Anda di halaman 1dari 8

PERTEMUAN 14

Perjanjian Kredit dan Perjanjian Pembiayan

Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari yang namanya perjanjian.
Hampir dalam seluruh kegiatan yang dilakukan manusia di masyarakat akan berkaitan
dengan perjanjian. Istilah perjanjian (overeenkomst) diterjemahkan secara berbeda-beda
oleh para sarjana, diantaranya yaitu :

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menggunakan istilah “perjanjian” untuk


overeenkomst.

b. Prof. Utrect, memakai istilah overeenkomst untuk istilah ”perjanjian”.

c. Prof. Subekti, memakai istilah overeenkomst untuk istilah “perjanjian” bukan persetujuan.

d. Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “persetujuan” untuk terjemahan


overeenkomst.

e. R. Setiawan, SH., memakai istilah “persetujuan” untuk overeenkomst.

f. Prof. Soediman Kartohadiprojo, memakai istilah “perjanjian” untuk terjemahan dari


overeenkomst.

Berbagai sarjana memberikan pendapat mengenai definisi perjanjian pada literatur hukum :

1.Menurut Prof. Subekti SH., perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.

2.Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH., perjanjian adalah suatu perhubungan
hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

3.Menurut R. Setiawan, SH., persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.
4.Menurut Abdulkadir Muhammad, SH., perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian


adalah “suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu)
orang lain atau lebih”.

Unsur-unsur perjanjian adalah :

a. Ada para pihak.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut.

c. Ada tujuan yang akan dicapai.

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

e. Ada bentuk tertentu, baik lisan maupun tulisan.

f. Ada syarat-syarat tertentu.

Suatu perjanjian baru dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata “Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4
(empat) syarat” yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian,
harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian
yang akan diadakan itu. Kata sepakat tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;


Pada dasarnya, setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika
oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap (Pasal 1329 KUHPerdata). Menurut Pasal 1330
KUHPerdata, mereka yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1) Orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang

dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Akibat hukum dari ketidakcakapan ini adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat
dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim.

3. Adanya suatu hal tertentu;

Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian harus jelas dan dapat
ditentukan. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
pokok suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau
dihitung. Menurut ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata, hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Selanjutnya menurut Pasal
1334 ayat (1) KUHPerdata, barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
menjadi pokok suatu perjanjian.

4. Adanya suatu sebab yang halal;

Adanya suatu sebab (causa dalam bahasa Latin) yang halal ini adalah menyangkut isi
perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-
undang. Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebutkan
syarat objektif, karena mengenai objek dari perjanjian.

Pengertian Perjanjian Kredit


Dari pengertian yuridis kredit dan pembiayaan sebagaimana disebutkan dalam UU
Perbankan diketahui bahwa pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank didasarkan
kesepakatan atau perjanjian pinjam meminjam (uang) yang dilakukan antara bank dengan
pihak lain nasabah peminjam dana. Perjanjian pinjam meminjam (uang) itu dibuat atas
dasar kepercayaan bahwa nasabah peminjam dana dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan akan melunasi atau mengembalikan pinjaman uang atau tagihan tersebut
kepada bank disertai pembayaran sejumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan sebagai imbal jasanya.

Pasal 1754 KUHPerdata menentukan bahwa pinjam meminjam adalah persetujuan


dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula. Pasal 1765 KUHPerdata memperbolehkan memperjanjikan bunga. Adapun
unsur-unsur dari pinjam meminjam adalah :

a. Adanya kesepakatan atau persetujuan antara peminjam dengan pemberi pinjaman;

b. Adanya suatu jumlah barang tertentu yang dapat habis karena memberi pinjaman;

c. Adanya pihak penerima pinjaman yang nantinya akan mengganti barang yang sama;

d. Peminjam wajib membayar bunga bila diperjanjikan.

UU Perbankan memang tidak secara tegas mengatur dasar hukum perjanjian kredit,
namun Pasal 1 angka 11 UU Perbankan menyiratkan bahwa suatu pemberian kredit
didasarkan kepada persetujuan dan kesepakatan pinjam meminjam antara kreditur dengan
debitur yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Perjanjian kredit tidak diatur secara
khusus dalam KUHPerdata, sehingga termasuk dalam jenis perjanjian tidak bernama di luar
KUHPerdata

Pasal 1 angka 11 UU Perbankan menyebutkan bahwa kredit didasarkan atas


kesepakatan pinjam – meminjam antara pihak bank dengan pihak lain, sehingga tunduk
pada ketentuan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata Pasal 1754 yang mengatur tentang
pinjam-meminjam. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam, pihak yang menerima
pinjaman wajib untuk mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah yang sama dan
dari jenis dan mutu yang sama pada waktu tertentu kepada pihak yang memberikan
pinjaman. Ketentuan dalam perjanjian pinjam meminjam tersebut sama halnya dengan
ketentuan dalam perjanjian kredit.

Di dalam perjanjian kredit, pihak yang meminjamkan adalah kreditur dan pihak yang
menerima pinjaman adalah debitur dan barang yang dipinjamkan adalah uang. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1765 KUHPerdata dalam perjanjian kredit diperbolehkan memperjanjikan
bunga, sehingga debitur tidak hanya berkewajiban mengembalikan uang pinjaman, namun
juga wajib membayar bunga apabila diperjanjikan. Dalam Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan
menentukan bahwa “Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan
dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.” Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang berlaku menghendaki
setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan perjanjian
tertulis. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a UU Perbankan menegaskan bahwa
“Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain :
“Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis”.

Mariam Darus Badrulzaman seperti dikutip oleh Neni Sri Imaniyati, menyatakan
bahwa perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari
perjanjian penyerahan uang yang merupakan hasil dari pemufakatan pemberi dan penerima
kredit. Sifat perjanjian kredit merupakan perjanjian umum (tidak bernama) yang tunduk
pada ketentuan umum tentang perjanjian. Perjanjian kredit merupakan perjanjian
konsensual. Sifat perjanjian konsensual ini menimbulkan konsekuensi hubungan hukum
antara bank dengan debiturnya.

Pengertian dan Jenis-Jenis Jaminan.

Salah satu prinsip perbankan yang sudah tidak asing lagi adalah prinsip kepercayaan.
Berdasarkan prinsip kepercayaan apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat
diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, maka Bank tidak
wajib meminta agunan, meskipun pada prakteknya setiap pemberian kredit bank seringkali
mensyaratkan adanya jaminan atau agunan. Jaminan berasal dari kata “jamin” yang berarti
“tanggung”, sehingga jaminan dapat diartikan juga sebagai tanggungan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa jaminan adalah “Segala kebendaan
milik si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.”

Pasal 1131 KUHPerdata menentukan suatu kewajiban bagi debitur untuk


memberikan jaminan kepada kreditur atas hutang yang telah diterimanya, tanpa adanya
jaminan secara khusus maka segala harta kekayaan debitur baik yang telah ada maupun
yang akan ada secara otomatis menjadi jaminan ketika orang tersebut membuat perjanjian
utang meskipun hal tersebut tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Menurut
Rachmadi Usman, jaminan (zakerheid cautie) merupakan kemampuan debitur untuk
memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara
menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau
utang yang diterima debitur terhadap krediturnya. M. Bahsan menyatakan bahwa jaminan
adalah segala sesuatu yang diterima oleh kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin
suatu utang piutang dalam masyarakat. Dalam dunia perbankan jaminan dikenal dengan
istilah agunan. Pasal 1 angka 23 UU Perbankan menentukan bahwa Jaminan tambahan
diserahkan nasabah (debitur) kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.” Dengan demikian, agunan dalam hal ini
merupakan jaminan tambahan (accesoir) yang diserahkan oleh debitur kepada bank dengan
tujuan untuk mendapatkan pinjaman dana dari bank. Unsur-unsur agunan adalah sebagai
berikut :

1. Jaminan tambahan.

2. Diserahkan oleh debitur kepada bank.

3. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.

Jenis-jenis jaminan menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang
dan jaminan yang lahir karena perjanjian.
Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang tanpa adanya perjanjian
dari para pihak, yaitu jaminan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1131
KUHPerdata yang menentukan segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Jaminan yang lahir berdasarkan perjanjian adalah jaminan yang lahir dengan
diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak, jaminan ini dapat berbentuk jaminan
kebendaan (hipotek, gadai, fidusia, hak tanggungan) atau jaminan perorangan
(penanggungan).

2. Menurut golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus.

Jaminan Umum adalah jaminan yang lahir dari undang-undang sebagaimana


ditentukan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Jaminan yang diberikan bagi
kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur. Hal ini dapat
diartikan bahwa benda jaminan tersebut tidak ditunjuk secara khusus dan tidak
diperuntukkan kepada seorang kreditur, melainkan harus dibagi-bagi secara seimbang
kepada semua kreditur sesuai dengan piutangnya masing-masing, sedangkan jaminan
khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1132-1134 KUHPerdata adalah jaminan yang lahir
karena adanya perjanjian yang secara khusus diadakan oleh pihak kreditur dan debitur yang
termasuk pada jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Pada jaminan kebendaan ada
benda tertentu yang dipergunakan sebagai jaminan (misalnya hipotik, gadai, fiducia),
sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan dari orang tertentu mengenai kesanggupan
membayar atau memenuhi kewajiban/ prestasi tertentu ketika debitur wanprestasi
(misalnya perjanjian garansi, perutangan tanggung-menanggung dan lain-lain).

3. Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat
perorangan.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyatakan bahwa jaminan kebendaan adalah


jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang memiliki ciri-ciri mempunyai
hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap
siapapun, selalu mengikuti bendanya (droite de suite) dan dapat diperalihkan. Menurut H.
Salim., H. S., Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
1) Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPerdata.

2) Jaminan hipotek, yang diatur di dalam Bab 21 Buku II KUHPerdata.

3) Hak Tanggungan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

4) Jaminan Fidusia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengungkapkan bahwa jaminan yang bersifat


perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan
tertentu yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu dan terhadap harta
kekayaan debitur umumnya (misalnya borgtoch, tanggung menanggung, perjanjian garansi).

4. Menurut objeknya, yaitu jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan
atas benda tidak bergerak.

Anda mungkin juga menyukai