Anda di halaman 1dari 20

Makalah Hukum Lembaga Pembiayaan

Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Nama: Andre wijaya


NIM :20110610054
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam mempertahankan hidupnya melakukan berbagai macam cara, salah satunya adalah
melakukan kegiatan atau aktivitas bisnis. Melalui kegiatan itu manusia dapat memenuhi tuntutan
hidupnya yang semakin hari semakin komplek. Kehidupan manusia di jaman modern ini begitu cepat
berputar. Setiap hari manusia bekerja demi mempertahankan hidupnya. Kehidupan yang serba cepat
memacu manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat pula. Pemenuhan
kebutuhan hidup secara cepat telah mendorong dan membuka peluang bagi manusia untuk melakukan
kegiatan bisnis. Aktivitas bisnis itu sendiri diwarnai oleh berbagai bentuk hubungan bisnis atau
kerjasama bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis. Hubungan bisnis atau kerjasama bisnis yang terjadi
sangat beraneka ragam tergantung pada bidang bisnis apa yang sedang dijalankan. Dengan semakin
berkembangnya aktivitas bisnis sekarang ini maka keperluan akan modal atau dana bagi pelaku usaha
juga semakin meningkat. Oleh karena itu, sarana penyediaan dana yang dibutuhkan oleh pelaku usaha
atau masyarakat perlu diperluas. Umumnya dana yang dibutuhkan tersebut dapat disediakan oleh
lembaga perbankan melalui fasilitas kredit. Namun, fasilitas kredit dari perbankan sangat terbatas dan
tidak semua pelaku usaha punya akses untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari bank. Selain itu
lembaga perbankan ini juga memerlukan jaminan yang kadang kala tidak bisa dipenuhi oleh pelaku
usaha yang bersangkutan, maka perlu suatu upaya lain yaitu tanpa jaminan dan lebih mudah prosesnya.
. Upaya lain tersebut dapat dilakukan melalui suatu jenis badan usaha yaitu melalui Lembaga
Pembiayaan. Munculnya lembaga pembiayaan ini turut memacu roda perekonomian masyarakat dan
turut membawa andil yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat
kecil.

Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mempelajarinya lebih lanjut sehingga penulis
menyusun makalah ini dengan judul “Aspek Hukum Lembaga Pembiayaan”

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan?

b. Bagaimana hukum yang mengatur tentang Lembaga Pembiayaan?

c. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Lembaga Pembiayaan.

b. Untuk mengetahui hukum yang mengatur tentangLembaga Pembiayaan.

c. Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang boleh dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lembaga Pembiayaan

Lembaga pembiayaan diatur dalam Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata
cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Pengertian lembaga pembiayaan menurut Pasal 1 angka (2)
Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana
secara langsung dari masyarakat.

Dari pengertian tersebut di atas terdapat beberapa unsur-unsur, yaitu:

1) Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.

2) Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan kegiatan atau aktivitas dengan cara membiayai pada pihak-
pihak atau sektor usaha yang membutuhkan.

3) Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan dana untuk suatu keperluan.

4) Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu.

5) Tidak menarik dana secara langsung.

6) Masyarakat, Yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat.

Selain itu juga menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan,
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal.

Dalam sistem lembaga keuangan dibedakan menjadi dua yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang
keuangan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lain guna
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang
secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan
menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan.Bidang usaha yang
termasuk dalam lembaga keuangan bukan bank antara lain adalah asuransi, pegadaian, dana pensiun,
reksa dana, lembaga pembiayaan. lembaga pembiayaan termasuk dalam Lembaga keuangan Bukan
Bank (LKBB).
2.2 Pengaturan Lembaga Pembiayaan

• Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan

• Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan.

• Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan

2.2.1 Jenis Lembaga Pembiayaan

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009, Lembaga Pembiayaan
meliputi:

a. Perusahaan Pembiayaan;

b. Perusahaan Modal Ventura; dan

c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.

2.2.2 Bentuk Badan Usaha

a. Perseroan Terbatas; atau

b. Koperasi.

2.2.3 Kegiatan Usaha

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:

a. Sewa Guna Usaha;

b. Anjak Piutang;

c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau

d. Pembiayaan Konsumen.

Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:

a. Penyertaan saham (equity participation);

b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); dan/atau

c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/ revenue sharing).

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:

a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur;

b. Refinancingatas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau


c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan
Infrastruktur;

2.2.4 Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan


padapasal 1, dijelaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan didirikan dalam bentuk badan hukum Perseroan
Terbatas atau Koperasi. Perusahaan Pembiayaan dapat didirikan oleh:

1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau

2. Badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia (usaha patungan).

Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas, wajib terlebih dahulu
memperoleh Izin Usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dari Menteri, dimana Perusahaan Pembiayaan
tersebut harus mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan pembiayaan yang dilakukan secara
jelas.

Adapun hal-hal yang perlu dilampirkan didalam format yang diajukan kepada Menteri untuk
mendapatkan Izin Usaha untuk melakukan kegiatan usaha adalah sebagai berikut:

1. Akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang,
yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama dan tempat kedudukan;

b. Kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan;

c. Permodalan;

d. Kepemilikan;

e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan
pengawas;

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas meliputi:

a. Fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor;

b. Daftar riwayat hidup;

c. Surat pernyataan:

1) Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektorperbankan;

2) Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;

3) Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;


4) Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;

5) Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain bagi Direksi;

6) Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain bagi Komisaris;

d. Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-


kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengurus;

e. Fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi
berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing;

3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:

a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka
2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan
pencucian uang (money laundering);

b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:

1. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah
mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara asal;

2. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan

keuangan terakhir;

3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan

angka 3 bagi pemegang saham dan direksi ataupengurus;

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia;

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka pada salah satu bank
umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam
proses pengajuan izin usaha;

6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud;

b. Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan
melakukan kegiatan operasional;

7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:

a. Daftar aktiva tetap dan inventaris;

b. Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor; contoh perjanjian
pembiayaan yang akan digunakan; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi perusahaan patungan;

9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN). Perusahaan Pembiayaan yang
telah memperoleh Izin Usaha wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh)
hari terhitung sejak tanggal Izin Usaha ditetapkan, yang mana laporan atas pelaksanaan kegiatan
tersebut disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya
kegiatan usaha tersebut. Apabila setelah jangka waktu yang telah ditentukan, Perusahaan Pembiayaan
tidak melakukan kegiatan usaha, Menteri mencabut Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan yang
bersangkutan.

2.2.5 Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan

2.2.5.1 Kepemilikan Perusahaan Pembiayaan.

Perusahaan Pembiayaan, dapat didirikan oleh badan hukum ataupun koperasi. Namun hal ini tidak
menutup kemungkinan badan usaha asing untuk

menanamkan sahamnya di suatu Perusahaan Pembiayaan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan

dijelaskan bahwa badan usaha asing, dapat memiliki saham dalam suatu Perusahaan Pembiayaan
setinggi-tingginya adalah 85% (delapan puluh lima perseratus) dari modal disetor.

Sedangkan bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan modal pada
Perusahaan Pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50 % (lima puluh perseratus) dari modal
sendiri. Modal sendiri yang dimaksud disini adalah penjumlahan dari modal disetor, agio saham,
cadangan dan saldo laba/rugi dari Perusahaan Pembiayaan tersebut. Sementara untuk Perusahaan
Pembiayaan yang pemegang sahamnya berbentuk badan hukum koperasi, modal sendiri yang dimaksud
terdiri dari penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah. Dan yang
pemegang sahamnya berbentuk badan hukum yayasan, modal sendiri yang dimaksud terdiri dari aktiva
bersih terikat secara permanen, aktiva bersih terikat secara temporer, dan aktivabersih tidak terikat.

2.2.5.2 Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan.

Pengurus suatu perusahaan pembiayaaan terdiri dari :

a. Direksi;

b. Komisaris;

c. Kepala cabang.

Setiap pengurus dari suatu Perusahaan Pembiayaan ( direksi, komisaris, dan kepala cabang ) sekurang-
kurangnya memiliki persayaratan sebagai berikut :

a. Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;

b. Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;

c. Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;


d. Setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money
laundering);

e. Salah satu direksi atau pengurus harus berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan
atau perbankan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan

f. Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib menetap di Indonesia dan dilarang melakukan
perangkapan jabatan sebagai Direksi pada Perusahaan Pembiayaan lain, namun diperkenankan
merangkap jabatan sebagai komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan lain. Sedangakan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan, diperkenankan merangkap jabatan menjadi komisaris sebanyak-banyaknya
pada 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan.

2.2.6 Perizinan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/Pmk. 012/2006:

- Permohonan untuk mendapatkan Izin Usaha diajukan kepada Menteri.

- Persetujuan atau penolakan atas permohonan Izin Usaha diberikan selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.

2.2.7 Pembatasan

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 pasal 9, lembaga pembiayaan
dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk:

a. Giro;

b. Deposito;

c. Tabungan.

2.2.8 Pengawasan

Pasal 11: Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga

Pembiayaan.

2.3.1 Pengertian

Menurut Keputusan Menteri Keuangan No 1251 tahun 1988, pembiayaan konsumen merupakan
kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang
(konsumtif) yang pembayarannya secara angsuran atau mencicil.

Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran
secara angsuran. Selain itu pengertian lainnya Pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit
yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang dan jasa yang akan
langsung dikonsumsikan oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi atau distribusi. Perusahaan
yang memberikan pembiayaan diatas, disebut perusahaan pembiayaan konsumen (Customer Finance
Company). Berdasarkan definisi pembiayaan konsumen di atas, maka dapat dijelaskan mengenai hal-hal
yang menjadi dasar dari kegiatan pembiayaan konsumen, yaitu :

a) Pembiayaan konsumen adalah merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang dapat diberikan
kepada konsumen.

b) Obyek pembiayaan dari usaha jasa pembiayaan konsumen adalah barang kebutuhan konsumen,
biasanya kendaraan bermotor, barang-barang kebutuhan rumah tangga , komputer, barang-barang
elektronika, dan lain-lain.

c) Sistem pembayaran angsuran dilakukan secara angsuran/berkala, biasanya dilakukan pembayaran


setiap bulan dan di tagih langsung kepada konsumen.

d) Jangka waktu pengembalian bersifat fleksibel, tidak terikat dengan ketentuan.

2.3.2 Dasar hukum

a. Dasar hukum subtantif

- Asas kebebasan berkontrak

Syarat sah:

- Kesepakatan

- Kecakapan

- Suatu hal tertentu

- Sebab yang halal/legal

b. Dasar hukum administratif

- Keputusan Menteri Keuangan No 1251 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.

2.4 Anjak Piutang (Factoring)


2.4.1 Pengertian

Factoring atau Anjak Piutang menurut Perpres No. 9 Tahun 2009 adalah Anjak kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan atas
piutang tersebut. Menurut Kasmir dalam "Bank dan Lembaga Keuangan lainnya" (2002) menjelaskan
bahwa anjak piutang atau yang lebih dikenal dengan factoring adalah perusahaan yang kegiatannya
melakukan penagihan atau pembelian atau pengambilalihan atau pengelolaan hutang piutang suatu
perusahaan dengan imbalan atau pembayaran tertentu dari perusahaan (klien). Kemudian pengertian
anjak piutang menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 125/KM.013/1988 tanggal 20 Desember
1988 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau
pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi
perdagangan dalam dan luar negeri.

Dari definisi diatas, setidaknya dapat disimpulkan sebagai berikut:

a). Dalam kegiatan factoring ada tiga pihak yang terkait, yaitu:

1. Perusahaan Factoring (factoring company), atau disebut dengan factor sebagai suatu badan usaha
yang melakukan kegiatan lembaga pembiayaan dengan bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek perusahaan;

2. Perusahaan penjual piutang atau disebut klien (client), adalah perusahaan yang menjual atau
mengalihkan piutang atau tagihannya kepada factor;

3. Nasabah (customer), sebagai pihak yang berutang (debitur) kepada klien, dan piutang tersebut oleh
klien dijual atau dialihkan kepada factoring. Istilah klien (client) dan nasabah (customer) dalam
mekanisme anjak piutang memiliki pengertian yang sangat berbeda. Lain halnya dengan bank yang
memiliki nasabah atau customer, sedangkan perusahaan anjak piutang hanya memiliki klien dalam hal
ini supplier. Selanjutnya, klien yang memiliki nasabah atau customer. Mekanisme anjak piutang ini
sebenamya diawali dari adanya transaksi jual beli barang atau jasa yang pembayarannya secara kredit.

b). Kegiatan factoring hanya berupa suatu kegiatan jual beli atau pengurusan piutang.

c). Piutang atau tagihan itu merupakan tagihan jangka pendek dan berasal dari transaksi perdagangan,
dan umumnya mempunyai ciri-ciri di antaranya:

* Piutang yang terdiri dari seluruh tagihan berdasarkan faktur-faktur dari perusahaan yang belum jatuh
tempo;

* Piutang yang timbul dari surat-surat berharga yang belum jatuh tempo;

* Piutang yang timbul dari suatu proses pengiriman barang.

Dalam pasl 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan,
dijelaskan bahwa kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentuk piutang dagang jangka pendek suatu
perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.

Kegiatan anjak piutang tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk anjak piutang tanpa jaminan dari
penjual piutang (Without Recourse) dan anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With
Recourse).
Anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without recourse) adalah kegiatan anjak piutang
dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung seluruh resiko tidak tertagihnya Piutang. Sedangkan anjak
piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With recourse) adalah kegiatan anjak piutang dimana
penjual piutang menanggung resiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada
Perusahaan Pembiayaan.

2.4.2 Dasar Hukum Anjak Piutang

Keputusan Presiden RI no.61 tahun 1988 tanggal 20 desember 1988 lembaran negara republik indonesia
no.93 tahun 1988 jis. Surat Keputusan Menteri Keuangan No.448/KMK.06/2002 jis. Syarat keputusan
menteri keuangan No.172/KMK.06/2002 mengatur mengenai perusahaan pembiayaan,sehingga aturan
anjak piutang hanyalah ditemukan sebagai salah satu hukum administrasi yang mengatur keberadaan
kegiatan perusahaan pembiayaan dengan demikian dapat terlihat pengaturan hukum dibidang lembaga
anjak pitang itu terlihat masih sangat sederhana dan belum lengkap.

Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013//1988 jis No.448/KMK.017/2000 tanggal 27 0ktober


2000 pada pasal 1 huruf E adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan
serta kepengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan
dalam maupun luar negeri”. Selanjutnya pengertian anjak piutang dipertegas dengan ketentuan surat
keputusan menteri keuangan No.172/KMK.06/2002. Yang menyatakan kegiatan anjak piutang dilakukan
dalam bentuk:

a). Pembelian dan atau pengalihan:

b). Pengurusan atas piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam maupun luar
negeri.

Anjak piutang bagi perusahaan yang memproduksi barang dan jasa akan memberi manfaat dalam
melancarkan usaha terutama dalam hal:

1. Membantu administrasi penjualan dan penagihan (sales ladgering and colection service)

2. Membantu memperlancar modal kerja

3. Meningkatkan kepercayaan

4. Kesempatan meningkatkan usaha

2.4.3 Jenis-jenis Anjak Piutang

2.4.3.1 Full servis factoring

Yaitu bentuk pelayanan yang diberikan atau disediakan oleh perusahaan anjak piutang yang meliputi
jenis jasa anjak piutang, baik dalam bentuk jasa pembiayaan maupun non jasa pembiayaan.

2.4.3.2 Recourse factoring

Bentuk pelayanan yang diberikan meliputi hampir semua jasa bank anjak iutang kecuali proteksi
terhadap resiko tidak dibayarnya tagihan.

2.4.3.3 Bull factoring


Yaitu bentuk pelayanan klien hanya memerlukan jasa pembiayaan atau pemberitahuan jatuh tempo
pada nasabah atau costumer sedangkan jasa-jasa seperti proteksi kredit, seles ledger administration dan
penagihan tidak diperlukan.

2.4.3.4 Matury factoring

Yaitu bentuk pelayanan dimana yang dibutuhkan klien adalah jaminan perlindungan kredit yang meliputi
pengurusan penuh atas penjualan, penagihan dari pelanggan dan proteksi atas piutang.

2.4.3.5 Agency factoring

Bentuk factoring ini sering dikaitkan dengan bull factoring yaitu penyerangan keseluruhan penjualan
anjak piutang klien kepada perusahaan factoring atas dasar nitifikasi, tetapi tidak bertanggung jawab
atas kepengurusan atas penagihan piutang tersebut.

Klien dalam hal ini hanya membutuhkan jasa pembiayaan perusahaan anjak piutang sedangkan jasa non
pembiayaan ditangani sendiri oeh klien.

2.4.3.7 Undisclosed factoring

Biasanya berkaitan dengan suatu perjanjian penjualan piutang dimana perusahaan factoring
memberikan proteksi terjadinya kemacetan pelunasan piutang sampai dengan persentase tertentu
(biasanya 80 %) dari jumlah factur yang disetujui yaitu dengan without recuerse sebagai resiko kredit.

2.5 Sewa Guna Usaha (Leasing)

2.5.1 Pengertian

Istilah lain dari Sewa Guna Usaha yaitu “leasing”, dimana leasing itu berasal dari kata lease (inggris) yang
berarti menyewakan. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), leasing adalah kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease)
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Sedangkan Barang modal adalah setiap aktiva
tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa
bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan
atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan distribusi barang atau jasa oleh Lessee. Barang
modal pada hal ini berdasarkan pada pasal 11 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

2.5.2 Dasar Hukum Leasing :

Kegiatan leasing secara resmi diperbolehkan beroperasi di Indonesia setelah keluar surat keputusan
bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor Kep.
122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/74 dan Nomor 30/Kpb/I/74 Tanggal 7 Februari 1974 Tentang
Perizinan Usaha Leasing di Indonesia.

Wewenang untuk memberikan usaha leasing dikeluarkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Surat
Keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara
perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya adalah dengan keluarnya Kebijaksanaan Deregulasi 20 Desember 1988 yang
isinya mengatur tentang usaha leasing di Indonesia dan dengan keluarnya kebijaksanaan ini, maka
ketentuan mengenai usaha leasing sebelumnya tidak berlaku lagi. Kemudian dalam Kepprez Nomor 61
Tahun 1988 dan Keputusan Menteri Keuangan nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988
diperkenalkan adanya istilah pembiayaan yaitu kegiatan dalam bentuk dana atau barang modal dengan
tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat luas.

Selain itu, Leasing diatur lebih berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing). Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, 27
Nopember 1991 dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 19 Januari 1991. Dengan
berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 48/KMK.013/1991
tentang Kegiatan Sewa-guna-usaha, dinyatakan tidak berlaku.

2.5.3 Pihak-pihak dalam Perjanjian Leasing

Dalam setiap transaksi Leasing selalu melibatkan 3 (tiga) pihak utama, yaitu:

a. Pihak Lessor

Pihak Lessor adalah perusahaan Leasing yang memiliki hak kepemilikan atas barang modal. Perusahaan
Leasing menyediakan dana kepada pihak yang membutuhkan.

Dalam usaha pengadaan barang modal, biasanya perusahaan Leasing berhubungan langsung dengan
pihak penjual (Supplier), dan telah melunasi barang modal tersebut. Lessor bertujuan untuk
mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan
memperoleh keuntungan, atau memperoleh keuntungan dari penyediaan barang modal dan pemberian
jasa pemeliharaan serta pengoperasian barang modal.

b. Pihak Lessee

Pihak Lessee adalah perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi pada akhir
kontrak Leasing. Lessee yang memerlukan barang modal berhubungan langsung dengan Lessor, yang
telah membiayai barang modal dan berstatus sebagai pemilik barang modal tersebut. Barang modal
yang dibiayai oleh Lessor tersebut kemudian diserahkan penguasaannya kepada dan untuk digunakan
oleh Lessee dalam menjalankan usahanya. Pada akhir kontrak Leasing, Lessee mengembalikan barang
modal tersebut kepada Lessor, kecuali jika ada hak opsi untuk membeli barang modal dengan harga
berdasarkan nilai sisa.

c. Pihak Supplier

Pihak Supplier adalah penjual barang modal yang menjadi objek Leasing. Harga barang modal tersebut
dibayar tunai oleh Lessor kepada Supplier untuk kepentingan Lessee.

Pihak Supplier dapat berstatus perusahaan produsen barang modal atau pihak penjual biasa. Ada juga
jenis Leasing yang tidak melibatkan Supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak Lessor dengan
pihak Lessee, misalnya dalam bentuk Sale and Lease back.

2.5.4 Jenis-Jenis Leasing


Pada prinsipnya ada dua macam jenis Leasing yaitu Leasing yang berbentuk Operating dan Leasing yang
berbentuk Finance. Namun demikian, terdapat juga berbagi bentuk lainnya yang lebih merupakan
derifatif dari kedua bentuk pokok tersebut.

1. Financial Lease (Hak Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi)

Financial Lease sering disebut dengan Capital Lease atau Full-Payout Lease. Financial Lease merupakan
suatu corak Leasing yang paling sering digunakan.

Dalam jenis ini, Lessor adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Lessee biasanya memilih
barang modal yang dibutuhkan dan atas nama Lessor, sebagi pemilik barang modal tersebut, melakukan
pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi Leasing.

Financial Leasing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Objek Sewa Guna Usaha (Leasing) dapat berupa barang bergerak dan tidak bergerak, yang berumur
maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut.

b. Besarnya harga sewa ditambah hak opsi harus menutup harga barang ditambah keuntungan yang
diharapkan oleh Lessor.

c. Jumlah sewa yang dibayar secara angsuran per bulan terdiri dari biaya perolehan barang ditambah
dengan biaya lain dan keuntungan yang diinginkan Lessor.

d. Jangka waktu berlakunya kontrak relatif lebih panjang, dan resiko biaya pemeliharaan dan biaya lain
(kerusakan, pajak, asuransi) atas barang modal ditanggu ng oleh Lessee.

e. Pada akhir masa kontrak, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang modal sesuai nilai sisa, atau
mengembalikannya kepada Lessor, atau perpanjangan masa kontrak dengan pembayaran yang lebih
rendah dari sebelumnya.

f. Selama jangka waktu kontrak, Lessor tidak boleh secara sepihak mengakhiri kontrak Sewa Guna
Usaha (Leasing) atau mengakhiri pemakaian barang modal tersebut.

2. Operating Lease (Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi)

Operating Lease disebut juga Service Lease. Dalam jenis ini, Lessor membeli barang modal dan
selanjutnya disewagunausahakan kepada Lessee. Berbeda dengan Finance Lease, jumlah seluruh
pembayaran Leasing berkala dalam Operating Lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan karena
Lessor mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang modal yang disewagunausahakan, atau
melalui beberapa kontrak Sewa Guna Usaha lainnya.

Dalam Leasing jenis ini, dibutuhkan keahlian khusus dari Lessor untuk memelihara dan memasarkan
kembali barang modal yang sudah disewagunausahakan kembali.

Ciri-ciri dari Operating Lease adalah sebagai berikut :

a. Jangka waktu kontrak relatif lebih pendek dari umur ekonomis barang modal. Atas dasar perhitungan
tersebut, Lessor dapat memetik keuntungan dari hasil penjualan setelah kontrak berakhir.

b. Barang modal yang menjadi objek Operating Lease, biasanya barang yang mudah dijual.
c. Jumlah sewa secara berkala (angsuran) yang dibayar oleh Lessee kepada Lessor lebih kecil daripada
harga barang ditambah keuntungan yang diharapakan Lessor(non full payout).

d. Segala resiko ekonomi (kerusakan, pajak, asuransi, pemeliharaan) atas barang modal ditanggung oleh
Lessor.

e. Kontrak Operating Lease dapat dibatalkan secara sepihak oleh Lessee dengan mengembalikan barang
modal kepada Lessor.

f. Setelah kontrak berakhir, Lessee wajib mengembalikan barang modal tersebut kepada Lessor.

Bahwa selain kedua bentuk utama Leasing diatas, masih terdapat bentukbentuknya dari Leasing, antara
lain sebagai berikut :

3. Sale and Lease Back ( Jual dan Sewa Kembali)

Dalam bentuk transaksi ini, Lessee membeli terlebih dahulu barang modal atas namanya sendiri,
kemudian barang modal tersebut dijual kepada Lessor dan selanjutnya oleh Lessee disewa kembali dari
Lessor untuk digunakan kembali bagi keperluan usahanya daalam suatu bentuk kontrak Leasing.
Biasanya bentuk Sale and Lease Back ini mengambil bentuk Financial Lease.

Sale and Lease Back mirip dengan hutang-piutang uang dengan jaminan barang, dan pembayaran
barang tersebut dilakukan secara cicilan. Tujuan Lessee mengunakan bentuk ini untuk memperoleh dana
tambahan modal kerja, yang tadinya ditanggulangi sendiri, lalu dialihkan melalui kontrak Leasing.

Bentuk ini banyak digunakan di Indonesia akibat masalah kesulitan impor barang modal terutama
mengenai perizinan, bea masuk, pajak impor, yang banyak memakan biaya.

4. Direct Finance Lease (Sewa Guna Usaha Langsung)

Dalam bentuk transaksi ini, Lessor membeli barang modal dan sekaligus menyewakannya kepada
Lessee. Pembelian tersebut dilakukan atas permintaan Lessee dan Lessee pula yang menentukan
spesifikasi barang modal, harga dan Suppliernya.

Dengan kata lain, Lessee berhubungan langsung dengan Supplier dan Lessor membiayai kebutuhan
barang modal tersebut untuk kepentingan Lessee. Penyerahan barang langsung kepada Lessee tidak
melalui Lessor, tetapi pembayaran harga secara angsuran langsung dilakukan kepada Lessor.

Jadi, tujuan Lessee adalah memperoleh barang modal untuk perusahaannya dengan pembiayaan
secara Leasing dari Lessor.

5. Syndicated Lease (Sewa Guna Usaha Sindikasi)

Dalam bentuk transaksi, seorang Lessor tidak sanggup membiayai sendiri keperluanbarang modal yang
dibutuhkan Lessee karena alasan tidak memiliki kemampuan pendanaan.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka beberapa Leasing Companies mengadakan kerja sama membiayai
barang modal yang dibutuhkan Lessee. Dalam pelaksanaanya, salah satu Leasing Company bertindak
sebagai Coordinator of Laesing Companies untuk menghadapi Lessee dan juga pihak Supplier.

6. Leveraged Lease
Leveraged Lease merupakan suatu jenis Financial Lease, dengan mana pihak yang memberikan
pembiayaan di samping Lessor juga pihak ketiga.

Biasanya Leveraged Lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai tinggi, dimana
pihak Lessor hanya membiayai antara 20% sampai dengan 40% dari pembelian barang, sedangkan
selebihnya akan dibiayai oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman Lessor dari pihak ketiga
tersebut dengan memakai kontrak Leasing yang bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga
ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant. Biasanya dengan Leveraged Lease ini
terdapat juga seorang yang disebut manager. Yakni pihak yang melaksanakan tender kepada Lessee, dan
mengatur hubungan dan negoisasi antara Lessor, Lessee dan Debt Participant.

7. Cross Border Lease

Cross Border Lease merupakan Leasing dengan mana pihak Lessor dan pihak Lessee berada dalam dua
negara yang berbeda.

8. Net Lease

Ini merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee yang menanggung resiko dan
bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak dan asuransinya.

9. Net-net Lease

Ini juga merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee tidak hanya menanggung resiko dan
bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak saja, bahkan Lessee harus juga
mengembalikan barang kepada Lessor dalam kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian
Leasing.

Sering juga dipakai istilah Non-Maintenance Lease baik untuk Net Leasemaupun untuk Net-net Lease.

10. Full service Lease

Full service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease. Maksudnya adalah Leasing
dengan mana pihak Lessor bertanggungjawab atas pemeliharaan barang, membayar asuransi dan pajak.

11. Big Ticket Lease

Ini merupakan Leasing untuk barang-barang mahal, misalnya pesawat terbang dan dengan jangka
waktu yang relatif lama, misalnya 10 tahun.

12. Captive Leasing

Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah Leasing yang ditawarkan oleh Lessor kepada langganan
tertentu, yang telah terlebih dahulu ada hubungannya dengan Lessor. Dalam hal ini, biasanya yang
menjadi barang objek Leasing adalah barang yang merupakan merek dari Lessor itu sendiri.

13. Third Party Leasing

Transaksi bentuk ini merupakan kebalikan dari Captive Leasing. Dalam trnasaksi ini, pihak Lessor bebas
menawarkan Leasing kepada siapa saja. Jadi, Lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu
dengan Lessee.
14. Wrap Lessee

Wrap Lease merupakan jenis Leasing, yang biasanya pihak Lessor tidak mau mengambil resiko, sehingga
jangka waktunya lebih singkat dari biasanya.

Tetapi tentunya ini akan memberatkan Lessee, karena ia akan membayar cicilan yang besar.

Oleh karena itu, pihak Lessor biasanya melease kembali barang tersebut kepada investor yang mau
menanggung resiko, sehingga jangka waktu Leasing bagi Lessee menjadi lebih panjang, sehingga
cicilannya menjadi relatif kecil.

15. Straight Payable Lease, Seasonal Lease dan Return on Invescment Lease

Pembagian kepada tiga jenis Leasing ini adalah jika dipergunakan kriteria “cara pembayaran” terhadap
cicilan harga barang oleh Lessee kepada Lessor. Yang dimaksud dengan Straight Payable Lease adalah
Leasing yang cicilannya dibayar Lessee kepada Lessor tiap bulannya dengan jumlah cicilan yang selalu
sama.

Sementara itu, yang dimaksud dengan Seasonal Lease adalah Leasing yang metode pembayaran
cicilannya oleh Lessee kepada Lessor dilakukan setiap periode tertentu, miasalnya dibayar tiap tiga
bulan sekali.

Sedangkan yang dimaksud dengan Return on Invescment Lease adalah suatu jenis Leasing dimana
pembayaran cicilan oleh Lessee kepada Lessorhanya terhadap angsuran bunganya saja. Sementara
hutang pokoknya baru dibayar setiap akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan
Lessee.

Menurut Mr. A.C. Goudsmit dan Mr. J.A.M.P. Keijser, leasing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Leasing merupakan suatu pembiayaan, baik pada finance lease maupun operating lease,

2. Biasanya ada hubungan jangka waktu lease dan masa kegunaan benda yang di-lease tersebut,

3. Hak Milik benda yang di-lease ada pada lessor. Hal ini berdampak penting di bidang akuntansi seperti
penyusunan di bidang hukum dalam hal pelaksanaan perjanjian leasing,

4. Benda yang menjadi objek leasing adalah benda-benda yang digunakan dalam suatu perusahaan,
yakni benda-benda yang diperlukan dalam menjalankan perusahaan.jadi tidak saja mesin –mesin yang
hanya dapat digunakan untuk berproduksi akan tetapi bisa juga untuk komputer, dan kendaraan
bermotor.

2.6 Modal Ventura

2.6.1 pengertian

Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital
Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/ penyertaan modal ke dalam suatu
Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (Investee Company) / Sebagai pasangan usahanya
untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi
konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha. Investasi modal ventura ini
biasanya memiliki suatu resiko yang tinggi, meskipun resiko yang dihadapi tinggi, pihak modal ventura
mengharapkan suatu keuntungan yang tinggi pula dari penyertaan modalnya berupa capital gain atau
deviden. Kapitalis ventura atau dalam bahasa asing disebut venture capitalist (VC), adalah seorang
investor yang berinvestasi pada perusahaan modal ventura, dan Perusahaan yang pembiayaannya dari
modal ventura disebut Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) atau investee company. Dana ventura ini
mengelola dana investasi dari pihak ketiga (investor) yang tujuan utamanya untuk melakukan investasi
pada perusahaan yang memiliki resiko tinggi sehingga tidak memenuhi persyaratan standar sebagai
perusahaan terbuka ataupun guna memperoleh modal pinjaman dari perbankan. Investasi modal
ventura ini dapat juga mencakup pemberian bantuan manajerial dan teknikal. Kebanyakan dana ventura
ini adalah berasal dari sekelompok investor yang mapan keuangannya, bank investasi, dan institusi
keuangan lainnya yang melakukan pengumpulan dana ataupun kemitraan untuk tujuan investasi
tersebut. Penyertaan modal yang dilakukan oleh modal ventura ini kebanyakan dilakukan terhadap
perusahaan-perusahaan baru berdiri sehingga belum memiliki suatu riwayat operasionil yang dapat
menjadi catatan guna memperoleh suatu pinjaman. Sebagai bentuk kewirausahaan, pemilik modal
ventura biasanya memiliki hak suara sebagai penentu arah kebijakan perusahaan sesuai dengan jumlah
saham yang dimilikinya.

2.6.2 Dasar Hukum Modal Ventura

• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.017/1995 tanggal 3 Oktober 1995 Tentang Pendirian
dan Pembinaan Perusahaan Modal Ventura.

• Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak Penghasilan bagi Perusahaan Modal
Ventura.

• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227/KMK.01/1994 tanggal 9 Juni 1994 Tentang Sektor-sektor
Usaha Perusahaan Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal Ventura.

• Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 1992 tentang sektor-sektor usaha Perusahaan Pasangan Usaha
(PPU) Perusahaan Modal Ventura.

• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 Tentang


ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

• Kepres Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.

• Perpres Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

• PMK Nomor 18/PMK.010/2012 tanggal 1 Februari 2012 tentang Perusahaan Modal Ventura.

2.6.3 Tujuan Pendirian Modal Ventura

Secara garis besar maksud dan tujuan pendirian modal ventura antara lain sebagai berikut :

1). Untuk pengembangan suatu proyek tertentu, misalnya proyek penelitian, dimana proyek ini biasanya
tanpa memikirkan keuntungan semata, akan tetapi lebih bersifat pengembangan ilmu pengetahuan.

2). Pengembangan suatu teknologi baru atau pengembangan produk baru. Pembiayaan untuk usaha ini
baru memperoleh keuntungan dalam jangka panjang.

3). Pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan. Tujuan pembiayaan dengan mengambilalihkan


kepemilikan usaha perusahaan lain lebih banyak diarahkan untuk mencari keuntungan.
4). Kemitraan dalam rangka pengentasan kemiskinan dengan tujuan untuk membantu para pengusaha
lemah yang kekurangan modal , tetapi tidak punya jaminan materil sehingga sulit memperoleh jaminan.

5). Ahli teknologi yang dilakukan ke perusahaan yang masih menggunakan teknologi lama sehingga
dapat meningkatkan kapasitas produksi dan mutu produknya.

6). Membantu perusahaan yang sedang kekurangan likuiditas.

7). Membantu pendirian perusahaan baru dimana tingkat resiko kerugiannya sangat besar.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Lembaga Pembiayaan, adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.

Dari pengertian tersebut di atas terdapat beberapa unsur-unsur, yaitu:

1) Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.

2) Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan kegiatan atau aktivitas dengan cara membiayai pada pihak-
pihak atau sektor usaha yang membutuhkan.

3) Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan dana untuk suatu keperluan.

4) Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu.

5) Tidak menarik dana secara langsung.

Lembaga pembiayaan diatur oleh:

• Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan

• Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan.

• Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan.

Kegiatan lembaga pembiayaan:

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:

a. Sewa Guna Usaha;


b. Anjak Piutang;

c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau

d. Pembiayaan Konsumen.

Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:

a. Penyertaan saham (equity participation);

b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); dan/atau

c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/ revenue sharing).

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:

a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur;

b. Refinancingatas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau

c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan


Infrastruktur.

Anda mungkin juga menyukai