tidak terikat pada aturan suku bunga dari BI, sehingga mereka
dapat menentukan suku bunga sendiri (Arsyad, 2008). Beberapa lembaga ini hingga pada saat
ini masih banyak yang berdiri di Indonesia, diantaranya yang berdiri pada awal periode
tersebut adalah Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat yang
kepemilikannya oleh lembaga adat. Pada periode 1980an berdiri Kredit Usaha Rakyat Kecil
(KURK) di Jawa Timur (Tahun 1984`) dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali. LPD
menjadi lembaga yang cukup unik karena kepemilikannya murni oleh desa adat di Bali,
berbeda dengan lembaga lain yang juga dimiliki oleh Pemerintah Propinsi.
Melalui usaha terprogram dengan memberikan kredit mikro kepada petani, pada periode
1980an akhirnya Indonesia mencapai swasembada beras. Pada periode ini tepatnya sekitar
tahun 1983, dengan melihat peran serta pengalaman BRI Unit Desa dalam menangani kredit
mikro, pemerintah memutuskan mengubahnya menjadi sistem perbankan komersial. Sistem
baru ini memberi keleluasaan kepada BRI Unit Desa guna menerapkan suatu aturan atau
kebijakan yang fleksibel terkait tingkat bunga, baik pada tabungan maupun pinjaman. Pada
tahun 1984 BRI mulai meluncurkan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) yang ditawarkan
melalui jaringan unit desanya diikuti Simpedes (Simpanan Pedesaan) sejak tahun 1985.
Suatu perubahan yang cukup berarti terjadi tahun 1988, melalui Paket Oktober (Pakto) 88,
pemerintah memutuskan semua jenis lembaga keuangan nonbank (diantaranya: BKD, BKK,
LPK, LPN, KURK dan juga LPD) untuk diberikan kesempatan selama jangka waktu dua tahun
untuk berubah menjadi BPR. Peraturan ini cukup menyulitkan lembaga keuangan di pedesaan,
sehingga terbitlah Keputusan Pemerintah Maret 1989 (Pakmar 89) yang memutuskan untuk
menghapus aturan tersebut untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi lembaga kredit
pedesaan dan juga BPR yang berasal dari transformasi lembaga tersebut.
Hingga saat ini berdasarkan Undang-Undang Perbankan tahun 1992 dan Amandemennya
yakni Undang-Undang tahun 1998, ada dua kategori bank di Indonesia yakni Bank Umum dan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Oleh karena adanya Pakto 88, dan Pakmar 89 banyak BPR
yang berasal dari transformasi lembaga kredit pedesaan, sedangkan terdapat juga BPR yang
mengajukan ijin baru dan bukan berasal dari transformasi lembaga kredit pedesaan.
Undang-Undang Perbankan tahun 1998 pasal 58 mengakui keberadaan lembaga kredit
pedesaan, dengan memberikan kesempatan lembaga tersebut untuk berubah menjadi BPR
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya aturan-aturan ini lembaga
kredit pedesaan yang berubah menjadi BPR memiliki cakupan yang lebih luas. Terutama
dengan diperbolehkannya membuka cabang di kota lain dalam satu Propinsi. Peraturan
BAB 1: Pendahuluan LKM 6
Pemerintah No. 7 tahun 1992 yang mengatur pelaksanaan Undang-Undang Perbankan
tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai masalah lembaga kredit pedesaan. Namun
peraturan tersebut memberikan kemudahan bagi banyak lembaga keuangan non-bank untuk
tidak harus berubah menjadi BPR. Sedangkan bagi lembaga yang sudah bertransformasi
menjadi BPR diberikan kemudahan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan BPR
dalam periode waktu lima tahun. Pada saat krisis finansial dan moneter yang melanda
Indonesia tahun 1997 dan 1998 yang dibarengi dengan mundurnya presiden Suharto, lembaga
keuangan bank di Indonesia mengalami kehancuran dan terlilit hutang yang parah, namun
justru bank umum yang memfokuskan usahanya pada kredit mikro dan juga lembaga
keuangan pedesaan tidak terpengaruh banyak oleh krisis tersebut. Hal ini menyebabkan
banyak bank umum baik bank umum nasional maupun campuran dan asing yang mulai serius
menggarap potensi kredit mikro. Bank yang diantaranya menggarap segmen ini adalah Bank
Danamon dengan Danamon Simpan Pinjam (DSP), serta Bukopin dengan program Swamitra.
Periode akhir 1990an ini juga ditandai dengan banyak munculnya bank umum yang memang
mengkhususkan usahanya pada segmen mikro. Walaupun kondisi politik mulai stabil, namun
dengan tidak adanya pemegang kekuasaan pemerintah yang bertahan lama seperti pada
periode Presiden Suharto menyebabkan program pemerintah pada segmen ini hanya
melanjutkan program pemerintahan presiden Suharto. Dalam artian tidak ada program yang
betul betul baru dari pemerintah setelah era Suharto.
Periode tahun 2000an ditandai dengan munculnya jenis lembaga keuangan baru yang
berlandaskan prinsip hukum Islam yakni lembaga syariah. Banyak bank umum yang
membentuk unit syariah ataupun membuat bank baru dengan berlandaskan prinsip syariah.
Prinsip syariah sendiri sebenarnya mirip dengan jenis pembiayaan modal ventura, dengan
sistem pembagian keuntungan bagi hasil, tidak berlandaskan bunga. Pada awal tahun 2000,
pemerintah melalui kementerian terkait membentuk sebuah forum bernama Gerakan Bersama
Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia atau biasa disebut “Gema PKM” yang merupakan
sebuah gerakan yang bertujuan untuk lebih meningkatkan cakupan dan kapitalisasi dana untuk
keuangan mikro. Forum tersebut mendesak BI untuk menerbitkan sebuah peraturan yang
khusus mengatur tentang keberadaan dan pengelolaan lembaga keuangan mikro. Pada tahun
2001, draft Rancangan Undang Undang (RUU) Lembaga Keuangan Mikro diserahkan oleh BI
ke Menteri Keuangan, yang kemudian meneruskannya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
guna disahkan. Namun tidak ada tanda – tanda dari DPR untuk segera mengesahkan aturan
tersebut.
Hal ini membuat BI pada tahun 2003 bersama sebuah lembaga dari Jerman bernama
Promotion of Small Financial Institution (Pro-Fi) yang merupakan rekanan BI dalam mengelola
LKM menerbitkan sebuah kajian dan rumusan tentang pengelolaan dan pengembangan LKM
(Martowijoyo, 2007). Kajian tersebut menyarankan pemerintah untuk menghilangkan segala
sesuatu yang menghambat pengembangan LKM dan menyusun serta menerbitkan peraturan
perundangan yang khusus mengatur tentang keberadaan dan pengelolaan LKM. Saran
tersebut adalah (1) menghilangkan bentuk program bantuan dana bersubsidi dan (2)
melegalkan lembaga keuangan mikro non bank/non koperasi serta memperluas akses
cakupan pelayanan termasuk simpanan atau tabungan dan juga wilayah operasional LKM.
BAB 1: Pendahuluan LKM 7
Upaya ini akhirnya berhasil merumuskan sebuah Rancangan Undang Undang (RUU) tentang
Lembaga Keuangan Mikro pada tahun 2010. Dalam proses pengesahannya RUU ini ternyata
juga banyak ditentang oleh LKM sendiri terutama LKM yang berbasiskan komunitas adat
seperti LPD di Bali, karena dianggap tidak sesuai dengan lembaga tersebut yang berlandaskan
nilai-nilai komunal desa adat di Bali.
Melihat sejarah panjang keuangan mikro tersebut, tidak mengherankan jika terdapat banyak
jenis lembaga keuangan mikro di Indonesia. Pelayanan keuangan mikro tidak hanya
didominasi oleh lembaga namun juga banyak jenis layanan dan bantuan berupa subsidi yang
dikucurkan oleh pemerintah. Hampir setiap pergantian pemerintahan meluncurkan program
yang berbeda kepada masyarakat miskin dan yang berpenghasilan rendah.
Hal ini menyebabkan tumpang tindihnya program, aturan dan juga kewenangan lembaga yang
bergerak di bidang keuangan mikro, dan akhirnya bermuara pada susahnya mengukur dan
mengevaluasi keberhasilan program yang ada. Keadaan ini juga menyebabkan LKM baik yang
berbasiskan desa maupun yang terdapat di perkotaan untuk bisa menjalankan usaha mereka
secara berkesinambungan, dalam arti tingkat keberlangsungan hidup LKM menjadi rendah.
Persaingan yang ketat serta tumpang tindihnya kebijakan membuat banyak LKM yang tidak
mampu bersaing, sehingga harus menghentikan usahanya atau hanya tinggal nama. Sebagai
gambaran di sebuah desa di Propinsi Bali, bisa terdapat lebih dari lima hingga tujuh jenis LKM
maupun bank yang menyasar segmen mikro, diantaranya LPD, KUD, Koperasi Serba Usaha
(KSU) atau Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang didirikan oleh masyarakat, BPR, Teras BRI
(Unit mikro BRI), dan Danamon Simpan Pinjam (DSP). Segmen pasar yang terbatas membuat
membuat tiap LKM harus mampu bersaing, hal yang tentunya amat sulit bagi LKM
konvensional jika harus dihadapkan dengan lembaga modern seperti bank umum dan BPR.
Partisipan keuangan mikro di Indonesia bisa dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama
adalah lembaga atau institusi formal dan non-formal, kelompok kedua merupakan program
keuangan mikro baik yang diadakan oleh pemerintah maupun lembagalembaga donor dalam
dan luar negeri. Ketiga adalah partisipan individu yang biasanya informal, tidak mempunyai
kekuatan hukum dan menjalankan sahanya secara ilegal, dalam kelompok ini termasuk para
pemburu rente seperti rentenir, ijon, gadai ilegal, kelompok arisan, dan lain-lain.
Sulitnya mengelompokkan lembaga keuangan mikro dan jenis layanan keuangan mikro
membuat mapping atau pemetaan, pengawasan serta evaluasi layanan keuangan ini sulit
dilakukan. Tumpang tindihnya aturan, kewenangan dan cakupan luas layanan lembaga
keuangan mikro juga turut memberikan andil dalam sulitnya menerapkan strategi
pengembangan yang tepat untuk LKM. Keadaan ini menyebabkan tingkat keberlangsungan
usaha atau sustainability LKM maupun program keuangan mikro menjadi rendah. Hanya
beberapa LKM yang mampu bertahan dan bersaing baik dengan sesame LKM maupun jenis
layanan perbankan yang lebih modern. Tidak terdapatnya data yang pasti terkait jumlah dan
kondisi lembaga-lembaga ini menyulitkan penulis untuk menyajikan keakuratan terkait jumlah
BAB 1: Pendahuluan LKM 8
lembaga ini. Banyak lembaga yang berada dibawah pembinaan pemerintah propinsi, namun
tidak ada data yang pasti dari tiap pemerintah daerah terkait keberadaan lembaga keuangan
mikro di daerah nya. Hanya Lembaga keuangan mikro seperti LPD di Bali yang sudah memiliki
data dan kondisi keuangan yang terekam dengan baik. Ironisnya, justru riset dan proyek dari
institusi asing yang dijadikan acuan dalam memprediksi jumlah serta keberadaan LKM di
Indonesia. Proyek riset ini bersifat musiman, atau tidak secara periodic memantau keberadaan
LKM di Indonesia sehingga keberlanjutan data dan informasi amat susah ditemui. Dalam
memperjelas pemahaman dan wawasan kita terkait LKM, berikut akan dipaparkan beberapa
jenis LKM yang ada di Indonesia. Paparan akan difokuskan pada LKM yang beroperasi di
tingkat Kecamatan dan pedesaan, karena jenis LKM ini yang bersentuhan langsung dengan
kelompok pemerintahan paling kecil yakni Desa.
Badan Kredit Desa atau BKD memiliki sejarah yang panjang. Dapat dikatakan bahwa BKD
merupakan salah satu LKM formal yang pertama kali berdiri di Indonesia. Berdirinya BKD tidak
dapat dipisahkan dari berdirinya AVB (Algemene Volkerediet Bank) yang kemudian menjadi
BRI pada sekitar tahun 1896. Sejarah BKD diawali dengan berdirinya Lumbung Desa di daerah
Banyumas karena terjadinya paceklik dan gagal panen. LKM ini mengalami sejarah yang
panjang dengan berbagai perubahan nama dan regulasi. Saat ini BKD hanya tersisa di pulau
Jawa, walaupun sempat tersebar ke wilayah lain di Indonesia. BKD merupakan sebuah
lembaga keuangan milik desa dengan pejabat desa berperan dalam manajemennya.
Pengawasan dan supervisi dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI). Lembaga ini
menyalurkan kredit berdurasi pendek, biasanya tiga sampai empat bulan. Dana biasanya
didapat dari sistem simpanan wajib peminjam dan juga pinjaman lunak dari BRI. Dari data
yang dirilis oleh RENDEV Project tahun 2009 (Adra dkk, 2009), terdapat 5.345 BKD di seluruh
Indonesia. Saat ini BKD paling banyak terdapat di Propinsi Jawa Timur (2.495 lembaga), Jawa
Tengah (1.357 lembaga), DIY Yogyakarta (766 lembaga) dan sebagian kecil di Jawa Barat
(727 lembaga).
Istilah Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) dicetuskan sejak era tahun 1980an oleh
Pemerintah Indonesia dalam upaya mengelompokkan lembaga keuangan mikro non-bank
yang banyak beroperasi di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa sejak masa
tahun 1970an. Kebijakan ini juga dimaksudkan guna membedakan lembaga kredit berbasis
desa dengan bank unit desa serta lembaga perkreditan berbasis desa yang sudah lama ada di
Jawa. LDKP ini mengacu pada banyak jenis lembaga keuangan mikro dengan nama berbeda
di berbagai wilayah Indonesia. Data RENDEV Project tahun 2009 menyebutkan jumlah LDKP
di Indonesia sebanyak 2.001 buah lembaga dengan yang terbanyak ada di Propinsi Bali
berupa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) (Adra dkk, 2009).
Dengan banyak munculnya lembaga kredit mikro yang masuk kelompok LDKP, menjadi cukup
sulit dalam mengidentifikasi jenis lembaga ini, karena di setiap daerah dimunculkan istilah yang
BAB 1: Pendahuluan LKM 9
berbeda. Lembaga dengan berbasiskan adat muncul di Propinsi Bali dan Sumatera Barat,
sedangkan lembaga sejenis di Propinsi yang lain banyak yang berbasiskan kecamatan. Berikut
akan dipaparkan beberapa lembaga keuangan mikro yang masuk dalam jenis LDKP, baik yang
berbasiskan desa, desa adat maupun kecamatan.
Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan, Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat serta Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera
Barat, merupakan beberapa LDKP awal yang berdiri sekitar tahun 1970an. Setelah pertemuan
yang digelar oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun 1984, barulah mulai bermunculan lembaga
sejenis di daerah lain, semisal Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, BKK di Bengkulu,
Riau, Kalimantan Selatan, dan Aceh.
Badan Kredit Kecamatan beroperasi pada wilayah kecamatan, dengan supervisi dan
pengelolaan berada dibawah pemerintah provinsi. Pada tahun 1990 banyak BKK yang berubah
menjadi BPR, dengan adanya peraturan dari Menteri Keuangan dan Bank Indonesia. Namun
saat ini masih terdapat banyak BKK yang masih beroperasi sesuai dengan keberadaan
awalnya. BKK merupakan lembaga keuangan dengan status Perusahaan Daerah sesuai
dengan Perda Jateng No.19 tahun 2002. Pengawasan juga dilakukan oleh Bank
Pembangunan Daerah di tiap Propinsi. Pengelolaan BKK dilakukan oleh Pemerintah Propinsi
dan approval pinjaman harus melalui Camat.
Jenis produk yang ditawarkan adalah pinjaman dan simpanan yang awalnya hanya berupa
simpanan wajib yang diambil dari presentase dari pinjaman. Seiring dengan waktu, BKK mulai
memperkenalkan simpanan sukarela (tabungan) yang diberi nama Tamades (Tabungan
Masyarakat Desa). Selain mengumpulkan dana dari simpanan pihak ketiga, dana juga didapat
dari pemerintah propinsi melalui Bank Pembangunan Daerah. Pinjaman yang diberikan
berdurasi mingguan, bulanan dan maksimal adalah satu tahun.
Lembaga Perkreditan Kecamatan terdapat di Jawa Barat. Wilayah Operasional lembaga ini
sama dengan BKK, dengan pola kepemilikan yang sedikit berbeda. Kepemilikan LPK adalah
55% Pemerintah Provinsi dan 45% Pemerintah Kabupaten. LPK memiliki sejarah yang
panjang, dimana pendiriannya dimulai tahun 1973 dengan peraturan pemerintah No.446 tahun
1973. Pada tahun 1992 regulasi Perbankan mengharuskan LDKP berubah menjadi BPR
dengan tenggang waktu hingga tahun 1997.
Pada saat itu banyak LPK yang berubah menjadi BPR dengan dukungan dana dari pemerintah
Provinsi, Kabupaten serta Bank Pembangunan Daerah. Namun tidak semua LPK bisa
ditingkatkan menjadi BPR karena masih banyak LPK yang terkendala masalah permodalan
dan manajemen. Pengelolaan LPK sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten dengan dibantu oleh BPD. Walaupun laporan keuangan LPK ilaporkan ke BPD,
BAB 1: Pendahuluan LKM 10
pengawasan dan supervisi tidak dilakukan oleh BPD, namun melalui sebuah komite yang
beranggotakan perwakilan dari pemerintah dan juga BPD. Permodalan disamping dari
pemerintah, juga didapatkan melalui simpanan wajib. LPK tidak diperkenankan untuk
mengumpulkan dana dari tabungan sukarela. Pinjaman diberikan hanya kepada anggota
dengan melalui rekomendasi pejabat desa dan kecamatan. Pinjaman juga bersifat tanpa
jaminan (collateral free) dengan sanksi atau denda bagi keterlambatan cicilan.
Lembaga ini terdapat di Propinsi Sumatera Barat. LPN merupakan lembaga keuangan milik
desa adat yang disebut nagari dan hanya ada di daerah Padang Pariaman. Pada jaman
kolonial Belanda sebenarnya sudah terdapat sebuah lembaga keuangan di daerah tersebut
yakni Bank Nagari, namun keberadaannya tidaklah lama. Bank Pembangunan Daerah
Sumatera Barat merubah namanya menjadi Bank Nagari dan berdiri sejak tahun 1962.
Lumbung Pitih Nagari diprakarsai pendiriannya sekitar tahun 1972 oleh Pemerintah
Propinsi Sumatera Barat (Sumbar) dengan maksud untuk memperkuat struktur ekonomi
masyarakat pedesaan. Seperti jenis LDKP yang lain, pada saat Pakto 88, banyak LPN yang
berubah menjadi BPR sesuai dengan ketentuan dari Pemerintah dan Bank Indonesia.
Lembaga keuangan ini berkembang dari tradisi udaya anak nagari masyarakat Minangkabau
sejak dahulu yaitu julo-julo atau gotong royong. Lumbung padi dan lumbung pitih yang awal
mulanya hanya diperuntukkan untuk sanak famili dan keluarga kemudian berkembang menjadi
suatu kegiatan ekonomi di tingkat “kenagarian” berupa aktifitas simpan pinjam dana (Oman,
1995).
Model organisasi LPN adalah meniru model koperasi dimana masyarakat yang ingin menjadi
anggota harus menyetorkan sejumlah dana untuk simpanan wajib. Manajemen LPN direkrut
dari anggota masyarakat desa dengan pengendalian internal dilakukan oleh pengurus LPN.
Pengurus desa tidak bertanggung jawab dalam pengawasan LPN. Supervisi dan pengawasan
eksternal dilakukan oleh Pemerintah Propinsi dengan pendampingan dari Bank Pembangunan
Daerah.
Lembaga ini juga merupakan sebuah lembaga keuangan milik desa adat, sama dengan LPN
yang ada di Sumatera Barat. Lembaga ini berdiri sejak tahun 1985, dan hingga saat ini sudah
mencapai jumlah 1.422 buah. Lembaga Perkreditan Desa di Bali merupakan lembaga
keuangan mikro yang paling sukses di Indonesia. Keberhasilan program ini karena dukungan
penuh dari Pemerintah Propinsi Bali dan kuatnya kesatuan masyarakat adat di Bali.
Sejarah LPD sendiri dimulai tahun 1985, dengan dicetuskannya sebuah pilot project dengan
jangka waktu tiga tahun, sejak Maret 1985 hingga Maret 1988. Pada saat itu sebagai langkah
awal, Pemerintah Propinsi Bali mendirikan 161 buah LPD dengan modal awal Rp 2 juta. Tahun
1986 pemerintah propinsi menerbitkan peraturan terkait desa adat yang memberikan
kewenangan kepada desa adat untuk melakukan pengelolaan aset melalui organisasi mereka
BAB 1: Pendahuluan LKM 11
sendiri. Upaya Bank Indonesia untuk mendorong LPD berubah menjadi BPR mendapat
penolakan dari masyarakat di Bali, disamping itu BI juga mempertimbangkan banyaknya
jumlah LPD yang mesti diawasi, sehingga akhirnya BI memberikan persetujuan dengan
memutuskan bahwa LPD merupakan lembaga keuangan non bank yang khusus beroperasi di
wilayah Bali. Dalam Undang-undang No.1 tahun 2013 tentang LKM, keberadaan LPD diakui
sebagai sebuah lembaga keuangan berbasis adat, sehingga tidak dimasukkan sebagai LKM
yang diatur dalam peraturan tersebut. Saat ini peraturan yang mengatur tentang LPD adalah
Peraturan Daerah Propinsi Bali No.8 tahun 2002 dan mengalami perubahan melalui Perda
Nomer 3 tahun 2007.
Pengelolaan LPD sepenuhnya dilakukan oleh desa adat, dengan pembinaan dan pengawasan
dilakukan oleh pemerintah propinsi dan BPD. Dalam suatu wilayah desa di Propinsi Bali
terdapat dua sistem pemerintahan yang berbeda dan kadang saling tumpang tindih.
Pemerintahan formal yang berada dalam struktur adalah desa dinas dengan dikepalai oleh
seorang kepala desa dan desa adat yang dikepalai oleh seorang “bendesa adat” dengan
dibantu oleh “prajuru adat” (Nurcahya, 2006).
Masing-masing jenis pemerintahan ini mempunyai perangkat sendiri, dimana bendesa adat
dipilih oleh paruman desa yakni sebuah musyawarah tingkat desa. Bendesa sebagai seorang
chairman dalam mengelola LPD biasanya mengangkat seorang kepala LPD atau manajer
melalui musyawarah desa, dengan organisasi yang terpisah dari kepengurusan bendesa,
namun bertanggung jawab langsung kepada paruman adat. Bendesa bertugas sebagai
pengawas internal dalam pengelolaan LPD. Simpanan dan pinjaman LPD hanya di
perbolehkan kepada anggota desa adat. Jumlah simpanan baik tabungan maupun deposito
tidak dibatasi, namun biasanya jumlah pinjaman disesuaikan dengan likwiditas LPD dan ada
nya collateral atau jaminan. Dana yang di himpun oleh LPD boleh berasal dari lembaga
keuangan lain namun jumlahnya dibat asi (Ramantha, 2006).
Selain lembaga yang dipaparkan sebelum nya, masih terdapat beberapa LDKP di Indonesia
yang keberadaannya banyak yang tidak tercatat secara resmi. Lembaga tersebut diantaranya
adalah Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Yogyakarta, Lembaga Pembiayaan Usaha
Kecil (LPUK) di Kalimantan Selatan, Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat,
Lembaga Kredit Kecamatan di Aceh.
BAB 1: Pendahuluan LKM 12
Lembaga ini merupakan lembaga keuangan mikro yang berdasarkan prinsip syariah dan
berlandaskan ajaran Islam. Secara etimologis Baitul Maal wat Tamwil terdiri dari dua arti yakni
Baitul Maal yang berarti “rumah uang” dan Baitul Tamwil dengan pengertian “rumah
pembiayaan”. Rumah uang dalam artian ini adalah pengumpulan dana yang berasal dari infaq,
zakat, ataupun shodaqah, dan pembiayaan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip bagi
hasil, yang berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang mendasarkan pada sistem
bunga.
Sejarah keberadaan BMT di Indonesia tidak lepas dari dibentuknya Yayasan Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil (YINBUK). Yayasan ini dibentuk sekitar bulan Maret tahun 1995 melalui prakarsa
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) beserta Bank
Muamalat yang merupakan bank pertama di Indonesia dengan prinsip syariah. Dalam susunan
dewan pendiri tercatat nama B.J. Habibie, mantan presiden Indonesia. YINBUK kemudian
membentuk Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) (Irwan, 2006).
Pendirian PINBUK dimaksudkan sebagai sarana operasional untuk menyalurkan dana yang
dihimpun oleh YINBUK. Institusi inilah yang kemudian memprakarsai pembentukan BMT di
Indonesia, dengan juga melakukan pembinaan, monitoring, evaluasi hingga perlindungan
dalam legal status, karena status BMT yang pada saat itu belum jelas. Pada bulan Desember
1995, Presiden Suharto mendeklarasikan BMT sebagai sebuah gerakan nasional untuk
pemberdayaan usaha kecil, dan di tahun tersebut BI juga mengijinkan BMT sebagai lembaga
yang dapat diberikan bantuan pendanaan dan masuk dalam program linkage dengan bank
umum. Secara operasional BMT dijalankan dengan organisasi seperti koperasi. Keanggotaan
awal minimal 20 orang anggota. Baitul Maal memiliki prinsip sebagai penghimpun dan penyalur
dana zakat, infaq dan shadaqah, dalam arti bahwa Baitul Maal hanya bersifat “menunggu”
kesadaran umat untuk menyalurkan dana zakat, infaq dan shadaqahnya saja tanpa ada
sesuatu kekuatan untuk melakukan pengambilan ataupun pemungutan secara langsung
kepada mereka yang sudah memenuhi kewajiban tersebut. Selain sumber dana tersebut BMT
juga menerima dana berupa sumbangan, hibah, ataupun wakaf serta sumber -sumber dana
yang bersifat sosial.
Penyaluran dana-dana yang bersumber dari dana-dana Baitul Maal harus bersifat spesifik,
terutama dana yang bersumber dari zakat, karena dana dari zakat ini sarana penyalurannya
sudah ditetapkan secara tegas dalam AI-Qur’an yaitu kepada delapan ashnaf antara lain: faqir
miskin, amilin, mu’alaf, fisabilillah, gharamin, hambu sahaya, dan musafir. Sedangkan dana di
luar zakat dapat digunakan untuk pengembangan usaha orangorang miskin, pembangunan
lembaga pendidikan, masjid maupun biaya-biaya operasional kegiatan social lainnya. Ada tiga
prinsip yang dapat dilaksanakan oleh BMT (dalam fungsinya sebagai Baitut Tamwil), yaitu (1)
prinsip bagi hasil, (2) prinsip jual beli dengan keuntungan, (3) prinsip non-profit (Wardiwiryono,
2012). Saat ini keberadaan BMT sudah mencakup seluruh wilayah Indonesia, dengan populasi
terbanyak berada di Pulau Jawa. Selain di Pulau Jawa, konsentrasi populasi BMT yang cukup
besar terdapat di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Data dari RENDEV Project
menyebutkan sebanyak 2.025 BMT-YINBUK terdapat di Indonesia. Dari jumlah tersebut sekitar
72% atau 1.456 lembaga berada di Pulau Jawa (Adriani, 2005).
BAB 1: Pendahuluan LKM 13
Semenjak disahkannya UU No. 1 tahun 2013, BMT diklasifikasikan sebagai LKM yang harus
mengikuti aturan dalam perundang an tersebut. Hal ini memberikan status legal yang sudah
lama dinantikan oleh BMT.
Pada awal tahun 2013, yakni tanggal 8 Januari, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan
Undang Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Sebelumnya melalui
pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang LKM, Pemerintah banyak menuai
kritikan untuk merubah beberapa substansi dari RUU tersebut yang ditolak oleh beberapa
pihak. Penolakan bermuara dari disamakannya status LKM yang berdasarkan aturan adat
dengan yang tidak. Lembaga keuangan seperti LPD dan LPN tidak setuju jika lembaga ini
harus tunduk kepada aturan dalam RUU tersebut. Sebuah desa adat adalah sebuah kesatuan
pemerintahan yang otonom, sehingga ditakutkan peraturan ini akan mengurangi kewenangan
desa adat dalam pengelolaan lembaga keuangan yang dimilikinya. Aspirasi ini akhirnya
diterima oleh DPR dan pemerintah dengan mengecualikan lembaga keuangan mikro milik desa
adat dalam peraturan tersebut. Peraturan ini juga membedakan antara kegiatan keuangan
konvensional dengan yang bersifat syariah, sehingga keberadaan LKM berbasis syariah
seperti BMT dapat diakomodasi.
Dalam peraturan ini antara lain diatur mengenai bentuk hukum dari LKM yakni koperasi atau
perseroan terbatas. Izin usaha untuk LKM dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Peraturan ini memberikan kewenangan penuh kepada OJK dalam perizinan, pengaturan serta
pengawasan LKM. Sebelumnya dalam RUU yang diajukan pemerintah, disebutkan bahwa
lembaga yang mengatur dan mengawasi LKM adalah Pemda Tingkat II.
Kewenangan yang dimiliki oleh OJK dalam pengawasan LKM dirasa amat tepat karena OJK
memiliki kapabilitas dan aksesibilitas. Lembaga OJK yang juga memiliki kewenangan dalam
pengawasan perbankan tentunya akan menyinergikan aktifitas pengawasannya dengan LKM.
Sinergi ini penting dalam mengawasi lalu lintas transaksi keuangan baik itu melalui perbankan
maupun LKM.
Harapan dari DPR serta pemerintah adalah LKM di Indonesia dapat menjadi salah satu pilar
dalam proses intermediasi keuangan terutama bagi usaha mikro, kecil dan menengah. LKM
BAB 1: Pendahuluan LKM 14
juga diharapkan dapat meningkatkan financial inclusion, sehingga semua lapisan masyarakat
dapat memiliki akses terhadap jasa layanan keuangan. Karakteristik masyarakat Indonesia
yang bersifat komunal atau gotong royong amat sesuai dengan ciri dari LKM yang merupakan
sebuah community bank.
Pelaksanaan dari peraturan ini ditetapkan dua tahun sejak mulai diundangkan. Permohonan
ijin usaha kepada OJK harus dilakukan oleh LKM yang sudah beroperasi terhitung satu tahun
semenjak aturan ini diundangkan. Hal ini dilakukan untuk memberikan tenggang waktu bagi
LKM dalam mengadaptasi kegiatan nya dengan aturan yang berlaku. Segala hal yang belum
diatur oleh peraturan ini, termasuk masalah permodalan, manajemen, dan lain-lain akan diatur
melalui peraturan otoritas jasa keuangan.
Sistem ini dirasa cukup efektif untuk menyusun peraturan yang sesuai dengan kondisi yang
terjadi setiap waktu. Industri jasa keuangan merupakan industri yang amat rentan terhadap
gejolak ekonomi yang terjadi baik nasional, regional maupun internasional.
Referensi:
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/04/27/192057526/usaha.mikro.dan.kecil.wajah.sesung
guhnya.ekonomi.indonesia.
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DI INDONESIA, I Gde Kajeng Baskara Jurnal Buletin Studi
Ekonomi, Vol. 18, 114 No. 2, Agustus 2013
Arsyad, Lincoln. 2008. Lembaga Keuangan Mikro, Institusi, Kinerja dan Sustainabilitas.
Penerbit Andi Yogyakarta
BAB 1: Pendahuluan LKM 15
BAB 2: LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM UMKM
Usaha Menengan, Kecil dan Mikro (UMKM) merupakan salah satu tulang punggung
perekonomian Indonesia. Dalam kondisi perekomonian yang sedang terkena dampak resesi
ekonomi atau krisis keuangan global, sebagian besar usaha yang dapat selamat dalam
menghadapi krisis adalah usaha yang masuk dalam kategori UMKM. Sedangkan usaha yang
masuk dalam ketegori usaha besar justru rapuh karena ketergantungan mereka kepada
perekonomian dunia. Begitu perekonomian dunia dalam kondisi yang kurang sehat atau
bahkan krisis, usaha dalam skala besar tersebut langsung terkena imbasnya.
Berbeda dengan usaha mikro yang cukup dapat bertahan dalam masa-masa krisis keuanagn
yang bersifat global. Untuk itu,u usaha kecil dan mikro ini tentunya membutuhkan perhatian
yang tidak kalah serius terutama dalam usaha untuk meningkatkan jumlahnya, sehingga dapat
semakin meningkatkan perekonomian Indonesia secara lebih luas baik dalam segi asset
maupun dari segi keberlangsungan (sustainability).
1.2 Pendahuluan
Sumber pembiayaan UMKM berasal dari berbagai lembaga, yakni perbankan dan non
perbankan, seperti pasar saham, pemerintah, modal ventura, dan pelepas uang. Perbankan
merupakan lembaga yang mempunyai posisi strategis dalam pembiayaan dunia usaha karena
bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi, disamping sebagai lembaga pembiayaan juga
penarik uang masyarakat. Perbankan dalam operasionalnya diawasi langsung oleh Bank
Indonesia karena menyangkut pada sistem moneter.
Kebijakan moneter yang bertujuan mempengaruhi suku bunga, secara langsung, berkaitan
dengan perbankan. Apabila otoritas bank sentral sebagai pengemban fungsi moneter
mengeluarkan kebijakan konstraksi moneter akan menyebabkan naiknya suku bunga
perbankan dan sebaliknya kebijakan ekspansi moneter menurunkan suku bunga perbankan.
Pertumbuhan total kredit UMKM pada tahun 2007 menunjukkan kenaikan sebesar 23%. Bank
Swasta Nasional tercatat sebagai pemberi kredit UMKM terbesar dengan proporsi sebesar
47% dari total keseluruhan kredit UMKM. Sedangkan untuk penggunaannya, kredit tersebut
lebih banyak digunakan untuk konsumsi dengan proporsi sebesar 50% dari total kredit, lalu
diiukuti untuk penggunaan modal kerja sebesar 41%, kemudian untuk keperluan investasi
sebesar 9% (lihat Tabel 3).
Untuk mengoptimalkan pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK) oleh bank-bank kepada usaha
kecil, Bank Indonesia bersama dengan perbankan selama ini telah menempuh tiga strategi
dasar sebagai berikut: Pertama, penerapan batas minimum pemberian kredit sebesar 20%
dari keseluruhan kredit bagi semua bank, sesuai dengan ketentuan Paket Kebijakan Januari
(Pakjan) 1990 serta penyediaan fasilitas kredit likuiditas untuk membiayai sektor yang menjadi
prioritas yaitu pengembangan koperasi, pengadaan pangan dan pemilikan rumah sederhana.
Hal ini dilaksanakan dalam pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk Kredit
Usaha Tani (KUT), Kredit Koperasi Unit Desa (KKUD), Kredit Ketahanan Pangan Agribisnis
(KKPA) dan Bulog.
Peningkatan pembiayaan UMKM akan efektif paling tidak harus disertai strategi yang
mencakup: 1) penguatan iklim usaha dan iklim investasi yang kondusif, 2) peningkatan
kemampuan kewirausahaan dan kegiatan usaha, 3) penguatan sektor keuangan khususnya
perbankan dalam masalah pembiayaan, 4) pengembangan perangkat penunjang bagi
peningkatan layanan pembiayaan, 5) peningkatan peran layanan KSP/USP koperasi dan
Lembaga Keuangan Mikro. Mengacu pada strategi pengembangan pembiayaan, terdapat
implementasi program-program kegiatan pemberdayaan UMKM. Penguatan iklim usaha dan
iklim investasi yang kondusif. Penguatan iklim usaha dan investasi yang kondusif dapat
dilakukan melalui perbaikan tata kelembagaan UMKM dan perumusan kebijakan UMKM dan
implementasinya, perbaikan kerangka pengaturan di tingkat nasional maupun daerah,
peningkatan akses UMKM dan stakeholder terkait akses informasi. Lingkungan usaha yang
tidak kondusif dari pengalaman selama ini telah mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang
menimbulkan inefisiensi. Selain penciptaan lingkungan yang kondusif, program pengembangan
UMKM hendaknya diarahkan pada program pengembangan yang berorientasi pasar, yang
didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan kebutuhan riil UMKM (market oriented, demand
driven program), yang akan menghasilkan pertumbuhan produktivitas UMKM secara
berkelanjutan, dan akan mendorong pertumbuhan UMKM yang berkelanjutan. Sedangkan
implementasi program-program pemberdayaan UMKM memuat kegiatan-kegiatan pokok
sebagai berikut:
Menindaklanjuti komitmen pemerintah agar performa kredit usaha kecil dan menengah
meningkat, BI pada tanggal 2 April 2007 akhirnya mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
(PBI), yang intinya memperlonggar sejumlah persyaratan kredit perbankan bagi UKM.
Pelonggaran meliputi tiga hal, yaitu:
1) ketentuan kredit bagi UKM dipermudah, bila selama ini kredit pada UKM harus
memenuhi tiga syarat, yaitu prospek industri, sisi balanced, dan kemampuan
membayar, maka kini dua persyaratan dihilangkan tinggal satu persyaratan yaitu
kemampuan membayar;
2) pelonggaran mengenai pemberian kredit bagi perusahaan yang bermasalah, yaitu
bila perusahaan bermasalah bukan karena kesengajaan tapi akibat situasi makro dan
eksternal perusahaan misalnya terjadinya bencana alam, maka perusahaan tersebut
boleh mendapat kredit;
3) kemudahan bagi perusahaan yang berada dalam induk perusahaan (holding)
bermasalah, tetapi unit perusahaan dinilai sehat dan tak bermasalah, maka dapat
diberikan kredit.
a. Penyediaan kemudahan dan pembinaan dalam memulai usaha, termasuk dalam perizinan,
lokasi usaha, dan perlindungan usaha dari pungutan informal;
b. Penyediaan skim-skim pembiayaan altematif tanpa mendistorsi pasar, seperti sistem bagi
hasil dari dana bergulir, sistem tanggung renteng, atau jaminan tokoh masyarakat
setempat sebagai pengganti agunan;
c. Penyelenggaraan dukungan teknis dan pendanaan yang bersumber dari berbagai instansi
pusat, daerah, dan BUMN yang lebih terkoordinasi, profesional, dan institusional;
c) Pemberian kepastian status badan hukum, kemudahan dalam perizinan, insentif untuk
pembentukan sistem jaringan antar LKM dan antara LKM dan bank;
d) Perluasan sumber pembiayaan bagi koperasi dan UMKM, khususnya skim kredit investasi
bagi koperasi dan UMKM dan peningkatan peran lembaga keuangan bukan bank, disertai
dengan pengembangan jaringan informasinya;
h) Pengembangan dan revitalisasi unit pelatihan dan penelitian dan pengembangan (litbang)
teknis dan informasi milik berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah untuk berperan
sebagai lembaga pengembangan usaha bagi UMKM; dan
i) Dukungan terhadap upaya penguatan jaringan pasar produk UMKM dan anggota koperasi.
Peningkatan peran Lembaga Keuangan Mikro dan Layanan KSP/USP Koperasi. Lembaga
Keuangan Mikro (LKM atau microfinance) keberadaannya sangat dibutuhkan bagi masyarakat
sekitarnya untuk keperluan konsumtif maupun UMKM untuk usaha produktif yang relatif tidak
bisa menjangkau lembaga keuangan formal. Lembaga keuangan mikro jenisnya
bermacammacam, ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat,
program pemerintah atau sasaran lainnya.
Secara umum, lembaga keuangan mikro di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis,
yaitu formal dan informal. Lembaga keuangan mikro formal terdiri dari bank seperti Bank
Kredit Desa (BKD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), BRI unit dan non bank seperti Lembaga
Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam
(USP) Koperasi/KUD, dan Pegadaian. Adapun lembaga keuangan mikro non formal antara lain
berbagai kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wa
Tanwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Mandiri (LPEM), Unit Ekonomi Desa Simpan
Pinjam (UESDP), dan berbagai bentuk kelompok lainnya.
Studi Kasus
Sektor Usaha Mikro Dinilai Miliki Daya Tahan Cukup Kuat Dalam Menghadapi Krisis
Kalangan perbankan menilai, sektor usaha mikro memiliki daya tahan yang cukup kuat dalam
menghadapi krisis. Hal itu bisa menjadi daya tarik perbankan untuk fokus dalam pembiayaan di
sektor usaha tersebut, karena akan mempengaruhi stabilitas usaha perbankan itu sendiri.
Regional Head PT Bank Mega Syariah Regional Bandung (Jawa Barat-Banten-Jawa Tengah),
Marlon Dragonza, menilai, beberapa perbankan yang fokus pada pembiayaan sektor usaha
mikro pada saat krisis moneter akhir 1990 lalu, usahanya berjalan relatif stabil. Hal itu berbeda
dengan perbankan yang fokus pada sektor korporasi, dimana stabilitas usahanya menjadi
goyah.
"Salah satu karakteristik perekonomian kita adalah konsumsi dalam negerinya kuat. Saat krisis
moneter lalu, kita juga terbantu oleh konsumsi domestik yang kuat itu, dan di sisi lain, pasaran
sektor mikro ditujukan kepada pasar dalam negeri. Oleh sebab itu, bank seperti BRI yang fokus
pada usaha mikro bisa bertahan cukup kokoh pada masa itu," ujarnya di sela-sela aksi gerak
jalan PT Bank Mega Syariah bertajuk Bandung Green Clean, Jl. RE Martadinata, Rabu (16/1).
Pertumbuhan sektor mikro yang dinilainya positif itu juga tercermin dari pertumbuhan
pembiayaan PT Bank Mega Syariah untuk sektor mikro. Dia menyebutkan, penyaluran kredit
mikro sekaligus pegadaian tumbuh sebesar 15% pada 2012. Menurutnya, pertumbuhan kredit
mikro sekaligus pegadaian PT Bank Mega Syariah pada akhir tahun 2012 mencapai sekitar Rp
720 miliar. Mengomentari tingkat non performing loan (NPL) dia menyebutkan tingkatnya
masih di bawah standar maksimum NPL untuk sektor mikro sebesar 4%. "Untuk NPL, masih
dalam batas yang aman hingga saat ini. Durability sektor mikro cukup kuat, karena ditunjang
konsumsi dalam negeri yang juga kuat," katanya. Dia menyebutkan beberapa debiturnya di
sektor mikro berasal dari beragam jenis usaha, seperti pedagang di pasar tradisional, sentra
industri rajutan, nelayan, hingga perkebunan bawang. "Pembiayaan kami cukup merata di
semua sektor. Soalnya, kami memang membuat aturan, bahwa pembiayaan di setiap sektor
tidak boleh melebihi 20% dari keseluruhan portofolio. Hal itu mengantisipasi bila ada suatu
sektor yang kolaps dan memberi pengaruh juga ke kami," katanya.
Untuk penambahan tenaga kerja, dia menyebutkan, akan ada penambahan tenaga kerja
dengan spesialisasi account officer sekitar 3-4 orang di setiap kantor cabang dan kantor
cabang pembantu. Penambahan tenaga kerja itu dikhususkan untuk menangani sektor usaha
mikro.
Sementara itu, dalam rangkaian Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PT Bank Mega
Syariah pada 13-16 Januari, diadakan pula aksi gerak jalan di sepajang Dago, Rabu (16/1).
Aksi gerak jalan yang bertajuk Bandung Green Clean itu diiringi pula dengan kegiatan
bersih-bersih sampah oleh seluruh karyawan PT Bank Mega Syariah yang berpartisipasi dalam
kegiatan tersebut. Jumlah karyawan yang berpartisipasi sebanyak 210 orang. Mereka terdiri
dari pimpinan wilayah, pimpinan cabang, hingga direksi PT Bank Mega Syariah di seluruh
Indonesia. Marlon mengatakan, isu utama yang ada dalam Mukernas PT Bank Mega Syariah
adalah merancang langkah bisnis pada tahun ini. "Pada tahun 2012, profitabilitas kami
meningkat 300% dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam kerangka itu, kami merancang
langkah usaha agar bisa lebih berkembang lagi pada tahun ini," ujarnya.
Kalau perbankan besar seperting Bank Mega tersebut dengan sunggu-sungguh dalam
menggarap pasar pengusaha mikro, bagaimana dengan Lembaga Keuangan Mikro sendiri
dalam menggarap target atau sasaran utama mereka yaitu pengusaha mikro? Kemudian,
dalam perkembangannya, apakah tingkat pertumbuhan kredit mikro sampai saat ini juga masih
menjanjikan?
Kasus Aplikatif
MUMBAI. Sekitar 60 hingga 70 lembaga keuangan mikro (LKM) di India terancam tutup karena
kesulitan likuiditas dan potensi kredit macet yang semakin membengkak. Jumlah LKM yang
terancam tutup itu mencerminkan 25% dari total LKM di India yang mencapai 260 perusahaan.
"Tutupnya lembaga keuangan mikro ini bakal menghancurkan para debitur miskin yang tinggal
di pelosok-pelosok," kata Srinivasan. Maklum, masyarakat miskin di perdesaan sangat
tergantung pada LKM karena mereka tidak bisa mendapatkan pinjaman dari perbankan.
Berkaca dari kasus di atas, tentunya Indonesia tidak bersedia menerima nasib yang sama.
Bagaimana peran pemerintah dalam usahanya memajukan pertumbuhan Lembaga Keuangan
Mikro?
Referensi:
https://www.researchgate.net/publication/319272221_Strategi_Pengembangan_Pembiayaan_
Usaha_Mikro_Kecil_Dan_Menengah_UMKM_Di_Indonesia
http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2013/01/16/219225/sektor-usaha-mikro-dinilai-miliki-da
ya-tahan-cukup-kuat-dalam-menghadapi
Sebagai sebuah lembaga keuangan, tentunya Lembaga Keuangan Mikro dibentuk dan
dibangun menggunakan kaidah-kaidah yang sesuai dengan perkembangan jaman tentang
bagaimana membuat sebuah organisasi keuangan. Sehingga dalam organisasi yang dibangun
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, pengurus maupun pemilik modal, yaitu sebuah unit
usaha yang mempunyai pengelokaan yang baik, efektif, efisien dan akuntabel.
Untuk itu pada bagian ini akan disampaikan mengenai bagaimana mendesain lembaga
keuangan mikro. Aspek yang dibahas dalam mendesain Lembaga Keuangan Mikro dimulai
dari aspek demografi, aspek, sumber daya manusia, aspek perizinan sampai aspek
permodalan dan investor.
Diharapkan setelah membahas bab ini, pembaca dapat memperoleh gambaran yang lebih
dalam mengenai Lembaga Keuangan Mikro dalam aspek pengelolaan organisasi, mulai dari
pendirian lembaga, organisasi dan operasional perusahaan sampai aspek keuangan dan juga
pelayanan kepada nasabah atau pengguna jasa keuangan Lembaga Keuangan Mikro.
Microfinance atau keuangan mikro, jika dilihat dari institusi yang menjalankan aktivitasnya
disebut dengan istilah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM memiliki komitmen untuk
melayani masyarakat yang selama ini diabaikan oleh sektor perbankan formal. Perkembangan
sektor keuangan mikro didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat miskin memiliki kapasitas
Tujuan dari pengembangan LKM sebagai organisasi adalah untuk melayani kebutuhan
keuangan pasar yang belum terlayani. Menurut Ledgerwood (1999), Tujuan utama dari LKM
secara umum mencakup:
Untuk mengurangi kemiskinan
Untuk memberdayakan perempuan atau kelompok-kelompok penduduk yang kurang
beruntung
Untuk menciptakan lapangan kerja
Untuk membantu pertumbuhan bisnis atau keragaman aktivitas mereka
Untuk mendorong pengembangan bisnis baru.
Dalam penelitian Bank Dunia, pinjaman yang dilakukan pada aktivitas LKM, memiliki tiga tujuan
(Webster, Riopelle, dan Chidzero 1996) dalam Ledgerwood (1999), yaitu:
Untuk menciptakan lapangan kerja dan pendapatan melalui penciptaan kesempatan
dan perluasan mikro.
Untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan kelompok rentan, khususnya
perempuan dan kaum miskin.
Untuk mengurangi ketergantungan pada keluarga pedesaan, rawan kekeringan
tanaman melalui diversifikasi kegiatan yang menghasilkan pendapatan mereka.
Dalam dekade saat ini, microfinance mengalami pertumbuhan pesat, khususnya di negara
berkembang, terlebih dengan adanya ikon mendunia microfinance melalui aktifitas Grameen
Bank atau Bank Kaum Miskin di Bangladesh. Menurut Ledgerwood (1999), terdapat beberapa
alasan, mengapa microfinance mengalami pertumbuhan:
1. Janji mensejahterakan masyarakat miskin. kegiatan keuangan mikro dapat mendukung
generasi kedepan untuk memiliki pendapatan dari usaha yang dioperasikan oleh
keluarga berpenghasilan rendah.
2. Janji kesinambungan keuangan. Kegiatan keuangan mikro dapat membantu untuk
membangun keuangan mandiri, bebas dari subsidi, biasanya lembaga-lembaga yang
dikelola secara lokal.
3. Potensi untuk membangun sistem tradisional. kegiatan Microfinance kadang-kadang
meniru sistem tradisional (seperti arisan dan credit union). Mereka menyediakan
layanan yang sama dengan cara yang sama, tetapi dengan fleksibilitas yang lebih
besar, dengan harga yang lebih terjangkau untuk usaha mikro dan pada
masyarakat. Selain berkelanjutan, pelayanan yang diberikanmicrofinance dapat
menarik perhatian klien berpenghasilan rendah.
4. Kontribusi keuangan mikro untuk memperkuat dan memperluas sistem keuangan formal
yang ada. Kegiatan microfinance yang ada dapat memperkuat lembaga keuangan
formal, seperti koperasi tabungan dan kredit, jaringan koperasi kredit, bank komersial,
dan bahkan negara menjalankan lembaga keuangan, dengan memperluas pasar baik
untuk tabungan dan kredit yang berpotensi memiliki profitabilitas.
Dalam penelitian mengenai Ekonomi Informal Terkait Kemiskinan (Rachbini, Hamid 1994),
mengemukakan bahwa di negara berkembang termasuk Indonesia, mengalami permasalahan
mendasar yang bersifat struktural terkait bagaimana meningkatkan ekonomi yang bersifat
informal. Disisi lain ekonomi informal memiliki peranan penting dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat miskin, karena sebagian besar masyarakat miskin menggantungkan
kehidupannya kepada ekonomi informal. Selain aktivitas tersebut mencakup masyarakat pada
daerah pedesaan, pinggiran kota, dan pemukiman kumuh.
Deskripsi permasalahan diatas sangat terkait dengan lemahnya sumber penguatan ekonomi
informal, pemerintah sering tidak peka dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pedesaan, masyarakat pinggiran kota dan masyarakat di pemukiman kumuh. Hal tersebut
diperparah oleh keterbatasan masyarakat dalam mengakses kebutuhan peningkatan usaha
atau melakukan proses diversifikasi jenis usaha dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
Secara sederhana bahwa tidak adanya sumber dana yang dapat mencukupi permintaan sektor
ekonomi informal, karena lembaga keuangan yang ada dalam hal ini bank, cenderung tidak ingin
mengambil resiko membantu memberikan permodalan kepada sektor informal. Jikapun ada,
selalu didasarkan pada syarat yang kaku dan penyertaan jaminan. Sedangkan masyarakat
miskin yang berpendidikan rendah cenderung menghindari prosedur yang sifatnya kaku, selain
itu sebagian besar tidak memilki jaminan dalam bentuk surat atau aset berharga. Berkutat pada
pusaran inilah, alternatif yang bisa dilakukan adalalah dengan melakukan pengembangan
keuangan mikro, melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Bank Dunia dalam satu laporannya mengangkat tema mengenai Revitalisasi Ekonomi
Pedesaan; Penilaian Iklim Investasi Pedesaan yang Dihadapi Perusahaan non Petani di Tingkat
Kabupaten (Edisi, 2006), salah satu topik yang dibahas adalah mengenai Hambatan Untuk
Mendapatkan Akses Kredit. Dalam penelitian itu disampaikan bahwa lebih dari setengah unit
usaha di pedesaan yang disurvey menyebutkan bahwa mereka memerlukan kredit, tapi pada
akhirnya tidak mengajukan permintaan pinjaman ke bank atau sektor formal lainnya karena
adanya persyaratan usaha harus berbadan hukum, adanya jaminan, prosedur yang rumit,
adanya biaya permohonan.
Kendala-kendala seperti inilah yang menyebabkan usaha-usaha kecil tidak lantas berkembang,
cenderung mengalami stagnasi, disisi lain ketika usaha kecil mengalami kemajuan akan
memberikan efek domino yaitu meningkatnya kesejahteraan yang ditandai oleh meningkatnya
serapan tenaga kerja, meningkatnya penghasilan, dan meningkatnya perputaran uang dalam
satu wilayah.
Rendahnya akses usaha kecil terhadap bank, dikarenakan sistem kredit perbankan
diselenggarakan atas pertimbangan komersial. Hal ini menyebabkan usaha kecil sulit memenuhi
persyaratan teknis perbankan, terutama soal jaminan dan persyaratan administrasi. Selain itu
ada anggapan bahwa penyaluran kredit ke usaha kecil bersiko besar. Perbankan pada
umumnya memperlakukan usaha kecil sama dengan usaha menengah dan besar dalam setiap
pengajuan pembiayaan, yang antara lain mencakup: jaminan, modal maupun kelayakan usaha.
Perbankan menilai, beban biaya operasional pemberian kredit ke usaha kecil tidak seimbang
dengan nilai kredit yang diberikan.
Menurut Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementrian Usaha Kecil dan UKM, terdapat
7 (tujuh) indikator penyebab kesulitan Usaha Mikro Kecil (UMK), mengakses dana perbankan
(Iqbal, 2010), yaitu:
1. Produk bank tidak sesuai kebutuhan
2. Anggapan berlebihan terhadap resio kredit
3. Biaya transaksi kredit relatif tinggi
4. Persyaratan bank secara teknis kurang mampu dipenuhi
5. Terbatasnya akses terhadap ekuitas
6. Monitoring dan koleksi kredit tidak efisien
7. Bantuan teknis disediakan bank, biaya pelayanan mahal. Umumnya bank belum biasa
dengan pelayanan UMK.
Berdasarkan indikator di atas, maka menjadi sebuah dasar perlunya didirikan dan
dikembangkan LKM. Beberapa kendala atau peran yang belum bisa dipenuhi oleh perbankan
bisa diambil alih oleh LKM. Adanya kemudahan perizinan dan relatif kecilnya modal awal
sebagai persyaratan juga menjadi kelebihan dalam pendirian LKM. Dengan adanya LKM
diharapkan tujuan utama yaitu mengurangi kemiskinan,memberdayakan perempuan atau
kelompok-kelompok penduduk yang kurang beruntung, terciptanya lapangan dan
pengembangan bisnis baru, bisa terwujud, karena terbukanya akses masyarakat terhadap LKM,
selain secara aksesibilitas, LKM berada dekat dan bahkan menjadi bagian masyarakat
pedesaan, masyarakat pinggiran kota dan masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh,
karena LKM Merupakan satu-satunya pihak yang memliki akses dan sumber daya dalam
mendorong perkembangan sektor ekonomi informal.
Dalam mendesain LKM setidaknya dibutuhkan 11 (sebelas) aspek yang harus diperhatikan,
(Iqbal, 2010), diantaranya:
1. Kajian Kelayakan
2. Aksesiblitas
Berdasarkan 11 aspek di atas, menjadi dasar dalam membuat desain Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) dengan nama LKM Berkah Cililin, yang dalam hal ini mengambil lokus di Kecamatan
Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Bentuk desain LKM adalah semiformal
sector yaitu saving and credit cooperatives. Untuk memenuhi aspek analisis, dilampirkan data
sekunder mengenai Kecamatan Cililin.
II. Deskripsi Kondisi Ekonomi Kecamatan Cililin (Monografi, Kecamatan Cililin Kabupaten
Bandung Barat, Profinsi Jawa Barat 2009).
II.1 Kependudukan
Berdasarkan data yang didapatkan dari monograf Kecamatan Cililin, diperoleh informasi
bahwa Penduduk Kecamatan Cililin berjumlah 78.603 jiwa, terdiri dari 39.458 orang laki-laki dan
39.145 perempuan, terbagi kedalam 21.406 Kepala Keluarga (KK). Komposisi penduduk
berdasarkan kelompok umur, dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1, Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur
No Kelompok umur f %
1 0-6 tahun 9.753 12,40
2 7-12 tahun 10.505 13,36
3 13-18 tahun 7.874 10,01
4 19-24 tahun 6.380 8,11
5 25-55 tahun 39.561 50,33
6 56-79 tahun 3.612 4,59
7 80 tahun keatas 918 1,16
Jumlah 78.603 100,00
Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang terkategorikan kedalam usia
produktif, mencapai 58,44 % atau sebanyak 43.173 orang. Hal ini menjadi informasi awal, bahwa
diantara masyarakat memilki kebutuhan akan aspek ekonomi baik dalam taraf sudah bekerja,
membutuhkan pekerjaan, mencari alternatif pekerjaan yang lebih prospektif, maupun
diantaranya ada yang membutuhkan dukungan untuk meningkatkan aktifitas perekonomian.
Sebagian besar warga Kecamatan Cililin 68,54 % atau 15.443 jiwa menamatkan
pendidikan dasar, setidaknya masyarakat pada umumnya memiliki kemampuan dalam
membaca dan menulis, sehingga ketika ada program yang digulirkan oleh LKM diharapkan
tidak ada kendala bagi masyarakat dalam memahami aturan, prosedur maupun produk dari
LKM.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sektor industri, dalam hal ini industri kecil dan
industri rumah tangga merupakan lembaga perekonomian dominan yang berada di Kecamatan
Cililin, karena kedua sektor tersebut mampu menampung jumlah tenaga kerja mencapai 1.281
orang, dan berperan dalam memberdayakan masyarakat sekitar. Dengan demikian sektor
industri kecil dan rumah tangga termasuk usaha mayoritas yang banyak menyerap tenaga kerja
Cililin diluar pertanian. Keberadaan LKM diharapkan memiliki perananan penting dalam
membantu mendorong usaha kecil dan rumah tangga agar mendapatkan akses meningkatkan
produktifitasnya. Karena dengan peningkatan produktifitas UKM maupun usaha rumah tangga
akan membuka kesempatan dalam menyerap tenaga kerja. Selain itu keberadaan LKM
diharapkan bisa menjadi alternatif bagi masyarakat dalam mengalihkan pilihan karena saat ini
sedang mengalami penurunan tingkat kepercayaan kepercayaan terhadap koperasi.
Jika dikalkulasikan kedalam prospek bisnis LKM, setidaknya terdapat lebih dari 600
usaha kecil dan menengah maupun usaha rumah tangga yang diharapkan bisa menjadi mitra
LKM. Sehingga bagi keduanya bisa tercipta hubungan saling membantu dan menguntungkan.
Dalam mendesain Lembaga Keuangan Mikro (LKM), terdapat 11 (sebelas) aspek yang harus
diperhatikan, namun demikian tidak semua aspek harus ada, melainkan disesuaikan dengan
konteks kebutuhan LKM, cakupan, target dan jenis LKM seperti apa yang akan didirikan.
Kesebalas aspek LKM dalam hal ini di identifikasikan dalam desain LKM Berkah Cililin, diuraikan
dalam bagian berikut:
Mendirikan LKM bukan merupakan hal yang instan, atau semata-mata mengucurkan bantuan
modal usaha, mengadakan usaha simpan pinjam, memberikan dukungan ekonomi, dan
sebagainya tanpa didasarkan pada aspek kajian kelayakan. Karena banyak LKM, koperasi,
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan unit usaha sejenis tidak bisa berkelanjutan dikarenakan
tidak diawali oleh studi kelayakan.
Studi kelayakan dilakukan untuk mengetahui dua hal pokok, yaitu tingkat pemahaman mengenai
masyarakat tentang LKM beserta produknya seperti simpan pinjam, serta gambaran mengenai
kondisi dan potensi masyarakat yang dapat menjadi peluang bagi kegiatan LKM. Studi
kelayakan dilakukan dengan cara mewawancarai beberapa beberapa responden. Beberapa
responden diajukan beberapa pertanyaan tentang data pribadi, kegiatan simpan pinjam,
menabung, dan kegiatan pinjaman lainnya. Lamanya studi kelayakan bergantung pada luasnya
wilayah dan banyaknya responden yang akan dijaring. Untuk menentukan jumlah responden
bisa dilakukan dengan metode pengambilan, misalnya 20% Kepala Keluarga (KK).
Berdasarkan data sekunder bahwa mayoritas masyarakat Kecamatan Cililin masuk kedalam
usia produktif, 58,44 % atau sebanyak 43.173 orang, dengan pendidikan terakhir mayoritas
menempuh pendidikan dasar sebanyak 68,54 % atau 15.443 jiwa. Sebagian besar masyarakat
mengetahui produk lembaga atau aktivitas keuangan, karena diantaranya pernah berhubungan
atau menjadi anggota koperasi, pernah menabung baik di koperasi maupun BRI unit yang ada di
Kota Kecamatan. Selain itu masyarakat pernah melakukan kredit dan membayar cicilan bulanan
sebagaimana dilakukan pada barang rumah tangga dan kendaraan. Artinya masyarakat di
Kecamatan Cililin sudah mengetahui produk LKM, mengetahui proses simpan pinjam dan kredit,
sehingga LKM memungkinkan untuk didirikan.
III.2 Aksesiblitas
Dalam menentukan lokasi kantor LKM diperlukan kecermatan dalam menentukannya, karena
lokasi strategis memainkan peranan penting bagi masyarakat yang akan mengaksesnya.
Terdapat empat syarat dalam menentukan lokasi LKM (Iqbal, 2010), yaitu:
Dekat dengan pasar
Dekat dengan pemukiman
Dekat dengan tempat ibadah
Dekat dengan jalan raya
Lokasi kantor LKM harus berada dalam radius terdekat pusat pasar. Hal ini menjadi penting,
dikarenakan mayoritas nasabah LKM adalah para pedagang pasar. Dengan lokasi yang berada
atau berdekatan dengan pasar, tidak terlalu sukar bagi LKM untuk mendapatkan calon nasabah.
Dekat dengan pemukiman dimaksudkan untuk menyasar calon nasabah rumah tangga. Potensi
kelompok ini sangat besar karena banyak kebutuhan pembiayaan rumah tangga yang bisa
terpenuhi oleh LKM.
Secara kultural tempat ibadah memiliki peran penting bagi potensi peningkatan usaha bagi
masyarakat, karena tempat ibadah merupakan tempat berkunjungnya masyarakat, selain
sebagai tempat ritual juga sebagai tempat silaturahmi antar anggota masyarakat. Diharapkan
dengan mendirikan LKM di dekat tempat ibadah berpengaruh secara psikologis agar nasabah
selalu berniat baik dan amanah dalam penggunaan pinjamannya.
Dekat dengan jalan dimaksudkan agar LKM mudah terlihat dan terjangkau oleh para calon
nasabah. Jika LKM terdapat di dekat atau di pinggir jalan utama akan lebih banyak orang datang
melihat dan selanjutnya berminat menjadi nasabah LKM.
Berdasarkan data sekunder mengenai kelayakan lokasi, LKM Berkah Cililin akan ditempatkan di
persimpangan jalan, berada di jalan masuk Pasar Cililin, dekat dengan Kantor Kecamatan.
Berdasarkan aksesibilitas dan perhitungan jarak dengan objek vital lain adalah sebagai berikut.
Berdasarkan tabel di atas, bahwa rencana lokasi LKM Berkah Cililin memenuhi empat syarat
sebelulmnya, yaitu dekat dengan pasar, dekat dengan pemukiman, dekat dengan jalan raya dan
dekat dengan rumah ibadah, sehingga LKM mudah untuk diakses dan cepat untuk dikenal oleh
masyarakat Kecamatan Cililin.
Pada dasarny LKM dikelompokkan menjadi dua, yaitu microfinance (pembiayaan mikro)
dan micro banking (perbankan mikro). Microfinance ada yang berbadan hukum dan ada yang
belum berbadan hukum. Microfinance yang berbadan hukum antara lain koperasi simpan
pinjam, sedangkan yang belum berbadan hukum contohnya adalah arisan. Sedangkan yang
termasuk microbanking diantaranya adalah BPR (Iqbal, 2010).
III.4 Permodalan
Simpanan pokok adalah jumlah nilai uang tertentu yang sama banyaknya yang harus disetorkan
pada waktu masuk menjadi anggota LKM. Simpanan wajib adalah jumlah simpanan tertentu
yang harus dibayar oleh anggota dalam waktu dan kesempatan tertentu, misalnya tiap bulan.
Sedangkan simpanan sukarela merupakan suatu jumlah tertentu yang diserahkan oleh anggota
atau bukan anggota terhadap koperasi atas kehendak sendiri sebagai simpanan.
III.5 Investor
Keberlanjutan beroperasinya LKM bergantung kepada seberapa lancar dana yang dialirkan,
khususnya untuk pembiayaan para nasabah. Semakin besar pembiayaan yang disalurkan
kepada nasabah, maka akan semakin besar pendapatan yang diperoleh LKM. Bila pendapatan
ini semakin besar, maka beberapa kewajiban LKM baik kepada karyawan, pemegang saham,
atau pihak ketiga akan lebih mudah diselesaikan (Iqbal, 2010). Namun yang menjadi pertanyaan
adalah darimana LKM mendapatkan sumber-sumber pembiayaan awal. Pembiayaan bisa
berasal dari pendiri atau dari pihak yang memiliki dana lebih serta berminat bergabung dalam
mendirikan LKM.
Dalam Undang-undang No.25 tahun 1992 tentang perkoperasian disyaratkan bila ingin
mendirikan koperasi minimal ada 20 orang pendiri. Bila disepakati, masing-masing pendiri LKM
Berkah Cililin menyetor modal atau simpanan pokok Rp 1 Juta, maka akan terkumpul modal
Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan bantuan dari investor atau pihak yang mampu
memberikan pinjaman modal. Bagi masyarakat Kecamatan Cililin yang sering mendapatkan
bantuan dari pihak swasta, investor bisa diusahakan dengan membangun kerjasama dengan
perusahaan yang berada di wilayah tersebut, dalam hal ini PT. Indonesia Power UBP Saguling,
dimana antara LKM dengan PT. Indonesia Power direncanakan membangun kerjasama
kemitraan, dengan cara perusahaan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL)
memberikan kepercayaan keapda LKM Berkah Cililin untuk mengelola dana kemitraan yang
operasionalnya dilaksanakan oleh LKM, sedangkan pihak perusahaan menjalankan fungsi
pengawasan, evaluasi dan menentukan anggaran. Karena berdasarkan informasi pihak Humas
PT. Indonesia Power, anggaran program kemitraan dalam satu tahun mencapai angka Rp 120
juta, sehingga memungkinkan untuk ditanamkan menjadi modal awal beroperasinya LKM
Berkah Cililin.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan suatu bisnis sangat bergantung pada kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM). Begitu juga dalam konteks LKM, keberadaan SDM yang handal
meruapakan sebuah keharusan agar proses operasional LKM berjalan dengan lancar dan
mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari nasabah dan pihak investor (Iqbal, 2010).
Upaya yang dilakukan untuk mendapatkan SDM adalah melalui pembukaan lowongan
pekerjaan, hal tersebut dilakukan dengan mengumumkan melalui papan pengumuman di Kantor
Kecamatan Cililin, di balai desa sekitar Kecamatan Cililin, atau melalui upaya menjalin
kepercayaan kepada anggota masyarakat yang memiliki kapasitas dan moral yang baik unuk
mengelola LKM (melalui pendekatan terhadap tokoh kunci). Pengelola LKM merupakan warga
Kecamatan Cililin, dengan tujuan agar memudahkan mendapatkan nasabah, juga sekaligus
menjadi upaya kampanye agar masyarakat Cililin mau menjadi nasabah LKM, ketika anggota
masyarakatnya terpilih menjadi karyawan LKM.
Latar belakang pendidika karyawan LKM diutamakan dari jurusan ekonomi akuntansi atau
perbankan, karena kegiatan bisnis LKM pada dasarnya adalah bisnis keuangan. Namun
demikian dari jurusan atau level pendidikan lain seperti SMK memungkinkan untuk menjadi
karyawan LKM, yang terpenting adalah memiliki moralitas dan kemampuan menjalankan tugas
dengan baik.
Jumlah minimal Karyawan LKM Berkah Cililin adalah 5 orang, setelah terkumpul, maka kepada
mereka dilakukan pelatihan pengelolaan LKM. Tujuan dari pelatihan pengelolaan LKM adalah
memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai LKM dan bisnis bidang
pembiayaan. Pelatihan diberikan selama 12 hari dengan materi sebagai berikut:
Dasar-dasar koperasi
Pelatihan yang diselenggarakan berpola activ learning, yaitu peserta diberikan materi dan dapat
langsung mendiskusikan seketika materi tersebut dengan pengajar. Selain itu diusahakan bagi
calon karyawan yang telah mengikuti pelatihan pengelolaan LKM, dimagangkan terlebih dahulu
kepada LKM sejenis yang sudah ada di Kabupaten Bandung Barat, sehingga ketika LKM Berkah
Cililin dibuka, karyawan sudah memiliki kapasitas dalam mengeloa LKM, dengan tujuan bisa
mengurangi resiko kerugian.
Sebagai sebuah badan usaha, LKM wajib memiliki struktur organisasi. Struktur organisasi LKM
mirip dengan struktur organisasi koperasi pada umumnya, karena LKM berbadan hukum
koperasi. Komponen organisi LKM terdiri dari rapat anggota, pengurus dan pengawas. Pengurus
minimal terdiri dari ketua umum, sekretaris dan bendahara. Pengawas terdiri dari ketua dan
anggota, begitu juga Pembina, hanya ada ketua dan anggota. Dalam komponen pengurus
sering ditambahkan wakil ketua dan wakil bidang (Iqbal, 2010).
Rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam LKM/Koperasi. Rapat nggota
dihadiri oleh anggota yang pelaksanaanya diatur dalam anggaran Dasar. Rapat anggota
menetapkan:
Anggaran Dasar
Kebijakan umum bidang organisasi, manajemen dan usaha koperasi.
Pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus dan pengawas.
Rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja LKM serta pengesahan laporan
keuangan.
Pengesahan pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan tugasnya.
Pembagan sisa hasil usaha
Penggabungan, peleburan, pembagian dan pembubaran LKM.
Dalam menjalankan tugas operasional sehari-hari LKM, pengurus dapat mengangkat beberapa
karyawan untuk mengelola LKM. Mereka diberikan jabatan manajer dan staf sesuai dengan
bidang yang dibutuhkan. Untuk mengangkat tenaga pengelola, pengrurus mengajukan terlebih
dahulu kepada rapat anggota untuk mendapatkan persetujuan. Pegelola bertanggungjawab
kepada pengurus agar dapat mewujudkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha LKM.
Selanjutnya pengawas dipilih dari dan oleh anggota LKM dalam rapat anggota. Pengawas
bertanggungjawab kepada rapat anggota. Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat sebagai
anggota pengawas ditentukan dalam anggaran dasar.
Sebagai sebuah entitas bisnis, LKM harus mempunyai kantor sebagai tempat bekerja pengurus
dan karyawannya. Selain itu kantor juga merupakan tempat menerima nasabah dan tamu-tamu
lainnya. Keberadaan kantor yang ditunjang berbagai peralatan dan saranna yang lengkap akan
meningkatkan kredibilitas LKM (Iqbal, 2010). Untuk itu, maka peralatan dan sarana yang
memenuhi kebutuhan LKM wajib diadakan. Fasilitas minimal yang dibutuhkan oleh LKM
sebagaimana dalam tabel berikut.
Setiap perlengkapan memiliki fungsi masing-masing, mulai dari komputer dan printer digunakan
untuk operasional dan pencatatan transaksi. Kamera digital berfungsi untuk
mendokumentasikan kondisi usaha nasabah, acara penandatanganan kredit antara LKM dan
nasabah yang berguna sebagai salah satu bukti kesepakatan, serta untuk kegiatan publikasi
LKM.
Selain peralatan dan sarana, juga perlu diperhatikan adalah lay out atau tata letak kantor LKM.
Tata letak yang baik akan memberikan kenyamanan dalam bekerja bagi karyawan. Karena
besarnya tata letak yang baik, maka seberapa kecilnya sebuah kantor LKM, masalah tata letak
harus dijadikan perhatian bila ingin menjaring calon nasabah dan investor. Hal yang perlu
diingat bahwa tata letak merupakan bagian dari penampilan fisik yang berpengaruh kepada
kenyamanan nasabah. Ruangan yang ada pada LKM, minimal adalah terdapat ruang tunggu,
ruang resepsionis/teller, ruang kerja manajer dan staff, ruang rapat dan toilet.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan LKM adalah sistem aplikasi yang
digunakan. Sistem aplikasi yang diperlukan untuk memudahkan dan mepercepat perhitungan
setiap transaksi serta membuat laporan (Iqbal, 2010).
Tujuan adanya aplikasi adalah sebagai sarana memudahkan dalam melakukan monitoring
terhadap kondisi keuangan LKM. Selain juga aplikasi menjadi database yang sifatnya
tersentralisasi. Dengan adanya aplikasi, maka akan memudahkan dalam melakukan control,
audit, perbaikan, mengurangi resiko kekeliruan data dan hilangnya catatan transaksi.
LKM harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP), karena SOP berkaitan dengan
aktivitas manajerial mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Beberapa jenis
SOP yang dibutuhkan oleh LKM minimal adalah; SOP operasional, SOP Simpanan dan SOP
pembiayaan. Di dalam SOP harus tercantum ruang lingkup, tujuan, definisi dan referensi,
tanggungjawab, kondisi khusus, catatan, lampiran alur dan proses (Iqbal, 2010). Rincian dari
ketiga kelompok tersebut adalah:
1. SOP Operasional
Pembukaan brankas
Pembukaan seri kas
Penanganan uang palsu
Penanganan selisih kas
Penutupan sesi kas
2. SOP Simpan
Pembukaan rekening tabungan
Pembukaan rekening deposito
Penyetoran tabungan
Penarikan tabungan
Penutupan rekening tabungan
Penggantian buku tabungan
3. SOP Pembiayaan
Pengajuan pembiayaan
Analisis pembiayaan
Persetujuan dan realisasi pembiayaan
Pelepasan jaminan
Monitoring Pembiayaan
III.11 Produk
LKM harus mengeluarkan produk yang menarik sehingga masyarakat mau menjadi nasabah
LKM. Tingkat kemenarikan produk LKM disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang akan dijadikan sebagai target nasabah, baik dalam bentuk produk simpanan maupun
pembiayaan (Iqbal, 2010). LKM Berkah Cililin membuka produk simpanan kurban, simpanan
pendidikan, simpanan haji, dan simpanan usaha. Sedangkan bentuk kredit, diantaranya kredit
infrastruktur, kredit pupuk, kredit mitra usaha, kredit investasi, dan kredit konsumtif.
Dalam produk LKM Berkah Cililin, dicantumkan persyaratan. Untuk produk tabungan, syaratnya
adalah sebagai berikut:
Menyerahkan fotocopy KTP
Mengisi formulir aplikasi pembukuan simpanan tabungan
Membayar uang administrasi sebesar Rp.5000,-
Menyetorkan uang sebagai saldo awal berdasarkan produk simpanan. Misalnya:
Tabungan pendidikan Rp.10.000, tabungan kurban Rp 50.000, tabungan investasi
Rp.500.000.
Sedangkan persyaratan untuk menjadi nasabah pembiayaan atau kredit Mitra Usaha adalah:
Meyerahkan KTP
Menyerahkan fotocopy Kartu Keluarga (KK)
Menyerahkan fotocopy buku nikah
Menyerahkan fotocopy/ sertifikat yang akan dijaminkan (bila ada)
Slip rekening listrik bulan terakhir (bila ada)
Analisi pembiayaan atau potret usaha (bila ada)
Dokumentasi kondisi usaha (bila ada)
Semua produk yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar LKM Berkah
Cililin, dengan demikian produk yang dikeluarkan diharapkan benar-benar memiliki prosepek
pasar yang baik.
Acara yang difasilitasi oleh Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam Setda Propinsi Jawa
Tengah itu bertujuan untuk merealisasikan terbentuk nya Lembaga Keuangan Mikro yang
profesional sekaligus sebagai implementasi dari UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
Acara fasilitasi tersebut juga dihadiri perwakilan dari Biro ISDA Propinsi Jawa Tengah, Dinas
Pertanian Kabupaten Grobogan, Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Grobogan, Bagian
Perekonomian Setda Grobogan, perwakilan OJK Pusat dan 30 Gapoktan Penerima Dana
PUAP (Pengembangan Agribisnis Usaha Pedesaan) Kementerian Pertanian RI diakhiri dgn
asistensi kelengkapan pemberkasan.
Di kesempatan lain Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan Ir. Edhie Sudaryanto MM
mengatakan, Tahun 2017 ditargetkan paling tidak 37 Gapoktan telah berstatus sebagian
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). Proses selanjutnya adalah legalitas Badan
Hukum oleh Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Grobogan. “Mudah mudahan prosesnya tdk
terlalu lama” harap Edhie Sudaryanto (farida). Bagaimana proses untuk mendapatkan legalitas
Badan Hukum oleh Dinas Koperasi dan UKM yang harus dilakukan oleh LKM-A?
Sumber:
https://dinpertangrobogan.000webhostapp.com/32-gapoktan-lolos-uji-verifikasi-lkm-oleh-otorita
s-jasa-keuangan/
Referensi:
Kata atau istilah risiko sudah menjadi kata dan/atau istilah yang umum dan sering kita dengan
dalam kehidupan sehari-hari dalam percakapan orang-orang di sekitar kita. Risiko merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kerja individual maupun organisasi. Berbagai
macam risiko, seperti risiko kebakaran, risiko kecelakaan, resiko terkena banjir di musim hujan
dan sebagainya, sehingga mau tidak mau harus menanggung kerugianya jika risiko-risiko
tersebut tidak di antisipasi dari awal. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau
keadaan yang belum pasti yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Sebagaimana yang telah penulis pahami dan sepakati bersama bahwa tujuan perusahaan
adalah membangun dan memperluas keuntungan kompetitif organisasi.
Risiko berhubungan dengan ketidakpastian terjadi karena kurang atau tidak tersedianya cukup
informasi tentang apa yang akan terjadi. Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat
menguntungkan atau merugikan. Menurut Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan
kemungkinan menguntungkan dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan
ketidakpastian yang menimbulkan akibat yang merugikan disebut dengan istilah risiko (risk).
Dalam beberapa tahun terakhir, manajemen risiko menjadi trend utama baik dalam
perbincangan, praktik, maupun pelatihan kerja. Hal ini secara konkret menunjukkan
pentingnya manajemen risiko dalam bisnis pada masa kini.
Secara umum risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dihadapi seseorang atau
perusahaan di mana terdapat kemungkinan yang merugikan. Bagaimana jika kemungkinan
yang dihadapi dapat memberikan keuntungan yang sangat besar, dan walaupun mengalami
kerugian sangat kecil sekali. Misalnya membeli seperti lotere, jika beruntung maka akan
mendapat hadiah yang sangat besar, tetapi jika tidak beruntung uang yang digunakan membeli
lotere relatif kecil. Apakah ini juga tergolong risiko? Jawabannya adalah hal ini juga tergolong
risiko. Selama mengalami yang namanya kerugian walau sekecil apapun hal itu dianggap
risiko.
Mengapa risiko harus dikelola? Jawabannya mudah yaitu karena risiko mengandung biaya
yang mungkin tidak sedikit. Oleh karena itu pengelolaan risiko dalam sebuah perusahaan atau
lembaga menjadi sangat penting untuk dilakukan.
1. Menjelaskan berbagai Jenis Risiko yang dihadapi oleh Lembaga Keuangan Mikro
2. Menjelaskan bagaimana sebuah LKM mengelola risiko
3. Menjelaskan bagaimana risiko yang dihadapi oleh nasabah Lembaga Keuangan
Mikro
Ada tujuh area utama dari risiko yang biasanya dihadapi oleh Lembaga Keuangan Mikro, yaitu
di area:
1. Risiko Kredit
2. Risiko likuiditas
3. Risiko pasar
4. Risiko operasional
5. Risiko suku bunga
6. Risiko nilai tukar valuta asing, dan
7. Risiko Lingkungan Peraturan dan Kepatuhan
1. Risiko Kredit
Risiko ini mengacu pada risiko gagal bayar atau tidak dilunasi oleh nasabah atas pinjaman
mereka. Faktor tambahan yang lebih berhubungan dengan sektor keuangan mikro, khususnya
koperasi, adalah:
Pinjaman sering diberikan tanpa jaminan, atau menggunakan agunan non-tradisional, yang
memungkinkan risikonya lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi lembaga keuangan
lainnya. Hal ini memerlukan teknik mitigasi tertentu seperti pembentukan cadangan kredit
macet yang lebih besar atau tindak lanjut yang cepat atas pinjaman tertunggak.
Variasi yang terbatas (misalnya jika pinjaman sebagian besar ke sektor pertanian, lalu hanya
dibatasi ke klien dengan beberapa jenis tanaman saja), penyebaran geografis yang terbatas
(misalnya pinjaman diberikan hanya ke beberapa distrik saja), atau ke target tertentu (misalnya
untuk kelompok minoritas tertentu saja), yang dapat meningkatkan risiko portofolio bagi
lembaga keuangan mikro yang bersangkutan. Konsentrasi ini sering disebut sebagai resiko
kovarian.
Bagaimana LKM dalam menghadapi risiko kredit? Salah satunya adalah dengan skoring.
Skoring kredit adalah angka yang mewakili kelayakan kredit seseorang, kemungkinan bahwa
orang akan membayar utangnya. Lender, seperti bank dan perusahaan lembaga keuangan
lainnya, menggunakan nilai kredit untuk mengevaluasi potensi risiko yang ditimbulkan oleh
meminjamkan uang kepada konsumen. Model credit scoring yang dirancang oleh Bank dan
lembaga finacial, digunakan untuk mengevaluasi usaha mikro dan kecil untuk menerima kredit.
Skoring perhitungan biasanya dibuat berdasarkan karakter, catatan pembayaran, frekuensi
pembayaran, jumlah utang, kredit biaya-off dan sebagai jumlah kartu kredit yang dimiliki.
Sebuah berat tertentu ditugaskan untuk setiap faktor yang dipertimbangkan dalam rumus
model, dan skor kredit diberikan berdasarkan evaluasi. Skor Kelayakan umumnya berkisar dari
70 akhir miskin untuk 85 di ujung atas. Idealnya, nilai kredit yang tinggi dapat hadiah
Risiko ini merujuk ke penyelenggaraan posisi saldo kas yang tepat serta mobilisasi dana
simpanan berjangka, dan terutama sebuah perencanaan arus kas, masalah pengelolaan dan
pemantauan. Alasan timbulnya risiko ini meliputi:
adanya siklus musiman (karena sifat siklus ekonomi lokal); kesulitan dalam
memperoleh fasilitas kredit yang bersifat darurat;
tidak memadainya peramalan dan pengelolaan arus kas (misal pemantauan arus kas
dan pencocokan kesesuaian antara jatuh tempo dari pelunasan kredit dengan sumber
dananya);
kurangnya strategi investasi atau terbatasnya akses investasi selama periode
kelebihan dana; dan
tidak memadainya mobilisasi simpanan berjangka (sulit mendapatkan dana tabungan
dan simpanan berjangka), sering karena lemahnya pemasaran dan pengembangan
produk.
Pengembangan SDM dan pelatihan keterampilan di bidang yang relevan dipandang sebagai
wilayah kunci dukungan kebutuhan untuk lembaga keuangan mikro di daerah ini.
Risiko ini juga disebut sebagai “maturity risk” atau risiko memenuhi kewajiban jatuh tempo,
terkait kemampuan LKM untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo (Aktiva Lancar >
Kewajiban Lancar).
3. Risiko Pasar
Risiko ini mengacu pada risiko kerugian karena perubahan biaya dana di pasar dan biaya
Investasi yang dilakukan oleh lembaga keuangan mikro. Risiko ini terbatas pada
lembaga-lembaga yang berinvestasi di saham dan obligasi, instrumen bunga tetap, atau
komoditas.
4. Risiko Operasional
Sesuai namanya risiko ini mengacu pada kegagalan dalam pengoperasian lembaga keuangan
mikro, mencakup bocornya sistem informasi, tata kelola yang buruk, risiko kerugian akibat tidak
memadai atau gagalnya sistem dan proses internal, kelalaian pegawai dan peristiwa eksternal
yang berdampak negatif ke LKM. Risiko manajemen (umumnya karena manajemen terlalu
Risiko suku bunga adalah ukuran utama dari risiko pasar pada sebuah portofolio pinjaman
LKM. Ini adalah risiko perubahan suku bunga yang mengurangi pendapatan LKM, akibat
adanya kesenjangan antara suku bunga pada portofolio pinjaman dengan kewajiban
pendanaan (misalnya ketika pinjaman-jangka panjang yang didanai oleh jangka pendek
deposito atau pinjaman dari bank/pihak ketiga lainnya).
Ini merupakan sebuah masalah yang terjadi ketika lembaga keuangan mikro (LKM) tidak
mampu menyesuaikan suku bunga kreditnya yang memiliki jangka waktu relatif panjang
terhadap bunga deposito yang harus dibayar atau bunga pinjaman dari pihak ketiga lainnya.
Ada kecenderungan alami dari penabung di LKM yang biasa menempatkan dananya sesingkat
mungkin untuk bisa mencairkan dana mereka dalam jangka pendek demi berjaga-jaga. Risiko
suku bunga umumnya dihadapi oleh sebagian besar lembaga keuangan mikro yang dananya
didapat dari memobilisasi deposito dari anggota/pihak ketiga lainnya.
Risiko Nilai Tukar Mata Uang Asing (FX) timbul jika lembaga keuangan mikro meminjam dalam
mata uang asing untuk disalurkan ke kredit dalam mata uang lokal. Risiko Nilai Tukar ini terjadi
ketika terjadi ketidakcocokan mata uang (mismatch) dalam posisi aset dan kewajiban LKM,
yang menghadapkan ke fluktuasi nilai tukar mata uang, yang dapat menyebabkan baik
kerugian atau keuntungan.
7. Risiko Lingkungan
Risiko ini mencakup beberapa risiko lain yang dihadapi lembaga keuangan mikro, termasuk:
Risiko Industri baru: ini berhubungan dengan risiko mencoba teknik pembiayaan baru dan
inovatif dengan klien baru dalam kredit dan tabungan;
Risiko Ketergantungan Subsidi: ini adalah risiko ketergantungan kepada donor yang dimiliki
sebuah lembaga keuangan mikro dimana tanpa subsidi tersebut mereka tidak bisa eksis dan
bertumbuh;
Risiko Transisi: banyak lembaga keuangan mikro yang tadinya didirikan untuk kepentingan
sosial dan bukan untuk tujuan keuangan, dan ketika lembaga ini harus diubah menjadi
lembaga dengan budaya baru akibat adanya regulasi dan wajib menghasilkan laba untuk bisa
eksis, harus memiliki kinerja, manajemen, dan tata kelola yang baik; dan
Sejak industri keuangan mikro beranjak dewasa, penyedia jasa semakin tertarik
mengembangkan produk-produk yang baru dan lebih baik. Fokus pada pengembangan produk
Riset yang belum lama ini dilakukan sebagai sumbangan untuk World Development Report
2000/1 (WDR)1 mendatang tentang kemiskinan menyoroti pentingnya pemusatan perhatian
terhadap risiko dan kerentanan sebagai suatu cara untuk memahami kemungkinan dan
keterbatasan padanan antara kemiskinan dengan keuangan mikro. Riset memusatkan
perhatian atas dimensi bukan pilihan pendapatan dari kemiskinan, khususnya
bagaimana orang memanfaatkan jasa keuangan mikro untuk membangun aset fisik, keuangan,
manusia dan sosial, menurunkan risiko, dan mengurangi kerentanan.
■ Apa strategi yang dijalankan pelanggan untuk menangani risiko yang mereka hadapi?
* Perkiraan yang dibuat oleh semua tim riset lapangan berdasarkan informasi yang tersedia,
termasuk hasil temuan dari semua riset sekunder, wawancara individu dengan karyawan dan
pelanggan, dan wawancara focus group.
Studi lapangan melibatkan tujuh lembaga keuangan mikro (LKM) di empat negara meliputi
Bolivia, Bangladesh, Uganda dan Filipina. Dengan menggunakan metode biaya rendah,
peneliti menghimpun campuran data kualitatif dan kuantitatif utama tentang pelanggan dan
bukan pelanggan. Secara keseluruhan, studi menghimpun data yang diperoleh dari wawancara
Hasil temuan riset WDR Siapa yang dijangkau oleh program Peringkat kekayaan menurut
tingkat kemiskinan rumah tangga menunjukkan bahwa pelanggan keuangan mikro dalam
semua program studi tersebut adalah heterogen. Pelanggan dikelompokkan dalam beberapa
golongan kemiskinan yang mencakup melarat, sangat miskin, miskin sedang (sedikit dibawah
garis kemiskinan), dan tidak miskin tetapi rentan (sedikit diatas garis kemiskinan).
Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1, maka riset WDR, yang dilengkapi hasil temuan dari
beberapa studi dampak lainnya, memberi kesan bahwa:
kebanyakan pelanggan berasal dari rumah tangga miskin sedang dan tidak miskin
tetapi rentan;
pelanggan dari rumah tangga sangat miskin juga turut serta dalam program keuangan
mikro namun bukan sebagai mayoritas. Program dengan sasaran khusus segmen
penduduk lebih miskin pada umumnya mempunyai persentase pelanggan lebih besar
daripada rumah tangga sangat miskin; dan
rumah tangga melarat berada diluar jangkauan program keuangan mikro.
Golongan tidak miskin tetapi rentan merupakan segmen pelanggan yang signifikan
pada banyak LKM. Kelompok pelanggan ini kurang memperoleh perlindungan atau
jaminan sosial dan mudah jatuh kembali kedalam jurang kemiskinan biilamana terjadi
goncangan (lihat Kotak I).
Dengan adanya tujuan pengentasan kemiskinan dari banyak program keuangan mikro, maka
hasil temuan ini memberi kesan adanya alasan kuat untuk melakukan inovasi –
penyempurnaan rancangan produk dan jasa – untuk lebih baik memenuhi kebutuhan
pelanggan dari rumah tangga secara lebih bervariasi, yaitu baik yang sangat miskin maupun
yang tidak miskin tetapi rentan. Segala inovasi seperti ini, jika ditujukan untuk memperluas
jangkauan kemiskinan, perlu memikirkan secara serius segala risiko dan kerentanan yang
sedang dihadapi orang miskin.
Peran jasa keuangan dalam perlindungan diri terhadap risiko yang akan terjadi.
Riset lapangan menunjukkan beberapa strategi yang digunakan seorang dan rumah tangga
sebelum terjadinya musibah untuk melindungi diri terhadap risiko. Strategistrategi ini mencakup
perluasan sumber pendapatan, pembangunan aset fisik, keuangan, manusia dan sosial serta
pemusatan perhatian pada pengelolaan keuangan yang baik. Jasa keuangan memainkan
peran penting dalam proses ini. Pinjaman memungkinkan pelanggan mengambil kesempatan
membangun dan memperluas jenis aset yang dapat dimanfaatkan pada waktu dibutuhkan.
Kotak 2: Rumah saya adalah istana saya dan Tempat Kerja serta Unit Penyewaan
Penggunaan perumahan yang multi fungsi khususnya lazim bagi banyak rumah tangga yang
sedang mengalami krisis. Di Uganda ada banyak kasus dimana pelanggan membagi-bagi
rumah mereka menjadi unit-unit untuk disewakan agar bisa menghasilkan pendapatan
tambahan, dan keadaan lain dimana rumah dimanfaatkan untuk penggunaan yang
berbeda-beda dalam satu hari. Sebuah contoh menyolok dari yang terakhir disebut adalah
rumah yang dimanfaatkan sebagai salon perawatan rambut di siang hari, sebagai bar di waktu
petang dan sebagai tempat untuk tidur di waktu malam.
Dalam contoh yang lain, tempat bisnis digunakan sebagai tempat tinggal di waktu malam untuk
strategi dalam menangani krisis. Salah satu pelanggan mempunyai pengalaman sebagai
berikut: Pihak berwenang mengunci kamar saya selagi saya sedang pergi bekerja,
mengatakan bahwa bangunan tersebut adalah tidak sah. Sementara saya sedang mencari
kamar baru yang dapat saya gunakan sebagai tempat tinggal keluarga saya yang terdiri dari 15
orang, pada malam hari sebagian dari mereka tinggal di bar yang dikelola istri saya, dan yang
lain tinggal di kios yang saya kelola.
Keuangan mikro juga digunakan pelanggan untuk membangun aset manusia, terutama
pendidikan anak dan pemeliharaan kesehatan. Partisipasi dalam berbagai program keuangan
mikro menyediakan akses bagi wanita atas pengetahuan dan informasi sehingga membantu
mereka melakukan interaksi dengan dunia luar dan memungkinkan pembangunan dan
penguatan jaringan sosial. Para wanita menghargai anggota kelompok, sebuah komponen dari
asset sosial, dalam melindungi diri terhadap risiko (lihat Kotak 3).
Mereka berusaha keras untuk bisa membayar kembali pinjaman, khususnya pada saat
dihadapkan dengan krisis atau goncangan, seringkali dengan berusaha meminjam uang dari
sumber keuangan tidak resmi untuk memastikan pembayaran kembali pinjaman mereka.
Pembayaran kembali artinya akses atas pinjaman baru untuk memulai pemulihan usaha, untuk
pemasok ulang persediaan usaha mikro, untuk membangun kembali rumah, dan untuk
membayar uang sekolah.
1.3 Peran jasa keuangan dalam menanggulangi goncangan atau peristiwa tekanan
ekonomi.
Begitu goncangan atau peristiwa tekanan terjadi, orang lalu memanfaatkan berbagai strategi
penanggulangannya: mereka mengurangi konsumsi, meningkatkan pendapatan dengan
mengerahkan tenaga kerja atau menjual aset, mereka menarik tabungan tidak resmi atau
resmi, dan menguangkan tagihan yang berasal dari mekanisme asuransi berlandaskan
kelompok tidak resmi.
Studi lapangan yang dilakukan WDR memberi kesan bahwa pelanggan pada umumnya
menggunakan strategi ketegangan rendah hingga menengah dalam menanggulangi kerugian –
pengurangan konsumsi, pengerahan tenaga kerja dan pinjaman tidak resmi dari teman dan
kerabat.
Mereka berusaha menghemat aset produktif dan dengan demikian memelihara potensi
menghasilkan pendapatan bilamana memungkinkan. Di negara mana saja, pelanggan enggan
menyuruh anak-anak berhenti sekolah, menguangkan tabungan, atau menjual aset produktif.
Mengapa pelanggan tidak menggunakan kredit dari LKM untuk menanggulangi goncangan
ketika peristiwa tersebut terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini kompleks; apakah
mencerminkan pilihan sesungguhnya atau kendala, banyak bergantung pada tingkat
rancangan pinjaman, ketepatan waktu dan fleksibilitas dari kredit LKM dalam hubungannya
dengan ketersediaan sumber lain, jenis goncangan, dan pilihan alternative yang tersedia.
Studi Kasus
Layanan keuangan mikro adalah salah satu strategi yang digunakan untuk mengurangi
kemiskinan. Model layanan keuangan mikro ini, telah berkembang dibeberapa negara di dunia
dengan hasil yang cukup signifikan. Kata Amelia Maika dan Eddy Kiswanti, lembaga keuangan
Dari penelitian keduanya di Kecamatan Bayat, kabupaten Klaten, Jawa Tengah disimpulkan,
bahwa perempuan dari rumah tangga miskin di daerah tersebut telah memanfaatkan jasa
layanan keuangan mikro melalui kredit yang diberikan Yayasan Mitra Usaha mandiri (MUM).
Kegiatan yang usaha yang mereka lakukan diantaranya adalah berdagang, misalnya menjual
makanan kecil, warung kelontong, dan pedagang sayur keliling.
Ada juga sebagai pengrajin termasuk buruh tenun dan batik serta membuat gerabah. Selain itu,
hasil pinjaman kredit dipergunakan pula untuk beternak dan usaha lainnya seperti menjahit dan
membuka usaha persewaan angkutan, jelas Amelia dan Eddy. Kata Amelia, “kemudahan
prosedur melakukan pinjaman menjadi salah satu alasan utama memanfaatkan kredit MUM.
Alasan lain, kelonggaran angsuran, dekat dengan lokasi dan adanya kebutuhan mendapatkan
modal,” tukas peneliti di PSKK UGM ini.
Dari penelitiannnya, pemberian kredit ini memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan
keluarga miskin di Bayat. Yang utama adalah dampaknya terhadap perkembangan usaha.
Besarnya pinjaman kredit bervariasi, tergantung pada kebutuhan riil masing-masing kelompok.
Ternyata, tidak semua kelompok usaha mampu meningkatkan produktivitas kerja. Salah satu
persoalan yang masih mereka rasakan adalah masalah pemasaran dan permodalan sebagai
kendala. Hingga kini, jangkauan usaha mereka sebagian besar hanya mencakup wilayah desa
dan kecamatan, tandas Amelia.
Bencana alam datangnya tidak bisa dipastikan, bisa kapan saja. leh karena itu Lembaga
Keuangan Mikro Syairah (LKMS) seperti Baitul Maal Wat Tanwil (BMT), koperasi syariah dan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) perlu mitigasi risiko dengan berasuransi.
Direktur ACA, Muljadi Kusuma, menekankan pentingnya asuransi bagi LKM, seperti BPRS,
dalam mitigasi risiko ketika bencana. Karena menurutnya, ketika bencana akan banyak
nasabah BPRS yang akan menarik dananya.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk mitigasi risiko, ACA bekerjasama dengan Mercy Coprs
Indonesia mendirikan program Indonesia Liquidity Facility After Disaster (ILFAD). “Program ini
ditujukan untuk mempersiapkan BPRS ketika menghadapi bencana. Mitigasi risiko yang bisa
dilakukan oleh BPRS dengan asuransi syariah perusabahan atau nasabahnya,” kata Muljadi,
dalam Microfinance Gathering di Jakarta, belum lama ini.
Sementara itu, Raja Siregar dari Mercy Corps Indonesia, mengatakan, bahwa Indonesia
adalah salah satu negara yang paling rawan bencana, baik itu, gempa bumi, tsunami, maupun
erupsi gunung merapi. Menurutnya, bencana Indonesia adalah soal kapan, karena sudah pasti
terjadi, hanya waktunya yang tidak bisa dipastikan. “Karena itu, penting bagi masyarakat
Indonesia untuk memitigasi risiko melalui asuransi, terutama bagi masyarakat yang tinggal
didaerah yang rawan bencana,” kata Raja. Saat ini, lanjut dia, program ILFAD sudah dilakukan
di beberapa daerah yang rawan bencana, seperti Sumatera Barat, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, Aceh, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. “Kami juga berharap Lembaga
Keuangan Mikro Syariah (LKMS) seperti BMT, koperasi syariah dan BPRS yang tersebar di
wilayah Indonesia memitigasi risiko nasabahnya dengan asuransi sebagai persiapan ketika
terjadi bencana alam,” kata Raja.
Hal senada diungkapkan Senior Executive Vice President Bank Syariah Mandiri (BSM)
Muhammad Busthami. Menurutnya, asuransi bisa digunakan sebagai salah satu alat mitigasi
risiko bagi LKMS dalam pengendalian dana ketika bencana melanda. “BMT, koperasi syariah
dan BPRS harus mitigasi risiko dengan asuransi. Karena ketika bencana datang, dipastikan
LKMS akan banyak menarik dana bagi nasabahnya atau perusahaannya,” ujarnya
Referensi:
Nota Fokus: Mikro Finance and Risk Management, A client perspektif, May 2000. CGAP, Worl
Bank
https://bisnispembiayaan.wordpress.com/category/manajemen-risiko-lkm/
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berusaha memperkuat peran lembaga keuangan mikro
konvensional maupun syariah dengan melakukan pendampingan secara intensif kepada
lembaga yang sudah beroperasi namun belum terlalu berkembang. Pendampingan kepada
lembaga keuangan mikro (LKM) yang telah beroperasi merupakan salah satu strategi untuk
meningkatkan kapasitas dan peran lembaga tersebut untuk mendorong inklusi keuangan.
Sedang dicari metode yang pas supaya LKM dan LKM Syariah berkembang lebih cepat.
Pertama, dengan mengukuhkan lembaga keuangan yang eksis dan sudah lebih dulu melakukan
kegiatan simpan pinjam. Strategi kedua yang disiapkan adalah mendorong pembentukan
lembaga-lembaga keuangan mikro yang baru di berbagai wilayah.
Strategi pembentukan lembaga baru tersebut lebih sulit jika dibandingkan dengan
pengembangan lembaga yang sudah ada. Namun demikian, potensi keduanya sangat besar
untuk sama-sama berkembang, mengingat tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia
masih terbilang rendah. OJK mendorong realisasi pendirian lebih banyak LKM Syariah bekerja
sama dengan pondok pesantren. Kehadiran lembaga keuangan ini fokus menggarap potensi
pembiayaan skala mikro yang ada di beragai daerah.
Pembiayaan yang akan disalurkan lembaga keuangan mikro syariah tersebut difokuskan untuk
kegiatan produktif, seperti praktik bisnis. Adapun, target pembiayaan tahap awal dipatok
maksimal Rp1 juta per peminjam dan secara bertahap dapat meningkat hingga maksimal Rp5
juta.
Tidak semua pondok pesantren dapat dikerjasamakan dengan pendirian LKM Syariah. Salah
satu aspek yang menjadi pertimbangan adalah kondisi perekonomian masyarakat sekitar
barulah menyeleksi kesiapan ponpes bersangkutan. Semakin banyak LKM Syariah diyakini
dapat berimbas positif terhadap kinerja penghimpunan dana perbankan syariah. Pasalnya,
sekitar setengah sampai dua per tiga dana kelolaan yang dimiliki oleh lembaga keuangan mikro
tersebut akan diblok untuk ditempatkan ke deposito di bank umum syariah. Dana yang diblok
dan ditempatkan di bank syariah bertujuan untuk membiayai operasional LKMS sehingga
mereka bisa memberikan margin rendah kepada masyarakat sekitar 3% per tahun.
Dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif, keuangan inklusif didefinisikan sebagai: Hak setiap
orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu,
nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan
martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian
khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migrant, dan penduduk di daerah
terpencil.
Visi nasional keuangan inklusif dirumuskan sebagai berikut: Mewujudkan sistem keuangan
yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan terciptanya stabilitas sistem
keuangan di Indonesia.
Visi keuangan inklusif tersebut dijabarkan dalam beberapa tujuan sebagai berikut:
Tujuan 1: Menjadikan strategi keuangan inklusif sebagai bagian dari strategi besar
pembangunan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas
sistem keuangan. Keuangan inklusif adalah strategi untuk mencapai tujuan pembangunan
ekonomi yang lebih luas, yaitu penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat, serta bagian dari strategi untuk mencapai stabilitas sistem keuangan. Kelompok
miskin dan marjinal merupakan kelompok yang memiliki keterbatasan akses ke layanan
keuangan. Tujuan keuangan inklusif adalah memberikan akses ke jasa keuangan yang lebih
luas bagi setiap penduduk, namun terdapat kebutuhan untuk memberikan fokus lebih besar
kepada penduduk miskin.
Tujuan 2: Menyediakan jasa dan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Konsep keuangan inklusif harus dapat memenuhi semua kebutuhan yang
berbeda dari segmen penduduk yang berbeda melalui serangkaian layanan holistik yang
menyeluruh.
Pengetahuan ini penting agar masyarakat merasa lebih aman berinteraksi dengan lembaga
keuangan.
Tujuan 6: Mengoptimalkan peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk memperluas
cakupan layanan keuangan. Teknologi dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas
sistem keuangan formal melampaui sekedar layanan tabungan dan kredit. Namun, pedoman
dan peraturan yang jelas perlu ditetapkan untuk menyeimbangkan perluasan jangkauan dan
resikonya.
Indonesia berperan aktif dalam pembahasan keuangan inklusif dalam forum internasional.
Sebagai anggota G-20, Indonesia memastikan 9 Prinsip Inovasi Keuangan Inklusif
diimplementasikan di tingkat nasional. Indonesia juga telah berkomitmen dalam forum OECD
untuk mengembangkan edukasi keuangan termasuk didalamnya penyusunan Strategi
Nasional Keuangan Inklusif dan kegiatan survei literasi keuangan. Selain itu, Indonesia turut
berperan aktif dalam forum APEC untuk memberikan knowledge sharing berbagai isu dan topik
keuangan inklusif. Di tingkat regional, Indonesia turut aktif menekankan pentingnya keuangan
inklusif salah satunya melalui penyelenggaraan The 1st ASEAN Conference on Financial
Inclusion untuk menjajaki pembentukan forum financial inclusion tingkat ASEAN. Dalam
Alliance for Financial Inclusion (AFI), Indonesia berkomitmen dalam Maya Declaration yang
bertujuan mendukung pengembangan, inovasi dan implementasi program keuangan inklusif,
serta peran aktif sebagai anggota steering committee AFI.
Miskin Berpendapatan Terendah: Kategori ini mencakup mereka yang memiliki akses sangat
terbatas atau tanpa akses sama sekali ke semua jenis layanan keuangan. Kategori ini
mengacu pada golongan sangat miskin yang mungkin menerima bantuan sosial, serta segmen
bawah kategori miskin yang menjadi bagian dari program pemberdayaan masyarakat.
Miskin Bekerja: Kategori ini mencakup orang miskin yang berusaha sendiri, termasuk di
dalamnya petani kecil dan marjinal, nelayan, seniman dan perajin, pedagang kecil, dan
pengusaha mikro di sektor informal baik di perkotaan dan perdesaan. Kurangnya sumber daya
membatasi kemampuan mereka untuk memperluas produksi atau melakukan perbaikan dalam
hal produktivitas dan pendapatan.
Bukan Miskin: Kategori ini meliputi semua penduduk yang tidak memenuhi kriteria untuk
masuk dalam kelompok masyarakat miskin berpendapatan terendah dan miskin
bekerjaPekerja Migran Domestik dan Internasional: Indonesia merupakan negara penerima
remitansi ketiga terbesar di wilayah Asia-Pasifik. Sekitar 80 persen pekerja migran atau lazim
di sebut TKI (Tenaga Kerja Indonesia) adalah perempuan dan lebih dari 85 persen bekerja di
sektor informal. TKI biasanya kurang terlayani oleh sektor keuangan, atau memiliki akses yang
terbatas ke layanan keuangan. Mereka terutama membutuhkan sarana untuk mengirim uang
secara aman, cepat, dan murah dari tempat kerja ke rumah, yang sering kali terletak di daerah
terpencil dan tertinggal. TKI umumnya berasal dari rumah tangga pertanian yang miskin, yang
terletak di daerah perdesaan dengan tingkat pendapatan rendah. Mereka memiliki akses yang
terbatas ke produk atau jasa keuangan formal untuk mendukung mereka selama proses
tahapan migrasi (yaitu, pra, selama, dan pasca migrasi).
Hasil survei dimaksud menjadi masukan dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia
yang di dalamnya juga terdapat aspek inklusi keuangan, yang menjadi pedoman bagi OJK dan
industri jasa keuangan dalam melaksanakan kegiatan dalam upaya peningkatan literasi dan
inklusi keuangan masyarakat Indonesia Hasil survei pada tahun itu menunjukan masyarakat
Indonesia memiliki:
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) kedua yang dilakukan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) pada tahun 2016 menunjukkan indeks literasi keuangan sebesar 29,66% dan
indeks inklusi keuangan sebesar 67,82%.
Angka tersebut meningkat dibanding hasil SNLIK pada 2013, yaitu indeks literasi keuangan
21,84% dan indeks inklusi keuangan 59,74%. Dengan demikian telah terjadi peningkatan
pemahaman keuangan (well literate) dari 21,84 persen menjadi 29,66 persen, serta peningkatan
akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan (inklusi keuangan) dari 59,74 persen
menjadi 67,82 persen.
"Peningkatan tersebut merupakan hasil kerja keras OJK dan Industri Jasa Keuangan, yang terus
berusaha secara berkesinambungan meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di masyarakat,"
Menurutnya, OJK bersama IJK akan terus mendorong dan melaksanakan program literasi dan
inklusi keuangan agar target indeks inklusi keuangan yang dicanangkan pemerintah melalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2016 tentang Strategi Nasional
Keuangan Inklusif (SNKI) sebesar 75% pada tahun 2019 dapat tercapai.
SNLIK 2016 dilakukan OJK untuk mengukur efektivitas implementasi SNLIK 2013 yang telah
dilakukan dan memetakan kembali tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat terkini.
Survei tahun 2016 mencakup 9.680 responden di 34 provinsi yang tersebar di 64 kota/
kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan gender, strata wilayah, umur, pengeluaran,
pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Survei ini untuk pertama kalinya mengukur tingkat literasi dan
inklusi keuangan syariah masing-masing sebesar 8,11% dan 11,06%. Sebagai tambahan, hasil
survei juga mencakup indeks literasi dan inklusi keuangan per provinsi dan per sektor jasa
keuangan, baik untuk sektor jasa keuangan konvensional maupun syariah.
Otoritas Jasa Keuangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 memiliki fungsi
mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan sekaligus melindungi konsumen, khususnya
dalam berinteraksi dengan industri jasa keuangan. Perlindungan masyarakat dalam konteks
preventif memiliki aspek literasi dan edukasi keuangan dan capacity building yang
membutuhkan strategi khusus dalam implementasinya.
Untuk pertama kalinya OJK melaksanakan Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLK) pada
tahun 2013, dengan hasil dari setiap 100 penduduk di Indonesia hanya 21 orang yang
well-literate (indeks literasi keuangan 21,84%). Demikian halnya untuk inklusi keuangan, dari
100 penduduk Indonesia, hanya 59 orang yang memiliki akses terhadap produk/layanan jasa
keuangan (indeks inklusi keuangan 59,74%).
Dengan hasil survei tersebut, OJK bersama IJK menyusun Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia (SNLKI) yang di dalamnya terdapat berbagai macam program strategis dan program
inisiatif yang bertujuan untuk lebih meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat.
Beragam kegiatan edukasi dan program inklusi keuangan secara berkelanjutan dilaksanakan
oleh OJK bersama industri jasa keuangan. Edukasi keuangan dilakukan dalam berbagai bentuk
seperti edukasi komunitas, training of trainer, outreach program, kuliah umum, edukasi bahari,
iklan layanan masyarakat, edu expo, bioskop keliling, wayangan dan SiMOLEK dengan target
edukasi yaitu perempuan/Ibu rumah tangga, UMKM, petani/nelayan, TKI/CTKI,
pelajar/mahasiswa, profesional, karyawan dan pensiunan.
Kegiatan edukasi keuangan sejak tahun 2013 s.d. 2016 telah dilaksanakan di 144 kota dengan
frekuensi sebanyak 289 kegiatan. Selain itu juga dalam rangka meningkatkan literasi keuangan
OJK sebagai anggota Dewan Nasional Keuangan Inklusif juga menyelenggarakan kegiatan
inklusi keuangan dalam bentuk sinergi aksi bersama-sama kementerian/lembaga terkait, seperti
pengembangan Sinergi Aksi Untuk Ekonomi Rakyat, Sinergi Aksi Mendorong Akses Keuangan
Untuk Rakyat, Gerakan Nasional Menabung dan program penyaluran bansos secara non tunai.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menganugerahi tiga orang sebagai tokoh inspirator inklusi
keuangan 2018 melalui pengembangan klaster perikanan, BUMDes, dan LKM syariah.
Mengutip siaran persnya, Kamis malam, 18 Januari 2018, tiga tokoh tersebut yakni
Mohammad Nadjikh dari Gresik Jawa Timur, H Rasim, dan Mochammad Syaihul Izzat.
Mohammad Nadjikh.
Dirinya dinobatkan sebagai tokoh inspirator inklusi keuangan melalui pengembangan klaster
perikanan. Sosoknya dinilai menginspirasi komunitas nelayan di Indonesia untuk menjadi
enterpreneur sukses pada bidang perikanan dan pengolahan hasil laut.
Melalui usaha yang didirikannya (PT Kelola Mina Laut-KML Group) pada 1994, M Nadjikh saat
ini mengelola 125 ribu nelayan, 600 UMKM (pengepul), dan menampung sekitar 14 ribu
karyawan.
Memulai bisnis ikan teri yang saat ini menguasai 75 persen dari pangsa pasar ekspor ke
Jepang, KML Group melebarkan sayap usahanya di Pulau Jawa, Madura, Maluku dan
beberapa pulau lainnya di Indonesia di bidang industri makanan, agroindustri, ritel dan
distribusi serta penangkapan ikan laut.
Dia memilih untuk tidak melebarkan bisnisnya pada usaha penangkapan ikan menggunakan
kapal-kapal besar modern dengan tujuan mendukung nelayan tradisional, memutus rantai
kemiskinan nelayan dan ketergantungan terhadap tengkulak.
Kelola Mina Laut sudah mempunyai sejarah cukup panjang dan juga mempunyai visa yang
jauh kedepan sebagaimana bisa ditemukan pada websitenya. Berikut ini disampaikan sejarah
singkatnya.
1994-1998: As the Large Anchovy (Teri Nasi) Processing Company in Indonesia (Share 75%)
and about 30 production units arround the country.
1999-2005: As the Seafood Processing Company with the most complete varieties in Indonesia
2016-2020: As the Competitive Integrated Food Industry with the slogan Kitchen of Indonesia
2021-2030: As a World-Class Integrated Food Industry that is respected as well as the quality
and brand (equal and compete with the order world-class food industry
Dalam menjalankan bisnisnya sebuah perusahaan tentunya harus memiliki corporate value
yang kuat sehingga dapat menjadi pegangan bagi setiap orang yang bekerja di dalam
perusahaan tersebut. Kelola Mina Laut tentunya mempunyai corporate value yang ditelah
ditanankan kepada diri setiap karyawannya, sehingga membuat perusahaan terus berkembang
sebagaimana saat ini. Berikut ini adalah Corporate Value yang telah dianut oleh perusahaan.
ADAPTABLE TO CHANGE: Ability to absorb the advantage technology and able to provie
consumer's need.
INNOVATIVE: Always enrich the competence to produce products and service with high
competitiveness.
Kelola Mina Laut dalam setiap kelompok perusahaan tentunya memiliki visi yang berbeda beda.
Berikut ini adalah visi dari kelompok usaha Sea Food, Brand & Distribution, Vegetable, Beef,
Poultry dan TRE &RTD
THE BRANDS & DISTRIBUTION: We put a serious concern on brand and distribution matters.
We believe that branding plays an important role for company and its products. Through
branding and solid distrubtion system, we want to build a relationship with people around the
globe. Our distribution covers the global market (export) and the local market in indonesia.
BEEF, POULTRY, RTE & RTD: By 2020, we are dreaming to be able to serve indonesian’s
household through kml food products. “Kitchen of indonesia” means kml is able to have a good
interaction with indonesian’s household through kitchen. We believe that our product’s variety
can fulfill and satisfy every single family in indonesia for now and future.
Kelola Mina Laut (KML) mengadopsi manajemen kualitas dan keamanan produknya
bersandarkan langkah = langkah sebagai berikut 1. Internal Laboratory, 2. Traceability, 3.
Research and Development 4. Sertifikasi HACCP, 5. Sertifikasi Keamanan Makanan dan 6.
Komitment kepada Keberlanjutan.
H Rasim.
Tokoh inspirator inklusi keuangan pada bidang Pengembangan BUMDes (Badan Usaha Milik
Desa) ini merupakan Kepala Desa Langgongsari, Banyumas. Rasim mentransformasi empat
hektare (ha) tanah bengkok/lahan tandus yang terbengkalai di sudut desa Langgongsari
menjadi taman agrowisata dengan nama "Taman Mini Revolusi Mental”. Toko buah yang kami
kelola bentuknya adalah taman. Karena menyesuaikan dengan program Presiden maka kami
beri nama 'Taman Mini Revolusi Mental'. Alasan lain dinamakan itu agar menjadi percontohan
di tingkat nasional dan ada perubahan mental warga di desa tersebut.
Mulai dibangun sejak 2015 melalui Alokasi Dana Desa 2015 dan dikelola oleh BUMDes Bulak
Barokah Desa Langgongsari, taman tersebut juga berfungsi sebagai "toko buah" yang
sekaligus merupakan sekolah berbasis Teknologi Informasi (TI).
Dia mengawali kegiatan usahanya dengan memberikan pembiayaan kepada 20 nasabah yang
telah menjalani tahapan pembentuk Kelompok Usaha Masyarakat sekitar Pesantren Indonesia
(KUMPI).
Tercatat pada 21 Januari 2018, LKM Syariah Berkah Rizqi Lirboyo memiliki 205 nasabah yang
terdiri atas 41 KUMPI yang memiliki 149 nasabah dengan nilai total pembiayaan sebesar
Rp149 juta. Saat ini, LKM Syariah Berkah Rizqi Lirboyo merupakan LKM Syariah tahap awal
yang melakukan aktivitas pemberdayaan masyarakat melalui penyaluran pembiayaan
terbanyak.
LKM Syariah Berkah Rizqi Lirboyo terbilang aktif dan kreatif secara mandiri dalam
menghidupkan aktivitas LKM Syariah di lingkungan Pesantren Lirboyo Kediri. Tingkat kredit
macet atas pinjaman usaha yang disalurkan Bank Wakaf Mikro (BWM), lembaga keuangan
mikro syariah besutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai saat ini tercatat nihil. Sejauh ini,
angsuran pembayaran pinjaman di 20 BWM yang telah beroperasi, termasuk di Pesantren
Lirboyo Kediri, berjalan lancar. Hingga 15 April 2018, total pinjaman yang disalurkan 20 BWM
kepada pelaku usaha mikro di lingkungan pondok pesantren mencapai Rp 4,18 miliar.
Pinjaman tersebut diberikan kepada 4.152 nasabah.
BWM menyalurkan pembiayaan yang berasal dari donasi individu dan perusahaan kepada
pelaku usaha mikro dengan nominal berkisar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per nasabah. Imbal
hasil yang dipatok terbilang mini yaitu setara 3%. Jangka waktu angsuran pinjaman rata-rata
setahun, namun bisa pula disesuaikan dengan kebutuhan dan kebijakan masing-masing BWM.
Saat ini, nasabah mengangsur pengembalian pinjaman setiap minggu.
Selain itu, M Nadjikh juga mengembangkan BMT (Baitul Mat wa Tamwil) untuk koperasi
simpan pinjam nelayan yang akan membantu pengelolaan keuangan para nelayan yang
diayominya. Bekerja sama dengan bank untuk menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
melalui program CSR dari KML Group kepada nelayan di Tempat Pelelangan Ikan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 120.000 agen Layanan Keuangan Tanpa Kantor
dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
120.000 agen Laku Pandai yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan produk
lembaga jasa keuangan melayani lebih dari 1,8 juta rekening.
Agen Laku Pandai adalah program yang dirilis OJK untuk memberikan pelayanan perbankan
dan layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak bank. Lewat program ini,
pemilik toko kelontong, penjual pulsa, dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah lainnya
bisa melayani transaksi perbankan kepada masyarakat.
"Agen Laku Pandai 120.000 di nasional, jumlah tabungan BSA, Basic Saving Account yang di
agen hampir 1,8 juta account," jelas Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK
Agus Sugiarto dalam Seminar Diseminasi Survei Inklusi Keuangan di Indonesia: Studi Kasus
Aceh dan NTB di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2017).
Agus menambahkan, agen Laku Pandai ke depan tidak lagi hanya melayani transaksi
tabungan dari masyarakat. Untuk menambah jumlah nasabah yang akan diikuti oleh
peningkatan inklusi keuangan, agen Laku Pandai juga diminta aktif memberikan pemahaman
kepada masyarakat terhadap produk bank. "Saya ingin dia menjadi agen literasi, artinya agen
Laku Pandai bisa mengedukasi masyarakat di sekitarnya," kata Agus.
Dengan demikian, kepercayaan masyarakat memanfaatkan agen Laku Pandai bisa meningkat
karena masih banyak masyarakat yang belum mengenal dan mendapatkan layanan perbankan
karena tinggal di daerah yang jauh dari kantor cabang bank. "Agen Laku Pandai harus
dioptimalkan terus supaya tidak menjadi agennya bank," tutup Agus
Kasus Aplikatif
Syarat dan Cara Menjadi Agen Bank Program Laku Pandai – Program Laku Pandai (Layanan
Keuangan Tanpa Kantor untuk Keuangan Inklusif) merupakan program pemerintah melalui
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang bertujuan untuk membantu masyarakat yang selama ini
belum tersentuh Perbankan.
Program keuangan inklusif ini melibatkan Bank sebagai lembaga keuangan, dan pihak bank
menawarkan kepada masyarakat yang bersedia menjadi agen Laku Pandai. Program ini sudah
berjalan sejak tahun 2015 silam, dimana dengan program ini masyarakat bisa menerima kredit
mikro, tabungan, dan asuransi mikro.
Dengan adanya kemudahan tersebut, tentu saja banyak masyarakat yang tertarik untuk
menjadi nasabah program ini. Hingga saat ini, ada beberapa bank yang sudah memiliki ijin
untuk membuka layanan branchless banking.
Beberapa bank Besar seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank
Mandiri, dan Bank Tabungan Pensiun Nasional (BTPN) sudah mendapatkan ijin tersebut. Dari
keempat bank besar tersebut diharapkan akan ada 350.000 agen yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.
Dengan begitu, maka masyarakat yang ingin merasakan akses perbankan bisa terlayani, dan
tentunya menjadi peluang usaha yang menjanjikan.
Selain persyaratan di atas, tiap Bank pelaksana juga menetapkan syarat tambahan. Sebagai
contoh, untuk menjaid agen BRILink maka calon agen harus punya rekengin tabungan atau
giro BRI yang dilengkapi dengan kartu ATM/ debit, serta memiliki dana yang mencukupi di
dalam rekening tersebut untuk transaksi. Setelah memenuhi beberapa syarat menjadi agen
Laku Pandai tersebut, pihak Bank pelaksa masih melakukan analisa sebelum permohonan
calon agen diterima. Dan keputusan pihak bank tersebut adalah mutlak.
Salah satu kelebihan menjadi agen Laku Pandai adalah hubungan yang erat dengan pihak
Bank. Dengan begitu, agen lebih mudah untuk mendapatkan dana kredit. Hal ini karena semua
data dari agen tersebut sudah diketahui oleh pihak Bank bersangkutan.
Sebagai Agen Laku Pandai, maka aktivitas kerjanya adalah seperti karyawan Bank pada
umumnya. Agen memiliki peran sebagai banker, dimana ia memiliki tugas sebagai berikut:
1. membuka rekening tabugan baru
2. menerima setoran
3. melakukan tarik tunai
4. memberikan kredit mikro pada masyarakat
5. menjual produk keuangan (misalnya asuransi mikro)
Sebagai contoh, seorang Agen Laku Pandai dari Bank BRI akan mendapat fee dari setiap
transaksi nasabah. Berikut ini nominalnya:
Berbeda jika agen tersebut bekerjasama dengan Bank BTPN. Agen akan mendapatkan fee
sebesar 4% dari setiap transaksi. Berikut penjelasan nominalnya:
Agar tidak memberatkan nasabah, pihak Bank BTPN menetapkan fee maksimal Rp7500 untuk
tarik tunai
Setiap pembukaan tabungan nasabah baru, agen akan mendapatkan fee maksimal Rp5000
Sedangkan bila menjadi agen Laku Pandai dari Bank Mandiri, agen akan mendapatkan fee
Rp5000 setiap kali ada nasabah baru yang membuka tabungan Mandiri.
Sedangkan di dalam surat penunjukan agen Laku Pandai memuat informasi mengenai:
1. nama perorangan/ badan hukum pemilik outlet
2. nama dan foto penanggungjawab outlet
3. alamat tempat usaha
4. nomor dan tanggal berlaku registrasi
5. pernyataan lulus uji tuntas
6. nama Bank penyelenggara dan wilayah operasional
7. logo Bank penyelenggara
8. nama dan tanda tangan pejabat Bank penyelenggara
9. Baca juga: Cara Mendapatkan Modal Usaha Tanpa Jaminan
Tantangan menjadi agen Laku Pandai adalah meyakinkan masyarakat untuk menggunakan
layanan perbankan dari Anda. Tentunya hal ini bukanlah sesuatu yang mudah mengingat para
nasabah tidak mendapatkan buku tabungan layaknya layanan perbankan pada umumnya. Dan
kegiatan transaksi dilakukan hanya dari HP.
Selain itu, agen Laku Pandai pasti mendapat resiko kejahatan karena memegang uang tunai
yang jumlahnya cukup besar dari transaksi para nasabah. Sangat disarankan untuk segera
menyetor semua dana tersebut ke Bank untuk menghindari resiko kejahatan yang mungkin
terjadi.
Referensi:
https://finance.detik.com/moneter/d-3434116/ada-120000-agen-laku-pandai-layani-18-juta-reke
ning-nasabah-di-ri
https://duta.co/tersalur-rp-418-m-di-20-bank-wakaf-mikro-kredit-macet-nihil/
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-OJK-Indeks-Literasi
-dan-Inklusi-Keuangan-Meningkat.aspx
Tujuan LKM:
1. Koperasi; atau
2. Perseroan Terbatas (sahamnya paling sedikit 60 persen dimiliki oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota atau badan usaha milik desa/kelurahan, sisa kepemilikan
saham PT dapat dimiliki oleh WNI atau koperasi dengan kepemilikan WNI paling
banyak sebesar 20 persen).
Kepemilikan LKM
LKM hanya dapat dimiliki oleh:
1. Luas Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan,
kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan skala usaha masing-masing LKM.
2. Skala usaha LKM yang dimaksud ditetapkan berdasarkan distribusi nasabah peminjam
atau Pembiayaan sebagai berikut:
a. LKM memiliki skala usaha desa/kelurahan apabila memberikan Pinjaman atau
Pembiayaan kepada penduduk di 1 (satu) desa/kelurahan;
b. LKM memiliki skala usaha kecamatan apabila memberikan Pinjaman atau
Pembiayaan kepada penduduk di 2 (dua) desa/kelurahan atau lebih dalam 1
(satu) wilayah kecamatan yang sama;
c. LKM memiliki skala usaha kabupaten/kota apabila memberikan Pinjaman atau
Pembiayaan kepada penduduk di 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten/kota yang sama.
3. Modal LKM terdiri dari modal disetor untuk LKM yang berbadan hukum PT atau
simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah untuk LKM yang berbadan hukum
Koperasi dengan besaran:
a. Wilayah usaha desa/kelurahan: Rp 50.000.000
b. Wilayah usaha kecamatan: Rp 100.000.000
c. Wilayah usaha kabupaten/kota: Rp 500.000.000
Transformasi LKM
LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat
syariah jika:
1. LKM wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala setiap 4 (empat) bulan
untuk periode yang berakhir pada 30 April, 31 Agustus, dan 31 Desember kepada
OJK.
2. Penyampaian laporan keuangan dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
3. Ketentuan mengenai laporan keuangan LKM diatur dalam surat edaran OJK.
1. Menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
3. Melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
4. Bertindak sebagai penjamin;
5. Memberi pinjaman atau pembiayaan kepada LKM lain, kecuali dalam rangka
mengatasi kesulitan likuiditas bagi LKM lain dalam wilayah kabupaten/kota yang
sama;
6. Melakukan penyaluran pinjaman atau pembiayaan di luar cakupan wilayah usaha; atau
7. Melakukan usaha di luar kegiatan usaha seperti yang dimaksud dalam Pasal 2
Peraturan OJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Keuangan Mikro.
Setiap lembaga yang berupaya untuk membuat dan menjalankan LKM ini diharapkan untuk
dapat mendaftarkan di OJK sesuai dengan aturan yang berlaku. Ada dua bentuk badan hukum
yang bisa dipilih untuk pendirian LKM ini. Pertama adalah koperasi yang dikenal sebagai salah
satu jasa keuangan yang dapat membantu masyarakat kecil untuk dapat meminjam uang
dengan bunga yang rendah. Selain itu ada juga LKM dengan bentuk badan hukum PT atau
perseroan terbatas. PT tersebut mempunyai banyak aturan seperti sahamnya sebagian besar
yaitu 60 persennya dikuasai oleh pemerintah dan syarat lainnya. Misalnya, untuk syarat
pembuatan LKM ini adalah sebagai berikut:
Selain dari perseorangan yang mempunyai lembaga bantuan keuangan, syarat pemilik LKM ini
selanjutnya adalah merupakan badan usaha yang dimiliki oleh desa atau kelurahan. Karena
merupakan program pemerintah, tentu saja untuk penyalurannya LKM ini juga menggunakan
jaringan yang dipunyainya yaitu sistem pemerintah paling kecil yaitu di desa dan kelurahan.
Selain dari badan usaha yang dimiliki desa dan daerah, LKM ini juga bisa dimiliki oleh badan
usaha yang dipunyai oleh pemerintah tingkat selanjutnya yaitu kota atau kabupaten. Jenis ini
akan mendorong masyarakat di daerah tersebut agar dapat lebih produktif dan bisa untuk
mengajukan kota atau kabupaten tersebut.
Koperasi
Dan badan yang bisa untuk memiliki hak atas Lembaga Keuangan Mikro ini adalah koperasi.
Dimana badan ini merupakan jasa keuangan yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk
meminjam dana yang dibutuhkan tetapi dengan bunga dan juga aturan yang lebih mudah. Oleh
karena itu juga dipercaya sebagai lembaga yang bisa untuk menyalurkan dana mikro tersebut
kepada masyarakat yang membutuhkan. Atau kepada pengusaha yang mempunyai bisnis kecil
hingga menengah.
1. Permohonan Izin Usaha LKM Baru, bagi LKM yang berdiri sejak
Undang-Undang LKM berlaku (berdiri sejak tanggal 8 Januari 2015).
2. Permohonan Izin Usaha LKM Melalui Pengukuhan, bagi LKM yang telah berdiri
dan beroperasi sebelum Undang-Undang LKM berlaku (telah berdiri dan
beroperasi sebelum tanggal 8 Januari 2015).
Sumber: https://www.ojk.go.id/Files/box/LKM/izin-lkm.pdf
11 Apa yang dimaksud dengan Pengukuhan LKM adalah pemberian izin usaha
pengukuhan LKM? bagi lembaga-lembaga yang telah beroperasi
sebelum UU LKM berlaku atau sebelum 8
Januari 2015 sesuai dengan Pasal 29 ayat 1
POJK nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga
Keuangan Mikro.
12 Apa saja lembaga-lembaga yang 1. Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar,
wajib memperoleh izin usaha melalui Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD),
pengukuhan? Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha
Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Wakaf kerap diarahkan kepada benda wakaf yang tidak bergerak, sedangkan wakaf benda
bergerak baru mengemuka belakangan. Diantara wakaf benda bergerak yang ramai
diperbincangkan belakangan adalah wakaf uang yang dikenal dengan Cash waqf. Wakaf uang
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum
dalam bentuk tunai/uang. Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para fuqaha. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktekkan oleh masyarakat yang menganut
mazhab Hanafi.
Cara melakukan wakaf uang dengan menjadikannya modal usaha dengan salah satu caranya
mudharabah. Sedangkan keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf. Ibn Abidin
mengemukakan bahwa wakaf uang yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah romawi, sedangkan di negri lain wakaf
uang bukan merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa bahwa wakaf
uang tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf uang tidak boleh adalah
mazhab Syafi’i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi’i tidak membolehkan wakaf uang, karena
dirham dan dinar (uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh tidaknya wakaf uang berkisar pada wujud
uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula,
terpelihara dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama. Namun kalau
melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat
memungkinkan untuk melaksanakan wakaf uang. Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan
modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud
saham atau deposito, atau yang lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan
keuntungan dalam waktu yang lama. Sejarah wakaf uang, praktik wakaf telah dikenal sejak awal
Islam, bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktekkan sejenis wakaf, tapi dengan
nama lain, bukan wakaf. Karena praktek sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam,
tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktek masyarakat
Praktek sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya tempat ibadah
yang di bangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai
perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut. Masjid Alharam di Mekkah dan
masjid Al-Aqsa misalnya telah dibangun di atas tanah yang bukan milik siapapun, tetapi milik
Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemashlahatan umat. Praktek semacam ini sebelum
Islam telah dikenal praktek sosial dan diantara praktek-praktek sosial itu adalah praktek
menderma sesuatu dari seseorang demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua
keluarga.
Mengenai wakaf uang, Wahbah Zuihaili menjelaskan bahwa ulama mazhab Maliki
memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan hadis nabi
Muhammad SAW dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para sahabat, seperti baju perang,
binatang, dan harta lainnya serta hal tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW.
Secara Qiyas, wakaf uang dianalogikan dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah
memenuhi syarat ‘illah (sebab persamaan) terdapat dalam qiyas dan yang diqiyaskan (maqis
dan maqis ‘alaih). Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam
waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika dikelola secara professional memungkinkan uang yang
diwakafkan kekal selamanya.
Wakaf memiliki potensi besar dalam membantu pengembangan perekonomian nasional. Di Arab
Saudi telah terbentuk lembaga semacam perusahaan untuk meningkatkan peran bank wakaf
dalam perekonomiannya. Bangladesh terus memperbesar peran Bank Wakaf agar kesenjangan
dan ketimpangan ekonomi bisa dikurangi. Kampus legenda dan tertua di dunia, Universitas
Al-Azhar, menunjukkan betapa wakaf memainkan peran penting dalam dunia pendidikan,
dengan memberikan hasil yang maslahat bagi seluruh dunia. Kampus-kampus lain di Barat pun
seperti Harvard, Oxford, Cambridge, dan lain-lainnya muncul dari pola kerja ekonomi seperti
wakaf. Badan Wakaf Indonesia (BWI), menyatakan potensi wakaf tanah saja di atas Rp 370
triliun, sementara wakaf tunai Rp 180 triliun. Ini belum termasuk menghitung potensi wakaf tanah
yang masih belum muncul, yang bisa mencapai Rp 2.000 triliun.
Wakaf berevolusi dari aktivitas sosial, keagamaan, menjadi kegiatan ekonomi seperti
membangun jalan, jembatan, menggarap lahan pertanian, perkebunan, hingga perdagangan.
Seperti kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), ada potensi besar yang bisa digali dari wakaf.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) kini mulai menjadikan wakaf atau dalam
bahasa sehari -hari berupa pemberian harta (tanah maupun uang) untuk diambil manfaatnya
bagi kepentingan umat sebagai program prioritas pembangunan ekonomi. Wakaf produktif
menjadi menu utama Pemerintah Jokowi dalam mengangkat derajat kaum miskin menjadi lebih
baik, mereka yang tidak punya menjadi produktif, dan perekonomian bergerak dari bawah. Bank
wakaf pun dibentuk OJK, sementara BI membangun Waqaf Core Principles bersama BWI.
Pendirian Bank Wakaf Mikro di pesantren bertujuan agar para santri bisa belajar mengelola
perbankan. Sehingga, apabila Bank Wakaf Mikro tumbuh besar, ekonomi umat dapat berjalan
dengan baik. Bank Wakaf Mikro juga menjadi bukti bahwa pemerintah tidak hanya mengurus
para pemodal besar yang ada di perbankan konvensional. OJK telah mengeluarkan izin kepada
20 lembaga Bank Wakaf Mikro di lingkungan pondok pesantren. Hingga awal Maret 2018, dari
20 Bank Wakaf Mikro yang merupakan proyek percontohan telah disalurkan pembiayaan
kepada 2.784 nasabah dengan total nilai pembiayaan sebesar Rp 2,45 miliar.
Pembiayaan diberikan tanpa agunan dengan nilai maksimal Rp 3 juta dan margin bagi hasil
setara tiga persen. Selain itu, disediakan pelatihan dan pendampingan serta pola pembiayaan
yang dibuat per kelompok atau tanggung renteng. Lembaga tersebut tidak diperkenankan
mengambil simpanan dari masyarakat karena memiliki fokus pemberdayaan masyarakat melalui
pembiayaan disertai pendampingan usaha. Lembaga ini juga berstatus sebagai lembaga
keuangan mikro syariah yang diberi izin dan diawasi oleh OJK.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, Bank Wakaf Mikro tersebar di
berbagai daerah, seperti di Cirebon, Bandung, Ciamis, Serang, Lebak, Purwokerto, Cilacap,
Kudus, Klaten, Yogyakarta, Surabaya, Jombang, dan Kediri.
Di kalangan ulama fikih klasik, hukum mewakafkan uang merupakan persolan yang masih
diperselisihkan (debatable, ikhtilaf). Perselisihan tersebut lahir karena tradisi yang lazim
masyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset) dan pada
penyewaan harta wakaf.
Berdasarkan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam merasa kurang
sesusai saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al - Anshari,
murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan
(dirham atau dinar) dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan
gandum). Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan
uang wakaf, bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar,
kemudian mereka mempertanyakan, “Apa yang dapat kita lakukan dengan dana cash dirham?”
Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan,” Kita investasikan dana
Dikalangan mazhab-mazhab fikih, masalah wakaf uang pernah dijadikan bahan perdebatan.
Dikalangan Syafi’iyah misalnya, Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu, menyatakan,
“Berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang
yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar, membolehkan berwakaf dengannya,
dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya, tidak memperbolehkan mewakafnya”.
Ibn Taimiyah dalam kitabnya, Majmu’al Fatawa, meriwayatkan satu pendapat dari kalangan
Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang.
Di samping ada yang membolehkan, terdapat pula ulama yang tidak memperbolehkannya. Ibn
Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian besar
kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham, dengan alasan dirham dan dinar
akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya. Di samping itu, Ibn Qudamah
juga menjelaskan salah satu pendapat dari kalangan yang tidak membolehkan mempersewakan
uang; yang isinya dengan tidak membolehkan wakaf uang dirham. Mereka beralasan, bahwa
dengan mempersewakan uang untuk ditarik manfaatnya berarti telah merubah fungsi utama
uang sebagai alat tukar, sama halnya larangan mewakafkan pohon untuk jemuran, oleh karena
fungsi utama pohon bukanlah untuk menjemur pakaian. Dari beberapa pendapat ulama di atas,
jelas bahwa alasan boleh dan tidaknya mewakafkan uang berkisar pada apakah wujud uang
tersebut, setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula atau tidak. Perdebatan
ulama tentang unsur” keabadian”, pada dasarnya tidak lepas dari pemahaman mereka terhadap
petunjuk Rasulullah kepada Umar ibn Khathab “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya”.
Menurut Abu Ishaq Asy-Syirazi (wafat 476 H/1083 M) petunjuk tersebut mengandung makna
bahwa yang boleh diwakafkan adalah yang dapat bermanfaat dan tahan lama (tidak lenyap
ketika dimanfaatkan). Adanya pendapat sebagian ulama yang lebih menekankan bahwa barang
yang akan diwakafkan itu harus bersifat kekal atau, paling tidak, dapat tahan lama, pada
dasarnya tidak lepas dari paradigma yang mapan mengenai konsep wakaf itu sebagai sedekah
jariah yang pahalanya terus mengalir, maka, tentu barang yang akan diwakafkan itu harus
berupa barang yang fisiknya bersifat kekal atau tahan lama. Namun, Ibn Taymiyah dalam
kitabnya, al-Fatawa meriwayatkan satu pendapat dari Muhammad ibn Abdullah al-Anshari soal
keabadian barang yang diwakafkan. Al-Anshari mengungkapkan bahwa “wakaf dinar hanya
akan bermanfaat ketika zat uangnya habis (lenyap ketika dimanfaatkan) dan jika bendanya tidak
lenyap, maka tidak akan bermanfaat”. Maksudnya ialah manfaat uang itu akan terwujud
bersamaan dengan lenyapnya zat uang secara fisik. Dengan kata lain, meski, secara fisik,
zatnya lenyap, tetapi nilai uang yang diwakafkan tersebut tetap terpelihara kekekalannya.
Berbeda dengan wakaf selain uang atau asset tetap, yang memang secara fisik tetap utuh
meskipun dimanfaatkan. Adanya perdebatan dikalangan ulama fikih tentang boleh atau tidaknya
berwakaf dengan uang seperti diatas, memperlihatkan adanya upaya yang terus menerus untuk
memaksimalkan hasil harta wakaf. Karena semakin banyak harta wakaf yang dihimpun, berarti
Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, membuka peluang bagi asset wakaf
untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya. Dalam
catatan sejarah Islam, wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama
terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al Hadits) memfatwakan, dianjurkannya
wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat
Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha
kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Namun demikian, faktor resiko, seperti
kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna
mengantisipasi madharat yang lebih besar.
Dalam konteks perdebatan dua pendapat di atas, penulis lebih cenderung setuju kepada
pendapat yang membolehkan. pendapat Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, dari kalangan
Hanafi dan pendapat Imam al-Zuhri seperti diriwayatkan oleh Bukhari, bisa dijadikan legalitas
yang valid bagi kebolehan wakaf uang, di samping ada beberapa argumen lain:
Pertama, bila dianalisa dari maksud dan tujuan wakaf, salah satunya adalah agar harta yang
diwakafkan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak secara terus menerus sehingga
pahalanya mengalir secara terus menerus pula. Berdasar hal tersebut, maka wakaf uang
memilki unsur manfaat. Hanya saja, manfaat uang baru akan terwujud bersamaan dengan
lenyapnya zat uang secara fisik. Meski secara fisik zatnya lenyap, tetapi nilai uang yang
diwakafkan tetap terpelihara kekekalannya. Mengenai sifat fisik barang, hal itu bukan soal yang
substantif dan prinsipil. Meski zat uangnya lenyap ketika digunakan, tapi nilainya bisa tetap
terpelihara dan mungkin terus menerus mendatangkan hasil. Memang barang yang yang sifat
fisiknya dapat bertahan lama dan mendatangkan banyak manfaat tentu lebih baik, namun jauh
lebih baik dan prinsipil dari semua itu ialah keabadian manfaat dan nilai dari benda yang
diwakafkan.
Kedua, Wakaf merupakan salah satu konsep fikih ijtihadiyah yang lahir dari pemahaman ulama
terhadap nash - nash yang menjelaskan tentang pembelanjaan harta dan sebagai respons
terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang pertanyaan umar berkaitan dengan
pemanfaatan tanahnya di Khaibar, serta beberapa hadis lain yang mendukung. Namun
mengenai hal - hal yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw, sejauh
dalam bidang muamalah (hubungan horizontal), pintu ijtihad terbuka lebar untuk dilakukan,
termasuk persoalan wakaf uang. Karena tidak ada nash al-Qur’an dan sunah Rasulullah yang
secara tegas melarang wakaf uang maka atas dasar maslahah mursalah, wakaf uang
dibolehkan, karena mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kemaslahatan umat, atau
dalam istilah ekonomi dapat meningkatkan investasi sosial dengan mentransformasikan
tabungan masyarakat menjadi modal umat. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi:
“Hukum asal dalam perikatan dan mu’amalah adalah sah, sampai adanya dalil yang
menyatakan bahwa tindakan itu adalah batal (tidak sah)”
Bank Wakaf Mikro diyakini dapat meningkatkan inklusi keuangan, khususnya pada masyarakat
dan pelaku usaha kecil dan mikro (UKM) untuk mendapat kemudahan permodalan. Untuk
diketahui, lembaga tersebut tidak diperkenankan mengambil simpanan dari masyarakat karena
memiliki fokus pemberdayaan masyarakat melalui pembiayaan disertai pendampingan usaha.
Lembaga ini juga berstatus sebagai lembaga keuangan mikro syariah yang diberi izin dan
diawasi oleh OJK.
Bank Wakaf Mikro sendiri pertama kali diinisiasi pembentukannya oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dengan menggunakan model Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) sebagai
program prioritas pembangunan ekonomi umat. Sebagian besar dari kita pada umumnya pernah
bersentuhan dengan lembaga keuangan bank maupun non bank.
Dunia keuangan mengenal sebutan microfinance, yang merupakan akses bagi orang miskin
untuk berinteraksi dengan lembaga keuangan, orang miskin sering diasosiasikan dengan tidak
mampu untuk membayar utang. Aplikasi pengajuan pembiayaan hal pertama yang akan diminta
bank adalah kolateral. Pada umumnya orang miskin tidak memiliki kolateral. Jika tidak memiliki
uang kas maka hal selanjutnya yang akan dipertimbangkan adalah jumlah kas yang dimilki,
setelah itu reputasi dalam menyelesaikan kredit yang pernah diajukan. Hal terakhir adalah
penilaian terhadap karakter. Hal ini tentu saja bersifat subjektif. Jika sebelumnya orang miskin
tidak pernah berinteraksi dengan bankir maka mengacu pada poin-poin yang telah disebutkan
bisa dipastikan orang miskin terisolasi dari fasilitas-fasilitas keuangan.
Profesor Muhammad Yunus, seorang profesor Ekonomi di Bangladesh suatu hari berpapasan
dengan seorang pengemis wanita. Hampir ia mengabaikan wanita tersebut, namun ia
memutuskan bertanya pada wanita tersebut, "apa yang akan dilakukannya dengan uang
tersebut?" Wanita tersebut menjawab ia akan membuka bisnis kecil dengan menjual ayam." Ia
memberikan uang tersebut dan beberapa minggu kemudian wanita tersebut datang
menyerahkan sekeranjang telur dan melunasi utangnya.
Terinspirasi dari hal tersebut Yunus mendirikan Grameen Bank. Orang miskin bisa saja tidak
memenuhi syarat -syarat yang cukup untuk mengajukan pembiayaan di Bank, namun bukan
berarti orang miskin tidak mau membayar utang mereka jika diberi kesempatan. Terobosan
Yunus kemudian diadopsi oleh beberapa lembaga keuangan lainnya, dan kini hampir seluruh
bank komersil memiliki divisi yang fokus terhadap pembiayaan mikro.
Dalam literatur fikih klasik, cara yang banyak ditempuh dalam mengembangkan harta wakaf
ialah dengan jalan mempersewakannya. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa kebanyakan
Muncul dan berkembangannya lembaga-lembaga keuangan syari’ah dengan prinsip kerja sama
bagi hasil, prinsip jual beli, dan prinsip sewa menyewa. Maka semakin mempermudah pengelola
wakaf (nadzir) selaku manajemen investasi untuk menginvestasikan dana-dana wakaf yang
terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Adapun diantara bentuk-bentuk investasi
yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nadzir) ialah sebagai berikut:
1. Mudharabah, merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh produk keuangan
syari’ah guna mengembangkan harta wakaf. Salah satu contoh yang dapat dilakukan
oleh pengelola wakaf dengan sistem ini ialah membangkitkan sektor usaha kecil dan
menengah dengan memberikan modal usaha kepada petani gurem, para nelayan,
pedagang kecil dan menengah (UKM).
2. Musyarakah, ini risiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf lebih sedikit, oleh karena
modal ditanggung secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih.
3. Ijarah (sewa) ialah mendayagunakan tanah wakaf yang ada. Dalam hal ini pengelola
wakaf menyediakan dana untuk mendirikan bagunan di atas tanah wakaf
4. Murabahah, pengelola wakaf diharuskan berperan sebagai enterpreneur (pengusaha)
yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui suatu kontrak
murabahah.
Demikianlah, beberapa alternatif pemanfaatan dana wakaf yang dapat dilakukan oleh pengelola
wakaf secara langsung (Direct Investment). Wakaf uang yang digunakan untuk investasi bisnis
seperti yang difatwakan Muhammad ibn Abdullah al-Anshari ternyata mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu dengan mentransformasikan tabungan masyarakat
menjadi modal investasi dengan cara menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola
dan keuntungan dari pengelolaannya disalurkan kepada rakyat miskin yang membutuhkan.
Karena itu memberdayakan potensi wakaf uang dari swadaya masyarakat muslim Indonesia
sendiri maupun muslim dari belahan dunia lain jelas merupakan pilihan yang sangat menarik dan
tepat. Secara sederhana dapat dibayangkan, jika ada 20 juta saja dari umat Islam Indonesia
menyerahkan uang sebesar Rp. 50.000 untuk wakaf. Maka, dalam kalkulasi sederhana akan
diperoleh Rp 1 triliun dana wakaf yang siap diinvestasikan. Kemudian, serahkan dana siap
investasi tersebut kepada pengelola profesional yang memberi jaminan esensi jumlahnya tak
berkurang dan malah bertambah dengan digulirkan sebagai investasi. Apa yang segera
diperoleh dari dana tersebut? Taruhlah dana tersebut sekedar dititipkan dibank Syari’ah dengan
bagi hasil 10% pertahun. Maka, pada akhir tahun sudah ada dana segar Rp. 100 Miliar yang siap
dimanfaatkan. Perhitungan tersebut baru 20 juta dari sekitar 210 juta penduduk Muslim di
Indonesia, dan nominalnya baru Rp. 50.000. Jika nilai nominalnya perwakaf Rp. 500 ribu, maka
akan mencapai Rp. 10 triliun. Perhitungan itu baru untuk masa satu kali wakaf. Lalu bagaimana
jika 20 juta dari umat Islam tersebut berwakaf uang dalam tiap tahun.
Pengembangan wakaf uang memiliki nilai ekonomi strategis. Dengan dikembangkannya wakaf
uang, maka didapat sejumlah keunggulan, di antaranya sebagai berikut: Pertama, wakaf uang
jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai
memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih
dahulu, sehingga dengan program wakaf uang akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif
untuk melakukan ibadah wakaf.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa
dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana
wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash
flownya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, pada
gilirannya, Insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan
tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama
semakin terbatas. Kelima, dana waqaf uang bisa memberdayakan usaha kecil yang masih
dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul
dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk
kepentingan sosial dll. Keenam, dana waqaf uang dapat membantu perkembangan bank-bank
syariah, khususnya BPR Syariah. Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka
panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank
syariah.
Dari paparan sebelumnya, kini saatnya untuk menyampaikan kesimpulan terkait dengan Bank
Wakaf Mikro. Potensi ini mesti segera digarap secara profesional oleh umat Islam Indonesia,
khususnya lembaga-lembaga wakaf, bahkan juga lembaga-lembaga keuangan syariah.
Pentingnya pengembangan wakaf di Indonesia tentunya berimplikasi pada bagaimana
pengelolaan wakaf yang optimal dalam memberikan pemanfaatan bagi masyarakat.
Untuk itu diperlukan metode pemberdayaan wakaf yang profesional, amanah, transparan, dan
accountable menuju peningkatan kualitas dan kapabilitas para nazir melalui training, workshop
dan kegiatan-kegiatan yang lainnya. Diskursus wakaf uang dalam khazanah fikih tidak terlalu
banyak mendapat perhatian dari para ulama. Namun, ketika wakaf uang berhasil menggerakkan
perekonomian masyarakat, animo masyarakat Muslim untuk melaksanakan wakaf uang
semakin besar. Bahkan, hukum positif beberapa negara, termasuk Indonesia, telah
mengakomodasi wakaf uang dalam peraturan perundang-undangannya. Kelahiran
“Ibu-ibu kumpul di sini mau apa?" tanya Presiden Jokowi saat membuka dialog yang disambut
gelak tawa hadirin. Jokowi yang berkain sarung, berpeci, dan jas hitam tampak riang menyapa
para peserta Bank Wakaf Mikro (BWM). Hari itu, Jokowi tak sendiri, ia ditemani Kepala Staf
Kepresidenan Moeldoko, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Ketua MUI KH.
Ma'ruf Amin, dan Donatur BWM Datuk Sri Tahir pada peluncuran BWM Pondok Pesantren An
Nawawi Tanara, Serang, Banten, Rabu (14/3/2018)
"Yang paling penting saya titip, jangan sampai ibu-ibu terjerat di rentenir, karena di sana
bunganya sangat tinggi sekali," seru Jokowi.
Jokowi sempat bertanya kepada peserta berapa bunga pinjaman rentenir selama setahun. Ia
juga menoleh ke Wimboh untuk menanyakan hal serupa. "30 persen, 40 persen per tahun,"
kata Jokowi. Beberapa pekan terakhir Jokowi memang cukup rajin meresmikan BWM, sebuah
program pembiayaan keuangan mikro yang sudah dirintis sejak tahun lalu yang digawangi oleh
OJK. Program BWM menambah daftar program-program pembiayaan mikro antara lain
pembiayaan ultra mikro (UMi) hingga berbasis syariah seperti lembaga keuangan mikro
syariah semacam Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Bank Perkreditan Syariah (BPRS) dan
lainnya.
Kepala Departemen Pengawas Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad
Soekro Tratmono mengatakan skema Bank Wakaf Mikro adalah pembiayaan tanpa agunan,
dengan jumlah pembiayaan maksimal Rp3 juta per nasabah. Program BWM memang secara
tak tegas mengenakan bunga bagi nasabahnya, tapi hanya biaya administrasi atau margin
bagi hasil 3 persen per tahun. Pola pembiayaannya biasanya dibuat per kelompok untuk
kegiatan usaha atau kegiatan produktif. Karakteristik Bank Wakaf Mikro sendiri pendekatannya
secara pendampingan, sehingga usaha nasabah terkontrol dan angsuran pembiayaan terjamin.
OJK memfasilitasi pembuatan model bisnis BWM, dengan platform Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (LKMS). BWM berbadan hukum koperasi jasa, dengan mengantongi izin usaha LKMS
sehingga pengawasannya berada di bawah OJK bidang Industri Keuangan Non Bank (IKNB).
Namun, adanya nama "wakaf" pada BWM tak serta merta jadi istilah yang tepat.
Ketua Divisi Pembinaan dan Pemberdayaan Nazhir Badan Wakaf Indonesia (BWI) Hendri
Tanjung pernah mengungkapkan pengelolaan wakaf berbeda dengan LMKS. Ada
syarat-syarat untuk bisa disebut wakaf, termasuk soal pemberinya. BWM ini bukan lembaga
wakaf, ini adalah LKMS. Itu ada badan hukumnya. Kalau Bank Wakaf belum ada, LKMS itu
ada. Ini LKMS bermerek Bank Wakaf Mikro (BWM). Kalau kita misalnya, nanti bicara wakaf
banyak sekali perbedaan dalam hal istilah dan sejumlah hal yang harus dipenuhi," ujar Hendri.
Mohammad Zainol Arief dan Sutrisni, Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep
dalam tulisan berjudul "Praktik Rentenir Penghambat Terwujudnya Sistem Hukum Perbankan
Syariah di Kabupaten Sumenep" dalam Jurnal Performance Bisnis & Akuntansi Volume III
No.2 September 2013, mengungkapkan peran perbankan untuk mensejahterakan masyarakat
khususnya bagi masyarakat berekonomi lemah tidak begitu teraplikasi di lapangan. Biasanya
terkendala pada masalah ketentuan syarat perbankan yang tak semua bisa dipenuhi oleh
semua nasabah.
Keberadaan rentenir sebagai pihak penyedia bantuan pinjaman secara kredit menggantikan
peran lembaga keuangan tersebut dengan sistemnya yang masih sangat tradisional dan tidak
ribet. Selain itu, ada banyak karakteristik yang ada pada rentenir tidak dimiliki oleh lembaga
keuangan formal, yang jadi pilihan bagi masyarakat yang tak punya akses ke bank.
Masih merujuk dari tulisan Zainol Arief dan Sutrisni, karakteristik dari rentenir adalah tidak ada
minimal dan maksimal peminjaman. Artinya, masyarakat dapat meminjam uang dalam jumlah
berapapun sesuai dengan kesepakatan. Peminjaman uang dapat dilakukan kapan saja dan
dalam keadaaan apapun termasuk dalam keadaan mendesak.
Uang pinjaman dapat dicairkan dengan cepat tanpa adanya prosedur pengisian formulir yang
harus dilakukan. Peminjam juga tidak harus memberikan jaminan berupa agunan, lantaran
transaksi didasari adanya rasa saling percaya. Selain itu, peminjaman uang disertai dengan
biaya transaksi yang rendah, bahkan terkadang tidak ada biaya transaksi.
Dana yang dipinjam tidak terbatas untuk kegiatan usaha ekonomi saja, melainkan untuk
kegiatan mendesak seperti biaya berobat, pendidikan dan semacamnya. Peminjaman uang
dapat dilakukan oleh semua kalangan, tidak terbatas bagi anggota saja seperti koperasi. Pihak
peminjam tidak perlu menyertakan data diri berupa KTP, menyertakan surat berharga atau
barang jaminan lainnya.
Di bawah bayang-bayang praktik rentenir, OJK mengklaim bahwa produk BWM akan
memberikan manfaat yang lebih baik kepada masyarakat. Meski tak memiliki data pasti
mengenai efektivitas BWM dalam menekan jumlah operasional bisnis rentenir, namun OJK
menyebut berdasarkan hasil praktik lapangan, pengetahuan masyarakat mengenai BWM
semakin meningkat.
Ini tercermin dari jumlah nasabah atawa debitur yang mengalami peningkatan signifikan dari
827 nasabah per Desember 2017, menjadi 3.876 debitur per Maret 2018. Nominal penyaluran
pembiayaan juga mengalami peningkatan pesat mencapai 452,3 persen menjadi Rp3,63 miliar
dibanding akhir Desember 2017 yang hanya sebesar Rp658 juta.
OJK juga menegaskan, adanya pendampingan dan bimbingan untuk pengembangan usaha
dari Tim OJK di lapangan kepada nasabah BWM bahkan saat sebelum nasabah meminjam
dana, menjadi manfaat tambahan yang bisa dirasakan debitur.
Pendampingan usaha oleh Tim OJK di lapangan, merupakan karakteristik pendekatan BWM.
Dengan begitu, roda bisnis yang dijalankan debitur dapat lebih terkontrol dan angsuran
pembiayaan terjamin kelancarannya. Soekro menyebut, dengan 20 BWM yang resmi berdiri
saat ini, total ada 20 tenaga pendamping dari Tim OJK. Ini artinya, 1 orang pendamping
bertugas mendampingi 1 BWM yang memiliki ratusan nasabah.
Ahmad Arif Noeris, Ketua BWM Amanah Berkah Nusantara dan Ketua Yayasan Pondok
Pesantren Nurul Hidayah Karangsuci, Purwokerto, Jawa Tengah mengaku antusiasme
masyarakat sekitar Ponpes terhadap BWM sangat luar bisa. Menurut Noeris, BWM merupakan
program yang sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat sekitar. Ini lantaran, mayoritas warga
sekitar Ponpes sebelumnya merupakan pelanggan tetap meminjam uang di rentenir. Eksistensi
BWM kini bahkan membayangi keberadaan rentenir yang menjadi tantangan tersendiri.
“Tantangan rentenir sudah mulai tampak, meski belum secara frontal. Pergerakan BWM saat
ini sudah dipantau oleh rentenir, karena memang mayoritas nasabah BWM pernah meminjam
uang dari rentenir dan mungkin juga ada yang merupakan marketing pihak rentenir,” jelas
Noeris.
Menurut Noeris, keberadaan rentenir atau yang dikenal dengan sebutan bank ucek-ucek
tersebut, memang dekat dengan kehidupan masyarakat. Salah satunya lantaran bank
ucek-ucek tersebut mampu memberikan pinjaman uang dengan sangat mudah. Keberadaan
rentenir di sekitar Ponpes Al Hidayah Purwokerto terbilang masif. Kondisi ini jadi kesempatan
untuk mengembangkan BWM.
“Sebab, BWM memberikan bimbingan berupa pendampingan usaha dan juga keagamaan,”
katanya kepada Tirto.
Sampai saat ini kami masih terus menguatkan sumber daya manusia,” ujarnya. Pengamat
industri keuangan syariah sekaligus Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia, Adiwarman
Karim menilai, BWM memiliki kontribusi manfaat yang besar terhadap masyarakat terutama
Potensi 28.194 pesantren yang tercatat dalam data Kementerian Agama, pondok pesantren
menjadi pilihan lantaran dinilai memiliki potensi besar untuk memberdayakan umat dan
berperan dalam mengikis kesenjangan ekonomi.
Kebaikan ini tentu dalam konteks untuk akses pembiayaan bagi masyarakat khususnya
ekonomi lemah. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 mencatat, jumlah penduduk miskin di
Indonesia sebanyak 26,6 juta jiwa atau setara 10,12 persen dari total jumlah penduduk.
Dengan target nasabah pembiayaan adalah masyarakat miskin produktif yang tidak dapat
mengakses lembaga keuangan formal, OJK berharap model bisnis BWM hadir sebagai
inkubator untuk dapat mempersiapkan nasabah menuju sektor lembaga keuangan formal
seperti perbankan syariah, lembaga pembiayaan syariah, ventura syariah dan lembaga
keuangan dengan struktur kompleksitas sejenis.
Tahun ini, OJK berencana menambah izin usaha BWM di beberapa wilayah di
Indonesia menjadi 50 BWM. Sebelumnya, OJK telah memberikan izin usaha kepada 20 BWM
yang tersebar di Pulau Jawa. Saat ini, sebanyak tujuh BWM ada di Jawa Tengah, enam di
Jawa Timur, dan tujuh di Jawa Barat serta Banten. Semua pilot project BWM itu berada di
dekat pondok pesantren. Tambahan 30 BWM pada tahun ini akan tersebar di luar Pulau Jawa
dan tak hanya ada di dekat pesantren, melainkan di lokasi-lokasi yang dianggap potensial.
Upaya melawan rentenir dengan program pembiayaan mikro juga hadir dengan skema ultra
mikro (UMI) yang ada sejak 2017 lalu. Pembiayaan tanpa agunan yang bertujuan menjangkau
pelaku usaha yang tidak tersentuh program Kredit Usaha Rakyat.
Pembiayaan UMi ini disalurkan melalui lembaga keuangan bukan bank (LKBB) seperti PT
Pegadaian, PT Bahana Artha Ventura, dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM).
Pembiayaan UMi memiliki plafon senilai Rp10 juta atau lebih kecil dari KUR Mikro yang
sebesar Rp25 juta. Pembiayaan melalui UMi dikenakan suku bunga sekitar 2-4 persen per
tahun yang lebih ringan dari rata-rata bunga KUR sebesar 9 persen per tahun.
Kasus Aplikatif
Bank Wakaf ini memberikan pinjaman kecil kepada orang tidak mampu tanpa ada agunan. Jadi
untuk membantu usaha-usaha yang sangat mikro dan ini kita akan coba terapkan di Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes)," kata Eko. Baca juga: Manfaatkan Tanah Aset Desa, 50 Rumah
Nelayan Dibangun Meski rencana ini masih dalam tahap kajian oleh tim Kemendes, namun
Eko yakin sinergi antara BUMDes dengan BWM sangat mungkin diwujudkan. Apalagi saat ini
BUMDes sudah banyak menjalin kerjasama dengan pesantren yang tersebar di berbagai desa.
“Kita sudah membentuk banyak kluster ekonomi dengan sejumlah pesantren, seperti program
Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades).
Dalam model seperti ini dunia usaha dapat kesempatan karena ada nilai ekonominya.
Masyarakatnya pun juga diuntungkan karena ada jaminan pascapanennya dan bank juga akan
lebih berani memberikan kredit karena risikonya lebih kecil dalam ekosistem yang terintegrasi
di model prukades ini," jelas Eko. Eko melanjutkan, dalam mewujudkan sinergi dengan BWM
tersebut dirinya sudah bertemu dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari hasil
pembicaraan dengan OJK, kata Eko, memang ada sedikit ganjalan yang perlu dicarikan solusi,
yakni persyaratan modal yang cukup besar bagi ukuran BUMDes. "Persyaratan modal sekitar
Rp 5 miliar mungkin kecil bagi sebuah bank, tetapi hal ini sangat berat bagi BUMDes yang
pendanaannya dari Dana Desa,” ujar Eko. Tahun ini rata-rata per desa mendapat jatah Dana
Desa sebesar Rp 800 juta sampai Rp 900 juta dari total Rp 60 Triliun Dana Desa se-Indonesia.
Jumlah ini sama dengan tahun sebelumnya. Adapun tahun 2016 sebesar Rp 47 triliun,
meningkat dari tahun 2015 sebesar 20,76 triliun.
Referensi:
Faujiah, A. (2018). Bank Wakaf Mikro dan Pengaruhnya Terhadap Inklusi Keuangan Pelaku
Usaha Kecil dan Mikro (UKM). PROCEEDINGS: Annual Conference for Muslim Scholars,
(Series 1), 373-382. Retrieved from
http://proceedings.kopertais4.or.id/index.php/ancoms/article/view/141
Dea Chadiza Syafina (2018) Melawan Rentenir dengan Bank Wakaf Mikro dari
https://tirto.id/melawan-rentenir-dengan-bank-wakaf-mikro-cHvE
Sakina Rakhma Diah Setiawan (2018) BUMDes Bakal Disinergikan dengan Bank Wakaf
Mikro", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/15/213900026/bumdes-bakal-disinergikan-d
engan-bank-wakaf-mikro.
Modal menjadi salah satu hal yang menentukan atas perkembangan suatu usaha. Dalam
usaha pertanian, peran kredit pertanian menjadi faktor yang dapat memperlancar usaha
pertanian para petani. Kredit Pertanian dapat membantu petani dalam mengatasi kurangnya
modal petani dalam memenuhi kebutuhan produksi mereka dan disaat yang sama juga dapat
menghindari ketergantungan dari pedagang perantara dan para pemburu rente yang mencekik
keuangan mereka. Dengan adanya Lembaga Keuangan Mikro yang khusus melayani para
petani kecil, yang biasa disebut sebagai LKM Agribisnis (LKM-A), para petani tentunya
memperoleh manfaat yang tidak dapat dikatakan kecil. Keberadaan LKM-A menjadi salah satu
solusi dalam pembiayaan sector pertanian di perdesaan karena mempunyai peran strategis
sebagai penghubung dalam aktifitas perekonomian masyarakat tani. LKM-A juga berperan
menguatkan kelembagaan petani dalam pengembangan agribisnis yang tidak lepas dari
lemahnya akses petani terhadap berbagai sumber daya produktif, yaitu: modal, teknologi, dan
informasi pasar (Hanafie, 2010).
Di Indonesia, LKM dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu: formal, semi formal dan
non formal. LKM formal merupakan LKM yang keberadaannya telah mempunyai payung
hukum (Undang-Undang), sementara LKM semi formal keberadaannya berdasarkan SK.
Gubernur. Dalam perkembangannya, LKM semi formal dapat ditingkatkan statusnya menjadi
LKM formal. Sedangkan LKM non-formal keberadaannya berdasarkan inisiatif masyarakat
sendiri atau ditumbuhkan oleh LSM dan beberapa Dinas Teknis (Suwandi, 2010).
Lembaga keuangan yang dikembangkan oleh Gapoktan mempunyai beberapa ciri khas yang
sesuai dengan karakteristik daerah dan kelompoknya masing-masing, yang menyangkut aspek
sasaran kelompok (agribisnis), syarat peminjaman dan pengajuan, cara pengembalian, dan
sistem insentif dan sanksi.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh lembaga keuangan level Gapoktan mengikuti aturan yang
sudah disepakati oleh forum musyawarah yang dibentuk oleh Gapoktan. Dalam
operasionalnya lembaga ini dibangun atas dasar kepercayaan (trust). Aturan tersebut tertuang
dalam AD/ART yang menjadi landasan hukum lembaga keuangan yang bersangkutan.
Pelayanan pengelola kepada anggota atas dasar persetujuan musyawarah/rapat anggota
dapat mengikuti salah satu dari sistem pelayanan syariah atau konvensional (Kementerian
Pertanian, 2010b).
Pada Gapoktan pelaksanaan PUAP 2008 sudah terbentuk sebanyak 1.783 LKM-A dengan
tingkat perkembangan sebesar 16,92 persen. Perkembangan ini dinilai masih lambat karena
sasaran dari program PUAP pada tahun ke-3 bagi Gapoktan penerima bantuan BLM-PUAP
dapat menjaga perguliran dana sampai pada fase pembentukan LKM-A. Gapoktan 2008 yang
berhasil membentuk LKMA tertinggi adalah Provinsi Jawa Tengah sebanyak 356 LKM-A
(Gambar 1).
Sedangkan pada Gapoktan pelaksana PUAP 2009 perkembangan LKM-A cenderung lebih
cepat, karena hanya dalam 2 tahun berjalan saja tingkat perkembangannya sudah mencapai
20,36 persen, dan posisinya lebih tinggi jika dibanding dengan tahun 2008. Hal ini disebabkan
LKM-A sudah tumbuh tidak lama setelah Gapoktan menerima dana PUAP dan bahkan ada
yang sudah tumbuh sebelum desa/Gapoktan menerima dana BLM PUAP. Kondisi ini sangat
wajar karena instansi yang terkait dengan pelaksanaan PUAP ditingkat provinsi dan kabupaten
seperti Dinas, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K),
Badan Pelaksana Penyuluh (Bapeluh), dan BPTP sudah mendapatkan pembelajaran dari
pelaksanaan PUAP tahun sebelumnya. Karena itu tercipta program kerja yang sinergis dengan
koordinasi yang mantap. LKM-A yang dibentuk oleh Gapoktan PUAP 2009 sebanyak 2.013
LKMA dengan kontribusi tertinggi oleh Provinsi Jawa Barat sebanyak 342 LKM-A (Gambar 2).
Dalam hal pembiayaan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh beberapa
BPTP, dapat disintesis bahwa faktor yang menghambat tumbuh dan berkembangnya LKM-A
terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup beberapa aspek, antara lain
pengurus belum mencapai realisasi penyaluran dana, penggalangan dana belum berjalan
dengan baik, penguasaan sistem pembukuan masih lemah. Ditambah pula pencairan dana ke
petani yang dilakukan oleh Gapoktan terlambat, Gapoktan masih kurang memahami cara
pembuatan laporan/pengisian blangko laporan yang tersedia dan lembaga keuangan mikro,
meskipun bimbingan telah diberikan. Faktor internal yang juga menghambat yakni ketua
poktan tidak membagikan dana seluruhnya ke anggota karena takut anggotanya tidak mau
membayar bahkan ada pengurus Gapoktan yang beranggapan jika LKM-A terbentuk maka
peran dari Gapoktan itu sendiri akan hilang. Disamping itu kurangnya keterampilan atau
keahlian dalam hal pembukuan yang sesuai dengan standar lembaga keuangan resmi.
Di sisi lain, faktor eksternal yang dihadapi meliputi beberapa aspek diantaranya terdapat
pemahaman yang salah terhadap dana BLM PUAP. Sebagai contoh ada kecenderungan
masyarakat/petani saat ini menganggap apapun bentuk bantuan adalah gratis (tidak perlu
dikembalikan seperti halnya BLT). Lagipula, terdapat penjadwalan ulang Rencana Usaha
Anggota (RUA) dalam penggunaan dana oleh petani dan masalah jarak yang jauh diikuti oleh
sarana transportasi yang kurang memadai sehingga pembinaan Penyelia Mitra Tani (PMT)
menjadi terkendala. Upaya pemecahan masalah tersebut membutuhkan peran aktif dari
berbagai pihak, terutama pemerintah khususnya Kementerian Pertanian. Oleh sebab itu, perlu
diambil langkah-langkah dalam rangka perbaikan program ke depan. Langkah-langkah
perbaikan diantaranya adalah mempercepat waktu pengajuan usulan penerima program dari
tahun sebelum pelaksanaan, atau memperpendek proses seleksi calon penerima bantuan
sehingga pencairan bantuan dapat dilakukan lebih cepat sesuai dengan masa tanam petani.
PUAP yang dikelola secara mandiri oleh LKM-A Gapoktan akan memberikan kesempatan
kepada petani dalam beberapa hal, yaitu pembelian input produksi (benih, pupuk dan
pestisida), pembelian alat dan mesin pertanian (cangkul, bajak, garu, traktor, pompa air, dan
power thresher). Bahkan, pada pembelian alat yang berkategori mahal menurut ukuran petani,
dapat dilakukan secara kolektif dengan dikoordinasikan oleh Gapoktan. Petani juga
berkesempatan melakukan diversifikasi berbagai komoditas dan atau ternak dengan tanaman
yang bernilai tinggi (high value commodities).
Pengelolaan PUAP secara mandiri juga memberikan kesempatan petani untuk melaksanakan
pengolahan pasca panen dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan
melaksanakan diversifikasi bisnis horizontal antara pertanian dan non pertanian. Kesempatan
lainnya adalah dana BLM PUAP sebagai dana stimulan dapat bergulir, berkembang, dan
berdampak terhadap pemberdayaan masyarakat/petani dan penumbuhan kelembagaan
permodalan usaha agribisnis yang ada di perdesaan pada umumnya.
Kedua, LKM dibutuhkan karena menjadi salah satu instrument pengembangan pasar
keuangan mikro. Secara pragmatis, pasar keuangan mikro merupakan aspek keuangan dari
Adapun LKM yang memfokuskan kegiatannya pada pelayanan keuangan untuk usaha
pertanian (agribisnis) disebut LKM-A. Menurut Hendayana et al. (2008), LKM-A adalah
kelembagaan usaha yang mengelola jasa keuangan untuk membiayai agribisnis berskala kecil
di perdesaan, baik yang berbentuk formal maupun non formal.
Hasil evaluasi terhadap perkembangan Gapoktan pelaksana PUAP 2008 dan 2009,
menunjukkan bahwa dana PUAP yang dikelola oleh LKMA dialokasikan untuk pembiayaan
pertanian (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan dan off-farm). Realisasi
pemanfaatan dana BLM PUAP tahun 2008 dan 2009 menurut sub sektor disajikan pada
Gambar 3.
Dana PUAP sampai dengan akhir 2010 sudah mengalami perkembangan, yaitu pada 10.542
Gapoktan tahun 2008 hanya mencapai rata-rata 5,42 persen, sementara pada 9.884 Gapoktan
tahun 2009 mencapai rata-rata 3,63 persen (Gambar 4). Keberadaan LKM-A di lingkungan
masyarakat petani perdesaan sudah teruji mampu menjalankan perannya dalam fasilitasi
pembiayaan pertanian (usahatani), hal ini disajikan dalam Tabel 1.
Keberadaan LKM-A dekat dengan masyarakat dengan jumlah yang cukup banyak dan
penyebarannya meluas sehingga mampu menjangkau dan melayani masyarakat. Disamping
itu, LKM-A memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi
anggotanya (tanpa agunan). Selanjutnya, LKM-A membantu memecahkan masalah kebutuhan
dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin. Adanya LKM-A mampu
mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders) sehingga membantu
menggerakkan saha produktif masyarakat. LKM-A dimiliki sendiri oleh masyarakat sehingga
setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM-A dapat dinikmati kembali oleh para nasabah sebagai
pemilik.
Berdasarkan uraian di atas, makna yang dapat diambil yaitu adanya unsur pemberdayaan
petani dan penguatan kelembagaan ekonomi perdesaan. Menurut Hendayana dan Bustaman
(2007), keunggulan LKMA sudah teruji sampai saat ini yaitu LKM-A terbukti resisten terhadap
gejolak krisis ekonomi. Lagipula, pengusaha mikro merupakan debitur yang patuh membayar
kewajiban kreditnya.
Pengelolaan LKM-A dihadapkan pada faktor kritis yaitu terkait dengan kelembagaan.
Permasalahan yang dihadapi terkait dengan aspek sustainabilitas/keberlanjutan. Keberlanjutan
LKM-A dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kapabilitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola
LKM-A, dukungan seed capital dan payung hukum.
Bertitik tolak dari faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan LKMA tersebut perlu disusun
langkah-langkah strategis agar pengembangan LKM-A tidak hanya berkelanjutan tetapi juga
menuju pengembangan dalam dimensi yang lebih luas.
Gapoktan penerima dana BLM PUAP menjadi LKM-A merupakan suatu kebutuhan dalam
upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi rakyat di perdesaan dan mempercepat upaya
pengentasan kemiskinan melalui penumbuhan usaha agribisnis (Krisnamurti, 2005).
Pemberdayaan Gapoktan PUAP yang ditumbuhkembangkan menjadi LKM-A dimaksudkan
untuk dapat mengelola asset dana PUAP dan dana keswadayaan yang dapat dikumpulkan
oleh Gapoktan dalam rangka memberikan bentuk pelayanan keuangan mikro sesuai dengan
yang dibutuhkan keluarga miskin dan pengusaha mikro pertanian di perdesaan.
Strategi utama untuk memprakarsai pengembangan LKM-A di sector pertanian, harus tetap
berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan yang secara operasional dapat dilakukan melalui
sosialisasi, koordinasi dan advokasi dari sektor hulu hingga hilir. Dengan demikian dapat
dirumuskan bahwa strategi pengembangan LKM-A ke depan perlu diarahkan pada model
pengembangan yang lebih efektif dan strategis dengan melibatkan berbagai pihak yaitu
pemerintah (pusat dan daerah), Bank, dan LSM utamanya yang terkait dengan penguatan
modal. Disamping itu perlu menjalin hubungan kemitraan dengan pihak perusahaan asuransi
sebagai pemberi jaminan usahatani pada saat gagal panen dan pihak off taker (bapak angkat)
yang berfungsi sebagai pemberi jaminan pemasaran hasil produksi dan dalam rangka
peningkatan daya saing produk. Implikasi dari pemikiran tersebut dituangkan dalam Gambar 5.
Proses pengembangan LKMA yang efektif harus bermula dari inisiatif petani yang tergabung
dalam Gapoktan. Kegiatannya melakukan pengumpulan dana swadaya pendiri sebagai modal
dasar yang bersumber dari simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan
sukarela/tabungan, yang kemudian digabungkan dengan dana BLM dari Kementerian Pusat
sebagai dana penyertaan, serta mencari sumber-sumber pendanaan lainnya dari pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota, perbankan seperti Bank atau LSM, sehingga akumulasi modal
yang terkumpul semakin besar dan kuat.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, mengalokasikan dana pelatihan dan
pendampingan sebagai dukungan untuk peningkatan kapasitas SDM pengelola LKM-A,
dimana pelaksanaannya dilakukan oleh LSM/Providers/ lembaga pendidikan untuk
memberikan pelatihan dasar Manajemen LKM-A. LSM juga melakukan pendampingan terkait
dengan penumbuhan dan pengembangan LKM-A secara berkelanjutan ke arah LKM-A yang
profesional, sehingga mampu menjadi lembaga ekonomi di perdesaan yang memberikan
pelayanan pembiayaan terhadap usahatani yang dilakukan oleh petani yang tergabung dalam
kelompok tani.
Potensi pengembangan LKM-A masih cukup luas karena: (1) usaha mikro dan kecil belum
seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM yang ada; (2) LKM-A berada di tengah
masyarakat; (3) potensi menabung di tingkat masyarakat cukup tinggi; dan (4) dukungan dari
lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat. Setelah LKM-A tumbuh dan berkembang,
Menurut Suwandi (2010), bentuk kelembagaan untuk LKM yang paling kompatibel ialah
koperasi, karena koperasi lebih sesuai dalam misinya yaitu mensejahterakan rakyat. Selain itu
koperasi merupakan salah satu bentuk Lembaga Keuangan Mikro yang dirancang sebagai
badan usaha bersama yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para
anggotanya. Dalam kegiatannya koperasi menghimpun surplus dana dari anggotanya,
kemudian disalurkan kembali kepada anggotanya yang membutuhkan untuk kepentingan
usaha ataupun untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya.
PENUTUP
Pelaksanaan PUAP 2008 dan 2009 sudah mengalami pertumbuhan dan perkembangan
LKM-A. Keberadaan LKM-A sangat dibutuhkan di lingkungan masyarakat perdesaan, karena
mampu memfasilitasi pembiayaan pertanian (usahatani). LKM-A merupakan salah satu pilihan
Pengembangan LKM-A perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun
masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya.
Kebijakan pemerintah kedepan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan
berkembangnya LKM-A. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan
LKM-A disamping mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara
pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusianya, disamping memberikan dukungan yang diperlukan dalam pengembangan LKM-A
berupa fasilitasi sarana dan prasarana khususnya ke arah pembentukan LKM-A yang
berbadan hukum koperasi.
Kasus Aplikatif
Acara yang difasilitasi oleh Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam Setda Propinsi Jawa
Tengah itu bertujuan untuk merealisasikan terbentuk nya Lembaga Keuangan Mikro yang
profesional sekaligus sebagai implementasi dari UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro. Acara fasilitasi tersebut juga dihadiri perwakilan dari Biro ISDA Propinsi Jawa
Tengah, Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan, Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten
Grobogan, Bagian Perekonomian Setda Grobogan, perwakilan OJK Pusat dan 30 Gapoktan
Penerima Dana PUAP (Pengembangan Agribisnis Usaha Pedesaan) Kementerian Pertanian
RI diakhiri dgn asistensi kelengkapan pemberkasan.
Di kesempatan lain Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan Ir. Edhie Sudaryanto MM
mengatakan, Tahun 2017 ditargetkan paling tidak 37 Gapoktan telah berstatus sebagian
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). Proses selanjutnya adalah legalitas Badan
Hukum oleh Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Grobogan. “Mudah mudahan prosesnya tdk
Referensi:
Berbicara tentang microfinance tentunya tidak mungkin dilepaskan dari asuransi mikro. Benang
merah yang terlihat dari kedua ranah, microfinance dan asuransi mikro, adalah bahwa
keduanya melayani masyarakat ekonomi lemah. Microfinance berusaha untuk mengatasi
permasalah permodalan dari para pengusaha tingkat mikro. Sedangkan asuransi mikro akan
mengatasi kebutuhan asuransi masyarakat ekonomi lemah. Apa itu asuransi mikro?
Masyarakat ekonomi menengah ke bawah sekarang ini juga sudah mulai banyak yang
mendapat pendidikan tentang pentingnya asuransi. Asuransi sudah menjadi kebutuhan bukan
saja bagi yang berpenghasilan tinggi, namun juga bagi masyarakat bawah yang
berpenghasilan rendah bahkan mungkin mereka penghasilan yang dapat tidak menentu dan
jauh dari mencukupi kebutuhan mendasar mereka. Oleh karena itu, produk asuransi yang
dapat memenuhi kebutuhan mereka pun mulai banyak dipasarkan oleh pelaku jasa keuangan
dalam bidang asuransi. Baik itu pelaku dari pihak pemerintah maupun yang berasal dari
swasta.
Beberapa produk asuransi yang muncul adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
sebagai program pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat Indonesia. Lalu
baru-baru ini, ada lagi produk yang dinamakan asuransi mikro, yang memiliki fitur seperti
asuransi konvensional yang ditawarkan banyak perusahaan, tetapi dijual untuk masyarakat
dengan ekonomi kelas menengah kebawah.
Definisi Asuransi. Sebelum lebih jauh membahas tentang Asuransi Mikro, sebaiknya kita
pahami dahulu apa itu asuransi. Secara umum, definisi atau pengertian asuransi adalah suatu
cara untuk memindahkan risiko dengan membayar sejumlah uang atau premi kepada
perusahaan asuransi.
Asuransi berbeda dengan kegiatan sosial dan umumnya besaran premi (biaya transfer
risiko) jauh lebih kecil daripada besaran ganti rugi/santunan yang akan diberikan oleh
perusahaan asuransi. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi memang mengikuti
prinsip the law of large number (hukum bilangan besar). Artinya perusahaan asuransi bisa
beroperasi karena mereka mengumpulkan risiko-risiko sejenis. Semakin besar jumlah risiko
sejenis yang diambil alih, biaya transfernya pun akan semakin murah.
Insurable interest artinya seseorang bisa mengasuransikan karena memiliki hak secara
sah atas objek yang akan diasuransikan. Orang tersebut membayar premi, karena
memiliki kepentingan kalau terjadi kerugian.
Utmost good faith mengharuskan adanya keterbukaan atas fakta material terhadap
objek yang akan diasuransikan baik oleh pihak Penanggung ataupun Tertanggung. Harus
ada azas kepercayaan dari kedua belah pihak sebelum, selama, dan pada saat terjadi
klaim.
Proxima Causa berarti asuransi hanya akan memberi ganti rugi/santunan, apabila
penyebab kerugian dijamin oleh asuransi.
Indemnitas artinya asuransi akan memberi ganti rugi sebesar kerugian yang
diderita. Prinsip indemnitas tidak diterapkan khusus untuk asuransi yang menyangkut
jiwa. Ada beberapa keterangan untuk prinsip indemnitas ini yaitu:
1. Kontribusi program asuransi bisa dijamin oleh beberapa asuransi dan bilamana terjadi
kerugian, maka yang menjamin akan membayar ganti rugi secara proporsional.
2. Subrogasi kewajiban perusahaan asuransi membayar ganti rugi, membuat perusahaan
asuransi juga berhak menuntut pihak lain yang menjadi penyebab kerugian.
Istilah Asuransi. Untuk lebih memahami lagi mengenai asuransi, ada beberapa istilah yang
harus diketahui, yaitu:
Polis adalah dokumen yang memuat kontrak asuransi dimana dalam polis tersebut terdapat
beberapa keterangan atas berapa besar premi, klaim, periode pertanggungan yang disepakati
antara penangggung dan tertanggung di atas materai. Dalam asuransi mikro polis disebut
voucher/sertifikat.
Premi yaitu besarnya biaya atau iuran yang harus dibayarkan oleh pembeli asuransi atau
pengguna asuransi. Dalam asuransi mikro iuran.
Klaim adalah besarnya ganti/rugi atau santunan sebagai akibat terjadinya risiko yang dijamin
oleh perusahaan asuransi. Dalam asuransi mikro santunan
Periode pertanggungan adalah jangka waktu yang disepakati atas masa berlakunya asuransi
Syarat-syarat dan ketentuan dalam asuransi adalah berbagai ketentuan yang harus ditaati
oleh kedua pihak (baik tertanggung dan penanggung) selama periode asuransi berlaku.
Dokumen klaim/santunan yaitu terdiri atas beberapa dokumen yang harus diserahkan pada
waktu mengajukan tuntutan klaim atas pergantian ganti/rugi atau santunan.
Asuransi Mikro Indonesia adalah produk asuransi yang dibuat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat berpenghasilan rendah, yang memiliki fitur dan administrasi yang
sederhana, mudah didapatkan, memiliki harga yang ekonomis serta mudah dalam proses
penyelesaian pemberian santunan uang pertanggungannya. Target utama pemasaran produk
asuransi mikro adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Yang dimaksud dengan
masyarakat berpenghasilan rendah adalah masyarakat dengan penghasilan tidak lebih dari
Rp2.500.000 setiap bulannya.
Sederhana – Produk asuransi mikro memberikan manfaat perlindungan dasar atas risiko yang
sangat umum dihadapi oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, produk Asuransi
Mikro memiliki Polis Asuransi yang sederhana dengan ketentuan, sebagai berikut:
a. Polis Asuransi dari Produk Asuransi Mikro menggunakan bahasa Indonesia yang
sederhana sehingga mudah dipahami dan tidak menimbulkan multitafsir oleh pemegang
polis, tertanggung, atau peserta;
b. Jenis risiko yang dikecualikan dalam Polis Asuransi dari Produk Asuransi Mikro sangat
sedikit atau tidak ada;
c. Polis Asuransi dari Produk Asuransi Mikro dapat menggunakan bahasa daerah setempat
agar mudahdipahami oleh pemegang polis, tertanggung, atau peserta berdampingan
dengan bahasa Indonesia;
d. Polis Asuransi dari Produk Asuransi Mikro mencantumkan frasa “asuransi mikro” atau
frasa lain yang semakna dalam nama produk sehingga mudah dikenali;
e. Polis Asuransi dari Produk Asuransi Mikro dapat menggunakan istilah yang awam sebagai
pengganti istilah teknis asuransi dan/atau istilah hukum dengan maksud agar polis
dimaksud dapat lebih mudah dipahami;
g. Khusus untuk Produk Asuransi Mikro dengan prinsip syariah, panjang Polis Asuransi
perorangan atau sertifikat Polis Asuransi kumpulan lebih ringkas daripada produk
Asuransi pada umumnya; dan
Produk Asuransi Mikro memiliki fitur dan proses administrasi yang sederhana dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) bukti pendukung yang dipersyaratkan dalam pengajuan klaim Produk Asuransi Mikro
paling banyak 4 (empat) bukti. Bukti dimaksud meliputi dokumen terkait dengan data
diri pemegang polis, tertanggung, peserta, atau penerima manfaat asuransi dan bukti
tertulis terkait dengan risiko yang dijamin; dan
2) Produk Asuransi Mikro harus bersifat guaranteed issuance offer (GIO) atau simplified
issue offer (SIO), yaitu Polis Asuransi berlaku setelah Premi atau Kontribusi dibayar
lunas, tanpa didahului pemeriksaan atas kondisi objek pertanggungan, dan setelah
aktivasi atau aplikasi kepesertaan disetujui oleh Perusahaan.
Mudah didapatkan – Produk asuransi mikro dapat diperoleh di banyak tempat yang mudah
dijangkau seperti di swalayan, kantor pos, pegadaian, kios-kios, minimarket, kantor kepala
desa atau tempat lain yang ditentukan baik secara pribadi maupun kelompok. Pada kelompok
komunitas, produk asuransi mikro dapat dibeli di tempat-tempat seperti koperasi,
arisan, komunitas keagamaan, komunitas nelayan, komunitas petani, komunitas peternak, dan
lain sebagainya.
Ekonomis – Asuransi Mikro dikatakan ekonomis karena iuran yang dibayarkan sangat
terjangkau bahkan dapat dikatakan relatif murah karena seharga tiga mangkok mie bakso, satu
bungkus rokok atau seharga ketika membeli isi pulsa handphone. Namun, harga produk
asuransi mikro berbeda-beda tergantung besar kecilnya santunan dan jenis asuransi yang
dibeli. Selain itu kelebihan dari premi asuransi mikro ini adalah pemegang polis cukup hanya
dengan sekali bayar dalam satu masa pertanggungan dikarenakan harganya yang sangat
terjangkau. Sehingga, tidak perlu membayar secara bertahap seperti halnya jenis asuransi
lainnya (bukan asuransi mikro).
a. Produk Asuransi Mikro berlaku efektif segera setelah aktivasi atau aplikasi
kepesertaan disetujui oleh Perusahaan dan Premi atau Kontribusi dibayar lunas;
c. masa tunggu (waiting period) pada Produk Asuransi Mikro paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak aktivasi atau aplikasi kepesertaan disetujui oleh Perusahaan;
d. dalam hal Produk Asuransi Mikro memiliki masa tunggu (waiting period), di dalam Polis
Asuransi dicantumkan ketentuan bahwa manfaat asuransi dapat diberikan jika
musibah atau risiko terjadi setelah masa tunggu (waiting period);
Di dalam praktiknya, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara produk Asuransi Mikro
dengan Asuransi Non Mikro, antara lain:
#1 Polis
Polis asuransi mikro berbentuk voucher atau sertifikat yang jumlahnya tidak lebih dari 2 lembar.
Sedangkan asuransi non mikro pada umumnya terdiri dari beberapa lembar, bahkan sampai
ada yang berbentuk buku.
#2 Santunan
Santunan asuransi mikro dikemas secara sederhana dan tidak rumit untuk diproses.
Sementara santunan dalam asuransi non mikro didasarkan pada polis yang memiliki ketentuan
dan syarat yang sangat luas.
#4 Pengecualian
Asuransi mikro hanya memiliki sedikit pengecualian. Sedangkan asuransi non mikro memiliki
banyak pengecualian.
#6 Pemeriksaan Kesehatan
Asuransi mikro tidak mewajibkan prosedur cek kesehatan. Sementara asuransi non mikro
mewajibkan cek kesehatan bagi peserta asuransinya.
#7 Distribusi
Asuransi mikro dapat dibeli langsung melalui swalayan, kios-kios, kantor pos, dan
tempat-tempat lain yang mudah dijangkau. Sedangkan asuransi non mikro hanya dapat
diperoleh di kantor cabang asuransinya atau melalui agen.
#8 Klaim
Santunan asuransi mikro dapat diterima kurang dari 10 hari setelah dokumen diterima secara
lengkap dan benar. Sedangkan santunan asuransi non mikro baru dapat diterima dalam 30
hari setelah dokumen diterima secara lengkap dan benar.
Asuransi mikro dapat ditawarkan dalam berbagai bentuk misalnya: 1. Asuransi Jiwa, dengan
manfaat antara lain santunan biaya pemakaman yang biasanya menelan biaya cukup tinggi
dan pembayaran sisa pinjaman kepada lembaga keuangan penyedia pinjaman 2. Asuransi
kerugian dengan manfaat antara lain santunan untuk pembangunan rumah/tempat usaha
pasca bencana alam/kebakaran dan penggantian kerugian akibat gagal panen yang
disebabkan oleh bencana alam 3. Asuransi kesehatan dengan manfaat antara lain
pembayaran biaya rumah sakit dan santunan tunai sebagai pengganti penghasilan akibat
peserta sakit atau merawat anggota keluarga yang sakit.
Asuransi mikro memiliki beragam produk yang sangat bermanfaat bagi kita. Beberapa produk
asuransi ini antara lain:
#1 Si Peci
Si Peci adalah produk asuransi jiwa yang memberikan santunan duka kepada ahli waris
sebesar Rp5.000.000 apabila tertanggung meninggal dunia karena sakit dan santunan sebesar
Rp25.000.000 apabila tertanggung meninggal dunia akibat kecelakaan.
#2 Si Bijak
Si Bijak merupakan sebuah produk asuransi mikro syariah yang memberikan jaminan terhadap
risiko meninggal dunia karena sakit, santunan pemakaman pada tertanggung yang meninggal
dunia karena sakit atau kecelakaan dan hilangnya penghasilan karena kebakaran, bencana
alam, pencurian, perampokan terhadap rumah tempat tinggal, atau kendaraan, atau kios atau
gerobak usaha yang diasuransikan dalam masa kepesertaan asuransi syariah.
#4 Rumahku
Rumahku adalah asuransi yang memberikan perlindungan untuk bangunan tempat tinggal dan
bangunan usaha mikro terhadap risiko-risiko kerusakan yang terjadi akibat kebakaran, ledakan
petir, kejatuhan pesawat, asap, dan meninggal dunia. Santunan kebakaran yang akan
diberikan adalah sebesar Rp5.000.000 untuk pemilik bangunan, Rp500.000 untuk penyewa
bangunan, dan santunan duka sebesar Rp5.000.000 untuk ahli waris.
1. Tempat usaha, berupa kios, warung, lapak, gerobak, bakulan, sepeda, sepeda motor,
sampan, dan tempat usaha lainnya.
2. Modal usaha atau isi dari tempat usaha di atas, berupa perlengkapan usaha atau
produk.
Asuransi ini memberikan perlindungan kepada objek di atas terhadap risiko kerusakan akibat
kebakaran, ledakan petir, kejatuhan pesawat, asap, kerusuhan, tertabrak kendaraan, dan
letusan gunung berapi (erupsi).
1. Tempat usaha, berupa kios, warung, lapak, gerobak, bakulan, sepeda, sepeda motor,
sampan.
2. Modal usaha atau isi dari tempat usaha di atas, berupa perlengkapan usaha atau
produk.
Asuransi ini memberikan perlindungan kepada objek diatas terhadap risiko kerusakan akibat
kebakaran, ledakan petir, kejatuhan pesawat, asap, kerusuhan, tertabrak kendaraan, gempa
bumi dan tsunami.
#5 Underwriting
Underwriting dilakukan dengan memperhatikan karakteristik asuransi mikro itu sendiri
(Sederhana, Mudah, Ekonomis, dan Segera) dan dapat dilakukan secara berkelompok.
#6 Polis
Pada umumnya polis asuransi mikro berbentuk sangat ringkas, ditulis dalam Bahasa Indonesia
yang jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat awam, sehingga tidak akan menimbulkan
multi tafsir bagi mereka yang membacanya. Perusahaan harus tetap menerbitkan tanda
kepesertaan bagi masing-masing peserta pemegang polis, hal ini bisa berupa sertifikat polis.
#7 Klaim
Di dalam asuransi mikro, dokumen klaim yang dipersyaratkan tidak lebih dari 4 (empat) jenis
saja. Dokumen yang dimaksud berupa data diri sebagai peserta asuransi (yang berhak
menerima manfaat) dan bukti tertulis terkait dengan risiko yang dijamin. Asuransi mikro akan
melakukan pembayaran santunan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
sejak dilakukannya pengajuan semua dokumen klaim yang lengkap dan diterima oleh
perusahaan asuransi.
#8 Periode Asuransi
Periode asuransi dapat bervariasi dan tergantung pada jenis produk asuransinya, mulai dari
beberapa jam hingga beberapa tahun.
Sesuai dengan ketentuan OJK No. 9/SEOJK.05/2017, orang yang memasarkan produk
asuransi mikro harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Orang perorangan pada setiap pihak yang melakukan pemasaran selain agen
asuransi, yang berhubungan langsung dengan calon konsumen dan/atau konsumen
dalam memasarkan Produk Asuransi Mikro harus terlebih dahulu memperoleh
pelatihan mengenai asuransi atau asuransi syariah dan Produk Asuransi Mikro yang
akan dipasarkan.
2. Orang perorangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat merupakan pihak yang
memiliki perjanjian kerja sama dengan Perusahaan atau memiliki hubungan
ketenagakerjaan dengan pihak yang melakukan pemasaran.
3. Pelatihan mengenai asuransi atau asuransi syariah dan Produk Asuransi Mikro
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan oleh Perusahaan atau pihak yang
ditunjuk oleh Perusahaan untuk melaksanakan pelatihan, dengan berpedoman kepada
standar minimum pelatihan mengenai asuransi mikro yang ditetapkan oleh asosiasi
perusahaan perasuransian.
4. Dalam hal standar minimum pelatihan mengenai asuransi mikro sebagaimana
dimaksud pada angka 3 belum ditetapkan oleh asosiasi perusahaan perasuransian,
Perusahaan dapat menetapkan standar pelatihan asuransi mikro yang akan
dilaksanakan oleh Perusahaan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Perusahaan.
5. Dalam hal pelatihan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan oleh pihak selain
Perusahaan, Perusahaan tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan pelatihan.
Untuk mendapatkan manfaat dari membeli produk asuransi mikro, ada beberapa tips atau hal
yang perlu diperhatikan dan patut dilakukan, antara lain:
Merencanakan asuransi dan menggunakan produk asuransi tidaklah selalu mahal, produk
asuransi mikro menawarkan perlindungan dengan premi yang murah. Manfaatnya pun tidak
kalah dibandingkan produk asuransi konvensional yang ditawarkan. Tetapi, alangkah baiknya
jika Anda menggunakannya sebagai salah satu penolong ketika Anda menghadapi musibah
seperti kecelakaan atau kebanjiran. Asuransi mikro dapat membantu Anda dalam
menyediakan bantuan dana atas musibah yang dialami. Rencanakanlah perlindungan
terhadap jiwa dan aset Anda dengan baik.
Untuk lebih memahami hal-hal yang terkait dengan Asuransi Mikro, berikut ini disampaikan
beberapa pertanyaan yang sering muncul di masyarakat:
1) Apabila selama JANGKA WAKTU ASURANSI ternyata TIDAK TERJADI RISIKO? Apakah
itu berarti uang iuran yang telah dibayarkan tersebut HANGUS?
Jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini adalah, memang benar bahwa tidak akan ada
pengembalian uang iuran tersebut karena tidak ada risiko yang terjadi sehingga tidak ada
santunan yang harus dibayarkan perusahaan asuransi kepada pemilik
asuransi. Namun, iuran tersebut dapat bermanfaat bagi pemegang asuransi lainnya yang
mengalami risiko (tertimpa musibah). Hal ini dikarenakan, iuran yang dibayarkan oleh
semua peserta asuransi mikro akan dikumpulkan sebagai dana bersama (gotong
royong) dan akan digunakan untuk membayarkan risiko atau meringankan beban bagi
Jika masa kontrak atau periode asuransi mikro Anda telah habis, maka ada baiknya agar
segera membeli voucher baru (sebagai polis perpanjangan) untuk jenis asuransi yang
sama. Hal ini agar jenis asuransi tersebut tetap dapat terlindungi pada jangka waktu
berikutnya, sehingga tidak hangus.
4) Bagaimana jika terjadi musibah yang dijamin, DOKUMEN POKOK apa saja yang harus
disiapkan dan dikirimkan agar proses penyelesaian ganti rugi bisa dilakukan dengan cepat?
Pada saat terjadi kerugian segera laporkan kepada perusahaan asuransi dalam waktu tidak
lebih dari 2 x 24 jam setelah kejadian dengan majelis berbagai dokumen pokok untuk
proses pengajuan santunan, diantaranya:
a. Voucher / Sertifikat Polis yang masih berlaku sesuai jenis asuransinya. Oleh karena itu
tidak boleh hilang dan di-foto copy agar ada duplikatnya.
b. Copy KTP pemilik voucher atau sertifikat polis.
c. Surat keterangan yang instan (sesuai dengan jenis asuransinya). Oleh karena itu wajib
diperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang telah ditentukan di dalam kontrak.
Dalam proses pengajuan santunan, maka dianjurkan hal tersebut dalam perjalanan secara
kekeluargaan atau lewat badan mediasi. Hal ini, jumlah santunannya tidak terlalu besar dan
terbatas terbatas.
Preminya tak lebih mahal dari sebungkus rokok, Rp10 ribu. Tapi manfaatnya besar. Bila terkena
musibah, pemegang polis bisa mendapat manfaat Rp10 juta. Ituasuransi mikro. Besaran premi
variatif. Tergantung dari jenis produk dan nilai pertanggungan/santunan. Periode jaminan
asuransi juga ada yang tiga bulan, enam bulan, atau bahkan tak teratur waktunya. Jenis
produknya macam-macam seperti asuransi untuk penyakit tertentu, asuransi kecelakaan diri,
asuransi kebakaran, asuransi gempa bumi, dan lainnya.
Tak hanya preminya yang ringan, menurut Thorburn (2009), ada lima hal yang membedakan
antara asuransi mikro dengan asuransi konvensional. Kelima hal itu adalah dari sisi pembayaran
premi yang sering dan tidak reguler, polis yang mudah dipahami, proses klaim yang simpel dan
cepat, jalur distribusi oleh agen yang umumnya tak berlisensi yang menjangkau masyarakat
bawah, dan kontrol yang efisien saat seleksi risiko dan klaim.
Asuransi mikro memang didesain berbeda dengan asuransi pada umumnya. Keluar dari
pakem-pakem transaksi asuransi secara umum. Selama ini sudah menjadi asumsi
masyarakat bahwa asuransi berciriprosedur akseptasi yang rumit, bahasa polis yang sulit, atau
klaim yang berbelit. Segmentasi asuransi mikro khusus untuk masyarakat berpenghasilan dan
berpendidikan relatif masih di bawah rata-rata. Jaringan distribusi bisa melalui mini market, kerja
sama dengan bidan, melalui RT/RW, dan lainnya. Juga pengaktifan polis yang sangat mudah.
Selama ini asuransi nyaris tak menyentuh masyarakat berpenghasilan rendah. Setidaknya ada
tiga penyebab dasar. Pertama, belum banyak produk perusahaan asuransi umum dan jiwa yang
dikhususkan untuk segmen masyarakat bawah. Kedua, masyarakat belum tahu manfaat
asuransi. Ketiga, dukungan pemerintah/regulator masih minim pada produk asuransi untuk
masyarakat kalangan bawah.
Kehadiran asuransi mikro menunjukkan bahwa asuransi bukan hanya untuk masyarakat
kalangan atas/mampu. Asuransi tak harus (terkesan) mahal. Premi bisa
didesainsangat terjangkau. Disesuaikan juga cara pembayaran dan periode asuransi. Jika premi
sudah sangat ringan dan manfaatnya jelas, apalagi yang membuat masyarakat tak tertarik
asuransi?
Lembaga asing sangat peduli tentang proteksi asuransi untuk masyarakat kalangan bawah.
UNDP dan Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) dari Jerman adalah sebagian
contoh yang sangat peduli pada asuransi mikro. Di Indonesia, berdasarkan penelitian Allianz,
GTZ, dan UNDP (2006), ada permintaan yang kuat untuk asuransi mikrodi beberapa wilayah di
Indonesia. Jenis asuransi yang dibutuhkan adalah asuransi kesehatan untuk penyakit serius,
pendidikan anak, dan gagal panen (Allianz, GTZ, & UNDP, 2006; Lloyd’s, 2010).Hasil penelitian
Menurut Bank Dunia (2011), ada 77 juta rakyat Indonesia yang tidak memiliki proteksi finansial.
Artinya bila terjadi risiko yang mengancam secara finansial, misalnya rumah terkena gempa
bumi, maka kerugian tersebut akan ditanggung sendiri. Tanpa ada institusi yang secara
kontraktual akan memberikan kontribusi.
Memperkenalkan asuransi mikro kepada masyarakat bawah adalah investasi jangka panjang.
Selain perolehan premi dari sektor mikro ini, asuransi akan makindikenalmasyarakat secara
sangat luas. Imbasnya, pengetahuan masyarakat tentang asuransi akan terkerek naik. Akan
terjadi efek domino.
Bagi perusahaan yang sudah memiliki produk asuransi mikro, akan memiliki keunggulan. Lebih
dahulu dikenal. Ketika masyarakat kalangan bawah ini butuh, maka akan menghubungi
perusahaan asuransi yang sudah dikenalnya. Masyarakat sudah mengenal
asuransi ini kemudian mewariskan secara turun-temurun. Ketika ekonomi membaik dan
anak-anak mereka sudah terangkat secara ekonomi, mereka akan membutuhkan asuransi. Saat
kemakmuran dan daya beli lebih baik,dampaknya akan menaikkan premi bagi industri asuransi.
Tak banyak perusahaan asuransi yang tertarik asuransi mikro karena memandang preminya
sangat kecil. Dianggap tak sebanding dengan upaya keras mulai dari membuat produk,
mengurus perizinan ke regulator, menyiapkan sistem, kerja sama jalur distribusi, promosi, dan
lainnya. Pertimbangan cost & benefit jangka pendek lebih mengemuka. Terlebih telah disadari
bahwa untuk menyadarkan masyarakat itu bukan persoalan mudah. Alasan ini bisa dipahami
karena perusahaan asuransi itu bisnis dengan kalkulasi untung-rugi.
Namun kini, banyak perusahaan asuransi yang memiliki produk asuransi mikro. Data Seadi
(2013) menunjukkan setidaknya perusahaan 11 perusahaan asuransi komersial telah
memasarkannya. Diantaranya untuk asuransi jiwa ada Allianz Life, MNC Life, Bringin Life
Syariah, Bumiputera, Takaful Keluarga, Jiwasraya, dan Prudential. Sedangkan perusahaan
asuransi umum antara lain Wahana Tata, ACA, Chartis, dan Jasindo. Kegairahan menggarap
asuransi mikro bakal mampu mengerek penetrasi asuransi.
Industri keuangan di Indonesia masih didominasi oleh bank. Peran asuransi masih sangat kecil.
Data Biro Riset Infobank (2013), perbandingan aset bank dibandingkan industri keuangan
nonbank (IKNB) di Indonesia adalah 78,24% untuk bank dan 21,76% IKNB. Beberapa negara
Tantangan asuransi mikro sangat besar. Terutama terkait proses penyadaran. Namun industri
asuransi Indonesia sudah berpengalaman panjang mengerek kesadaran masyarakat Indonesia.
Ini modal besar untuk menyukseskan program asuransi mikro. Asuransi mikro kali ini bisa
mendulang sukses dibandingkan masa sebelumnya. Kini, perusahaan asuransi lebih siap di
dalam menyiapkan produk dan sekaligus jalur pemasaran/distribusinya. Selain itu juga beberapa
perusahaan asuransi dapat belajar dari perusahaan lainnya yang lebih dahulu terjun di asuransi
mikro.
Kesuksesan program asuransi mikro kal ini juga ditopang oleh adanya dukungan kuat dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada tanggal 17 Oktober 2013 ini OJK meluncurkan program
asuransi mikro. Tak hanya itu, faktor lain pendorong kesuksesan adalah adanya
sinergi distribution channel dari lembaga keuangan mikro yang juga di bawah pengawasan OJK.
OJK dapat all out dalam mengerahkan dan mengarahkan sinergisitas industri keuangan untuk
kesuksesan asuransi mikro. Penulis optimis asuransi mikro bakal berkembang. Namun perlu
akselerasi. Setidaknya ada empat faktor yang akan menjadi kunci untuk mengakselerasi
perkembangan asuransi mikro di Indonesia. Pertama, OJK dapat mewajibkan perusahaan
asuransi yang memiliki aset atau premi tertentu (besar) untuk memasarkan produk asuransi
mikro. Perusahaan asuransi besar itu perlu untuk peduli dengan masyarakat kecil. Bila perlu,
diwajibkan ada sejumlah prosentase tertentu dari total premi perusahaan asuransi besar harus
disumbanng dari produk asuransi mikro.
Kedua, merealisasikan keinginan pelaku industri asuransi tentang insentif pajak bagi
perusahaan yang menjual produk asuransi mikro. Ini akan menjadi faktor penarik perusahaan
asuransi. Ketiga, mengkonverasi sebagian corporate social responsibility (CSR) perusahaan
asuransi ke dalam bentuk paket asuransi mikro. Ini dapat dilakukan dengan misalnya
memberikan subsidi premi, biaya sosialisasi/promosi, atau lainnya. Faktor akseleratif keempat
adalah daya tarik Indonesia di era Asean Insurance Community 2015 harus dimanfaatkan
dengan mensyaratkan perusahaan asuransi asing yang masuk ke Indonesia untuk memiliki
program asuransi mikro. Perusahaan asing harus turut kontribusi mendidik dan sekaligus peduli
masyarakat bawah Indonesia. Mereka tak hanya boleh mengeruk untung dengan potensi besar
premi di Indonesia, tetapi juga diwajibkan peduli masyarakat kecil. [Munawar Kasa, Praktisi
asuransi dan pendiri Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi)].
Perkembangan teknologi yang semakin pesat turut dimanfaatkan oleh PT Asuransi Central
Asia (ACA) dalam mengembangkan bisnis asuransi mikro di tahun ini. Selain bisa efisien,
pemasaran dengan memanfaatkan teknologi digital diharapkan membantu mendongkrak bisnis
ini.
"Kita mulai mengandalkan teknologi untuk asuransi mikro supaya ongkosnya bisa lebih
murah," ujar Debie Debie bilang, dalam memasarkan asuransi mikro ke petani misalnya,
perusahaan tidak semata-mata hanya sebatas menjual lalu selesai. Tapi, ACA sendiri
melakukan pendampingan kepada petani seperti halnya menggaet perusahaan yang menjual
bibit yang bersertifikat.
"Harus kami bimbing, sehingga kalau hasil panennya maksimal mereka memiliki keuntungan
untuk bayar modal dan mereka bisa hidup. Tapi, kalau gagal di situlah peran kami sebagai
asuransi," kata dia.
Berdasarkan informasi di atas dan kenyataan bahwa premi asuransi mikro sangat kecil dan
perusahaan asuransi harus melakukan kegiatan lainnya berupa bimbingan kepada nasabah,
apakah bisnis asuransi mikro ini cukup dapat diandalkan oleh perusahaan asuransi dalam
mencapai tujuan bisnis mereka yaitu memperoleh laba?
Referensi:
https://www.finansialku.com/apa-itu-asuransi-mikro-yang-mikro-preminya-atau-pertanggungann
ya/
http://asuransimikroindonesia.org/official/id/memahami-asuransi-mikro/
http://www.munawarkasan.com/index.php/artikel-asuransi/95-mengasuransikan-masyarakat-ba
wah
https://keuangan.kontan.co.id/news/aca-andalkan-teknologi-digital-dalam-memasarkan-asuran
si-mikro
L’Avenue Building
Jln. Raya Pasar Minggu Kav 16, Pancoran
Jakarta Selatan, Indonesia
Phone: 021-50222234
Email: hsbc.project@sampoernauniversity.ac.id