Anda di halaman 1dari 10

BANK UMUM

Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank


disebutkan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup masyarakat.

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara


konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kegiatan Usaha Bank Umum

Kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan oleh Bank Umum:

 Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa


giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
 Memberikan kredit.
 Menerbitkan surat pengakuan utang.
 Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
o Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank
yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam
perdagangan surat-surat dimaksud.
o Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-
surat dimaksud.
o Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
o Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
o Obligasi.
o Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu (1) tahun.
o Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai
dengan satu (1) tahun
 Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah.
 Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan
dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
 Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan antar pihak ketiga.
 Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
 Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak.
 Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
 Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan
wali amanat.
 Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
 Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu Bank Umum dapat pula:

 Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan


yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
 Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di
bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan
efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan,
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
 Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan
 Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus pensiun sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun
yang berlaku.
BANK PERKREDITAN RAKYAT

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah Bank yang melaksanakan kegiatan


usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank
umum karena BPR dilarang menerima simpanan giro, kegiatan valas, dan
perasuransian.

Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat

Berikut usaha yang dapat dilaksanakan oleh BPR:

 Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa


deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
 Memberikan kredit.
 Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip
Syariah,sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
 Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank
lain.
BANK SYARIAH

uu 21 th 2008 perbankan syariah


Judul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Tanggal 16 Juli 2008

Berlaku Sejak 16 Juli 2008

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94 dan Tambahan


Pengundangan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867

Status -
Lampiran UU No 21 Th 2008

Rangkuman :

1. Dengan telah diberlakukannya UU tentang Perbankan Syariah, maka terdapat 2 (dua) UU


yang mengatur perbankan di Indonesia, yaitu UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
 
2. Dalam definisi Prinsip Syariah terdapat dua hal penting yaitu: (1) prinsip syariah adalah
prinsip hukum Islam, dan (2) penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan
fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.
 
3. Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana
masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu:(1) dalam bentuk lembaga baitul maal yang
menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi
pengelola zakat, dan (2) dalam bentuk lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang
menerima wakaf uangdan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (Pasal 4).
 
4. Pihak - pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah
(UUS) wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank
Indonesia.
 
5. Selain mendirikan Bank Syariah atau UUS baru, pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan
usaha perbankan syariah dapat melakukan pengubahan(konversi) bank konvensional
menjadi Bank syariah. Pengubahan dari Bank Syariah menjadi bank konvensional merupakan
hal yang dilarang dalam UU ini (Pasal 5).
 
6. Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh warga negara Indonesia
(WNI) dan/atau badan hukum Indonesia, WNI dan/atau badanhukum Indonesia dengan
warga negara asing (WNA) dan/atau badan hukum asing secara kemitraan, atau Pemerintah
daerah. Sedangkan BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh WNI dan/atau badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI, pemerintah daerah, atau gabungan dua
pihak atau lebih dari WNI, badan hukum Indonesia dan pemerintah daerah (Pasal 9).
 
7. UU Perbankan Syariah hanya mengenal bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (Pasal
7).Setiap upaya penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BankSyariah wajib
mendapat izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Hasilpenggabungan dan peleburan
antara Bank Syariah dengan bank lainnyadiwajibkan untuk menjadi Bank Syariah (Pasal 17)
 
8. Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan antara kredit dan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah.
 
9. Secara umum bank syariah dan UUS dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang
bertentangan dengan prinsip syariah, melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di
lantai bursa serta kegiatan perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah (Pasal 24 dan Pasal 25). Bagi BPRS, selain larangan tersebut, juga dilarang untuk
membuka produk simpanan giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran serta kegiatan
valuta asing kecuali penukaran valuta asing (Pasal 25).
 
10. UU Perbankan Syariah juga mewajibkan dibentuknya Dewan Pengawas Syariah di setiap
Bank Syariah dan Bank Umum konvensional yang memiliki UUS, dengan tugas antara lain
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai
dengan prinsip syariah (pasal 32). Dewan Pengawas Syariah tersebut diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
 
11. Pengaturan mengenai rahasia bank pada umumnya sama dengan UU Perbankan
konvensional, yang wajib dirahasiakan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenainasabah penyimpan dan simpanannya, serta kewajiban tersebut
berlaku bagi bank dan pihak terafiliasi.

Beberapa pengaturan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Syariah yang berbeda
dengan UU Perbankan konvensional, antara lain:
o Tidak diaturnya pengecualian rahasia bank untuk kepentingan piutang yang sudah
diserahkan kepada BUPLN/PUPN, seperti halnya yang diatur dalam UU Perbankan
konvensional. Dengan demikian pengecualian rahasia bank yang dapat dimintakan
izinnya ke BI terbatas hanya untuk kepentingan perpajakan, dan kepentingan
peradilan dalam perkara pidana. Di samping itu terdapat pengecualian lainnya yang
tidak memerlukan izin dari BI, yaitu dalam perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, dan atas
permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, serta bagi ahli waris yang sah
dalam hal nasabah telah meninggal dunia.
o Pengaturan mengenai penyidik diperluas, tidak hanya terbatas pada jaksa atau
polisi, tetapi berlaku juga bagi penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan UU
(Pasal 43). Dengan demikian para penyidik di luar polisi atau jaksa dapat meminta
keterangan mengenai rahasia bank, namun permintaan tersebut tetap diajukan oleh
pimpinan instansi/departemen atau setingkat menteri.
12. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama atau di luar Peradilan Agama apabila dalam akad telah diperjanjikan
sebelumnya sepanjang tidak bertentangan denganPrinsip Syariah (Pasal 55).
 
13. Dalam Aturan Peralihan telah diaturmengenai batasan UUS beralih menjadi Bank Umum
Syariah,mengingat UUS hanya bersifat sementara, yaitu :
o Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah
mencapai paling sedikit 50% (lima puluhpersen) dari total nilai aset bank induknya,
maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS
tersebut menjadi Bank Umum Syariah; atau
o 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, maka
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib melakukan pemisahan UUS yang
dimilikinya menjadi Bank Umum Syariah.

PRINSIP DAN ASAS BANK

Hukum Perbankan : Asas dan Prinsip Perbankan

Pasal 2 UU No 7 tahun 1992 menetapkan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan


usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Untuk
mempertegas makna asas demokrasi ekonomi ini penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2
berbunyi : yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Demokrasi ekonomi ini tersimpul
dlam Pasal 33 UUD 1945, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluragaan. Menurut Rochmat Soemitro ( 1991 : 185 ) pembangunan di bidang
ekonomi yang didasarkan pada demokrasi ekonomi menentukan masyarakat harus memegang
peran aktif dalam kegiatan pembangunan, memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap
pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha.
(Asas Perbankan)

Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip kepercayaan
( fiduciary relation principle ), prinsip kehati-hatian ( prudential principle ), prinsip
kerahasiaan ( secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah ( know how costumer
principle )

1. Prinsip Kepercayaan ( fiduciary relation


principle )

    Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah
bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga
setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan
kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No 10
Tahun 1998.

1. 2). Prinsip Kehatihatian ( prudential principle )

    Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam
menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana
kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini
agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi
ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip
kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998.

1. Prinsip Kerahasiaan ( secrecy principle)


Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A UU No 10 Tahun
1998. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa
pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk
kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan
Urusan Piutang dan Lelang / Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk
kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah,
dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank.

1. 4). Prinsip Mengenal Nasabah ( know how costumer principle )

Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan
mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan
setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia No.3/1 0/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal nasabah.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah
meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik
lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang
tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan
reputasi lembaga keuangan.

Prinsip-Prinsip dalam Perbankan adalah Dalam melakukan penilaian terhadap debitur, bank dapat
menerapkan keempat prinsip dasar perbankan yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary relation
principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle) dan
prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle).

Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang sifatnya  umum, sehingga kegiatan perbankan
apapun baik itu menghimpun dana dari masyarakat maupun menyalurkan dana kepada masyarakat
dalam bentuk pinjaman dapat menggunakan  keempat  prinsip  tersebut.  Untuk  melaksanakan
kemitraan antara bank dengan nasabahnya dan demi terciptanya sistem perbankan yang sehat,
kegiatan perbankan perlu dilandasi dengan beberapa asas hukum (khusus) yaitu :  Rachmadi Usman.
Op.cit., hlm. 14-18.

Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle)


Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dimana asas kepercayaan
adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara
bank dengan nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang    disimpan
padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan
tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat
untuk menyimpan sebagian uangnya  di bank, semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa
uangnya akan dapat diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang
diperjanjikan dan disertai dengan imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan dana terhadap
suatu bank telah berkurang, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rush terhadap dana yang
disimpannya. Sama halnya dengan kredit, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa hubungan
antara bank dengan nasabah penyimpan dana adalah hubungan pinjam-meminjam uang antara
kreditur (bank) dan debitur (nasabah). Prinsip kepercayaan adalah suatu prinsip yang menyatakan
bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya. Bank
terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan,
sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan
mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan
sebagian uangnya  di bank, semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat
diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan
disertai dengan imbalan.

Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)


Prinsip Kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan
kegiatan usahanya wajib menerapkan Prinsip Kehati- hatian dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya.  Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Perbankan bahwa perbankan Indonesia dalam melaksankan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan menggunakan asas kehati-hatian. Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian
tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat. Dengan diberlakukannya prinsip kehati-
hatian diharapkan agar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga
masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank. Dalam prinsip kehati-hatian
terhadap 5C of Credit yang meliputi character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal),
collateral (agunan), condition of economi (prospek usaha dari kreditur) yang dimana prinsip 5C ini
merupakan prinsip yang saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisahkan atau
dikesampingkan.

Prinsip Kerahasiaan (Secrecy Principle)


Hubungan antara bank dan nasabahnya ternyata tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa. Akan
tetapi, dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia
nasabahnya kepada pihak lain manapun kecuali jika ditentukan lain oleh perundang-undangan yang
berlaku. Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut
kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah untuk kepentingan bank
sendiri karena bank memerlukan   kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank.
Berbeda dengan simpanan  nasabah yang dimana bank diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan
nasabahnya, untuk pinjaman kredit sendiri dalam prakteknya bank tidak melakukan prinsip
kerahasiaan, justru apabila ada nasabah yang melakukan pinjaman, maka bank dengan serta-merta
akan dapat memberikan informasi mengenai debitur. Hal ini bertujuan agar semua orang dapat
mengetahui bahwa usaha yang dijalankan oleh debitur berasal dari pinjaman kredit bank dan
menjadi beban moral tersendiri kepada debitur agar konsisten menjalankan perjanjian kredit
perbankan. Tindakan bank yang bersifat terbuka ini dapat menjadi contoh kepada pelaku usaha lain
untuk dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih maju dengan melakukan pinjaman kredit
kepada pihak bank.
Ada 2 (dua) teori tentang kekuatan berlakunya rahasia bank ini, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Mutlak

Dalam hal ini rahasia keuangan dari nasabah bank tidak dapat dibuka kepada siapapun dan dalam
hal apapun. Dewasa ini hampir tidak ada lagi negara yang menganut teori mutlak ini.

b. Teori Relatif

Menurut teori ini, rahasia bank tetap diikuti, tetapi dalam hal-hal khusus, yakni dalam hal yang
termasuk luar biasa prinsip kerahasiaan bank  tersebut dapat diterobos. Dalam Pasal 40 sampai
dengan Pasal 45 Undang- Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Perbankan Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa bank wajib merahasiakan
informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Ketentuan rahasia bank ini dapat
dikecualikan dalam hal tertentu yakni, untuk kepentingan pajak, penyelesaian hutang-piutang bank
yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Hutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara
(UPLN/PUPN), peradilan pidana, perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, tukar menukar
informasi antara bank atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan dana.

Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)


Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan
mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi  nasabah termasuk melaporkan setiap
transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah-nasabah diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No.3/1 0/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Tujuan yang hendak
dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan
dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai
kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas ilegal yang dilakukan
nasabah dan  melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.

Dalam penerapan prinsip mengenal nasabah, bank tidak membedakan antar nasabah penyimpan
dengan nasabah peminjam. Antara nasabah penyimpan dan nasabah peminjam sama-sama
dibutuhkan identitas yang jelas guna memberikan proteksi kepada pihak bank sendiri dalam
menjalankan kegiatan usahanya demi menjaga eksistensi dan mencegah terjadinya ajang tindak
kejahatan perbankan maupun wanprestasi. Bank berkewajiban melayani nasabah atau calon
nasabahnya. Untuk itu diperlukan data yang lengkap dan akurat, sehingga bank dapat memenuhi
kebutuhan nasabah sesuai dengan janji atau penawaran bank. Saat ini Bank Indonesia telah
membuat ketentuan bagaimana bank mengenal nasabahnya secara baik, sesuai prinsip mengenal
nasabah yang lebih populer disebut dengan Know Your Customer Principles. Ada dua hal pokok yang
dilakukan bank terhadap debitur atau calon debitur dalam prinsip mengenal nasabah (Know Your
Customer Principles), yaitu:

a. Mengidentifikasi

Identifikasi terhadap debitur atau calon debitur dilakukan bank:

1. Pada saat pembukaan rekening. Pada saat ini bank akan  meminta calon nasabah mengisi
data yang lengkap dan akurat,
2. Pengkinian data nasabah. Kegiatan ini dilakukan bagi yang sudah menjadi nasabah dan
dilakukan pada periode tertentu.

b. Memantau kegiatan transaksi perbankan, termasuk melaporkan transaksi perbankan yang


mencurigakan. Bank akan memantau  transaksi perbankan nasabah dan akan melaporkan transaksi
tersebut kepada PPATK apabila terdapat:

1. Transaksi perbankan yang mencurigakan,


2. Transaksi perbankan tunai dengan jumlah tertentu.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan
peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan,
menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan
aktivitas ilegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.

Anda mungkin juga menyukai