Anda di halaman 1dari 4

Pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990, tepatnya pada tanggal 18-20 Agustus

1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam lagi pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta, tanggal 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi
pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Adapun kelompok kerja yang dimaksud
adalah Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan
semua pihak terkait.
Hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah dengan berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI),
yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI
resmi beroperasi seiring dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perkembangan bank syariah diikuti dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di luar struktur
perbankan seperti Asuransi Takaful, Pasar Modal Syariah, Pegadaian Syariah, Baitul Maal wat Tamwil
(BMT) mengindikasi perkembangan perbankan syariah di Indonesia cukup cepat dan banyak mendapat
respon dari masyarakat. Indikatornya dapat dilihat dari aspek keuangan seperti jumlah aktiva, dana
pihak ketiga, volume pembiayaan atau juga dapat dilihat dari aspek kelembagaan seperti jaringan kantor
bank yang semakin banyak. Semua yang disebut di atas menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam
sangat dinamis dan cocok diterapkan dalam berbagai bisnis. Menjalankan prinsip syariah disamping
mendatangkan berkah, juga membuka peluang menengguk untung pada saat kondisikondisi tidak
normal.

Kegitan Usaha
Kegiatan usaha perbankan syariah diatur dalam Pasal 36 – 37 PBI 6/24/PBI/2004. Agar
memudahkan pemahaman, secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah meliputi 9
fungsi:
(1) penghimpunan dana
Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (giro dan tabungan
berdasar prinsip Wadi’ah) serta investasi (giro, tabungan dan deposito berdasar prinsip
Mudharabah).
(2) penyaluran dana (langsung dan tidak langsung)
Pembiayaan langsung (berdasar prinsip jual beli, bagi hasil, sewa menyewa dan pinjam
meminjam) serta tidak langsung/indirect finance (Bank Garansi, Letter of Credit).
(3) jasa pelayanan perbankan
Jasa pelayanan perbankan berdasarkan wakalah, hawalah, kafalah dan rahn.
Menyediakan tempat menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah
yad amanah (Safe Deposit Box).
Melakukan kegiatan penitipan, termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah (kustodian).
(4) berkaitan surat berharga
Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah.
Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syraih yang diterbitkan Pemerintah dan/atau BI
(SWBI).
Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah.
(5) lalu lintas keuangan dan pembayaran
Money transfer, inkaso, kartu debet/charge card, valuta asing (Sharf).
(6) berkaitan pasar modal
Wali amanat (wakalah).
(7) investasi
Penyertaan modal di bank atau perusahaan lain bidang keuangan berdasarkan prinsip syariah,
seperti: sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan.
Penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan
pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan
sebagaimana ditetapkan BI.
(8) dana pensiun
Pendiri dan pengurus dana pensiun (DPLK) berdasarkan prinsip syariah.
(9) sosial
Penerima dan penyalur dana sosial (Zakat, Infak, Shadaqah, Waqaf, Hibah).

Perbankan Syariah di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah). Berdasarkan UU
Perbankan Syariah tersebut, kelembagaan industri perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Bank Umum Syariah (BUS)
Menurut Pasal 1 ayat (7) UU Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah
‘Bank yang menjalankan kegiataan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya
terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.’ Adapun yang dimaksud
dengan Bank Umum Syariah (BUS) menurut Pasal 1 ayat (8) adalah ‘Bank Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembiayaan.’ Sebagai suatu entitas bisnis, kegiatan
usaha bank syariah pada dasarnya sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan kegiatan
penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan serta melakukan kegiatan lainnya. Kegiatan lain ini seperti
melakukan fungsi sosial dalam bentuk menerima dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, serta
dana kebajikan (Lihat pejelasan Pasal 19 ayat (1) huruf q).
Perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional adalah prinsip-prinsip syariah
yang digunakan oleh bank syariah sebagai dasar utama dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Dalam hukum Islam, terdapat berbagai macam bentuk akad, hal ini mengakibatkan produk-produk
bank syariah menajid lebih variatif dibandingkan dengan bank konvensional. Dikarenakan bank
syariah menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan kepada prinsip syariah, maka ia dilarang
untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Kegiatan usaha yang
dilarang tersebut antara lain kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur
riba, maisir, gharar, haram dan zalim (Lihat Penjelasan Pasal 2 UU Perbankan). Di samping itu, bank
syariah juga dilarang untuk melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan
huruf c; dan melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk
asuransi syariah. (Lihat: Pasal 24 UU Perbankan). BUS tidak boleh dikonversi menjadi bank umum,
namun Bank Umum Konvensional boleh dikonversi menjadi BUS.

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)


Sebelum diberlakukannya UU Perbankan Syariah, Bank Pembiayaan Syariah Syariah dikenal
dengan nama Bank Pekreditan Rakyat Syariah. Istilah ‘prekreditan diganti dengan istilah
‘pembiayaan’ mengingat dalam kegiatan usaha bank syariah tidak dikenal dengan istilah kredit yang
berbasiskan kepada bunga. BUS dan BPRS sama-sama sebagai lembaga intermedasi keuangan,
namun BPRS tidak diperbolehkan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Lihat: Pasal 1
Ayat (9) UU Perbankan Syariah.
Dengan kata lain, cakupan kegiatan yang bisa dilakukan oleh BPRS lebih kecil dibandingkan
dengan BUS. Hal ini dapat dilihat dari larangan kegiatan usaha BPRS sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 25 UU Perbankan Syariah yang menyatakan sebagai berikut: Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah dilarang: a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; c. melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin bank Indonesai; d.
melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah; e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan f. melakukan usaha lain
di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Unit Usaha Syariah


Menurut Pasal 1 ayat (10) UU Perbankan Syariah yang dimaksud dengan Unit Usaha Syariah
(UUS) adalah ‘unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau
unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
pembantu syariah dan/atau unit syariah.’ Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
Bank Konvensional yang mau melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus
membuka UUS dengan mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Pada prinsipnya kegiatan
usaha yang dilakukan oleh UUS sama dengan BUS.
UUS harus menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Kantor induk, Bank Umum
Konvensional, tidak boleh melakukan intervensi atau melarang UUS untuk tidak mematuhi prinsip-
prinsip syariah sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Apabila hal tersebut
terjadi, maka Otoritas Jasa Keuangan bisa memberikan sanksi administratif kepada Bank Induknya.
Kemudian, UUS Bank Umum Konvensional ini tidak boleh selamanya menjadi UUS. Pasal 68 UU
Perbankan Syariah mengatur, apabila aset UUS telah mencapi 50% dari total nilai aset bank
induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya UU ini, maka UUS tersebut wajib melakukan
pemisahan (spin off) dari bank induknya dan menjadi Bank Umum Syariah. UUS nantinya dapat
berubah menjadi BUS atau merger dengan bank lain untuk berubah menjadi BUS tergantung dari
kemampuan bank syariah tersebut.

Konsep perbankan syariah adalah Risk sharing atau Profit loss sharing yaitu sistem bagi hasil,
baik dari pendanaan maupun pembiayaan. Dengan demikian perbankan syariah tidak mengenal
sistem bunga sebagaimana diterapkan pada bank konvensional. Jumhur ulama mengatakan
bahwa bunga bank adalah riba dan dilarang oleh agama

Perkembangan Bank Syariah yang pesat menunjukkan bahwa pasar perbankan di Indonesia masih besar
apalagi pasca diberlakukannya Undang-Undang Perbankan Syariah yang menjadi payung hukum bagi
semua pihak yang ingin bertransaksi sesuai dengan syariah Islam. Haryoko menyebut sejumlah peluang
yang dimiliki Perbankan Syariah di Indonesia antara lain:
1. Potensi pasar Bank Syariah lebih luas dibandingkan dengan potensi pasar Bank Konvensional.
Bank Syariah dapat melayani seluruh segmen masyarakat: muslim dan non muslim; rasional dan
emosional; institusi syariah dan konvensional. Dengan demikian dapat dipastikan potensi Bank
Syariah lebih luas dibanding Bank Konvensional.
2. Sebagai bank universal memberi produk dan jasa layanan lebih beragam. Bank Syariah dapat
memberikan produk dan layanan yang lebih beragam dibandingkan dengan Bank Konvensional
yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bank Syariah bisa memberikan layanan Leasing
(ijarah) , Gadai (rahn) , Sekuritasi asset (muqayadah) dan lain sebagainya.
3. Industri perbankan dan keuangan syariah tumbuh dengan pesat.Industri perbankan syariah
berkembang dengan rata-rata pertumbuhan dana 80 % dan pertumbuhan pembiayaan 75 %.
Pertumbuhan lebih lanjut akan didorong seiring pertumbuhan institusi dan instrumen keuangan
syariah lainnya, seperti Asuransi, Reksadana, Dana Pensiun, Obligasi, dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dilihat, Bank Syariah juga berpotensi membangun Network Perbankan Syariah
Regional.
4. Fungsi Intermediasi lebih baik. Financing to Deposit Ratio konsisten mendekati 100 %. Hal ini
menunjukkan fungsi yang lebih baik dibandingkan Bank Konvensional, dan juga menunjukkan
bukti bahwa Bank Syariah lebih mampu memjembatani sektir riil.
5. Halal, lebih Adil, dan Thoyyib (menguntungkan dan lebih stabil) . Mengacu pada ketentuan
syariah yang diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk kehalalan produk dan layanan.
Lebih adil, karena bagi hasil merupakan fungsi dari usaha penggunaan dana. Dalam keadaan
normal, berinvestasi di Bank Syariah lebih menguntungkan dan akan lebih stabil karena tidak
mengacu pada sistem bunga sehingga terhindar dari resiko negative spread.

Selain itu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
memberikan peluang sangat besar bagi perkembangan Bank Syariah di Indonesia. Hal-hal yang
membuka peluang besar bagi Perbankan Syariah di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang
tersebut antara lain:
1. Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan
(spin off) apabila UUS mencapai asset paling sedikit 50 % dari total asset bank induknya atau 15
tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah.
2. Undang-Undang Perbankan Syariah juga memberikan aktifitas usaha bank syariah yang lebih
banyak dan beragam dibandingkan dengan bank konvensional. Terdapat sejumlah usaha Bank
Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang dapat dilakukan,
tetapi tidak dapat dilakukan oleh Bank Konvensional
3. Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkan kepada organisasi pengelola zakat. 30 Dan menghimpun dana sosial
yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai
dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) .

Anda mungkin juga menyukai