Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

Aspek Hukum Pembiayaan Dalam BisnisMakalah ini dibuat untuk

memenuhi tugas pada mata kuliah “Hukum Bisnis”

Dosen Pengampuh Mata Kuliah: 

Andi Amri Bakti, S.Sos.M.Si

Disusun Oleh:

Rosita Said F 2061201164


Andi Ulfa Ainun Qalbi F 2061201152
Hajra S F
Muhammad abdillah F 2061201010

1B2 Manajemen

Program Studi Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Muslim Maros

2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yangtelah memberikan kemudahan


kepada penulis untuk menyusun makalah ini. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada nabi Muhammad SAW,
seorang yang telah membawa umat muslim dari zaman kegelapan menuju
cahaya Ilahi.

Makalah yang berjudul “Aspek Hukum Lembaga Pembiayaan” ini


kami susun berdasarkan tugas dari Dosen kami Bapak Andi Amri Bakti,
S.Sos.M.Si , semoga keberkahan selalu dilimpahkan untuk beliau karena
senantiasa membimbing kami dalam mata kuliah Aspek Hukum dalam
Bisnis.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari
pembaca sangat kami harapakan. Dan kita sama-sama berdo’a mudah-
mudahan makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Makassar, 19 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A.Latar Belakang..........................................................................................1
B.Rumusan Masalah....................................................................................1
C.Tujuan ......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
A.PENGERTIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN...............................................3
B.PENGATURAN LEMBAGA PEMBIAYAAN..............................................4
C.PEMBIAYAAN KONSUMEN..................................................................11
D.DASAR HUKUM…………………………….……………………………….11
E.ANJAK PIUTANG (FACTORING)..........................................................12
F.SEWA GUNA USAHA (LEASING).........................................................16
G.MODAL VENTURA................................................................................25
BAB III PENUTUP....................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dalam mempertahankan hidupnya melakukan berbagai


macam cara, salah satunya adalah melakukan kegiatan atau aktivitas
bisnis. Melalui kegiatan itu manusia dapat memenuhi tuntutan hidupnya
yang semakin hari semakin komplek. Kehidupan manusia di jaman
modern ini begitu cepat berputar. Setiap hari manusia bekerja demi
mempertahankan hidupnya. Kehidupan yang serba cepat memacu
manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat pula.
Pemenuhan kebutuhan hidup secara cepat telah mendorong dan
membuka peluang bagi manusia untuk melakukan kegiatan bisnis.
Aktivitas bisnis itu sendiri diwarnai oleh berbagai bentuk hubungan bisnis
atau kerjasama bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis. Hubungan
bisnis atau kerjasama bisnis yang terjadi sangat beraneka ragam
tergantung pada bidang bisnis apa yang sedang dijalankan. Dengan
semakin berkembangnya aktivitas bisnis sekarang ini maka keperluan
akan modal atau dana bagi pelaku usaha juga semakin meningkat. Oleh
karena itu, sarana penyediaan dana yang dibutuhkan oleh pelaku usaha
atau masyarakat perlu diperluas. Umumnya dana yang dibutuhkan
tersebut dapat disediakan oleh lembaga perbankan melalui fasilitas kredit.
Namun, fasilitas kredit dari perbankan sangat terbatas dan tidak semua
pelaku usaha punya akses untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari
bank. Selain itu lembaga perbankan ini juga memerlukan jaminan yang
kadang kala tidak bisa dipenuhi oleh pelaku usaha yang bersangkutan,
maka perlu suatu upaya lain yaitu tanpa jaminan dan lebih mudah
prosesnya. . Upaya lain tersebut dapat dilakukan melalui suatu jenis
badan usaha yaitu melalui Lembaga Pembiayaan. Munculnya lembaga
pembiayaan ini turut memacu roda perekonomian masyarakat dan turut
membawa andil yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakat
khususnya masyarakat kecil.
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mempelajarinya
lebih lanjut sehingga penulis menyusun makalah ini dengan judul “Aspek
Hukum Lembaga Pembiayaan”

1
B. Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan?


b. Bagaimana hukum yang mengatur tentang Lembaga
Pembiayaan?
c. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan?

C. Tujuan

d. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Lembaga Pembiayaan.


e. Untuk mengetahui hukum yang mengatur tentangLembaga
Pembiayaan.
f. Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang boleh dilakukan oleh
Lembaga Pembiayaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN

Lembaga pembiayaan diatur dalam Keputusan Presiden No. 61


Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri
Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Pengertian lembaga pembiayaan
menurut Pasal 1 angka (2) Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan, adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana  atau barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.

Dari pengertian tersebut di atas terdapat beberapa unsur-unsur,


yaitu:
1)   Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang
usaha lembaga pembiayaan.
2)   Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan kegiatan atau aktivitas
dengan cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang
membutuhkan.
3)   Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan dana untuk
suatu keperluan.
4)   Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan
sesuatu.
5)   Tidak menarik dana secara langsung.
6)   Masyarakat, Yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu
tempat.
Selain itu juga menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan adalah badan

3
usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
dana atau barang modal.
Dalam sistem lembaga keuangan dibedakan menjadi dua yaitu
lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Lembaga
keuangan bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang
keuangan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
atau bentuk lain guna meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak
langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga
dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi
perusahaan.Bidang usaha yang termasuk dalam lembaga keuangan
bukan bank antara lain adalah asuransi, pegadaian, dana pensiun, reksa
dana, lembaga pembiayaan.  lembaga pembiayaan termasuk dalam
Lembaga keuangan Bukan Bank (LKBB).

B. PENGATURAN LEMBAGA PEMBIAYAAN

 Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga


Pembiayaan
 Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan

a) Jenis Lembaga Pembiayaan

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9


Tahun 2009, Lembaga Pembiayaan meliputi:

a. Perusahaan Pembiayaan;
b. Perusahaan Modal Ventura; dan

4
c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.

b) Bentuk Badan Usaha

a. Perseroan Terbatas; atau


b. Koperasi.

c) Kegiatan Usaha

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:


a. Sewa Guna Usaha;
b. Anjak Piutang;
c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
d. Pembiayaan Konsumen.
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:
a. Penyertaan saham (equity participation);
b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi
equity participation); dan/atau
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha
(profit/ revenue sharing).
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk
Pembiayaan Infrastruktur;
b. Refinancingatas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain;
dan/atau
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;

d) Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor


84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan pada pasal 1,
dijelaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan didirikan dalam bentuk

5
badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi. Perusahaan
Pembiayaan dapat didirikan oleh:
1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
2. Badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia (usaha patungan).
Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud diatas, wajib terlebih dahulu memperoleh Izin Usaha
sebagai Perusahaan Pembiayaan dari Menteri, dimana Perusahaan
Pembiayaan tersebut harus mencantumkan dalam anggaran
dasarnya kegiatan pembiayaan yang dilakukan secara jelas.
Adapun hal-hal yang perlu dilampirkan didalam format yang
diajukan kepada Menteri untuk mendapatkan Izin Usaha untuk
melakukan kegiatan usaha adalah sebagai berikut:
1. Akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang
telah disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama dan tempat kedudukan;
b. Kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas;
2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas
meliputi:
a. Fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau paspor;
b. Daftar riwayat hidup;
c. Surat pernyataan:
1) Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektorperbankan;
2) Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector
perbankan;

6
3) Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
5) Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain
bagi Direksi;
6) Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan
Pembiayaan lain bagi Komisaris;
d. Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan
Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua)
tahun bagi salah satu direksi atau pengurus;
e. Fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau
pengurus berkewarganegaraan asing;
3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:
a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan
kegiatan pencucian uang (money laundering);
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari
instansi berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di negara asal;
2. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan
laporan
keuangan terakhir;
3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka
2, dan
angka 3 bagi pemegang saham dan direksi ataupengurus;

7
4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia;
5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito
berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam
proses pengajuan izin usaha;
6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-
kurangnya memuat:
a. Rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan
untuk mewujudkan rencana dimaksud;
b. Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan
operasional;
7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
a. Daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor; contoh perjanjian pembiayaan yang akan
digunakan; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak
Indonesia bagi perusahaan patungan;
9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(P4MN). Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh Izin
Usaha wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Izin Usaha ditetapkan,
yang mana laporan atas pelaksanaan kegiatan tersebut
disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha tersebut. Apabila setelah
jangka waktu yang telah ditentukan, Perusahaan Pembiayaan tidak
melakukan kegiatan usaha, Menteri mencabut Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.

8
e) Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan

a. Kepemilikan Perusahaan Pembiayaan.

Perusahaan Pembiayaan, dapat didirikan oleh badan


hukum ataupun koperasi. Namun hal ini tidak menutup
kemungkinan badan usaha asing untuk
menanamkan sahamnya di suatu Perusahaan Pembiayaan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
dijelaskan bahwa badan usaha asing, dapat memiliki saham
dalam suatu Perusahaan Pembiayaan setinggi-tingginya
adalah 85% (delapan puluh lima perseratus) dari modal
disetor.
Sedangkan bagi pemegang saham yang berbentuk
badan hukum, jumlah penyertaan modal pada Perusahaan
Pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50 %
(lima puluh perseratus) dari modal sendiri. Modal sendiri
yang dimaksud disini adalah penjumlahan dari modal
disetor, agio saham, cadangan dan saldo laba/rugi dari
Perusahaan Pembiayaan tersebut. Sementara untuk
Perusahaan Pembiayaan yang pemegang sahamnya
berbentuk badan hukum koperasi, modal sendiri yang
dimaksud terdiri dari penjumlahan dari simpanan pokok,
simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah. Dan yang
pemegang sahamnya berbentuk badan hukum yayasan,
modal sendiri yang dimaksud terdiri dari aktiva bersih terikat
secara permanen, aktiva bersih terikat secara temporer, dan
aktivabersih tidak terikat.

b. Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan.

Pengurus suatu perusahaan pembiayaaan terdiri dari :

9
a. Direksi;
b. Komisaris;
c. Kepala cabang.
Setiap pengurus dari suatu Perusahaan Pembiayaan
( direksi, komisaris, dan kepala cabang ) sekurang-
kurangnya memiliki persayaratan sebagai berikut :
a. Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor
perbankan;
b. Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector
perbankan;
c. Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
d. Setoran modal pemegang saham tidak berasal dari
pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering);
e. Salah satu direksi atau pengurus harus berpengalaman
operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau
perbankan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
f. Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah
yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. Direksi Perusahaan
Pembiayaan wajib menetap di Indonesia dan dilarang
melakukan perangkapan jabatan sebagai Direksi pada
Perusahaan Pembiayaan lain, namun diperkenankan
merangkap jabatan sebagai komisaris pada 1 (satu)
Perusahaan Pembiayaan lain. Sedangakan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan, diperkenankan merangkap
jabatan menjadi komisaris sebanyak-banyaknya pada 3
(tiga) Perusahaan Pembiayaan.

f).Perizinan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/Pmk. 012/2006:

10
- Permohonan untuk mendapatkan Izin Usaha diajukan
kepada Menteri.
- Persetujuan atau penolakan atas permohonan Izin Usaha
diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.

g).Pembatasan

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor


9 Tahun 2009 pasal 9, lembaga pembiayaan dilarang
menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam
bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan.

h).Pengawasan

Pasal 11: Menteri melakukan pengawasan dan


pembinaan atas Lembaga
Pembiayaan.

C. PEMBIAYAAN KONSUMEN

Menurut Keputusan Menteri Keuangan No 1251 tahun 1988,


pembiayaan konsumen merupakan kegiatan yang dilakukan dalam
bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang
(konsumtif) yang pembayarannya secara angsuran atau mencicil.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009,
Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan
konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Selain itu
pengertian lainnya Pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman

11
atau kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur
untuk pembelian barang dan jasa yang akan langsung
dikonsumsikan oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi
atau distribusi. Perusahaan yang memberikan pembiayaan diatas,
disebut perusahaan pembiayaan konsumen (Customer Finance
Company).  Berdasarkan definisi pembiayaan konsumen di atas,
maka dapat dijelaskan mengenai hal-hal yang  menjadi dasar dari
kegiatan pembiayaan konsumen, yaitu :
a)   Pembiayaan konsumen adalah merupakan salah satu alternatif
pembiayaan yang dapat diberikan kepada konsumen.
b)   Obyek pembiayaan dari usaha jasa pembiayaan konsumen adalah
barang kebutuhan konsumen, biasanya kendaraan bermotor, barang-
barang kebutuhan rumah tangga , komputer, barang-barang
elektronika, dan lain-lain.
c)    Sistem pembayaran angsuran dilakukan secara angsuran/berkala,
biasanya  dilakukan  pembayaran setiap bulan dan di tagih langsung
kepada konsumen.
d)   Jangka waktu pengembalian bersifat fleksibel, tidak terikat dengan
ketentuan.

D. DASAR HUKUM

a. Dasar hukum subtantif


- Asas kebebasan berkontrak
Syarat sah:
- Kesepakatan
- Kecakapan
- Suatu hal tertentu
- Sebab yang halal/legal
b. Dasar hukum administratif

12
- Keputusan Menteri Keuangan No 1251 tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan.

E. ANJAK PIUTANG (FACTORING)

Factoring atau Anjak Piutang menurut Perpres No. 9 Tahun 2009


adalah Anjak kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang
dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan atas
piutang tersebut. Menurut Kasmir dalam "Bank dan Lembaga
Keuangan lainnya" (2002) menjelaskan bahwa anjak piutang atau yang
lebih dikenal dengan factoring adalah perusahaan yang kegiatannya
melakukan penagihan atau pembelian atau pengambilalihan atau
pengelolaan hutang piutang suatu perusahaan dengan imbalan atau
pembayaran tertentu dari perusahaan (klien). Kemudian pengertian
anjak piutang menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor
125/KM.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 adalah badan usaha
yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan
atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek
suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
Dari definisi diatas, setidaknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a). Dalam kegiatan factoring ada tiga pihak yang terkait, yaitu:
1. Perusahaan Factoring (factoring company), atau disebut dengan
factor sebagai suatu badan usaha yang melakukan kegiatan lembaga
pembiayaan dengan bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek perusahaan;
2. Perusahaan penjual piutang atau disebut klien (client), adalah
perusahaan yang menjual atau mengalihkan piutang atau tagihannya
kepada factor;
3. Nasabah (customer), sebagai pihak yang berutang (debitur) kepada
klien, dan piutang tersebut oleh klien dijual atau dialihkan kepada
factoring. Istilah klien (client) dan nasabah (customer) dalam
mekanisme anjak piutang memiliki pengertian yang sangat berbeda.

13
Lain halnya dengan bank yang memiliki nasabah atau customer,
sedangkan perusahaan anjak piutang hanya memiliki klien dalam hal ini
supplier. Selanjutnya, klien yang memiliki nasabah atau customer.
Mekanisme anjak piutang ini sebenamya diawali dari adanya transaksi
jual beli barang atau jasa yang pembayarannya secara kredit.
b). Kegiatan factoring hanya berupa suatu kegiatan jual beli atau
pengurusan piutang.
c). Piutang atau tagihan itu merupakan tagihan jangka pendek dan
berasal dari transaksi perdagangan, dan umumnya mempunyai ciri-ciri
di antaranya:
* Piutang yang terdiri dari seluruh tagihan berdasarkan faktur-faktur dari
perusahaan yang belum jatuh tempo;
* Piutang yang timbul dari surat-surat berharga yang belum jatuh
tempo;
* Piutang yang timbul dari suatu proses pengiriman barang.

Dalam pasl 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor


84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dijelaskan bahwa
kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentuk piutang dagang jangka
pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
Kegiatan anjak piutang tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk anjak
piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without Recourse) dan
anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With Recourse).
Anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without
recourse) adalah kegiatan anjak piutang dimana Perusahaan
Pembiayaan menanggung seluruh resiko tidak tertagihnya Piutang.
Sedangkan anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With
recourse) adalah kegiatan anjak piutang dimana penjual piutang
menanggung resiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang
yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.

14
a) Dasar Hukum Anjak Piutang

Keputusan Presiden RI no.61 tahun 1988 tanggal 20 desember


1988 lembaran negara republik indonesia no.93 tahun 1988 jis. Surat
Keputusan Menteri Keuangan No.448/KMK.06/2002 jis. Syarat
keputusan menteri keuangan No.172/KMK.06/2002 mengatur
mengenai perusahaan pembiayaan,sehingga aturan anjak piutang
hanyalah ditemukan sebagai salah satu hukum administrasi  yang
mengatur keberadaan kegiatan perusahaan pembiayaan dengan
demikian dapat terlihat pengaturan hukum dibidang lembaga anjak
pitang itu terlihat masih sangat sederhana dan belum lengkap.
Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013//1988 jis
No.448/KMK.017/2000 tanggal 27 0ktober 2000 pada pasal 1 huruf E
adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau
pengalihan serta kepengurusan piutang atau tagihan jangka pendek
suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam maupun luar
negeri”. Selanjutnya pengertian anjak piutang dipertegas dengan
ketentuan surat keputusan menteri keuangan No.172/KMK.06/2002.
Yang menyatakan kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentuk:
a). Pembelian dan atau pengalihan:
b). Pengurusan atas piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi
perdagangan dalam maupun luar negeri.
Anjak piutang bagi perusahaan yang memproduksi barang dan jasa
akan memberi manfaat dalam melancarkan usaha terutama dalam hal: 
1. Membantu administrasi penjualan dan penagihan (sales ladgering
and colection service)
2. Membantu memperlancar modal kerja
3. Meningkatkan kepercayaan
4. Kesempatan meningkatkan usaha

15
b) Jenis-jenis Anjak Piutang

a. Full servis factoring

Yaitu bentuk pelayanan yang diberikan atau disediakan oleh


perusahaan anjak piutang yang meliputi jenis jasa anjak piutang,
baik dalam bentuk jasa pembiayaan maupun non jasa pembiayaan.

b. Recourse factoring

Bentuk pelayanan yang diberikan meliputi hampir semua


jasa bank anjak iutang kecuali proteksi terhadap resiko tidak
dibayarnya tagihan.

c. Bull factoring

Yaitu bentuk pelayanan klien hanya memerlukan jasa


pembiayaan atau pemberitahuan jatuh tempo pada nasabah atau
costumer sedangkan jasa-jasa seperti proteksi kredit, seles ledger
administration dan penagihan tidak diperlukan.

d. Matury factoring

Yaitu bentuk pelayanan dimana yang dibutuhkan klien


adalah jaminan perlindungan kredit yang meliputi pengurusan
penuh atas penjualan, penagihan dari pelanggan dan proteksi atas
piutang.

e. Agency factoring

Bentuk factoring ini sering dikaitkan dengan bull factoring


yaitu penyerangan keseluruhan penjualan anjak piutang klien
kepada perusahaan factoring atas dasar nitifikasi, tetapi tidak
bertanggung jawab atas kepengurusan atas penagihan piutang
tersebut.

16
f. Invoice discouting

Klien dalam hal ini hanya membutuhkan jasa pembiayaan


perusahaan anjak piutang sedangkan jasa non pembiayaan
ditangani sendiri oeh klien.

g. Undisclosed factoring

Biasanya berkaitan dengan suatu perjanjian penjualan piutang


dimana perusahaan factoring memberikan proteksi terjadinya
kemacetan pelunasan piutang sampai dengan persentase tertentu
(biasanya 80 %) dari jumlah factur yang disetujui yaitu dengan without
recuerse sebagai resiko kredit.

F. SEWA GUNA USAHA (LEASING)

Istilah lain dari Sewa Guna Usaha yaitu “leasing”, dimana


leasing itu berasal dari kata lease (inggris) yang berarti menyewakan.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing),
leasing  adalah  kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance
lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)
untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala.  Sedangkan Barang modal
adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas
tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah
serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan
secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau
memperlancar produksi dan distribusi barang atau jasa oleh Lessee.
Barang modal pada hal ini berdasarkan pada pasal 11 UU PPh Nomor
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

17
a) Dasar Hukum Leasing :

Kegiatan leasing secara resmi diperbolehkan beroperasi di


Indonesia setelah keluar surat keputusan bersama antara Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor Kep.
122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/74 dan Nomor 30/Kpb/I/74
Tanggal 7 Februari 1974 Tentang Perizinan Usaha Leasing di
Indonesia.
Wewenang untuk memberikan usaha leasing dikeluarkan oleh
Menteri Keuangan berdasarkan Surat Keputusan Nomor
649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai
ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya adalah dengan keluarnya
Kebijaksanaan Deregulasi 20 Desember 1988 yang isinya mengatur
tentang usaha leasing di Indonesia dan dengan keluarnya
kebijaksanaan ini, maka ketentuan mengenai usaha leasing
sebelumnya tidak berlaku lagi. Kemudian dalam Kepprez Nomor 61
Tahun 1988 dan Keputusan Menteri Keuangan nomor
1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988 diperkenalkan adanya
istilah pembiayaan yaitu kegiatan dalam bentuk dana atau barang
modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat
luas.
Selain itu, Leasing diatur lebih berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (Leasing). Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,
27 Nopember 1991 dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak
tanggal 19 Januari 1991. Dengan berlakunya Keputusan Menteri
Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 48/KMK.013/1991
tentang Kegiatan Sewa-guna-usaha, dinyatakan tidak berlaku.

18
b) Pihak-pihak dalam Perjanjian Leasing

Dalam setiap transaksi Leasing selalu melibatkan 3 (tiga) pihak


utama, yaitu:
a. Pihak Lessor
Pihak Lessor adalah perusahaan Leasing yang memiliki hak
kepemilikan atas barang modal. Perusahaan Leasing menyediakan
dana kepada pihak yang membutuhkan.
Dalam usaha pengadaan barang modal, biasanya
perusahaan Leasing berhubungan langsung dengan pihak penjual
(Supplier), dan telah melunasi barang modal tersebut. Lessor
bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan
untuk membiayai penyediaan barang modal dengan memperoleh
keuntungan, atau memperoleh keuntungan dari penyediaan barang
modal dan pemberian jasa pemeliharaan serta pengoperasian
barang modal.
b. Pihak Lessee
Pihak Lessee adalah perusahaan atau pengguna barang
modal yang dapat memiliki hak opsi pada akhir kontrak Leasing.
Lessee yang memerlukan barang modal berhubungan langsung
dengan Lessor, yang telah membiayai barang modal dan berstatus
sebagai pemilik barang modal tersebut. Barang modal yang dibiayai
oleh Lessor tersebut kemudian diserahkan penguasaannya kepada
dan untuk digunakan oleh Lessee dalam menjalankan usahanya.
Pada akhir kontrak Leasing, Lessee mengembalikan barang modal
tersebut kepada Lessor, kecuali jika ada hak opsi untuk membeli
barang modal dengan harga berdasarkan nilai sisa.
c. Pihak Supplier
Pihak Supplier adalah penjual barang modal yang menjadi
objek Leasing. Harga barang modal tersebut dibayar tunai oleh
Lessor kepada Supplier untuk kepentingan Lessee.

19
Pihak Supplier dapat berstatus perusahaan produsen barang
modal atau pihak penjual biasa. Ada juga jenis Leasing yang tidak
melibatkan Supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak
Lessor dengan pihak Lessee, misalnya dalam bentuk Sale and
Lease back.

c) Jenis-Jenis Leasing

Pada prinsipnya ada dua macam jenis Leasing yaitu Leasing


yang berbentuk Operating dan Leasing yang berbentuk Finance.
Namun demikian, terdapat juga berbagi bentuk lainnya yang lebih
merupakan derifatif dari kedua bentuk pokok tersebut.

2. Financial Lease (Hak Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi)

Financial Lease sering disebut dengan Capital Lease atau Full-


Payout Lease. Financial Lease merupakan suatu corak Leasing
yang paling sering digunakan.
Dalam jenis ini, Lessor adalah pihak yang membiayai
penyediaan barang modal. Lessee biasanya memilih barang modal
yang dibutuhkan dan atas nama Lessor, sebagi pemilik barang modal
tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan
barang modal yang menjadi objek transaksi Leasing.
Financial Leasing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Objek Sewa Guna Usaha (Leasing) dapat berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, yang berumur maksimum
sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut.
b. Besarnya harga sewa ditambah hak opsi harus menutup
harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan oleh
Lessor.

20
c. Jumlah sewa yang dibayar secara angsuran per bulan terdiri
dari biaya perolehan barang ditambah dengan biaya lain dan
keuntungan yang diinginkan Lessor.
d. Jangka waktu berlakunya kontrak relatif lebih panjang, dan
resiko biaya pemeliharaan dan biaya lain (kerusakan, pajak,
asuransi) atas barang modal ditanggu ng oleh Lessee.
e. Pada akhir masa kontrak, Lessee diberi hak opsi untuk
membeli barang modal sesuai nilai sisa, atau
mengembalikannya kepada Lessor, atau perpanjangan masa
kontrak dengan pembayaran yang lebih rendah dari
sebelumnya.
f. Selama jangka waktu kontrak, Lessor tidak boleh secara
sepihak mengakhiri kontrak Sewa Guna Usaha (Leasing)
atau mengakhiri pemakaian barang modal tersebut.
2. Operating Lease (Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi)
Operating Lease disebut juga Service Lease. Dalam jenis ini,
Lessor membeli barang modal dan selanjutnya disewagunausahakan
kepada Lessee. Berbeda dengan Finance Lease, jumlah seluruh
pembayaran Leasing berkala dalam Operating Lease tidak
mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang
modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan
karena Lessor mengharapkan keuntungan justru dari penjualan
barang modal yang disewagunausahakan, atau melalui beberapa
kontrak Sewa Guna Usaha lainnya.
Dalam Leasing jenis ini, dibutuhkan keahlian khusus dari
Lessor untuk memelihara dan memasarkan kembali barang modal
yang sudah disewagunausahakan kembali.
Ciri-ciri dari Operating Lease adalah sebagai berikut :
a. Jangka waktu kontrak relatif lebih pendek dari umur
ekonomis barang modal. Atas dasar perhitungan tersebut,

21
Lessor dapat memetik keuntungan dari hasil penjualan
setelah kontrak berakhir.
b. Barang modal yang menjadi objek Operating Lease,
biasanya barang yang mudah dijual.
c. Jumlah sewa secara berkala (angsuran) yang dibayar oleh
Lessee kepada Lessor lebih kecil daripada harga barang
ditambah keuntungan yang diharapakan Lessor(non full
payout).
d. Segala resiko ekonomi (kerusakan, pajak, asuransi,
pemeliharaan) atas barang modal ditanggung oleh Lessor.
e. Kontrak Operating Lease dapat dibatalkan secara sepihak
oleh Lessee dengan mengembalikan barang modal kepada
Lessor.
f. Setelah kontrak berakhir, Lessee wajib mengembalikan
barang modal tersebut kepada Lessor.
Bahwa selain kedua bentuk utama Leasing diatas, masih
terdapat bentukbentuknya dari Leasing, antara lain sebagai
berikut :
3. Sale and Lease Back ( Jual dan Sewa Kembali)
Dalam bentuk transaksi ini, Lessee membeli terlebih dahulu barang
modal atas namanya sendiri, kemudian barang modal tersebut dijual
kepada Lessor dan selanjutnya oleh Lessee disewa kembali dari Lessor
untuk digunakan kembali bagi keperluan usahanya daalam suatu bentuk
kontrak Leasing. Biasanya bentuk Sale and Lease Back ini mengambil
bentuk Financial Lease.
Sale and Lease Back mirip dengan hutang-piutang uang
dengan jaminan barang, dan pembayaran barang tersebut
dilakukan secara cicilan. Tujuan Lessee mengunakan bentuk ini
untuk memperoleh dana tambahan modal kerja, yang tadinya
ditanggulangi sendiri, lalu dialihkan melalui kontrak Leasing.

22
Bentuk ini banyak digunakan di Indonesia akibat masalah
kesulitan impor barang modal terutama mengenai perizinan, bea
masuk, pajak impor, yang banyak memakan biaya.
4. Direct Finance Lease (Sewa Guna Usaha Langsung)
Dalam bentuk transaksi ini, Lessor membeli barang modal
dan sekaligus menyewakannya kepada Lessee. Pembelian
tersebut dilakukan atas permintaan Lessee dan Lessee pula yang
menentukan spesifikasi barang modal, harga dan Suppliernya.
Dengan kata lain, Lessee berhubungan langsung dengan
Supplier dan Lessor membiayai kebutuhan barang modal tersebut
untuk kepentingan Lessee. Penyerahan barang langsung kepada
Lessee tidak melalui Lessor, tetapi pembayaran harga secara
angsuran langsung dilakukan kepada Lessor.
Jadi, tujuan Lessee adalah memperoleh barang modal
untuk perusahaannya dengan pembiayaan secara Leasing dari
Lessor.
5. Syndicated Lease (Sewa Guna Usaha Sindikasi)
Dalam bentuk transaksi, seorang Lessor tidak sanggup
membiayai sendiri keperluanbarang modal yang dibutuhkan Lessee
karena alasan tidak memiliki kemampuan pendanaan.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka beberapa Leasing
Companies mengadakan kerja sama membiayai barang modal
yang dibutuhkan Lessee. Dalam pelaksanaanya, salah satu
Leasing Company bertindak sebagai Coordinator of Laesing
Companies untuk menghadapi Lessee dan juga pihak Supplier.
6. Leveraged Lease
Leveraged Lease merupakan suatu jenis Financial Lease,
dengan mana pihak yang memberikan pembiayaan di samping
Lessor juga pihak ketiga.
Biasanya Leveraged Lease ini dilakukan terhadap barang-
barang yang mempunyai nilai tinggi, dimana pihak Lessor hanya

23
membiayai antara 20% sampai dengan 40% dari pembelian
barang, sedangkan selebihnya akan dibiayai oleh pihak ketiga,
yang merupakan hasil pinjaman Lessor dari pihak ketiga tersebut
dengan memakai kontrak Leasing yang bersangkutan sebagai
jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit
Provider atau Debt Participant. Biasanya dengan Leveraged Lease
ini terdapat juga seorang yang disebut manager. Yakni pihak yang
melaksanakan tender kepada Lessee, dan mengatur hubungan dan
negoisasi antara Lessor, Lessee dan Debt Participant.
7. Cross Border Lease
Cross Border Lease merupakan Leasing dengan mana pihak
Lessor dan pihak Lessee berada dalam dua negara yang berbeda.
8. Net Lease
Ini merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee
yang menanggung resiko dan bertanggungjawab atas
pemeliharaan barang dan membayar pajak dan asuransinya.
9. Net-net Lease
Ini juga merupakan bentuk Financial Leasing, dimana
Lessee tidak hanya menanggung resiko dan bertanggungjawab
atas pemeliharaan barang dan membayar pajak saja, bahkan
Lessee harus juga mengembalikan barang kepada Lessor dalam
kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian Leasing.
Sering juga dipakai istilah Non-Maintenance Lease baik
untuk Net Leasemaupun untuk Net-net Lease.
10. Full service Lease
Full service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau
Gross Lease. Maksudnya adalah Leasing dengan mana pihak
Lessor bertanggungjawab atas pemeliharaan barang, membayar
asuransi dan pajak.
11. Big Ticket Lease

24
Ini merupakan Leasing untuk barang-barang mahal,
misalnya pesawat terbang dan dengan jangka waktu yang relatif
lama, misalnya 10 tahun.
12. Captive Leasing
Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah Leasing
yang ditawarkan oleh Lessor kepada langganan tertentu, yang
telah terlebih dahulu ada hubungannya dengan Lessor. Dalam hal
ini, biasanya yang menjadi barang objek Leasing adalah barang
yang merupakan merek dari Lessor itu sendiri.
13. Third Party Leasing
Transaksi bentuk ini merupakan kebalikan dari Captive
Leasing. Dalam trnasaksi ini, pihak Lessor bebas menawarkan
Leasing kepada siapa saja. Jadi, Lessor tidak harus mempunyai
hubungan terlebih dahulu dengan Lessee.
14. Wrap Lessee
Wrap Lease merupakan jenis Leasing, yang biasanya pihak
Lessor tidak mau mengambil resiko, sehingga jangka waktunya
lebih singkat dari biasanya.
Tetapi tentunya ini akan memberatkan Lessee, karena ia
akan membayar cicilan yang besar.
Oleh karena itu, pihak Lessor biasanya melease kembali
barang tersebut kepada investor yang mau menanggung resiko,
sehingga jangka waktu Leasing bagi Lessee menjadi lebih panjang,
sehingga cicilannya menjadi relatif kecil.
15. Straight Payable Lease, Seasonal Lease dan Return on
Invescment Lease
Pembagian kepada tiga jenis Leasing ini adalah jika
dipergunakan kriteria “cara pembayaran” terhadap cicilan harga
barang oleh Lessee kepada Lessor. Yang dimaksud dengan
Straight Payable Lease adalah Leasing yang cicilannya dibayar

25
Lessee kepada Lessor tiap bulannya dengan jumlah cicilan yang
selalu sama.
Sementara itu, yang dimaksud dengan Seasonal Lease
adalah Leasing yang metode pembayaran cicilannya oleh Lessee
kepada Lessor dilakukan setiap periode tertentu, miasalnya dibayar
tiap tiga bulan sekali.
Sedangkan yang dimaksud dengan Return on Invescment
Lease adalah suatu jenis Leasing dimana pembayaran cicilan oleh
Lessee kepada Lessorhanya terhadap angsuran bunganya saja.
Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap akhir tahun dari
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan Lessee.
Menurut Mr. A.C. Goudsmit dan Mr. J.A.M.P. Keijser,
leasing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Leasing merupakan suatu pembiayaan, baik pada finance lease
maupun operating lease,
2. Biasanya ada hubungan jangka waktu lease dan masa kegunaan
benda yang di-lease tersebut,
3. Hak Milik benda yang di-lease ada pada lessor. Hal ini berdampak
penting di bidang akuntansi seperti penyusunan di bidang hukum
dalam hal pelaksanaan perjanjian leasing,
4. Benda yang menjadi objek leasing adalah benda-benda yang
digunakan dalam suatu perusahaan, yakni benda-benda yang
diperlukan dalam menjalankan perusahaan.jadi tidak saja mesin –
mesin yang hanya dapat digunakan untuk berproduksi akan tetapi
bisa juga untuk komputer, dan kendaraan bermotor.

G.Modal Ventura

Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, Perusahaan


Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan/ penyertaan modal ke dalam suatu
Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (Investee

26
Company) / Sebagai pasangan usahanya untuk jangka waktu tertentu
dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian
obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas
hasil usaha. Investasi modal ventura ini biasanya memiliki suatu resiko
yang tinggi, meskipun resiko yang dihadapi tinggi, pihak modal ventura
mengharapkan suatu keuntungan yang tinggi pula dari penyertaan
modalnya berupa capital gain atau deviden.  Kapitalis ventura atau
dalam bahasa asing disebut venture capitalist (VC), adalah seorang
investor yang berinvestasi pada perusahaan modal ventura, dan
Perusahaan yang pembiayaannya dari modal ventura disebut
Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) atau investee company. Dana
ventura ini mengelola dana investasi dari pihak ketiga (investor) yang
tujuan utamanya untuk melakukan investasi pada perusahaan yang
memiliki resiko tinggi sehingga tidak memenuhi persyaratan standar
sebagai perusahaan terbuka ataupun guna memperoleh modal
pinjaman dari perbankan. Investasi modal ventura ini dapat juga
mencakup pemberian bantuan manajerial dan teknikal. Kebanyakan
dana ventura ini adalah berasal dari sekelompok investor yang mapan
keuangannya, bank investasi, dan institusi keuangan lainnya yang
melakukan pengumpulan dana ataupun kemitraan untuk tujuan
investasi tersebut. Penyertaan modal yang dilakukan oleh modal
ventura ini kebanyakan dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan
baru berdiri sehingga belum memiliki suatu riwayat operasionil yang
dapat menjadi catatan guna memperoleh suatu pinjaman. Sebagai
bentuk kewirausahaan, pemilik modal ventura biasanya memiliki hak
suara sebagai penentu arah kebijakan perusahaan sesuai dengan
jumlah saham yang dimilikinya.

27
a) Dasar Hukum Modal Ventura

 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.017/1995


tanggal 3 Oktober 1995 Tentang Pendirian dan Pembinaan
Perusahaan Modal Ventura.
 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak
Penghasilan bagi Perusahaan Modal Ventura.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227/KMK.01/1994
tanggal 9 Juni 1994 Tentang Sektor-sektor Usaha
Perusahaan Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal
Ventura.
 Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 1992 tentang sektor-
sektor usaha Perusahaan Pasangan Usaha (PPU)
Perusahaan Modal Ventura.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988
tanggal 20 Desember 1988 Tentang ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
 Kepres Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan.
 Perpres Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
 PMK Nomor 18/PMK.010/2012 tanggal 1 Februari 2012
tentang Perusahaan Modal Ventura.

b) Tujuan Pendirian Modal Ventura

Secara garis besar maksud dan tujuan pendirian modal


ventura antara lain sebagai berikut :
1). Untuk pengembangan suatu proyek tertentu, misalnya
proyek penelitian, dimana proyek ini biasanya tanpa memikirkan
keuntungan semata, akan tetapi lebih bersifat pengembangan ilmu
pengetahuan.

28
2). Pengembangan suatu teknologi baru atau pengembangan
produk baru. Pembiayaan untuk usaha ini baru memperoleh
keuntungan dalam jangka panjang.
3). Pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan. Tujuan
pembiayaan dengan mengambilalihkan kepemilikan usaha
perusahaan lain lebih banyak diarahkan untuk mencari keuntungan.
4). Kemitraan dalam rangka pengentasan kemiskinan dengan
tujuan untuk membantu para pengusaha lemah yang kekurangan
modal , tetapi tidak punya jaminan materil sehingga sulit memperoleh
jaminan.
5). Ahli teknologi yang dilakukan ke perusahaan yang masih
menggunakan teknologi lama sehingga dapat meningkatkan
kapasitas produksi dan mutu produknya.
6). Membantu perusahaan yang sedang kekurangan likuiditas.
7). Membantu pendirian perusahaan baru dimana tingkat resiko
kerugiannya sangat besar.

29
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Lembaga Pembiayaan, adalah badan usaha yang melakukan


kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana  atau barang
modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.

Dari pengertian tersebut di atas terdapat beberapa unsur-unsur,


yaitu:
1)   Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang
usaha lembaga pembiayaan.
2)   Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan kegiatan atau aktivitas
dengan cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang
membutuhkan.
3)   Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan dana untuk
suatu keperluan.
4)   Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan
sesuatu.
5)   Tidak menarik dana secara langsung.

Lembaga pembiayaan diatur oleh:

 Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga


Pembiayaan
 Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan.

30
Kegiatan lembaga pembiayaan:

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:


a. Sewa Guna Usaha;
b. Anjak Piutang;
c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
d. Pembiayaan Konsumen.
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:
a. Penyertaan saham (equity participation);
b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi
equity participation); dan/atau
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha
(profit/ revenue sharing).
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk
Pembiayaan Infrastruktur;
b. Refinancingatas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain;
dan/atau
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur.

31
DAFTAR PUSTAKA

Antasari,Rini.2018.lembaga pembiayaan.Malang : Setara Press.

32

Anda mungkin juga menyukai