Anda di halaman 1dari 2

Nama : Farhatun Najah

NIM : 21220433000011

Jawaban UAS Politik HES


1. 3 fase dalam sejarah terbangunnya regulasi hukum ekonomi syariah :
a. Fase Rekognisi
Adalah fase dimana awal pengenalan bank syariah ditandai dengan berdirinya bank muamalat
pada tahun 1991 berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Syariah dalam hukum positif pada saat itu
diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
b. Fase Dual Banking
Adalah fase pengakuan power yang ada pada bank syariah. Pada saat itu terjadi krisis moneter di
tahun 1998, dan hanya bank muamalat satu2 nya yang mampu bertahan dari likuiditas karena
prinsip bagi hasil yang diterapkan. Barulah mulai saat itu banyak bank konvensional yang mau
membentuk cabang ataupun yang saling menggabungkan modal (marger) dengan bank lain
untuk membangun bank syariah. Berdasarkan adanya realitas empiris yang menunjukkan bahwa
bank-bank konvensional banyak yang tidak sanggup bertahan di saat krisis keuangan dan
moneter melanda, maka mendorong pemerintah untuk mengamandemen Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992. Perubahan Atas beberapa materi muatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Undang-undang inilah yang
mempertegas eksistensi perbankan syariah di Indonesia.Pada era ini juga keluar juga PBI Nomor
8/3/ PBI/2006 tentang Office Chaneling yang intinya adalah bahwa untuk memberikan layanan
syariah Bank Umum Konvensional yang sudah memiliki UUS di kantor pusatnya, tidak perlu lagi
membuka Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu baru melainkan cukup membuka counter
syariah dalam Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu konvensional.
c. Fase Purifikasi
Adalah fase penyempurnaan atau pemurnian. Karena pada tanggal 17 Juni 2008 telah disahkan
Undang-Undang Perbankan Syariah yang pengundangannya dalam Lembaran Negara dilakukan
tanggal 16 Juli 2008, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-undang dimaksud memperkenalkan beberapa muatan baru dan lembaga hukum baru
yang ditujukan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

2. Jawaban no. 2
(a). Menurut saya ada 3 hal yang bisa menjadi alasan kenapa UU zakat bisa diamandemen.
Pertama, sentralisasi pengelolaan zakat, pada Pasal 5 Ayat (1) UU No.23/2011 dinyatakan bahwa
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) merupakan operator tunggal pengelolaan zakat. Jika hal itu
diterapkan, dikhawatirkan akan melemahkan peran lembaga amil zakat (LAZ) serta pengelola
zakat tradisional yang selama ini kehadirannya sangat strategis, kriminalisasi lembaga amil zakat,
dan persyaratan lembaga pengelola zakat. Kedua, kriminalisasi lembaga amil zakat, dalam UU.
No. 23/2011 dinyatakan pengelolaan zakat tanpa izin pemerintah berwenang dapat diberi sanksi
berupa pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp500 juta. Hal itu, menurut
saya, jelas akan merugikan pengelola zakat tradisional yang kehadirannya telah eksis jauh
sebelum undang-undang itu dibuat. Ketiga persyaratan lembaga pengelola zakat, dalam UU. No.
23/2011 diatur persyaratan lembaga pengelola zakat yang harus mendapat izin menteri dan
harus memiliki badan hukum. Aturan ini jelas akan memberatkan bagi LAZ sehingga kehadirannya
menjadi terbatas.
(b) adapun alasan kenapa UU wakaf tidak diamandemen karena beberapa faktor sebagai berikut :
a. Proses amandemen UU wakaf akan melibatkan banyak pihak karena wakaf bersinggungan
dengan beberapa hal.
b. UU wakaf dirasa kurang mendesak untuk dilakukan amandemen.
c. Kurangnya dorongan dari masyarakat untuk mengamandemen UU wakaf.
d. Faktor politik.

3. Dahulu banyak LKM yang ada belum berbadan hukum dan memiliki izin usaha sehingga
dalam upaya memberikan landasan hukum yang kuat atas keberadaan dan operasional LKM
maka dibentuklah UU 1/2013 tentang LKM. Baitul Maal wa Tamwil (“BMT”) ialah lembaga
swadaya masyarakat yang didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat, biasanya pada awal
pendirian menggunakan sumber daya, dana atau modal, dari masyarakat setempat. Konsep
‘maal’ lahir dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat muslim dalam hal
penghimpunan dan penyaluran dana untuk zakat, infak, dan sedekah (“ZIS”) secara
produktif. Sedangkan konsep ‘tamwil’ lahir untuk kegiatan usaha produktif yang murni untuk
mendapatkan keuntungan bagi sektor masyarakat menengah ke bawah (mikro). Oleh
karenanya BMT termasuk kedalam LKM sesuai dengan ps. 39 ayat 1 UU No. 1/2013 tentang
LKM. Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UU No. 1/2013, maka BMT sebagai LKM hanya dapat
berbentuk badan hukum koperasi atau perseroan terbatas. Alasan pemerintah memberikan
kebebesan BMT dalam memilih badan usaha yang diinginkannya adalah agar BMT dapat
menyesuaikan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapainya.
Adapun dampak perbedaan dari badan Usaha yang dipilih adalah :
a. Berbadan usaha PT : adanya pemegang saham eksternal yang dapat mendominasi dan juga
memiliki kesempatan besar dalam mengontrol BMT, lebih mudah mendapatkan modal dari
investor luar, tanggungjawab dibebankan sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki masing2
nasabah.
b. Berbadan usaha Koprasi : semua anggota BMT bisa mendapatkan hak dan suara dalam
mengembangkan BMT, susahnya mencari modal dari luar karena hanya karena bergantung
pada modal yg diberikan setiap anggota, tanggungjawab diberikan secara merata kepada
setiap anggota.

Anda mungkin juga menyukai