Anda di halaman 1dari 9

Regulasi Pengawasan Bank

Syariah

Disusun oleh

1. Muhammad samsudin (2031044)


2. Fikri yazid (2031048)
Regulasi Perbankan Syariah Sebelum
Lahirnya Undang-undang Perbankan Syariah

Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang


telah lama diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,
terutama umat Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia
merindukan layanan jasa keuangan dan perbankan yang sesuai
dengan syariat Islam, khususnya berkaitan dengan pelanggaran
praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa
dengan perjudian, ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan
dalam bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan dan
investasi pada kegiatan usaha yang etis dan benar secara syariah.
Lanjutan…
Ketika bank-bank konvensional tumbang dan butuh suntikan dana pemerintah hingga
ratusan trilyun,Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank syariah pertama di Indonesia,
mampumelewati krisis dengan selamat tanpa bantuan dana pemerintah sepeserpun.
Keempat, UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah
di Indonesia.Kelima, tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah ( LKS) yang saling
menopang. Menurut Miranda Gultom sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang
mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Pertama, Fatwa
Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram. Kedua, trend
kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, kmasyarakat kelas menengah ke atas.
Ketiga, sistem ekonomi syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat
krisis ekonomi.
Landasan regulasi hukum tentang bank
syariah
Regulasi dan pengaturan mengenai pengawasan OJK terhadap fintech dalam hal ini layanan pinjam
meminjam uang berbasis Teknologi Informasi (P2P Lending) diatur di dalam POJK Nomor
77/POJK.01/2016. Pengawasan terhadap fintech P2P Lending atau pinjam meminjam uang online
dibagi menjadi dua tahapan: pra atau sebelum operasional usaha dilakukan, dan pada saat atau
berlangsungnya operasional usaha. Tahapan pra operasional usaha, dalam tahap pra atau sebelum
operasional usaha berjalan wajib melakukan pendaftaran dan izin penyelenggara oleh pihak
penyelenggara dalam hal ini OJK, baik itu badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas ataupun
koperasi sebagaimana yang termuat dalam pasal 7 POJK Nomor 77/POJK/01/2016. Untuk
mendapatkan surat tanda bukti terdaftar dari OJK. Terlebih dahulu direksi mengajukan pendaftaran
yang paling lambat diajukan 6 (enam) bulan kepada Kepala Eksekutif Pengawsan Perasuransian,
Lembaga Pembiayaan, Dana Pensiun, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, menggunakan formulir
beserta lampiran dokumen yang tertera dalam pasal 8 ayat (3) POJK Nomor 77/POJK/01/2016.
Lanjutan…
Untuk mendapatkan surat tanda bukti terdaftar dari OJK. Terlebih dahulu direksi mengajukan
pendaftaran yang paling lambat diajukan 6 (enam) bulan kepada Kepala Eksekutif Pengawsan
Perasuransian, Lembaga Pembiayaan, Dana Pensiun, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya,
menggunakan formulir beserta lampiran dokumen yang tertera dalam pasal 8 ayat (3) POJK Nomor
77/POJK/01/2016. Pasal 11 POJK Nomor 77/POJK.01/2016, mengatur tentang syarat-syarat
pengajuan permohonan perizinan. Dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
diterimanya dokumen permohonan perizinan, OJK akan memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perizininan. Selama 20 (dua puluh) hari tersebut, OJK melakukan penelitian atas
kelengkapan dokumen dan analisis kelayakan atas rencana kerja. Dalam proses memberikan izin
tersebut, dimungkinkan OJK untuk melakukan wawancara terhadap pemilik dan/atau calon direksi
dan verifikasi langsung ke kantor pemohon izin. Pelaksanaan wawancara tersebut sebagai sarana fit
and proper test terhadap calon direksi/komisaris penyelenggara.
Tipe pengawasan bank syariah
Tipe pengawasan yang pertama, ditempuh oleh OJK pada saat operasional usaha, seperti
pengajuan laporan oleh perusahaan atau penyelenggara (self assessment system),
pengawasan berupa pengawasan terhadap keuangan dan kegiatan usaha serta pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran dasar yang dilaksanakan melalui laporan berkala ini diatur
dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016, biasanya dalam tahap operasional ini, ada
penyelenggara yang belum mengajukan izin penyelenggaraan kepada OJK. namun sudah
memulai kegiatan usahanya. OJK tetap akan melakukan pengawasan dengan laporan
berkala atau biasa disebut tipe pengawasan Self assessment system.
Tipe pengawasan yang kedua adalah officer supervisory system, yakni pemeriksaan berkala
yang dilakukan oleh OJK. Pemeriksaan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
OJK untuk mengumpulkan, mencari, mengolah, mengevaluasi data dan informasi
mengenai kegiatan usaha layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi,
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak jatuh tempo tanggal pelaporan.
Hal – Hal yang Membuka Peluang Besar Perbankan Syariah
a. Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank
Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7);
b. .Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank nonSyariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal
17 ayat 2);
c. Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai
asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1)
d. Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia
untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara
langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek Pasal 14 ayat (1).
e. UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank
konvensional.Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank
konvensional ( Pasal 19 s.d 21).Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh
investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance
company, dan merchant bank.
f. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah
(UUS) dari sebuah bank konvensional.
g. Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana
yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi penelola zakat (Pasal
4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf(nazhir) sesuai
kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
Kesimpulan
Regulasi perbankan syariah di Indonesia dimulai dalam UU No 7 Tahun 1992 dengan menggunakan istilah bank berdasarkan
prinsip bagi hasil. UU No 10 tahun 1998 memberikan peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah
di Indonesia. Namun demikian karena perbankan syariah memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan perbankan
konvensional, maka diperlukan adanya undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah.
UU Perbankan Syariah mengatur lebih konprehensif tentang bank syariah.UU ini memberikan peluang yang sangat besar
untuk pertumbuhan bank syariah. Selain memberikan peluang, UU Perbankan Syariah juga memberikan tantangan bagi para pelaku
bank syariah nasional agar dapat berkompetisi dengan banker asing yang berminat terjun dalam perbankan syariah di Indonesia
Upaya perlindungan hukum terhadap perkembangan fintech yang semakin pesat mendorong kemajuan ekonomi nasional
pemerintah membuat regulasi kebijakan yang mengatur serta mengawasi fintech tersebut. Dalam implemetasi perwujudan supremasi
hukum yang berkeadilan menindak para pelanggar fintech lebih tegas dan memberikan efek jera, untuk mengawal itu semua,
diperlukan sinergitas dan berbagai upaya agar inklusi layanan keuangan semakin maju. Dalam konteks syariah pun memiliki rujukan
jelas serta aspek hukum yang jelas sesuai dengan pandangan hukum Islam dan hukum positif.
Kendati demikian, upaya mengatasi persoalan pelanggaran fintech, agar ke depan lebih diatur dalam peraturan atau undang-
undang khusus mengenai fintech. Dorongan penegakan hukum yang lebih efisien diperlukan adanya suatu undang-undang khusus
mengenai fintech mulai dari ketentuan penyeleggaran fintech yang baik dan benar sampai kepada aturan tindakan hukum ketika terjadi
pelanggaran fintech , aspek hukum dalam legalisasi hukum nasional financial teknologi akan menjadi konsep kajian penelitian penulis
di masa mendatang.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai