Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN 12

Pengertian Perbankan Syariah

Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan fungsi
intermediasi keuangan. Dalam sistem perbankan di Indonesia terdapat dua macam sistem
operasional perbankan, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No. 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa
Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun),
kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar,
maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga
mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan fungsi
seperti lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah,
hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai
kehendak pemberi wakaf (wakif).

Pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan syariah dari aspek


pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik dilaksanakan oleh OJK
sebagaimana halnya pada perbankan konvensional, namun dengan pengaturan dan sistem
pengawasan yang disesuiakan dengan kekhasan sistem operasional perbankan syariah.
Masalah pemenuhan prinsip syariah memang hal yang unik bank syariah, karena hakikinya
bank syariah adalah bank yang menawarkan produk yang sesuai dengan prinsip syariah.
Kepatuhan pada prinsip syariah menjadi sangat fundamental karena hal inilah yang menjadi
alasan dasar eksistensi bank syariah. Selain itu, kepatuhan pada prinsip syariah dipandang
sebagai sisi kekuatan bank syariah. Dengan konsisten pada norma dasar dan prinsip syariah
maka kemaslhahatan berupa kestabilan sistem, keadilan dalam berkontrak dan terwujudnya
tata kelola yang baik dapat berwujud.

Sistem dan mekanisme untuk menjamin pemenuhan kepatuhan syariah yang


menjadi isu penting dalam pengaturan bank syariah. Dalam kaitan ini lembaga yang memiliki
peran penting adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Undang-undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kewenangan kepada MUI yang fungsinya
dijalankan oleh organ khususnya yaitu DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa kesesuaian
syariah suatu produk bank. Kemudian Peraturan Bank Indonesia (sekarang POJK)
menegaskan bahwa seluruh produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada
masyarakat setelah bank mendapat fatwa dari DSN-MUI dan memperoleh ijin dari OJK. Pada
tataran operasional pada setiap bank syariah juga diwajibkan memiliki Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang fungsinya ada dua, pertama fungsi pengawasan syariah dan kedua fungsi
advisory (penasehat) ketika bank dihadapkan pada pertanyaan mengenai apakah suatu
aktivitasnya sesuai syariah apa tidak, serta dalam proses melakukan pengembangan produk
yang akan disampaikan kepada DSN untuk memperoleh fatwa. Selain fungsi-fungsi itu,
dalam perbankan syariah juga diarahkan memiliki fungsi internal audit yang fokus pada
pemantauan kepatuhan syariah untuk membantu DPS, serta dalam pelaksanaan audit
eksternal yang digunakan bank syariah adalah auditor yang memiliki kualifikasi dan
kompetensi di bidang syariah.

Secara umum terdapat bentuk usaha bank syariah terdiri atas Bank Umum dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan perbedaan pokok BPRS dilarang menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas sistem pembayaran. Secara
kelembagaan bank umum syariah ada yang berbentuk bank syariah penuh (full-pledged) dan
terdapat pula dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank umum konvensional.
Pembagian tersebut serupa dengan bank konvensional, dan sebagaimana halnya diatur
dalam UU perbankan, UU Perbankan Syariah juga mewajibkan setiap pihak yang melakukan
kegiatan penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk simpanan atau investasi
berdasarkan prinsip syariah harus terlebih dahulu mendapat izin OJK.

Tujuan dan Fungsi Perbankan Syariah

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan pada Prinsip


Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Perbankan Syariah bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan fungsi dari perbankan syariah adalah :


1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat.

2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal,
yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya
dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf
(wakif).

4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Struktur Perbankan Syariah

Berdasarkan Kegiatannya Bank Syariah dibedakan menjadi Bank Umum Syariah, Unit
Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

1.) Bank Umum Syariah Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:

1. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

2. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau


bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

3. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad


musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

4. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad


istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
5. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;

6. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak


kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

7.melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

8. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip


Syariah;

9. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga
yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain,
seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;

10. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

11. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

12. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang
berdasarkan Prinsip Syariah;

13. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah;

14. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

15. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;

16. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
17. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang
sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.) Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat
Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang
dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah
dan/atau unit syariah.

Kegiatan usaha UUS meliputi:

1. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

2. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau


bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

3. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad


musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

4.menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad


istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

5. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;

6. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak


kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

7. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
8. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah;

9. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar
transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;

10. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

11. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

12. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah;

13. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

14. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan

15. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang
sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.) Bank Pembiayaan Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:

a) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

• Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan


Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan
• Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;

b) menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

• Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah;

• Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna';

• Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;

•Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah


berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
dan

• pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;

c) menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad
wadi'ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d) memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah
melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank
Umum Konvensional, dan UUS; dan

e) menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai
dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia (sekarang OJK).

d. Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS maupun BPRS. Dewan Pengawas Syariah(DPS) diangkat
oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Dewan
Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi
kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

Tugas dan tanggung jawab DPS secara rinci meliputi :


1. menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan
produk yang dikeluarkan Bank;

2. mengawasi proses pengembangan produk baru Bank;

3. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang belum ada
fatwanya;

4. melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan

5. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam
rangka pelaksanaan tugasnya.

6. Untuk menjadi DPS pemohon wajib memenuhi syarat–syarat menjadi Anggota DPS:

1. Integritas, yang paling kurang mencakup:

• memiliki akhlak dan moral yang baik;

• memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan


perundang-undangan lain yang berlaku;

• memiliki komitmen terhadap pengembangan Bank yang sehat dan tangguh


(sustainable); dan

• tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia (sekarang OJK).

2. Kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang


syariah mu'amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara
umum; dan

3. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup:

• tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan

• tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.

Dengan mulai banyaknya bank-bank berbasis syariah yang didirikan di berbagai


negara, seperti di Sudan, Pakistan, dan Malaysia pada era tahun 1970-80 an, semakin
meningkatkan kesadaran dan motivasi umat Islam di Indonesia, sebagai umat mayoritas,
untuk melakukan hal yang serupa. Sebenarnya, keinginan untuk mendirikan bank
berdasarkan prinsip syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 70-an, namun
karenakebijakan pemerintah dan regulasi yang tidak mendukung pada saat itu, keinginan
tersebut sulit terealisasikan. Keinginan tersebut baru bisa terwujud dengan didirikannya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 yang diprakasai oleh Majelis Ulama
Indonesia dan Pemerintah. Bank ini mulai efektif beroperasi pada tahun 1992.

Beroperasinya BMI berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. UU ini


lalu diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah diberlakukan. UU No. 21 ini adalah UU khusus yang mengatur
perbankan Syariah. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat periodisasi perkembangan
UU yang mengatur perbankan syariah di Indonesia berdasarkan kepada UU yang telah
disebutkan di atas.

UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa BMI adalah bank pertama di
Indonesia yang beroperasi berdasarkan pada prinsip syariah. Dasar hukum berdirinya BMI
adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara substansi, UU ini merupakan
peraturan perbankan nasional yang muatannya lebih banyak mengatur bank konvesional
dibandingkan bank syariah. Tidak banyak pasal yang mengatur tentang bank syariah dalam
UU ini. Kata ‘bank syariah’ juga tidak disebutkan secara eksplisit. UU ini hanya menyatakan
bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip pembagian hasil keuntungan atau prinsip
bagi hasil (profit sharing) (lihat Pasal 1 butir 12 & Pasal 6 huruf m). Tidak disebutkannya kata
‘syariah’ atau ‘Islam’ secara eksplisit dalam UU ini disebabkan, menurut Sutan Remy
Sjahdeini, masih tidak kondusifnya situasi politik pada saat itu. Pemerintah masih ‘alergi’
dengan penggunaan kata ‘syariah’ atau ‘Islam’.

Meskipun UU No. 7 Tahun 1992 mengizinkan bank beroperasi berdasarkan prinsip


bagi hasil, tidak ada petunjuk lebih lanjut bagaimana bank tersebut mesti dijalankan. Oleh
karena itu, untuk memberikan pemahaman dan petunjuk yang jelas, maka pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil. Menurut Pasal 1 butir 1 PP No. 72, yang dimaksud dengan bank
berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang
melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun yang
dimaksud dengan prinsip bagi hasil sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) adalah
prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at.

Berdasarkan pasal-pasal ini dapat dipahami bahwa ungkapan bank bagi hasil secara
prinsip merupakan terminologi yang digunakan untuk bank Islam atau bank Syariah. Artinya
yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalah yang berdasarkan pada
syariah. Kata syariah secara jelas merujuk pada hukum Islam. Maka, prinsip dasar bank
syariah dalam menjalankan aktivitasnya adalah hukum Islam atau syariah.

Mengenai aktivitas bisnis bank, PP No. 72 mengatur secara jelas bahwa bank umum
dan bank prekreditan rakyat (BPR) yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil tidak
boleh secara bersamaan melakukan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip konvensional.
Begitu juga sebaliknya, bank umum dan BPR konvensional juga tidak boleh melakukan
aktivitas bisnis berdasarkan prinsip bagi hasil. (lihat Pasal 6). Kemudian, untuk memastikan
aktivitas bank bagi hasil tidak bertentangan dengan prinsip syariah, maka PP No. 72 juga
mengatur bahwa bank bagi hasil harus mendirikan Badan Pengawas Syariah (BPS). Fungsi
utama BPS ini adalah untuk mengawasi dan memastikan bahwa produk-produk yang
ditawarkan oleh bank ini betul-betul sesuai dengan prinsip syariah. Adapun secara
struktural, posisi BPS di dalam bank bersifat independen, terpisah dari menajemen bank dan
tidak mempunyai peran dalam operasional bank. BPS dalam menjalankan aktivitasnya selalu
berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia.

Dari penjelasan di atas, dapat dicatat bahwa sejak diberlakukanya UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintahnya, maka bank syariah di Indonesia
telah menjadi kenyataan. Hal ini dianggap sebagai front gateberoperasinya bank syariah di
Indonesia. Namun, peraturan-peraturan tersebut masih dianggap belum memadai untuk
mendorong perkembangan bank syariah, karena sekedar mengatur bank yang beroperasi
berdasarkan prinsip bagi hasil, namun tidak secara definitif dan komprehensif mengatur
akitifitas bank berdasarkan prinsip syariah.

UU No. 10 Tahun 1998

Pada tahun 1998, UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992) diamandemen dengan UU
No. 10 Tahun 1998. Berbeda dengan UU No. 7 Tahun 1992 yang tidak mengatur secara pasti
perbankan syariah, ketentuan-ketentuan mengenai perbankan syariah dalam UU No. 10
Tahun 1998 lebih lengkap (exhaustive) dan sangat membantu perkembangan perbankan
syariah di Indonesia. UU No. 10 Tahun 1998 secara tegas menggunakan kata bank syariah
dan mengatur secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR, dapat beroperasi dan
melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. (lihat Pasal 1 butir 12, Pasal 7
huruf c, Pasal 8 ayat (1 & 2), Pasal 11 ayat (1) & (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37
ayat (1) huruf c).

Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, menurut Pasal 1 butir 13, adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan atau pembiyaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip pernyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Ketentuan di atas menunjukkan perluasanan eksistensi bank syariah dalam melaksanakan
kegiatannya, di mana dalam UU sebelumnya hal tersebut tidak diatur secara jelas.

Selanjutnya, UU No. 10 Tahun 1998 ini juga membolehkan bank konvensional untuk
menjalankan aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan Bank Indonesia.(Pasal 6 huruf m). Dalam hal ini, bank konvensional yang hendak
menjalankan kegiatan syariah harus mendirikan kantor cabang atau sub kantor cabang.
Adapun untuk BPR tetap tidak dibolehkan untuk menjalankan aktifitas secara konvensional
dan syariah secara bersamaan. Perbedaan lainnya adalah diberikannya wewenang kepada
Bank Indonesia untuk mengawasi dan mengeluarkan peraturan mengenai bank syariah.
Sebelumnya kewenangan tersebut diberikan kepada kementrian keuangan. Sejarah
mencatat, bagaimana Bank Indonesia sangat aktif dalam mengembangan perbankan
syariah. Banyak Peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan demi menunjang
kelancaran operasional bank syariah.

UU N. 21 Tahun 2008

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dasar
hukum perbankan syariah di Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin
meningkat secara signifikan. Akan tetapi, beberapa praktisi dan pakar perbankan syariah
berpendapat bahwa peraturan yang ada masih tidak cukup untuk mendukung operasional
perbankan syariah di Indonesia. Sebagai contoh, bank syariah beroperasi hanya berdasarkan
pada fatwa Dewan Syariah Nasional yang kemudian diadopsi Bank Indonesia dalam bentuk
Peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia yang tersebar dalam berbagai bentuk
kadangkala overlapping satu sama lainnya. Kemudian, bank syariah mempunyai karakterisitk
yang berbeda dengan bank konvensional, sehingga pengaturan bank syariah dan bank
konvensional dalam satu Undang-Undang yang sama dipandang tidak mencukupi. Oleh
karena itu, adanya UU khusus yang mengatur bisnis perbankan syariah secara konfrehensif
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk diwujudkan.

Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan pemerintah,


mengesahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari 70 pasal
dan dibagi menjadi 13 bab. Secara umum struktur Hukum Perbankan Syariah ini sama
dengan Hukum Perbankan Nasional. Aspek baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait
dengan tata kelola (corporate governance), prinsip kehati-hatian (prudential principles),
menajemen resiko (risk menagement), penyelesaian sengketa, otoritas fatwa dan komite
perbankan syariah serta pembinaan dan pengawasan perbankan syariah. Bank Indonesia
tetap mempunyai peran dalam mengawasi dan mengatur perbankan syariah di Indonesia,
namun saat ini pengaturan dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan syariah di
bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan amanah UU No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Dengan adanya UU khusus yang mengatur perbankan Syariah serta
instrumen hukum lainnya , diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para
investor semakin tertarik untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga perbankan
syariah di Indonesia semakin lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai