Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari yang namanya perjanjian.
Hampir dalam seluruh kegiatan yang dilakukan manusia di masyarakat akan berkaitan
dengan perjanjian. Istilah perjanjian (overeenkomst) diterjemahkan secara berbeda-beda
oleh para sarjana, diantaranya yaitu :
c. Prof. Subekti, memakai istilah overeenkomst untuk istilah “perjanjian” bukan persetujuan.
Berbagai sarjana memberikan pendapat mengenai definisi perjanjian pada literatur hukum :
1.Menurut Prof. Subekti SH., perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.
2.Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH., perjanjian adalah suatu perhubungan
hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
3.Menurut R. Setiawan, SH., persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.
4.Menurut Abdulkadir Muhammad, SH., perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan
Suatu perjanjian baru dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata “Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4
(empat) syarat” yaitu :
Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian,
harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian
yang akan diadakan itu. Kata sepakat tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata).
perjanjian-perjanjian tertentu.
Akibat hukum dari ketidakcakapan ini adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat
dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim.
Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian harus jelas dan dapat
ditentukan. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
pokok suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau
dihitung. Menurut ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata, hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Selanjutnya menurut Pasal
1334 ayat (1) KUHPerdata, barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
menjadi pokok suatu perjanjian.
Adanya suatu sebab (causa dalam bahasa Latin) yang halal ini adalah menyangkut isi
perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-
undang. Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebutkan
syarat objektif, karena mengenai objek dari perjanjian.
b. Adanya suatu jumlah barang tertentu yang dapat habis karena memberi pinjaman;
c. Adanya pihak penerima pinjaman yang nantinya akan mengganti barang yang sama;
UU Perbankan memang tidak secara tegas mengatur dasar hukum perjanjian kredit,
namun Pasal 1 angka 11 UU Perbankan menyiratkan bahwa suatu pemberian kredit
didasarkan kepada persetujuan dan kesepakatan pinjam meminjam antara kreditur dengan
debitur yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Perjanjian kredit tidak diatur secara
khusus dalam KUHPerdata, sehingga termasuk dalam jenis perjanjian tidak bernama di luar
KUHPerdata
Di dalam perjanjian kredit, pihak yang meminjamkan adalah kreditur dan pihak yang
menerima pinjaman adalah debitur dan barang yang dipinjamkan adalah uang. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1765 KUHPerdata dalam perjanjian kredit diperbolehkan memperjanjikan
bunga, sehingga debitur tidak hanya berkewajiban mengembalikan uang pinjaman, namun
juga wajib membayar bunga apabila diperjanjikan. Dalam Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan
menentukan bahwa “Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan
dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.” Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang berlaku menghendaki
setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan perjanjian
tertulis. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a UU Perbankan menegaskan bahwa
“Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain :
“Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis”.
Mariam Darus Badrulzaman seperti dikutip oleh Neni Sri Imaniyati, menyatakan
bahwa perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari
perjanjian penyerahan uang yang merupakan hasil dari pemufakatan pemberi dan penerima
kredit. Sifat perjanjian kredit merupakan perjanjian umum (tidak bernama) yang tunduk
pada ketentuan umum tentang perjanjian. Perjanjian kredit merupakan perjanjian
konsensual. Sifat perjanjian konsensual ini menimbulkan konsekuensi hubungan hukum
antara bank dengan debiturnya.
Salah satu prinsip perbankan yang sudah tidak asing lagi adalah prinsip kepercayaan.
Berdasarkan prinsip kepercayaan apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat
diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, maka Bank tidak
wajib meminta agunan, meskipun pada prakteknya setiap pemberian kredit bank seringkali
mensyaratkan adanya jaminan atau agunan. Jaminan berasal dari kata “jamin” yang berarti
“tanggung”, sehingga jaminan dapat diartikan juga sebagai tanggungan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa jaminan adalah “Segala kebendaan
milik si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.”
1. Jaminan tambahan.
Jenis-jenis jaminan menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang
dan jaminan yang lahir karena perjanjian.
Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang tanpa adanya perjanjian
dari para pihak, yaitu jaminan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1131
KUHPerdata yang menentukan segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Jaminan yang lahir berdasarkan perjanjian adalah jaminan yang lahir dengan
diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak, jaminan ini dapat berbentuk jaminan
kebendaan (hipotek, gadai, fidusia, hak tanggungan) atau jaminan perorangan
(penanggungan).
2. Menurut golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus.
3. Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat
perorangan.
4. Menurut objeknya, yaitu jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan
atas benda tidak bergerak.