Anda di halaman 1dari 11

ASPEK HUKUM PERBANKAN SYARIAH DAN

IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Tata Hukum Indonesia dengan tema
“Aspek Hukum Halal di Indonesia”

Disusun Oleh :
Adityo Wiwit Kurniawan (402019321002)

Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Devid Frastiawan Amir Sup, S.H.I, M.E

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
PONOROGO-INDONESIA
1441/2020
A. Pengertian dan Dasar Hukum Bank Syari’ah
- Perbankan merupakan lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu
menerima simpanan, meminjamkan uang dan memberikan jasa pengiriman uang.
Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan dengan
akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman
Rasulullah SAW. Bentuk akad seperti menerima titipan, meminjamkan uang dan
pembiayaan usaha, serta melakukan berbagai akad terkait dengan jasa keuangan
sudah merupakan bagian dari kehidupan muamalat saat itu. Dengan demikian,
fungsi utama perbankan modern seperti menerima deposit, memberikan kredit dan
melakukan jasa transfer keuangan, dan lain-lain merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat Islam.1
- Dasar hukum perbankan syariah nasional dapat dilihat secara umum dan secara
khusus. Dasar hukum secara umum artinya segala bentuk peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan aspek hukum perbankan syariah yang secara
hierarkhi antara lain:
1. UUD 1945 dalam ketentuan yang mengatur tentang Perekonomian Negara dan
Prinsip Demokrasi Ekonomi;
2. Undang-undang RI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Undang undang RI No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia;
4. Undang-undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
5. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
6. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
7. Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (P-OJK)
sebagai peraturan pelaksanaanUndang-undang.
Dasar hukum perbankan syariah secara khusus secara hierarkhi antara lain:
1. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

1
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisa Fikih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 18.

2
2. Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (P-OJK)
sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang.
- UU No. 7 Tahun 1992 mengizinkan bank beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil.
Meskipun demikian, tidak ada petunjuk lebih lanjut bagaimana bank tersebut mesti
dijalankan. Untuk memberikan pemahaman dan petunjuk yang jelas, maka
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang
Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Menurut Pasal 1 butir 1 PP No. 72, yang
dimaksud dengan bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau
Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan
prinsip bagi hasil. Adapun yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil sebagaimana
yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at. 2
- PP No. 72 mengatur secara jelas bahwa bank umum dan bank prekreditan rakyat
(BPR) yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh secara bersamaan
melakukan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip konvensional. Begitu juga
sebaliknya, Pada Pasal 6 bank umum dan BPR konvensional juga tidak boleh
melakukan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip bagi hasil. Kemudian, untuk
memastikan aktivitas bank bagi hasil tidak bertentangan dengan prinsip syariah,
maka PP No. 72 juga mengatur bahwa bank bagi hasil harus mendirikan Badan
Pengawas Syariah (BPS). Fungsi utama BPS ini adalah untuk mengawasi dan
memastikan bahwa produk-produk yang ditawarkan oleh bank ini betul-betul sesuai
dengan prinsip syariah. Adapun secara struktural, posisi BPS di dalam bank bersifat
independen, terpisah dari menajemen bank dan tidak mempunyai peran dalam
operasional bank. BPS dalam menjalankan aktivitasnya selalu berkonsultasi dengan
Majelis Ulama Indonesia. Pada masa sekarang BPS diganti nama dengan DPS
(Dewan Pengawas Syariah).
- Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diberlakukan.
UU No. 21 ini adalah UU khusus yang mengatur perbankan Syariah. UU ini terdiri
dari 70 pasal dan dibagi menjadi 13 bab. Secara substansi, UU ini merupakan
peraturan perbankan nasional yang muatannya lebih banyak mengatur bank

2
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

3
konvesional dibandingkan bank syariah. Tidak banyak pasal yang mengatur tentang
bank syariah dalam UU ini. Kata ‘Bank Syariah’ juga tidak disebutkan secara
eksplisit. UU ini hanya menyatakan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan
prinsip pembagian hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (profit sharing) pada
Pasal 1 butir 12 dan Pasal 6 huruf m. Tidak disebutkannya kata ‘syariah’ atau
‘Islam’ secara eksplisit dalam UU ini disebabkan masih tidak kondusifnya situasi
politik pada saat itu. Pemerintah masih ‘alergi’ dengan penggunaan kata ‘syariah’
atau ‘Islam’.
- Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.3
- Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip
Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.4 Lembaga perbankan
syari’ah untuk menjamin kehalalan kegiatan usaha perbankan, maka dalam
operasionalnya harus menggunakan prinsip-prinsip syariah. Secara umum struktur
Hukum Perbankan Syariah ini sama dengan Hukum Perbankan Nasional. Aspek
baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata kelola (corporate
governance), prinsip kehati-hatian (prudential principles), menajemen resiko (risk
menagement), penyelesaian sengketa, otoritas fatwa dan komite perbankan syariah
serta pembinaan dan pengawasan perbankan syariah.
- Yang dimaksud dengan prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli
barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang
modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya

3
Pasal 1 angka ‘7’ UU No. 21 Tahun 2008 dan Pasal 18 UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah.
4
Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

4
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh
pihak lain (ijarah wa iqtina).5
- Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 yang diprakasai oleh Majelis
Ulama Indonesia dan Pemerintah. Bank ini mulai efektif beroperasi pada tahun
1992 adalah bank pertama di Indonesia yang beroperasi berdasarkan pada prinsip
syariah. Dasar hukum berdirinya BMI adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. UU ini lalu diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998.
- Bank Indonesia tetap mempunyai peran dalam mengawasi dan mengatur perbankan
syariah di Indonesia, namun saat ini pengaturan dan pengawasan perbankan,
termasuk perbankan syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).6 Dengan
adanya UU khusus yang mengatur perbankan Syariah serta instrumen hukum
lainnya, diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para investor
semakin tertarik untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga perbankan
syariah di Indonesia semakin lebih baik lagi.
- Bank Syariah lahir karena dilarangnya riba dalam Islam. Kelahiran lembaga
keuangan yang bebas bunga, terutama di negara-negara Muslim telah memberikan
dimensi baru dalam bidang ekonomi. Secara umum bank Syariah merupakan suatu
lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang
kelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya
harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.7 Prinsip umum hukum Islam,
berdasarkan sejumlah surat atau ayat dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa
perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar atau menerima
keuntungan tanpa memberikan nilai imbalan secara etika adalah dilarang.8
- Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi pada periode orde baru lalu, merupakan
suatu pukulan yang sangat berat bagi sistem perekonomian Indonesia. Dalam
periode tersebut, berbagai lembaga keuangan, termasuk perbankan, mengalami

5
UU No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka ’13’ tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
6
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
7
Sudin Haron, Islamic Banking, Rules and Regulation, (Malaysia: Selangor Darul Ehsan,
Pelanduk Publication, 1997), hlm. 5.
8
Mervyn K. Lewis, Latifa M. Algaoud, Islamic Banking, (USA: Chaltenham, Northenham, Zool),
Hal. 34.

5
kesulitan keuangan. Namun dalam kondisi yang demikian, perbankan syariah masih
dapat menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan dengan lembaga
perbankan konvensional.9

B. Prinsip-Prinsip Hukum Perbankan Syariah10


1. Asas Demokrasi Ekonomi (Economic Democracy Principles)
Demokrasi Ekonomi adalah asas yang fundamental dalam perekonomian negara.
Pentingnya asas demokrasi ekonomi ini sehingga disebutkan secara khusus
dalam UUD 1945 dalam Bab tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial.11 Asas demokrasi ekonomi dalam kegiatan perekonomian nasional
mengandung nilai-nilai:
a. Keadilan;
b. Pemerataan;
c. Kebersamaan;
d. Efisiensi Berkeadilan;
e. Berkelanjutan;
f. Berwawasan Lingkungan;
g. Kemandirian,dan
h. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
2. Prinsip Syariah (Sharia Principles)
Dalam Pasal 2 UU No. 21 tahun 2008 dapat dijelaskan kegiatan usaha yang
berasaskan Prinsip Syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur:
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan
waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang

9
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta:
UII Press, 2008), hlm. 64.
10
Dr. H. Muammar Arafat Yusmad, S.H., M.H., Aspek Hukum Perbankan Syariah dari Teori ke
Praktik, Cetakan Kedua, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm. 22-35.
11
Asas Demokrasi Ekonomi disebutkan dalam UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial hasil dari Amandemen keempat UUD 1945.

6
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak
pasti dan bersifat untung-untungan;
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e. Dzalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
3. Prinsip Kehati-hatian Bank (Prudential Banking)
Guna mengurangi risiko-risiko perbankan, maka bank syariah wajib untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian bank adalah pedoman
pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat,
kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.12
4. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principles)
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank syariah
sebagai pedoman untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah dan
memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan transaksi
mencurigakan yang terjadi di bank syariah kepada Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK)
5. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Prinsip kepercayaan adalah suatu prinsip yang melandasi terjalinnya hubungan
hukum antara bank syariah dan para nasabahnya.
6. Prinsip Kerahasiaan (Secrecy Principle)
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Prinsip kerahasiaan bank diatur
dalam Pasal 40 Pasal 47 A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Pasal 41-Pasal 49 UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.

12
Penjelasan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

7
C. Tujuan dan Fungsi
- Fungsi dan tujuan Perbankan Indonesia, yaitu:13
1. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur
dana masyarakat.
2. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi
dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
- Adapun tujuan pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia adalah sebagai
berikut:14
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat
menerima konsep bunga.
2. Menyediakan alternatif investasi, pembiayaan dan jasa keuangan lainnya.
3. Mengurangi resiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia.
4. Mendorong peran perbankan secara optimal dalam menggerakkan sektor riil
dan membatasi spekulasi atau pembiayaan yang tidak produktif
- Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi
hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi
masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi,
investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan
persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam
bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa
perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif,
perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Berdasarkan prinsip bagi hasil, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik
dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.15

13
Pasal 3 dan 4 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
14
Short Course Bank Syariah, Regulasi Bank Indonesia Terhadap Pengembangan Bank Syariah di
Indonesia, Sharia Banking Training Center Yogyakarta, 18 Mei 2008, hlm. 2.
15
Jafron Chrisliansyah, Skripsi, Tanggungjawab bank…, FH UI, 2010.

8
D. Perbankan Syariah dalam Pandangan Al-Quran dan Hadits
- Dasar adanya Perbankan Syariah adalah untuk menghindari riba karena di dalam
Islam praktek riba di bidang apapun termasuk perekonomian adalah haram
hukumnya. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah
ayat 275 yang menyebutkan bahwa “Allah menghalalkan perniagaan (Al – Bai’)
dan mengharamkan riba”. Inilah dasar utama operasi bank syariah yang
meninggalkan penggunaan sistem bunga dan menerapkan penggunaannya
sebagai akad – akad perniagaan dalam produk-produk bank syariah. Riba,
sebagai kata, kelebihan atau tambahan. Sebagai istilah, kelebihan harta dalam
suatu mu’amalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya. Hukum riba adalah
haram.
- Riba terbagi menjadi tiga:
1. Riba fadhl ialah kelebihan pada salah satu harta sejenis yang
diperjualbelikan dengan ukuran syara’ (timbangan atau takaran).
2. Riba Jahiliyah ialah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam
tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.16 Ketentuan
ini mengacu pada hadist Nabi yang menyatakan bahwa: “Tiap – tiap piutang
yang mengambil manfaat, maka ia merupakan salah satu bagian dari bentuk
riba” (HR. Baihaqi)
3. Riba Nasi’ah ialah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang
berhutang kepada pemilik modal (uang) ketika waktu yang disepakati jatuh
tempo. Bilamana hingga jatuh tempo kelebihan itu tak terbayarkan oleh
yang berhutang, waktunya bisa diperpanjang dengan syarat ada
penambahan jumlah yang diutang.
- Larangan Riba dalam Al – Qur’an
1. Surat ar – Rum ayat 39, dimana disebutkan bahwa: “Dan, sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa

16
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), hlm. 41.

9
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang – orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
2. Surat Al – Baqarah ayat 278 – 289: “Hai orang – orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang – orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul – Nya akan
memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka
bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
- Larangan Riba dalam Hadist
Didalam Hadist Riwayat Muslim, disebutkan pula bahwa: “Rasulullah SAW
melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulisan
dan saksi riba. Kemudian mereka bersabda: mereka semua adalah sama.”
- Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-
sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai
perbedaan yang sangat nyata Berikut ini adalah perbedaan antara riba (bunga)
dengan bagi hasil.17
1. Riba ( Bunga) Bagi Hasil Penentuan bunga dibuat pada saat permulaan akad
dengan asumsi harus selalu mendapat keuntungan, sedangkan bagi hasil
penentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil dibuat pada saat permulaan
akad dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya untung rugi (loss and
profit sharing)
2. Pada Riba, besarnya prosentase keuntungan ditentukan sepihak berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan dikali dengan tingkat suku
bunga yang berlaku, sedangkan besarnya nisbah bagi hasil ditentukan
berdasarkan pada jumlah keuntungan atau hasil usaha yang diperoleh sesuai
dengan kesepakatan.
3. Dalam Riba penarikan bunga dilakukan tanpa memperhatikan apakah usaha
yang dijalankan apakah usaha yang dijalankan oleh pihak nasabah untung
atau rugi, sedangkan bagi hasil, pembagian hasilnya dilakukan berdasarkan

17
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta:
UII Press, 2008), hlm. 30-31.

10
keuntungan dari usaha yang dijalankan. Namun bila terjadi kerugian, akan
ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
4. Pada Riba pemberian bunga kepada nasabah bersifat tetap (fixed and
predetermined rate), meskipun tingkat keuntungan bank mengalami
peningkatan, sedangkan bagi hasil dengan nasabah meningkat sesuai
dengan peningkatan jumlah keuntungan yang diperoleh pihak bank.
5. Riba (bunga) bertentangan dengan prinsip syariah, sedangkan bagi hasil
sesuai dengan prinsip syariah.
- Pengharaman terhadap praktik riba di kalangan umat Islam sudah cukup jelas
dan telah disepakati bersama dikalangan para ulama. Tidak terdapat perbedaan
pendapat diantara mereka tentang haramnya riba, karena secara jelas telah di
nash di dalam Al – qur’an tentang bagaimana riba tidak boleh dilakukan dalam
interaksi sosial di masyarakat. Riba didalamnya terdapat unsur ketidakadilan
yang akan ditimbulkannya, karena antara satu dengan yang lain akan saling
mengeksplitasi dan berlaku dzalim.18
- Dengan pelarangan riba, dinding yang membatasi aliran investasi tidak ada
sehingga alirannya lancar tanpa halangan. Hal ini terlihat jelas pada saat
Indonesia dilanda krisis keuangan dan perbankan pada tahun 1997-1998. Pada
saat itu, suku bunga perbankan melambung sangat tinggi mencapai 60%. Dengan
suku bunga setinggi itu bisa dikatakan hampir tidak ada orang yang berani
meminjamkan ke bank untuk investasi.19

18
Nadratuzzaman Hosen, Hasan Ali, Bakhrul Muchtasib, Menjawab Keraguan Umat Islam
Terhadap Bank Syariah, Cet. 1, (Jakarta: Pusat Komunikasi Syariah, 2007), hlm. 3.
19
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 17-
18.

11

Anda mungkin juga menyukai